NovelToon NovelToon

Desa Terkutuk. Buku Kedua (Detektif Astral)

Bab1 Petualangan Baru (Opening)

   Di buku pertama, kalian masih ingat tentang buku hariannya Tuan Jansen sang majikannya Mbah Di kan?

   Lupa?

   Ga tau?

   Waduh, gimana nih? Ok, tak tulis ulang saja deh. Buku ini aku temukan di rumah bergaya Belanda yang ada di Desa Tebo Selatan. Di rumahnya kakekku yang dia warisi dari majikannya.

   Buku ini awalnya sama sekali tidak bisa aku baca, hingga di suatu hari, ketika aku mulai masuk SMP, ada pelajaran bahasa. Dan bahasa Belanda adalah salah satu bahasa yang ada di daftar mata pelajaran itu.

   Di buku pertama, kalian tau kan, kalau aku terkena kutukan ga bisa mati sampai lebih dari lima puluh tahun? Lebih mungkin, karena aku sendiri tidak bisa mengingat dan memastikan nya. Dan di buku pertama itu juga, di depan rumah bergaya Belanda yang di warisi oleh Mbah Di, ada jalan setapak yang menuju lembah, dan di bawah lembah itu terdapat rumah mini bergaya Belanda, yah walaupun rumah tersebut tenggelam air di sana Karena di buku pertama di jelaskan ada badai yang terjadi semalam lebih dari seminggu.

   Buku harian ini, tertinggal di sana bersama kitab iblis milik dukun santet yang meneror keluargaku. Tapi, ada setan bernama Elly Jansen, itu anaknya Mark Jansen, membawanya dari sana dan di serahkan kepada teman masa kecilku yang bernama Efi.

   Dan di suatu malam ketika aku dan teman-teman sekampung ku ingin melakukan ritual pemanggilan setan, Efi menyerahkan buku harian ini kepadaku.

   Lalu, setelah selesai melakukan ritual pemanggilan setan alias jalangkung aku di culik oleh kuntilanak, dan di bawa ke alam gaib. Dan ternyata, itulah awal dimana aku terkena kutukan ga bisa mati dan menua sebelum penumbal ku mati.

   Buku ini sudah benar-benar aku lupakan, hingga dimana kutukan ku berakhir, dan aku memulai hidup baru dan ketika air bah di lembah di depan rumah bergaya Belanda itu surut. Aku bermain lagi kesana, waktu itu aku sudah mulai masuk SMP, dan menemukan rumah tersebut masih berdiri kokoh, walaupun penuh lumpur.

   Waktu membersihkan rumah tersebut, di rak kamar yang dulu sering aku tempati, aku menemukan dua buku dan buku itu adalah buku harian ini dan buku alias kitab iblis ini.

   Dan di mulai saat itulah, aku mulai belajar bahasa Belanda. Akan aku bongkar semua isi buku harian ini. Dan ada misteri apa yang ada di dalamnya. Apakah cuma buku harian biasa saja, ataukah buku harian yang memiliki hal-hal yang lain?

   Ok, kita mulai ceritanya yang berawal dari sebuah celetukan Udin di depan rumahku. Celetukan Udin di bab terakhir buku pertamaku. Tentang kuntilanak yang sudah aku lupakan setelah sekian tahun.

Nex!!!!!

   "Kuntilanak Yon!!! Kuntilanak!!!" Seru Udin sambil menunjuk nunjuk ke arah Kali Gimun yang ada di depan seberang rumahku. Udin tinggal di depan rumahku, tepat di mana Udin yang dulu tinggal. Kali Gimun yang dia maksud berada di belakang rumahnya. Aga ke sana lima puluh meteran lagi sih. "Bukan sapi penasaran!!" Dia ngamuk ketika ceritanya tidak aku percayai sama sekali.

