Tsania Zoun adalah seorang anak perempuan yang berparas cantik dan cerdas. Tatapan teduh yang terpancar dari bola matanya menambah kesan kelembutan pada gadis itu.
Tsania dikenal tidak banyak bicara, sedari kecil ia sudah membatasi pergaulan. Bukan tidak ingin berteman, tapi keberadaan Tsania lah yang selalu ditolak oleh lingkungan sekitarnya.
Lahir dengan status tidak memiliki sosok ayah, Tsania sering diberi julukan sebagai anak haram. Sering kali saat Tsania ingin bergabung bermain dengan anak-anak sebaya di sekitar tempat tinggalnya, ejekan dan olokan akan lebih dulu menyambut kedatangannya.
"Anak haram! Anak haram datang! Tsania anak haram." Dengan bertepuk tangan para anak kecil itu mengatakan. Seperti melantunkan nyanyian wajib ketika melihat Tsania yang ingin bergabung bermain bersama mereka.
Tsania kecil hanya bisa menangis, ia berusaha membela diri pada teman-temannya jika dirinya bukanlah anak haram. "Tsania bukan anak haram."
"Kamu itu anak haram. Kamu tidak punya ayah." Salah satu anak perempuan dari banyaknya anak-anak yang bermain di lapangan itu maju dan menunjuk-nunjuk ke arah Tsania. Membuat Tsania kecil semakin menangis. "Kami semua di sini punya ayah. Danu dan Selvi juga punya ayah, meski ayah mereka sudah meninggal."
Mata basah Tsania menatap pada semua teman-temannya yang kini berdiri di depan dirinya. Tsania memang masih kecil saat itu, tapi ia cukup mengerti dengan apa yang anak perempuan di hadapannya ini katakan. Semua temannya memiliki ayah, meski ayah mereka sudah tiada. Sedangkan dirinya, ia bahkan sama sekali tidak mengetahui siapa ayahnya.
"Sudah sana pergi! Kami tidak ingin bermain dengan anak haram!"
Tsania yang untuk kesekian kalinya mendapat penolakan dari teman-temannya itu berlari. Gadis kecil itu bahkan menangis sepanjang jalan saat menuju rumah. Tatapan orang-orang kampung yang melihat Tsania berlari dengan terisak hanya memandang biasa. Kejadian seperti ini sudah sering terjadi, dan sepertinya mereka tidak peduli.
Tsania masuk ke dalam rumah yang bisa dibilang cukup bagus. Meski hidup hanya berdua dengan ibunya, Tsania tidak pernah merasakan kesulitan. Sandang, pangan serta sekolahnya terpenuhi dengan baik.
Dengan masih menangis, Tsania berjongkok tepat di tepi sofa yang ada di ruang tamu. Ia sesegukan menumpahkan perasaan sedih karena selalu ditolak oleh teman-temannya. Dalam benak Tsania sering bertanya apa salah dirinya, ia hanya ingin menghabiskan waktu sepulang sekolah dengan bermain, tapi temannya selalu mempermasalahkan dirinya yang tidak memiliki ayah.
Rumah Tsania terlihat sepi, ibunya yang bekerja dari malam sampai siang seperti ini belum juga kembali. Tsania bahkan sering ditinggalkan malam hari seorang diri. Apakah Tsania kecil merasa takut? Tentu saja, namun keadaan membuatnya mau tidak mau harus berani.
Suara tangis Tsania kini mulai mereda, dan bersamaan dengan itu pintu rumah kembali terbuka. Ibunya datang, Tsania rasanya ingin berlari, mengadukan semua kejadian di lapangan pada ibunya.
"Kau tidak mampir?"
Netra polos yang masih terdapat sisa tangis itu terpaku. Tsania mencondongkan tubuhnya, mengintip sang ibu yang kali ini diantar pulang ke rumah oleh pria yang mengenakan stelan jas rapi. Berbeda dengan sosok pria yang beberapa hari lalu Tsania lihat.
