Di sebuah kerajaan yang penuh dengan intrik dan kekuatan mistis pada masa Dinasti Tang, hiduplah seorang pangeran bernama Li Wei. Sejak kecil, Li Wei selalu dianggap lemah dan tidak berbakat dalam seni bela diri. Orang-orang di sekitarnya sering menjulukinya "Pangeran Cupu". Namun, di balik penampilannya yang lemah, Li Wei memiliki hati yang baik dan kecerdasan yang luar biasa.
Li Wei sering menghabiskan waktunya di taman istana yang indah, di mana bunga-bunga bermekaran dengan warna-warna cerah dan burung-burung berkicau riang. Di bawah naungan pohon sakura yang sedang berbunga, Li Wei merenung tentang nasibnya.
"Mengapa aku selalu dianggap lemah?" pikirnya sambil memetik kelopak bunga yang jatuh.
Suatu hari, saat Li Wei sedang berjalan-jalan di pasar, ia melihat seorang gadis kecil yang menangis karena kehilangan uangnya. Tanpa ragu, Li Wei mendekati gadis itu dan berkata dengan lembut, "Jangan khawatir, aku akan membantumu." Ia kemudian memberikan beberapa koin emas dari kantongnya kepada gadis itu.
"Terima kasih, Pangeran," kata gadis itu dengan mata berbinar-binar.
"Sama-sama," balas Pangeran Li Wei seraya tersenyum konyol. Gadis kecil itu pun ikut tersenyum dan tidak menangis lagi.
"Adik kecil siapa namamu?" tanya pangeran Li Wei. Gadis kecil itu memandang sejenak anak laki-laki yang ada di hadapannya. Detik kemudian, ia pun menjawab pertanyaan sang pangeran.
"Namaku Mei Ling, aku dari marga Mei. Kakak bisa menyebutku Xiao Ling," celoteh gadis kecil itu.
Li Wei tersenyum mendengar jawaban gadis kecil itu.
“Senang bertemu denganmu, Xiao Ling. Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja,” katanya sambil mengusap kepala gadis kecil itu dengan lembut.
Meskipun Li Wei sering diejek, ia tidak pernah membiarkan ejekan itu mempengaruhi kebaikan hatinya. Ia selalu berusaha membantu orang-orang di sekitarnya, meskipun mereka tidak selalu menghargainya. Di balik kelemahannya, tersembunyi kekuatan yang tidak dimiliki oleh banyak orang: kekuatan hati dan kecerdasan yang luar biasa.
"Xiao Ling, apakah kau mau berteman denganku? Aku ingin sekali memiliki seorang teman. Pasti sangat seru jika mempunyai teman bermain," pinta Pangeran Li Wei dengan suara yang bergetar, penuh harap. Matanya yang besar dan penuh harapan menatap gadis kecil di depannya, seolah-olah dunia bergantung pada jawabannya.
Pangeran Li Wei adalah seorang anak yang lembut dan penuh kasih sayang. Meski hidup dalam kemewahan istana, hatinya selalu merasa sepi. Ia sering terlihat berjalan sendirian di taman istana, merenungi nasibnya yang terisolasi dari anak-anak lain. Rambut hitamnya yang halus selalu tertata rapi, dan pakaian sutranya yang mewah tidak mampu menyembunyikan kesedihan di matanya.
"Kenapa tidak! Pangeran adalah orang yang baik, mana mungkin aku bisa menolak permintaan Pangeran," balas Xiao Ling dengan senyum manis yang menghiasi wajahnya. Suaranya lembut, namun penuh keyakinan, membuat hati Pangeran Li Wei berdebar lebih kencang.
"Benarkah?" Pangeran Li Wei yang sejak tadi tertunduk, mengangkat kepalanya dengan cepat. Raut wajahnya berubah menjadi cerah, dengan senyum lebar yang menghiasi bibirnya. Ada kilauan kebahagiaan di matanya yang sebelumnya redup. Ia adalah anak yang mudah merasa cemas, namun juga mudah merasa bahagia dengan hal-hal kecil.
"Hum. Aku akan menjadi teman Pangeran," jawab Xiao Ling dengan anggukan mantap.