   "Tapi, setahuku disana cuma ada sapi penasaran deh." Jawabku yang semakin menikmati amukan Udin. Udin berpawakan gemuk, bibir sedikit monyong, dan mata sangat lebar. "Mata sapi penasaran itu sangat lebar, Din. Bibirnya m..."

   "Brengsekk!!! Elu ngomongin Gua? Hah?" nah lho, benar juga, ciri-ciri nya kok mirip sama Udin yang sekarang. Wkwkwkw.

   "Bukan monyong Din." jawabku sambil menahan tawa. "Bibirnya mengeluarkan bau tak enak, gitu. Bukan monyong." dan makin ngamuk lah dia.

   "Ah, bodoh lah. Semoga kuntilanak itu nyamperin Elu!! Biar tau rasa Lu!!" Udin pun mempercepat langkahnya menuju sekolah. Aku mengikutinya. Yah, walaupun kita sering bertengkar, berdebat, dan lain sebagainya. Kami sudah bersahabat semenjak di kelas satu SMP. Kami satu sekolah di SMP negeri 39 Mulyorejo, Malang. Sekolah itu berada di sebelah timur kelurahan Mulyorejo. Tepat di tengah-tengah perbatasan antara Mulyorejo dan Desa Kresek.

   Di perempatan jalan. Angga Karisma menyapa kami, dia bersama Dika menunggu kami, karena kami memang selalu berangkat ke sekolah bersama-sama. Rumahnya Dika, ada di sebelah barat Masjid Al Barokah.

   Kami menuju ke arah selatan, dimana ada kelurahan Mulyorejo. Sekaligus kantor desa. Kantor desa itu berupa bangunan joglo, yang berdiri tepat berada di tengah-tengah dua pohon beringin kembar yang di tanam oleh Pak lurah pertama Desa Mulyorejo yang bernama Rawi.

   Ketika kami hampir sampai di depan kelurahan, kami melihat ada anak perempuan yang seumuran dengan kami. Dia berpawakan kecil, berambut hitam lurus yang di kuncir kuda, bermata sedikit sipit dan berkulit putih bersih. Dia bernama Levi, cicitnya Pak Rawi sang lurah pertama Desa Mulyorejo ini.

   Dia menyadari kalau kami memperhatikan dia, dan dia hanya menoleh sesaat saja, dan langsung berlalu begitu saja.

   "Gilaa... Levi makin cantik saja." Kata Angga sambil memperhatikan setiap langkah Levi.

   "Ga ada lawan boss." celetuk Udin.

   "Kamu asli sini kan Yon? Emangnya kamu ga kenal sama Levi?" tanya Dika kepadaku.

   "Yaah, begitulah." Jawabku sambil garuk-garuk kepala. Levi, bernama lengkap Levi Lazuardi. Bukan teman semasa kecil sih tepatnya. Dia adalah cucu dari teman masa kecilku yang bernama Efi Wulandari.

   Nah lho? Kok bisa Yon?

   Bisa lah, kan dulu kena kutukan ga bisa mati dan menua ketika di tumbal kan oleh Pak Rawi.

   Oh, yang di buku pertama itu?

   Ho'oh tenan. Makanya, silahkan baca dulu buku pertama ku. Hehehehe.

   "Yah begitulah?" Tanya Dika lagi.

   "Yaah. Aku ini suka grogi saat berada di dekat cewek. Jadi, teman cewekku cuma enol biji." jawabku.

   "Haa? Serius Lo?" Angga terperanjat ketika mendengar jawabanku.

   Hahahaha, bodoh ah. Mana mungkin aku menceritakan kisah masa laluku yang penuh dengan lika-liku kehidupan yang tak masuk akal.