"Aku harus segera kembali ke kantor. Aku akan menjemputmu akhir pekan nanti."
Tsania kembali menyembunyikan tubuh kecilnya saat melihat ibu dan pria asing itu berciuman.
"Kenapa kau bersembunyi di sana?" Ibu Tsania yang bernama Laura Zoun itu menyadari keberadaan putrinya yang ada di sudut sofa. Ia masuk ke dalam rumah dan berdiri tidak jauh dari sofa.
Tsania keluar dari persembunyian, menampakkan tubuh kecilnya. Laura menatap wajah putrinya itu dan menyadari jika Tsania baru saja selesai menangis.
"Kau sudah makan? Ambil ini!" kata Laura seraya menyerahkan totebag yang berisi ayam goreng krispi dari restoran ternama.
Tsania mendekat dan meraihnya. Ia membawa ke atas meja yang ada di depan sofa. Ayam goreng krispi memanglah kesukaannya. Laura selalu tidak lupa membawakan Tsania buah tangan setiap kali ia pulang bekerja.
"Tunggu Mama ganti baju," ucap Laura pada Tsania.
Tsania mengangguk, ia juga dengan cepat pergi ke dapur mengambil alat makan, serta air minum untuk Laura dan dirinya. Sesaat kesedihan karena ejekan temannya hilang dari perasaan Tsania. Ia fokus menikmati ayam krispi bersama Laura.
"Apa ini dibelikan oleh Papa, Ma?" tanya Tsania polos dan berhasil membuat Laura yang tengah menikmati ayam krispi itu terhenti. Ia menatap tajam pada putrinya, membuat Tsania menjadi takut. "Maksud... Tsania. Apa Om yang...mengantar Mama tadi...yang membelikannya?" cicit Tsania meralat pertanyaan yang sebenarnya tidak ia sengaja.
"Mama sudah bilang jangan pernah menanyakan hal sembarangan." Laura terlihat kesal. Sepertinya pertanyaan Tsania membuat selera makannya hilang karena setelahnya, Laura meletakkan kembali ayam krispi ke dalam box kemasan.
"Maaf," lirih Tsania dengan menunduk. Air matanya bahkan kembali ingin berjatuhan. "Tsania hanya ingin tahu siapa papa Tsania."
"Papa! Papa! Papa! Selalu saja soal papa. Apa teman mu kembali mengejek mu yang tidak punya papa?" Laura sudah tahu kebiasaan anak-anak di lingkungan tempat tinggal mereka yang selalu mengolok Tsania. "Dengar ini baik-baik! Mereka semua benar. Kau sama sekali tidak memiliki papa, Tsania!! Ingat itu!! Kau tidak memiliki papa!!"
Laura segera beranjak masuk ke dalam kemaranya. Meninggalkan putrinya yang kembali menangis tanpa suara. Laura tidak ingin amarah menguasi dirinya dan membuat ia lepas kendali terhadap putri satu-satunya itu.
Hal seperti ini sering terjadi, bahkan hampir setiap hari. Tsania selalu menanyakan siapa ayahnya. Dan Laura tidak pernah memberikan jawaban. Membuat Tsania sering menduga salah satu di antara beberapa pria yang pernah menjemput dan mengantar Laura adalah ayahnya.
Pulang bekerja dengan membawa rasa lelah, membuat Laura sempat bersuara keras terhadap Tsania. Ia menyesali itu. Di dalam kamar, Laura terdiam dengan duduk di atas tempat tidur.
Tentang Tsania yang selalu menanyakan siapa ayahnya bukanlah tidak mengusik perasaan Laura. Tapi Laura berusaha tidak perduli dengan cara tidak menjawab pertanyaan sang putri, ia ingin lepas dari masa lalu. Luka itu masih ia simpan. Menjalani kehidupan keras seorang diri tidak lah mudah. Terlebih kini Laura memiliki Tsania yang kehidupannya harus Laura pastikan bahagia.