Sejak pertemuannya dengan Xiao Ling, kehidupan Pangeran Li Wei mulai berubah. Hari-harinya yang sebelumnya kelabu kini dipenuhi warna-warni kebahagiaan. Tidak ada lagi rasa kesepian yang menghantui, karena kini ia memiliki seorang teman yang selalu ada di sisinya. Pangeran Li Wei mulai menunjukkan sisi dirinya yang ceria dan penuh semangat, sesuatu yang jarang terlihat sebelumnya. Ia menjadi lebih percaya diri dan berani bermimpi tentang masa depan yang lebih cerah.
Pangeran Li Wei mulai menunjukkan sisi dirinya yang ceria dan penuh semangat, sesuatu yang jarang terlihat sebelumnya. Senyumannya kini lebih sering menghiasi wajahnya, dan matanya bersinar dengan harapan. Ia menjadi lebih percaya diri, berani bermimpi tentang masa depan yang lebih cerah. Bersama Xiao Ling, ia merencanakan petualangan-petualangan baru, menjelajahi setiap sudut kerajaan dengan penuh antusiasme.
Mereka sering duduk di taman istana, di bawah pohon sakura yang sedang berbunga, berbagi cerita dan impian. Angin sepoi-sepoi yang membawa aroma bunga membuat suasana semakin magis. Xiao Ling selalu tahu cara membuat Pangeran Li Wei tertawa, dan kehadirannya memberikan kehangatan yang tak tergantikan.
Senja di ufuk barat telah menunjukkan sinarnya, warna langit oranye menambah kesan magis pada sore itu. Pangeran Li Wei dan Xiao Ling duduk di tepi danau istana, menikmati pemandangan yang menakjubkan. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membawa aroma bunga yang sedang mekar.
"Indah sekali, bukan?" kata Xiao Ling sambil tersenyum, matanya memandang jauh ke cakrawala.
Pangeran Li Wei mengangguk, merasakan kedamaian yang jarang ia rasakan sebelumnya.
"Ya, sangat indah. Aku merasa sangat beruntung memiliki teman sepertimu, Xiao Ling."
Xiao Ling tertawa kecil, suaranya seperti musik yang menenangkan.
"Aku juga merasa beruntung, Pangeran. Bersamamu, setiap hari terasa seperti petualangan baru."
Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati keheningan yang nyaman. Burung-burung mulai kembali ke sarangnya, dan suara gemericik air danau menambah suasana tenang. Pangeran Li Wei merasa hatinya penuh dengan kebahagiaan dan harapan.
"Apakah kamu pernah berpikir tentang masa depan, Xiao Ling?" tanya Pangeran Li Wei tiba-tiba, matanya penuh rasa ingin tahu.
Xiao Ling menoleh, menatap Pangeran dengan lembut. "Tentu saja. Aku bermimpi tentang masa depan di mana kita bisa terus bersama, menjelajahi dunia dan menemukan keajaiban-keajaiban baru."
Pangeran Li Wei tersenyum, merasa semangatnya semakin berkobar. "Aku juga. Bersamamu, aku merasa bisa menghadapi apa pun."
Senja terus berlanjut, dan langit semakin gelap. Namun, di hati Pangeran Li Wei dan Xiao Ling, cahaya harapan dan persahabatan terus bersinar terang.
Sampai suatu hari, ketika mereka akan melakukan janji temu, Malam itu, langit dipenuhi bintang-bintang yang berkelap-kelip, seolah-olah mereka tahu bahwa sesuatu yang penting sedang terjadi. Pangeran Li Wei berdiri di taman istana, menunggu Xiao Ling yang telah berjanji untuk menemuinya. Namun, yang datang bukanlah sosok yang ia harapkan, melainkan seorang pelayan yang membawa sebuah kotak kecil.
"Pangeran, ini titipan dari Nona Xiao Ling," kata pelayan itu dengan suara pelan, menyerahkan kotak tersebut kepada Li Wei.
Dengan tangan gemetar, Li Wei membuka kotak itu dan menemukan sebuah serpihan batu giok berbentuk separuh hati. Tidak ada surat, tidak ada penjelasan. Hanya batu giok yang dingin dan sunyi. Hatinya seketika hancur, seperti batu giok yang terbelah itu.
"Kenapa, Xiao Ling? Kenapa kau pergi tanpa alasan?" bisiknya, matanya mulai berkaca-kaca.
Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk bagi Pangeran Li Wei. Ia mencari Xiao Ling ke seluruh penjuru istana, namun tidak ada yang tahu ke mana gadis itu pergi. Setiap sudut istana yang dulu penuh dengan tawa mereka kini terasa kosong dan sunyi.
Li Wei sering duduk di bawah pohon sakura, tempat favorit mereka, memandangi serpihan batu giok itu. Ia merasakan dinginnya batu itu di tangannya, seolah-olah menggambarkan kehampaan yang kini mengisi hatinya.
"Xiao Ling, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kau meninggalkanku?" tanyanya pada angin yang berhembus lembut, berharap ada jawaban yang datang.
Namun, tidak ada jawaban. Hanya kesunyian yang menemani Pangeran Li Wei. Meski begitu, ia tetap menyimpan serpihan batu giok itu dengan hati-hati, sebagai kenangan terakhir dari sahabat yang pernah mengisi hidupnya dengan kebahagiaan.
Setiap malam, saat ia berbaring di tempat tidurnya, bayangan Xiao Ling selalu menghantui pikirannya. Ia teringat senyuman manisnya, tawa riangnya, dan bagaimana gadis itu selalu tahu cara membuatnya merasa lebih baik. Kini, tanpa kehadiran Xiao Ling, hidupnya terasa hampa dan tak berarti.
Pangeran Li Wei merasa seolah-olah sebagian dari dirinya telah hilang bersama kepergian Xiao Ling. Rasa sakit dan kehilangan itu begitu mendalam, menghancurkan setiap harapan dan impian yang pernah ia miliki. Ia merasa terjebak dalam kegelapan, tanpa tahu bagaimana cara keluar dari kesedihan yang melanda hatinya.
**
**
**
Dua puluh tahun kemudian, Pangeran Li Wei telah beranjak dewasa. Ia kini menjadi seorang pemuda yang tampan dengan tubuh tinggi dan kekar, membuat banyak wanita terpesona padanya. Rambut hitamnya yang tebal dan mata tajamnya menambah pesona yang sulit diabaikan. Namun, di balik penampilan luar yang memukau, sifat dan sikapnya masih belum berubah. Ia masih sering bertingkah seperti anak kecil, dengan tingkah laku yang kadang-kadang kekanak-kanakan dan spontan.
Di istana yang megah, Li Wei sering terlihat berjalan-jalan di taman, menikmati keindahan bunga-bunga yang bermekaran. Angin sepoi-sepoi yang membawa aroma harum bunga membuat suasana semakin menenangkan. Namun, di balik senyumannya yang menawan, ada kekosongan yang tak terisi. Ia merasa terjebak dalam kehidupan istana yang penuh dengan aturan dan harapan yang membebani.
Suatu hari, saat matahari mulai terbenam dan langit berubah menjadi jingga keemasan, Li Wei duduk di bawah pohon sakura, merenung. Air kolam yang tenang memantulkan bayangan wajahnya, seolah-olah mengingatkannya pada masa kecil yang penuh kebebasan. Ia merindukan saat-saat itu, ketika ia bisa bermain tanpa beban dan tertawa lepas tanpa khawatir akan tanggung jawab yang menantinya.
Pangeran Li Wei termenung di taman istana, memandang jauh ke arah langit yang mulai redup dengan awan-awan kelabu yang berarak pelan. Angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya, membawa aroma bunga-bunga yang sedang mekar di sekitar taman.
"Lihat siapa yang kita temukan di sini, Pangeran Li Wei yang terkenal dengan kelemahannya," ucap Pangeran Zhao dengan nada mengejek, datang bersama Pangeran Ming. Mereka berjalan dengan langkah mantap, bayangan mereka memanjang di bawah sinar matahari sore.
"Ah, benar sekali. Pangeran yang bahkan takut pada bayangannya sendiri," sahut Pangeran Ming sambil tertawa ringan, suaranya menggema di antara pepohonan.
"Apa yang kalian inginkan?" balas Pangeran Li Wei, terkejut dan menoleh dengan cepat. Matanya yang biasanya tenang kini memancarkan ketegangan.
"Kami hanya ingin melihat apakah rumor itu benar. Ternyata, memang benar. Kau memang pangeran yang paling lemah di antara kita," sambung Pangeran Zhao dengan nada mencemooh, senyum sinis menghiasi wajahnya.