   Ok gaes, buat yang pembaca setia mulai dari buku pertama, pasti keheranan, kok Levi ga menyapa ku padahal kami sempat berpetualang bersama. Kalian masih ingat bab terakhir di buku pertama kan? Naaah, ketika arwah Pak Rawi dan Efi mendatangi kami dan menceritakan kenyataan kalau Pak Rawi lah yang menumbalkan aku. Levi sepertinya tertidur di bahuku. awalnya aku kira dia hanya tertidur biasa. Tapi, aku salah gaes. Begitu dia bangun, dia kehilangan semua ingatannya. Siapa dirinya, namanya, bahkan nama bapak ibunya.

   Dia menjadi pemurung yang awalnya dia termasuk cewek yang hiperaktif, suka kluyuran, suka berbuat di luar Nurul. Dan lain sebagainya.

   Aku sudah beberapa kali mencoba untuk berbicara dengan dia. Tapi, dia sama sekali tidak pernah mau mendengarkan aku. Jadi, lambat Laun, aku menjaga jarak dengan dia.

   Sakit Yon?

   Tentu saja bego. Dia cewek yang aku sukai.

   Oh, kasihan. Sungguh kasian ~~

   Berisik Lo. Lanjut cerita ga?

   Ok, siap boss. Lanjutkan investigasi nya.

Nex

Di bab 2

:v

Bab 2. Eksplorasi Ke Kali Legend

Di sekolah, Udin bergerilya menceritakan kisah kuntilanak yang ada di belakang rumahnya. Kelas pun menjadi heboh di karenakan nya.

   "Sudah lah, jangan cerita yang aneh-aneh deh." kataku sambil membersihkan bangku sekolah ku yang berantakan.

   "Elu kalo ga percaya dengan cerita gue. Mending lu diem aja deh, Yon." sahut Udin dengan nada ketus.

   "Kuntilanak itu di belakang rumahmu kan? Bisa-bisa nanti malam elu di samperin lho, gara-gara elu ngegosip in dia." sahutku sambil mengeluarkan beberapa buku catatan dan buku LKS. "Heeh!! Siapa yang ambil penghapus Gua?"

   "Maaf, tadi aku pinjam sebentar. Aku mengambilnya ketika kamu ke kamar mandi." kata Levi sambil menyerahkan penghapus pensil ku.

   "Oh, aahh.. Ya, ga papa kok. Tak kira di maling."

   "Maaf, aku maling nya." kata Levi dengan nada datar.

   "Bukan begitu, aku kira.... Paling tidak, ketika melihat aku, kamu langsung bilang kalau kamu meminjam penghapus ku. Yaah, supaya aku tidak berpikiran buruk."

   Levi tidak menjawab perkataan ku, dia langsung duduk di bangkunya yang kebetulan dia memilih di sampingku.

  Ah, benar gaes, ini hari pertama masuk sekolah setelah kenaikan kelas. Sekarang aku sudah kelas tiga SMP. Dan kejadian Bab terakhir buku pertama itu sekitar kelas lima SD. Jadi, Levi sudah hilang ingatan sekitar lima tahun.

   Di kelas enam sampai kelas dua SMP, dia selalu menjaga jarak denganku. Tapi, entah kenapa sekarang dia memilih duduk satu meja denganku.

   "Namaku Levi Lazuardi." kata Levi pada akhirnya.

   "Ya?" Aku sedikit terkejut dengan kata-kata nya barusan.

   "Jadi, siapa namamu?" Kata Levi sambil menatap wajahku. "Aah, dulu, waktu masih kecil kamu sering main kerumahku ya? Kamu berkata kalau kita adalah teman sedari kecil. Maaf, tapi aku tidak ingat. Namamu juga sepertinya aku juga melupakannya."

   "Riyono Harianto. Itu namaku. Salam kenal." saat memperkenalkan diri barusan, ada rasa sakit di dalam hatiku. Seperti di iris pisau ini jantung hatiku. Bukan teman sedari kecil kok Vi. Tapi, aku mengenalmu hanya beberapa bulan saja, sebelum akhirnya kamu hilang ingatan.