Laura bukanlah wanita dari keluarga kaya raya, juga tidak memiliki latar pendidikan yang tinggi, ia hanya wanita yang hidup sebatang kara. Setelah melahirkan Tsania, Laura memilih menenggelamkan diri pada pekatnya dunia malam. Ia bekerja sebagai wanita penghibur. Parasnya yang cantik mampu memikat para pria hidung belang yang selalu bersikap royal terhadap dirinya.
***
Jangan lupa tinggalkan jejak guys 😉
Semoga banyak yang membersamai Tsania Laura sampai akhir ya🥰. Biar tensinya mucuk 😂 eehhhh retensi maksudnya 😆🤣
Tok!
Tok!
Tok!
Ketukan pintu terdengar, membuat Laura yang sedang duduk melamun di dalam kamar itu tersadar. Ia beranjak mendekat pada pintu dan membukanya.
Tsania lah yang Laura dapati ada di luar kamar. Putri kecilnya itu menatap ia dengan sendu.
"Ada yang mencari Mama di luar," kata Tsania lirih.
Mendengar jika ada yang mencarinya, Laura segera menutup pintu kamar dan langsung menuju ke teras rumah.
Sedangkan Tsania mengikuti Ibunya dan ia berhenti tepat di tepi sofa. Gadis kecil itu kembali berdiri dengan hanya melepaskan pandangan. Tubuhnya kembali ia sembunyikan di balik sofa, persis seperti orang yang sedang mengintip.
"Nah... Ini dia jalangnya." Ternyata sekumpulan ibu-ibu yang berada di lingkungan tempat tinggal Laura kini sudah memenuhi teras rumah. "Hey Laura! Kamu itu ya...sudah meresahkan warga di kampung ini. Kamu itu pelacur kan, yang menjual diri di club malam tepi kota itu!!"
Salah satu Ibu-ibu dengan tubuh yang gempal serta mengenakan daster bercorak harimau bersuara sarkas pada Laura. Di seluruh tubuhnya penuh dengan perhiasan berwarna kuning. Orang-orang biasa menyebutnya Ibu Watt, karena ia memiliki nama Wati Tiyati.
"Iya benar! Kamu itu jalang. Bahaya jika di lingkungan kita ada wanita murahan seperti dia. Bisa-bisa para suami kita akan termakan godaan perempuan gatal ini!!" lanjut Ibu-ibu yang lain menimpali. Dan banyak lagi cercaan yang gerombolan ibu-ibu itu katakan untuk menghina Laura.
Laura hanya memandang dengan datar. Mereka memang selalu suka mengusik ketenangan Laura. Jika Tsania selalu diolok-olok sebagai anak haram, maka Laura mendapatkannya dari para ibu-ibu yang ada disekitar tempat tinggalnya.
"Sebaiknya kalian pulang," kata Laura datar. "Berdandanlah secantik mungkin, sebelum suami kalian benar-benar aku goda!!"
Setelah mengatakan hal itu, Laura menutup kasar pintu rumah dan menguncinya. Apa yang dikatakan Laura hanya lah ancaman yang jelas tidak akan ia lakukan. Laura tidak pernah ingin menggoda pria di lingkungan tempat tinggalnya. Ia memang wanita malam dan Laura bekerja hanya untuk para pria yang sanggup membayar jasanya, itu pun harus melalui pemilik club tempat ia bekerja.
Kehidupan dengan banyaknya cercaan bertahun-tahun Laura lalui bersama Tsania. Disisihkan oleh masyarakat karena pekerjaan rendah yang ia geluti. Sakit, sedih, kecewa bahkan malu, semua perasaan itu sepertinya sudah hilang dari Laura. Keadaan memaksa dirinya untuk kuat dan bertahan dalam kondisi sesulit apa pun. Ia menulikan telinga dan menutup hati terhadap semua perkataan warga. Dan pada kenyataannya, Laura menyadari jika pekerjaan yang ia geluti memanglah salah.