"Mungkin kau lebih cocok menjadi pelayan daripada pangeran," celetuk Pangeran Ming, mengejek dengan tawa yang terdengar meremehkan.
"Jika kalian hanya datang untuk mencemoohku, lebih baik kalian berdua pergi dari sini," balas Pangeran Li Wei dengan suara yang bergetar, mencoba menahan amarah dan rasa malunya.
"Wah. Kau sudah mulai berani, ya?" ucap Pangeran Zhao, mendekat ke arah Pangeran Li Wei dengan tatapan tajam yang membuat jantung Li Wei berdegup kencang.
Melihat tatapan tajam Pangeran Zhao, Pangeran Li Wei merasa takut dan mundur secara perlahan, langkahnya terasa berat seolah-olah tanah di bawahnya berubah menjadi lumpur.
"Kakak, jangan membuatnya takut. Siapa yang akan menenangkan dirinya saat ia menangis nanti? Hahaha," Pangeran Ming menepuk pundak Pangeran Zhao, tawa mereka berdua terdengar seperti cemoohan yang menusuk hati.
"Kau benar, adik. Siapa yang akan menenangkannya? Bahkan satu-satunya orang yang selalu menemaninya pun malah pergi meninggalkan dirinya. Sungguh kasihan," tambah Pangeran Zhao dengan nada yang penuh kepuasan, seolah-olah menikmati penderitaan Li Wei.
Di ruangan yang luas dan megah, dengan dinding-dinding berlapis sutra dan lampu-lampu hias yang berkilauan, Pangeran Li Wei duduk termenung di atas tempat tidur. Ia memeluk kedua lututnya erat-erat, seolah mencari kehangatan dari dirinya sendiri, sementara matanya yang sendu memandangi batu giok berbentuk separuh hati di tangannya. Batu giok itu berkilauan lembut di bawah cahaya lilin, seakan menyimpan kenangan yang tak terucapkan.
Cemoohan dan ejekan yang selalu dilontarkan padanya oleh para bangsawan dan rakyat jelata, membuat Pangeran Li Wei kian terpuruk dalam kesedihan yang mendalam. Setiap kata hinaan terasa seperti duri yang menusuk hatinya, meninggalkan luka yang tak terlihat namun sangat menyakitkan.
"Xiao Ling, kau pergi ke mana? Apakah kau masih mengingat tentang kita?" lirihnya, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan malam. Ia merasakan air mata menggenang di pelupuk matanya, namun ia menahannya, mencoba tetap tegar meski hatinya hancur berkeping-keping.
Pangeran Li Wei, selalu mengingat sosok Xiao Ling kecil. Ia adalah seorang gadis dengan kecantikan yang memukau, rambutnya hitam legam seperti malam tanpa bintang, dan matanya berkilau seperti permata yang paling berharga. Senyumnya selalu mampu menghangatkan hati siapa pun yang melihatnya, dan suaranya lembut seperti alunan musik yang menenangkan jiwa. Ia adalah sahabat sekaligus cinta pertama Pangeran Li Wei, seseorang yang selalu ada di sisinya saat suka maupun duka. Namun, takdir memisahkan mereka, meninggalkan Pangeran Li Wei dengan kenangan manis yang kini terasa pahit.
"Kenapa dunia ini begitu kejam padaku?" bisiknya, suaranya bergetar. "Apakah aku tidak layak untuk bahagia?"
Pada saat usianya 7 tahun, ibu Pangeran Li Wei, yaitu Permaisuri Yan Hui, adalah sosok wanita yang penuh kelembutan dan kasih sayang. Pangeran Li Wei masih mengingat dengan jelas bagaimana ibunya meninggal tepat di hadapannya. Tidak ada suami di sampingnya saat itu. Ia masih belum mengerti apa yang terjadi. Sejak saat itu, Pangeran Li Wei menjadi anak yang pemurung dan selalu ditindas oleh saudara-saudara tirinya.
Di saat tengah larut dalam kesedihan, Pangeran Li Wei duduk termenung di kamarnya yang remang-remang. Tiba-tiba, ada semilir angin malam yang masuk melalui celah jendela, menggoyangkan api lilin yang menyala tenang di atas meja. Cahaya lilin yang bergetar menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding, menambah suasana misterius di ruangan itu.