   "Ya. Salam kenal." dia tersenyum sedikit ketika mengucapkan salam perkenalan tadi. Sial, hampir terjun bebas ini air mata. Sudah lama sekali aku tidak melihatnya tersenyum seperti itu. Yah, walaupun tadi hanya senyum tipis. Tapi, sudah sangat lebih dari cukup untuk mengobati rasa rindu ini.

   Aku berpaling ke arah depan. Dan aku melihat Angga, Udin dan Dika tersenyum menjengkelkan ke arahku. Cok, mereka memperhatikan aku dari tadi!!! Begitu mereka sadar aku melihat ke arah mereka, mereka langsung tertawa cekikikan.

Nex

   "Jadi, gimana gimana? Kita sidak ke Kali Gimun?" tanya Udin ketika jam istirahat pertama.

   "Ngapain kesana tong?" tanya ku.

   "Kuntilanak Yoon.. Kuntilanak!!!"

   "Astaga, hari gini masih percaya takhayul? Cape deh." kata Dika.

   "Ayolah, kita kesana bukan mencari keberadaan dia. Tapi cuma membuktikan kalau rumor kuntilanak yang muncul di belakang rumahku itu cuma gosip aja." Udin masih bersikeras.

    "Alah, pasti elu takut kan? Karena kuntilanak nya itu muncul di belakang rumahmu." sahut Dika.

   "Elu tadi cuma ngomong takayuki, eh takayul. Sekarang kok omonganmu beda sih?" protes Udin.

   "Tapi, sepertinya seru juga." kata Angga yang sedari tadi cuma mendengarkan obrolan kami. "Aku ada handycam baru. Sekalian kita rekam kondisi pekarangan belakang rumahnya Udin."

    "Nah, setelah itu di upload ke internet, siapa tahu kita bisa menjadi terkenal!!" seru Udin penuh semangat. Dia menatap kami secara bergantian. Angga yang sepemikiran dengan Udin, senyam senyum saja. Sedangkan aku dan Dika masih agak sedikit keberatan. "Come on, gaes. we prove the truth!"

   "Taik, ngomong apaan lu?" aku mencemooh kata-kata Udin yang sok bule itu.

   "Nggaa. Nanti, pokoknya kita kumpul di depan rumahku ya! Jangan lupa bawa handycam mu. Dika, elu bawa senter. Elu Yon. Kalo Elu ga keluar rumah, tak dobrak rumahmu."

   "Berani melakukannya, tak culek matamu, Din." jawabku tegas.

Nex

   Sorenya, ketika pulang sekolah. Seperti biasa, kami berjalan berempat sambil saling merangkul pundak. Bernyanyi nyanyi mirip orang gila, tertawa dan bersenda gurau ga karuan.

   Dan ketika kami sampai di seberang Kali Gimun. -Kali Gimun memang berada di belakang rumahnya Udin, tapi di seberang selatannya ada sawah yang tidak terlalu besar, dan selatannya lagi ada jalan menuju sekolah kami. Sebenarnya di sana ada sebuah jembatan kecil sih, tapi, aku dan Udin memiliki jalan sedikit memutar untuk bisa berangkat bersama dengan Angga dan Dika.- Saat itulah pandangan kami tertuju ke arah kali Gimun itu.

    Disana terlihat jelas ada sebuah rumah besar yang sudah beberapa tahun terakhir tidak ada yang menghuni nya. Di depan rumah tersebut ada sebuah pohon Nangka berukuran raksasa. Rumah itu di kelilingi oleh pohon salak yang berfungsi sebagai pagar pembatas.

   "Lewat sana yuk?" Tanpa aku sadari, aku tertarik dengan cerita Udin sedunia tadi pagi. Mungkin, ini karena masa laluku di buku pertama, hampir setiap hari aku berurusan dengan yang namanya setan.

   "Lho? Elu kesambet apaan Yon?" tanya Udin. "Elu tadi yang paling getol menolak."