"Mama akan pergi bekerja?" tanya gadis cantik itu saat melihat Ibunya yang sudah mengenakan long dress berwarna ungu muda.
Seiring berjalannya waktu, Laura kini sudah memasuki kepala empat. Tapi kecantikannya seakan tak berkurang, tak mampu terkikis oleh waktu. Ia bahkan semakin terlihat anggun jika memoles diri dengan sedikit sentuhan mode masa kini. Laura juga menatap pada Tsania yang sekarang beranjak dewasa. Putri satu-satunya itu bahkan tidak lama lagi akan masuk ke perguruan tinggi.
"Ya, tapi hanya ingin menemui teman Mama, lalu melihat club sebentar dan Mama akan langsung pulang," terang Laura pada putrinya.
Laura kini sudah berhenti menjadi wanita penghibur. Ia mengakhiri pekerjannya yang salah itu tiga tahun yang lalu, tepat saat Tsania baru memasuki sekolah menengah atas, namun Laura tidak sepenuhnya meninggalkan dunia malam yang selama ini jadi sumber kehidupan. Ia membuka club pribadi dan menjadi bos di sana.
"Ada apa?" tanya Laura karena melihat Tsania yang seperti ingin mengatakan sesuatu.
"Aku..." Tsania terlihat ragu saat ingin melanjutkan perkataannya. Kedua tangan yang ia sembunyikan di belakang tubuh bergerak-gerak dan itu menjadi perhatian Laura.
"Perlihatkan pada Mama," pinta Laura. Tangannya menengadah ke hadapan Tsania. "Ayo!" kata Laura lagi karena Tsania yang belum juga menyerahkan apa yang putrinya itu sembunyikan di balik tubuh.
Dengan ragu-ragu, akhirnya tangan Tsania bergerak. Meletakkan dengan pelan secarik kertas di atas telapak tangan ibunya.
Sesaat Laura membaca apa yang tertuang di sana. Dan raut wajahnya seketika berubah dingin, membuat Tsania yang melihat itu segera tertunduk lemah. Tentu Mama tidak akan memberi izin, batin Tsania sendu.
"Kau menginginkannya?" Pertanyaan Laura membuat Tsania langsung mengangkat pandang dan menatap serius pada wajah ibunya. "Kau ingin melanjutkan sekolah di sini?" Laura mengangkat kertas yang ada di tangannya. Dan ia langsung mendapati anggukan cepat dari Tsania.
Menyadari betapa besar keinginan Tsania untuk melanjutkan pendidikan di kota membuat Laura terdiam. Melepas Tsania pergi ke kota seorang diri, memikirkannya saja Laura sudah merasa takut.
Laura menatap kembali kertas yang Tsania berikan. Kertas yang merupakan formulir pendaftaran masuk perguruan tinggi.
"Aku tidak akan melakukannya," ucap Tsania tiba-tiba. "Aku hanya ingin fokus sekolah dan mengejar cita-cita ku."
Tsania begitu ingat, saat di mana dulu ibunya pernah marah begitu besar ketika ia yang mengatakan akan ke kota untuk mencari keberadaan ayahnya.
Tsania saat itu masih remaja. Ia yang duduk dibangku sekolah menengah pertama dan memiliki jiwa muda yang meledak-ledak sempat berkeinginan pergi ke kota karena salah satu warga mengatakan jika ayahnya bekerja di sana.
Laura dan Tsania bertengkar hebat. Laura bahkan mengurung putrinya itu hingga Tsania jatuh sakit. Laura membawa putrinya ke rumah sakit dan Tsania dirawat beberapa hari di sana. Berhari-hari itu lah Laura berjaga, ia bahkan kurang tidur demi menunggui sang anak, rasa sesal seketika hadir di hati Laura.