Pangeran Li Wei sedikit terperanjat, merasakan kehadiran seseorang di sekitarnya. Jantungnya berdegup kencang, dan ia mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan dengan waspada. Benar saja, di balik jendela yang setengah terbuka, ada sosok bayangan hitam yang samar-samar terlihat.
"Siapa di sana?" teriak Pangeran Li Wei dengan suara yang bergetar, beranjak dari duduknya dan bergegas lari ke arah jendela. Ia membuka jendela dengan cepat, berharap bisa melihat lebih jelas siapa yang mengintainya di balik kegelapan malam.
Pangeran Li Wei membuka jendela dengan cepat, berharap bisa melihat lebih jelas siapa yang mengintainya di balik kegelapan malam. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang bergesekan. Di luar, hanya ada kegelapan yang pekat dan suara jangkrik yang bersahutan.
Namun, bayangan hitam itu sudah menghilang, meninggalkan Pangeran Li Wei dengan perasaan was-was. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya.
"Apakah aku hanya berhalusinasi?" pikirnya, namun firasatnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.
Dengan langkah hati-hati, Pangeran Li Wei menutup jendela dan kembali ke dalam ruangan. Ia menyalakan lebih banyak lilin, berharap cahaya tambahan bisa mengusir bayangan-bayangan yang menghantui pikirannya. Namun, perasaan tidak nyaman itu tetap ada.
Sementara diluar ruangan, sosok yang tadi berdiri di depan jendela kamar pangeran Li Wei, menyembulkan kepalanya dari balik pohon besar yang tidak jauh dari kediaman pangeran Li Wei.
"Apakah dia benar-benar, pangeran Li ?" monolognya dalam hati.
***
Suasana di dalam aula istana kekaisaran sangat ramai dan penuh aktivitas. Para pelayan istana sibuk bergerak ke sana kemari, masing-masing dengan tugasnya sendiri. Ada yang membawa nampan berisi kain merah untuk menghias ruangan, sementara yang lain memasang ornamen-ornamen di dinding. Semua orang tampak bersemangat dan bekerja dengan cepat, seolah-olah ada acara besar yang akan segera dimulai. Suara langkah kaki dan percakapan pelayan menambah kesibukan di aula, menciptakan suasana yang hidup dan penuh antisipasi. Sepertinya, mereka sedang mempersiapkan pesta penyambutan yang megah.
“Cepat, kita harus menyelesaikan hiasan ini sebelum tamu kehormatan tiba!” ucap pelayan 1.
“Tenang saja, aku sudah hampir selesai memasang ornamen di sisi barat aula," sahut pelayan 2.
“Apakah kamu melihat di mana kain merah tambahan? Aku butuh lebih banyak untuk meja utama," tanya pelayan 3.
“Ada di dapur, aku akan mengambilnya untukmu," jawab pelayan 4.
“Terima kasih! Jangan lupa juga untuk memeriksa bunga-bunga di pintu masuk, mereka harus terlihat segar," kata pelayan 2
“Baik, aku akan segera ke sana setelah ini.” pelayan 4 beranjak dari ruangan tersebut menuju arah dapur.
Selama persiapan masih berlangsung, rombongan dari kerajaan Dayu telah mencapai perbatasan ibu kota Kerajaan Tang. Pangeran Zhao, bersama dengan prajurit khusus yang ditugaskan untuk menyambut kedatangan mereka, sudah menunggu dengan sabar di depan gerbang kota. Mereka duduk tegap di atas kuda-kuda mereka, mata mereka tajam mengawasi setiap gerakan di kejauhan.
Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran, menambah kesan dramatis pada suasana. Pangeran Zhao, dengan jubah kebesarannya yang berkibar tertiup angin, tampak gagah dan berwibawa. Prajurit-prajuritnya, dengan baju zirah yang berkilauan di bawah sinar matahari, berdiri tegap di sampingnya, siap untuk memberikan penghormatan.
"Apakah mereka sudah dekat?" tanya Pangeran Zhao dengan suara yang dalam dan tenang, matanya tetap terpaku pada jalan yang membentang di depan mereka.
"Sesuai laporan terakhir, mereka akan tiba dalam beberapa menit, Yang Mulia," jawab salah satu prajurit dengan hormat.