   "Hehee. Penasaran aja. Masa iya sih, hari gini masih ada yang namanya setan." jawabku jujur. Ayolah, setelah kejadian di bab terakhir buku pertama, aku sama sekali tidak pernah bertemu, maupun berurusan dengan setan jin dan sejenisnya. "Jadi gimana?"

   "Ok," jawab Angga.

   "Gas Ken!!" teriak Dika.

   Dan kami berempat pun langsung berlari menyeberangi jalan untuk bisa menuju ke sawah. Kami berjalan susah payah di pematang sawah karena kami memakai sepatu, karena takut kotor, dan karena males mencucinya, mungkin itulah alasannya kami berjalan dengan tertatih di sana.

   Setelah sukses dengan rintangan pertama, kami harus menyeberangi jembatan kecil penghubung jalan raya Mulyorejo dan dunia antah berantah.

   Kali Gimun sudah berada tepat di depan kami. Di mana kisah ini bermula, dimana kisah horor di hidupku dimulai. Sudah beberapa tahun aku tidak lagi main kesini walaupun kali Gimun ini tak jauh berada dari rumahku. Tidak ada yang berubah, kecuali warna airnya. Dulu, airnya masih terbilang cukup bersih, tapi sekarang, airnya sudah benar-benar keruh berwarna kecoklatan, dan sesekali ada taik berwarna kuning keemasan mengambang di permukaannya. Bergerak dengan santai mengikuti arus kali Gimun yang cukup tenang.

   Saat aku melihat ke arah barat, ada air terjun kecil di sana. Dan ketika aku melihat ke arah timur, ada sebongkah batu yang cukup besar. Di ujung selatan, ada kali Lanang yang melegenda itu.

   Saat aku menghirup udara di sana. Entah kenapa perasaan rindu tiba-tiba menyeruak kembali di dalam diriku. "Aahh... Sudah lama tidak main kesini." tanpa sadar aku berkata demikian. Teman-teman menoleh ke arahku, dengan tatapan keheranan. Tapi mereka tidak berkomentar apa-apa.

   Aku orang yang pertama kali menyebrangi jembatan Sidratul Muntaha itu. Ok aman, walaupun waktu aku menyeberangi nya jembatan itu berteriak-teriak kesakitan. Angga orang kedua, disusul oleh Dika. Dan Udin lah orang yang terakhir menyeberangi kali Gimun ini.

   Tapi, dia tidak langsung menuju kami yang sudah berada di sisi lain kali Gimun. Udin malah berdiam diri di tengah-tengah jembatan itu sambil menatap ke arah rumah tua tersebut. Dia diam cukup lama, sehingga membuatku penasaran dengan apa yang dia lihat. Maka dari itu, aku ikut melihat ke arah yang dia lihat.

   Dia melihat ke arah balkon lantai dua rumah tua tersebut. Salah satu dahan pohon Nangka ada yang menyeruak ke sana. Seolah dahan itu adalah tangan monster yang menangkap mangsanya. Dan rumah tua itulah mangsanya.

   "Byur!!" suara benda terjatuh ke dalam air. Dan reflek aku menoleh ke arah tersebut.

   Udin hilang dari atas jembatan, dia tidak berada di sini manapun kali Gimun ini. Dia....

   "Wahahaha!!! Goblok!!! Ngapain lu Din?" Angga tertawa terbahak bahak ketika matanya tertuju ke arah Udin sedunia yang tercebur ke kali Gimun. Melihat itu, aku dan Dika ikutan tertawa.

   "Brengsekk Lu semua!!! Bukannya nolongin Gue, malah ngakak. Anjing kalian!!!" Udin ngomel-ngomel sambil berusaha ke arah kami.

   "Lagian, mana ada orang goblok berdiri di tengah-tengah jembatan reyot?" tanya ku.

   "Ayok!! Kita segera pergi dari sini!!! Ga pake lama!!" Udin langsung berlari setengah dia berhasil melangkah ke tepi kali Gimun.