Dan tak jauh berbeda dengan Tsania. Semenjak kejadian itu dan melihat perjuangan Laura, pikiran Tsania terbuka. Ia menyesali sikapnya. Semua yang ia dan ibunya lalui sejauh ini tidaklah mudah. Semestinya ia tidak menuntut banyak hal lagi pada Laura, termasuk menanyakan siapa ayahnya.
Tsania memutuskan untuk tak lagi mempertanyakan siapa dan di mana sosok pria yang seharusnya bertanggung jawab atas kehidupan ia dan ibunya. Tsania bertekad untuk sukses, ia harus memastikan jika kehidupan ibunya kedepan akan bahagia.
"Baiklah," putus Laura akhirnya memberikan izin. Tubuhnya bahkan hampir terhuyung saat Tsania yang dengan tiba-tiba memeluknya erat.
"Terimakasih, Ma. Tsania janji, Tsania akan bersungguh-sungguh dan tidak akan mengecewakan Mama."
Laura tersenyum kecil dan membalas pelukan putrinya itu. "Mama akan siapkan uang pendaftarannya."
"No! No...No...No...," kata Tsania dengan segera melepaskan pelukan lalu menggerakkan jari telunjuk ke kiri dan kanan. "Aku akan melakukan pendaftaran melalui jalur beasiswa, Ma."
Tsania memang merupakan murid berprestasi di sekolahnya. Putri Laura itu selalu menyabet gelar juara dengan nilai sempurna. Hal yang patut Laura banggakan karena ia mampu membesarkan Tsania dengan baik, meski hanya berjuang seorang diri bahkan sampai menjual diri.
"Benarkah?" tanya Laura memastikan. Ia tidaklah paham jika hal itu berkaitan dengan masalah akademi. Laura bukan bodoh, tapi karena latar pendidikannya yang rendah, pengetahuan Laura terhadap sesuatu sangat terbatas. "Kau pasti tetap akan membutuhkan uang nanti. Mama akan mengambilnya."
"Semua sudah ditanggung jika aku lulus melalui jalur ini, Ma. Bahkan tempat tinggal juga."
"Kau akan tinggal di asrama?" Laura menatap Tsania yang memberikan anggukan. "Baiklah, kalau begitu, Mama pergi dulu."
Tsania mengantar ibunya hingga ke teras rumah. Ia juga melihat jika sudah ada mobil mewah yang menunggu. Seorang pria dewasa berkulit putih bersih terlihat keluar menyambut Laura yang mendekat dan langsung membukakan pintu mobil penumpang bagian depan, pria itu terlihat bahagia saat menatap Laura.
Perlakuan manis yang pria itu berikan pada ibunya diperhatikan baik oleh Tsania. Ia juga tersenyum dan mengangguk kecil kala pria itu melihatnya dan memberikan senyuman sebelum akhirnya sedikit berlari menuju sisi mobil bagian kemudi.
"Kau terlihat berbeda," suara pria dewasa yang kini tengah mengemudikan mobil mewahnya itu terdengar. Ia menatap sekilas pada wanita cantik yang ada di sampingnya. "Apa terjadi sesuatu dengan Tsania?"
"Tidak."
Pria dewasa bernama Ardi Lim itu mengangguk kecil. Ia sudah paham betul dengan sifat Laura. Wanita cantik yang sebenarnya ia suka itu tidak akan pernah ingin menceritakan masalah pribadi pada siapa pun.
Ardi Lim adalah seorang pengusaha yang berstatus duda. Usianya kini menginjak empat puluh lima tahun. Ia berpisah karena penghianatan yang mantan istrinya lakukan bersama asisten pribadinya. Ardi jatuh ke titik terendah dalam hidup saat orang-orang yang begitu ia percaya dengan licik bermain api, beberapa aset mewah yang ia miliki bahkan raib di tangan sang mantan dan asistennya.