Pangeran Zhao mengangguk pelan, lalu menghela napas panjang. "Baiklah, kita sambut mereka dengan penuh kehormatan. Pastikan semuanya berjalan lancar."
---
Sementara di kediaman Pangeran Li Wei, ia baru saja terbangun dari tidurnya. Dengan gerakan lamban, dia mengulaikan tubuhnya, merentangkan kedua tangan ke atas, dan melenturkan otot-otot yang terasa kaku. Setelah itu, ia bangkit dari posisi berbaring dan duduk di sisi tempat tidur, matanya masih terasa berat dan mengantuk.
"Gara-gara kejadian semalam, aku jadi tidak bisa tidur nyenyak," gumam Pangeran Li Wei sambil menguap lebar dan menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Beberapa menit kemudian, samar-samar ia mendengar suara keributan dari luar.
"Kenapa di luar terdengar berisik sekali?" Pangeran Li Wei beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah jendela. Dengan gerakan perlahan, ia membuka jendela dan langsung melihat keramaian para pelayan yang sangat sibuk.
Dengan raut wajah yang datar dan sedikit konyol, Pangeran Li Wei hanya bisa memperhatikan para pelayan yang berlalu lalang tanpa berniat mencari tahu lebih lanjut. Namun, ada rasa penasaran yang menggelitik hatinya, mendorong dia untuk bertanya.
Pangeran Li Wei memutuskan untuk memanggil salah satu pelayan yang sedang lewat di dekat jendelanya.
"Hei, kau! Kemari lah," panggilnya dengan suara yang masih serak karena baru bangun tidur.
Seorang pelayan pria muda dengan cepat menghampiri dan membungkuk hormat.
"Ada yang bisa saya bantu, Yang Mulia?" tanyanya dengan sopan.
"Apa yang sedang terjadi? Kenapa semua orang terlihat begitu sibuk?" tanya Pangeran Li Wei sambil mengerutkan kening, mencoba memahami situasi.
Pelayan itu mengangkat wajahnya sedikit, menatap Pangeran Li Wei dengan rasa hormat.
" Yang Mulia. Kami semua sedang mempersiapkan pesta penyambutan tamu dari kerajaan Dayu. Apakah Yang Mulia lupa, jika hari ini rombongan dari kerajaan Dayu akan datang? Saya dengar kaisar Dayu juga datang dengan salah satu putrinya."
"Ya ampun, Aku lupa lagi. Kalau begitu aku akan bersiap-siap diri."
Pangeran Li Wei segera memanggil pelayan pribadinya.
“Cepat, bantu aku bersiap-siap. Kita tidak punya banyak waktu,” katanya dengan nada mendesak.
Pelayan pribadinya, seorang pria tua yang setia, segera mengambil pakaian terbaik Pangeran Li Wei.
“Yang Mulia, apakah Anda ingin mengenakan jubah emas atau yang berwarna biru tua dengan bordir naga?” tanyanya sambil menunjukkan dua pilihan yang sama-sama indah.
Pangeran Li Wei berpikir sejenak.
“Aku akan mengenakan yang biru tua. Ini adalah kesempatan penting, dan aku ingin terlihat berwibawa namun tetap elegan,” jawabnya dengan tegas.
Sementara itu, di aula utama istana, para pelayan dan prajurit sibuk mempersiapkan segala sesuatu. Meja-meja panjang telah diatur dengan rapi, dihiasi dengan taplak meja sutra dan vas-vas bunga yang indah. Aroma makanan lezat mulai tercium dari dapur, menandakan bahwa para koki istana sedang bekerja keras untuk menyiapkan hidangan terbaik.
Di luar gerbang istana, rombongan dari kerajaan Dayu mulai terlihat. Kereta-kereta kuda yang megah, dihiasi dengan lambang kerajaan Dayu, bergerak perlahan menuju istana. Para prajurit Dayu yang gagah berani mengawal rombongan tersebut, menambah kesan megah dan berwibawa.
Pangeran Li Wei, yang kini telah siap dengan pakaian terbaiknya, berdiri di depan cermin yang terbuat dari perunggu. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
“Ini adalah momen penting,” pikirnya. “Aku harus memberikan kesan yang baik.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!