   "Oii!! Ada apa Din?" teriakku sambil mengikuti Dia.

   "Oii!! Tunggu!!" Dika dan Angga pun mengikuti kami.

Bab 3. Kehebohan Di Sekolah

"Lu kenapa sih Din?" teriakku sambil berusaha untuk mengejar Udin yang tiba-tiba saja berlari ke arah rumahnya yang kebetulan tidak jauh dari kali Gimun ini. Lalu, sesampai nya dia di rumahnya, dia masuk melalui pintu belakang, masuk ke dalam rumahnya, lalu membanting pintu sekeras mungkin. "Heh! Kampret, Lu marah karena kita ketawain?" Tapi, dia tidak menjawab.

   "Kenapa tuh anak?" tanya Angga kepadaku.

   "Mungkin ngambek karena kita ketawain." jawabku.

   "Astaga, biasanya dia ga baper kayak gitu." sahut Dika.

   "Tapi, dia kayak habis lihat setan deh." kata Angga.

   "Hahaha. Mana mungkin boss." jawab Dika.

   Setelah itu, kami mencoba menggedor pintu belakang rumahnya Udin. Tapi, dia bergeming, tidak mau menjawab maupun membukakan pintu untuk kami. Jadi, dengan terpaksa kita pulang.

   "Jadi, nanti malam jadi ga?" tanya Angga?

   "Haa?" aku dan Dika keheranan karena tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Angga.

   "Sidak ke rumah tadi. Pake Handycam, penelusuran tempat angker!!!" jawab Angga penuh semangat.

   "Lebih baik jangan deh. Lihat si Udin, dia benar-benar ketakutan, kayaknya memang ada yang tidak beres di rumah itu." kataku. "Lebih baik, kita tanya Udin dulu, sebenarnya ada apa, dan mengapa dia sampai ketakutan kayaknya gitu."

   "Dia sama sekali ga mau menjawab panggilan kita!!" seru Dika penuh esmoni.

   "Besok, atau nanti malam saat ngaji ke masjid Al-Barkah, kita tanyakan ke dia." aku berkata sambil melongok sekali lagi ke arah rumahnya Udin. Dia terlihat sedang mengintip dari balik jendela ruang tamunya. "Oii!! Din!!" Tapi, ketika aku berteriak dan menghampiri Dia, dia malah menutup kordennya dan tidak menjawab panggilanku.

   "Sialan, kenapa sih dia?" kata Angga yang mengikuti ku ke depan teras rumahnya Udin.

   "Sudahlah, kita biarkan dia tenang dulu. Lebih baik kita bubar, hampir magrib." kata Dika.

Nex

   Dan ternyata, Udin tidak datang kepada masjid Al-Barkah untuk mengaji. Jadi, memang harus bertanya kepada dia besok pagi. Di masjid, aku Angga Dika, membicarakan tentang keadaan Udin tadi siang di kali Gimun. Dan, malam telah semakin larut, dan jam mengaji telah berakhir.

Nex

   "Dia bolos? Apa ijin?" tanya Angga ketika kami berpapasan di perempatan jalan keesokan paginya.

    "Entah, tadi saat aku mengetuk pintu rumahnya, ga ada yang menjawab maupun membukakan pintu." jawabku. "Dika mana?"

   "Belum kelihatan tuh." jawab Angga. "Sudah terlalu siang, apa kita berangkat dulu saja? Siapa tahu dia sudah berangkat lebih awal. Udin juga."

   "Yok. Gas Kuen."

Nex

   "Beneran!!! Aku sendiri melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!!!" Udin bercerita di sekolah dengan hebohnya. "Kuntilanak!!! Sampe sampe aku ga bisa tidur!! Kamu juga lihat kan, Dika?"

   "Maaf, aku sama sekali tidak melihatnya." jawab Dika.

   Saat ini, aku dan Angga memperhatikan mereka berdua sedang dei kerumuni oleh teman-teman sekelas. "Kayaknya, kita terlalu cemas terhadap Udin." kataku ke Angga.

    "Si bodoh itu membanggakan diri. Padahal kemarin dia ngacir ketakutan." jawab Angga.

   "Hahaha. Kita godain kah?"

   "Jangan, bikin repot aja. Takut dia baper lagi kayak kemarin." perbincangan ku dan Angga berakhir di sini, dan kami berdua menyimak cerita Udin dari jauh. Karena, si monyong itu kalau berbicara suaranya kenceng buanget.

   "Masa sih lu ga lihat?" tanya Udin kepada Dika. "Kan Elu juga melihat ke arah yang sama dengan Gua!"

   "Sori Din, tapi Gua memang ga melihat apa-apa kecuali buah nangka yang sudah masak di depan rumah itu."

   "Ah, terserah Lu dah."

   "Emangnya, ceritanya seperti apa sih?" tanya Dwi Yanuarizandi. Teman sekelas kami.

   "Seperti apa wajahnya?" tanya Putra Mulya Candra. Sang ketua kelas. Cowok paling ganteng di sekolah, di susul oleh Angga. Kalo aku mah, nomor buncit gantengnya. Wkwkkwwk

   "Jadi, kemarin saat aku, Angga, Riyono dan Dika pergi ke kali Gimun, disana saat aku berada di jembatan kayu, saat itu pandanganku tiba-tiba tertuju ke arah rumah tua yang ada di sana." Udin ambil posisi duduk di atas meja. Dan dia menari perhatian semua murid kelas kami. "Saat itulah ada sosok entah wanita atau laki-laki, aku kurang yakin. Dia mengintip dari balik jendela di lantai dua. Matanya full hitam semua, tidak ada bagian putihnya. Mulutnya tidak ada, dan karena sangat terkejut melihat pemandangan itu, aku terpeleset dan tercebur ke kali Gimun."

   "Terus?" tanya Levi. Oi, dia juga penasaran Tah? "Apa yang terjadi selanjutnya?"

   "Karena aku di ketawain sama mereka, aku jadi langsung kabur kerumah. Malu donk." jawab Udin.

   "Setelah itu?" Tanya Dwi Yanuarizandi, dia ambil posisi di samping Levi, dia berdempetan dengannya. Cih, awas lu Wi.

   "Ya aku langsung pulang, dan mandi deh." jawab Udin.

   "Ah, masa? Gitu aja?" gerutu Levi.

   "Ya iya lah. Niatnya, aku mau ngajak mereka explore kesana malam harinya. Tapi, setelah mandi, aku ketiduran, dan waktu bangun, hari sudah malam."

   "Kalo gitu, kenapa Elu watu di panggil Riyono dan Angga, Elu cuma ngintip dari jendela saja dan ga menyahut?" Protes Dika.

   "Haa? Ngintip?" jawab Udin sambil memasang wajah kebingungan. "Aku teriak dari dalam rumah kalau aku mau mandi dulu kok. Langsung ke kamar mandi kok, ga ngintip ngintip kok."

   "Serius?" Dika tidak percaya. "Yon!!" Dika memanggilku dari tempatnya duduk. "Sini-sini."

   Aku berjalan mendekati mereka. "Ya?"

   "Udin kemrin ngintip dari jendela ruang tamunya kan?" tanya Dika kepadaku. Dia juga menanyakan hal yang kepada Angga. "Ya kan?"

   Aku dan Angga mengangguk setuju. "Waktu itu Elu gau ajak bicara, Elu cuma menatap ke arahku doank."

   "Suer!! Gua langsung mandi!!" kata Udin.

   "Hahah.. Aneh." jawab Angga. "Sepertinya kuntilanak itu beneran ngikutin Elu deh, Din."

   "Selamat pagi anak-anak. Kumpulan tugas dan PR kalian kemarin." tanpa kami sadari, Pak Nur, wali kelas kami sudah duduk manis di bangkunya. Dan kami langsung kocar-kacir menuju bangku kami masing-masing. "Lalu, siapa saja yang tidak mengerjakan tugas dan PR. Silahkan maju kedepan."

   Udin dengan langkah gontai menuju arah yang dimaksud oleh Pak Nur. Di susul Denga dua anak lainnya. Satu cewek dan satu Cewok.

   'Cewok?' apaan tu bro?

   Cewek setengah Cowok bro. Alias cewek tomboi. Wkwkkw. Dah lah, lanjut jangan tanya tanya.

   Bentar, satu lagi. Kalo bencong?

   Ya jadi 'Cowek'. Dah. Lanjut!!

   Si cewek bernama Ine Febriyanti. Tingginya cuma seratus empat puluh centimeter an. Mirip bocah SD. Unyu unyu. Gemesin, pengen tak bungkus buat pajangan di lemari ruang tamu. Hehee.

   Si Cewok bernama Leny Anggraini. Potongan rambutnya emo. Pendiam, cool dan wajahnya cukup ganteng untuk ukuran cewek. Tapi, entah kenapa dia mempunyai aura tersendiri sehingga sangat menarik perhatian para cowok-cowok beken di sekolah ku ini.

   "Kenapa bisa tidak mengerjakan tugas anak-anak?" tanya Pak Nur kepada tiga mahluk tadi.

   "Kemarin kecapean pak. Habis jatuh ke sungai. Lalu ketiduran sampe tengah malam dan..." belum sempat Udin menyelesaikan kata-katanya, Pak Nur memotong perkataannya.

   "Alasan. Kamu di hukum menulis kata-kata 'Saya tidak mengerjakan PR' dua halaman penuh buku, dan pulang sebentar kerumah minta tandatangan bapakmu. Cepat!!" ujar Pak Nur penuh ketegasan. "Kamu Ine Febriyanti?"

   "Maaf pak, saya absen seminggu kemarin karena opname." jawabnya kalem.

   "Oh, iya. Lupa. Kamu langsung duduk sana. Tak maafkan." Ujar Pak Nur kalem. "Lenny?"

   "Kemarin saya sibuk bekerja pak. Saya yatim piatu, cari uang buat makan. Makan lebih penting daripada belajar." jawab Lenny dengan nada datar. Pak Nur pun langsung kelimpungan mendengar jawabannya barusan.

   "Besok-besok, jangan di ulangi. Dan kalau bisa kerjakan PR mu di sela-sela pekerjaanmu." Kata Pak Nur pada akhirnya.

   "Saya kerja sebagai koki pak. Jadi itu sangat mustahil. Seandainya nanti saya ga lulus sekolah, juga ga papa pak. Saya bisa langsung kerja saja. Capek pak, bapak ga pernah menjalani kehidupan yatim piatu sejak kecil seperti saya sih." Kata Lenny Anggraini penuh esmoni di dalam kata-katanya walaupun dia berusaha berbicara se cool mungkin. Dan Pak Nur semai kembang kempis dibuatnya.

   "Halah, sudah duduk sana!!" kata Pak Nur ketus. "Murid kok mawali ae."

   "Kalo aku pak?" tanya Udin.

   "Sudah selesai membuat tulisan yang bapak suruh tadi?" Udin menggeleng cepat. "Selesaikan secepatnya!! Dan jangan lupa tandatangan nya buapakmu!"

   "Wah, Pak Nur ga adil!!" teriak Udin. Dan Pak Nur pun langsung berdiri, mengambil penggaris papan tulis terbuat dari kayu yang berukuran besar dan langsung memukul bokong semok nya Udin tanpa ba-bi-bu lagi. Dan seisi kelas langsung tertawa terbahak bahak melihat kejadian itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!