Mabuk-mabukkan, bermain perempuan dan setiap malam mengunjungi club jadi tempat pelarian Ardi Lim setelah dikhianati. Dan disaat itulah ia bertemu dengan Laura. Wanita cantik yang salah satu clubnya Ardi selalu datangi.
Awalnya Ardi sempat ingin menggunakan jasa Laura, namun tidak bisa, karena setelah memiliki club sendiri Laura sepenuhnya menarik diri dari pekerjaan sebagai wanita penghibur. Sepertinya paras Laura yang cantik mampu membuat Ardi Lim tertarik meski usia Laura sudah tidak muda lagi.
"Kita sudah sampai," kata Ardi. Ia memperhatikan Laura yang ternyata masih melamun. "Hey, kita sudah sampai," bisik Ardi dan membuat Laura terkesiap.
"Tuan! Kau mengagetkanku!"
"Berhenti memanggil ku Tuan," dengus Ardi kesal pada Laura. "Bukankah kita teman. Kau sudah berjanji dengan hal itu, Laura."
Laura menghela napas saat mendengar perkataan Ardi. "Sebaiknya kita segera keluar. Acaranya pasti sudah dimulai." Tanpa menunggu persetujuan Ardi, Laura segera keluar dari dalam mobil. Meninggalkan Ardi yang juga terlihat menghela napas. Sulit sekali untuk Ardi menaklukan hati Laura.
Keduanya kini berjalan memasuki hotel berbintang dan segera diarahkan menuju ball room oleh pegawai hotel. Karena tidak ingin datang seorang diri, Ardi sengaja membawa Laura untuk menjadi pasangan dirinya saat menghadiri acara yang merupakan anniversary dari relasi bisnisnya.
Kebanyakan tamu undangan yang hadir adalah para pebisnis, karena ini merupakan salah satu pesta yang diadakan oleh pebisnis besar. Laura juga terlihat tenang berjalan di sisi Ardi dan sesekali ikut tersenyum kecil saat beberapa kolega menyapa Ardi.
"Tuan Lim!" panggil seseorang yang membuat langkah Ardi dan Laura terhenti saat ingin mendekat pada pemilik acara. "Selamat malam. Apa kabar Anda, Tuan Lim?"
"Tuan Farhan! Senang bisa bertemu dengan Anda lagi." Ardi menjabat tangan pria yang usianya sekitar enam puluhan. "Kabar saya baik. Bagaimana dengan Anda?"
"Sangat baik," ucap Tuan Farhan ramah. Ia kemudian menatap pada Laura yang berada di sisi Ardi. "Ternyata kau datang bersama Nyonya Lim," lanjutnya lagi dengan tersenyum.
Ardi dan Laura yang mendengar perkataan Tuan Farhan memberikan reaksi yang berbeda. Ardi tersenyum hingga wajahnya bahkan merona. Berbeda dengan Laura yang terlihat biasa saja meski ia sempat memberikan senyum kecil pada Tuan Farhan.
Laura tidak mungkin membantah, ia tidak ingin mempermalukan Ardi di depan rekan kerjanya. Sehingga Laura hanya membiarkan saja pendapat itu seperti angin yang berlalu. Toh ia tidak akan lagi bertemu dengan orang-orang yang ada di pesta ini, pikir Laura.
Merasa cukup berbasa-basi dengan rekan bisnis, Ardi dan Laura kembali menuju di mana tempat pemilik acara berada, namun tanpa diduga langkah Laura kembali terhenti karena ia yang tidak sengaja menabrak seseorang.
"Maaf Nyonya, saya tidak sengaja." Tanpa melihat wajah orang yang ia tabrak Laura segera meraih buket bunga yang sedikit berantakan di atas lantai.
"Sayang kau kenapa?"
Suara bariton yang terdengar begitu khawatir itu mendekat. Membuat gerakan Laura terhenti dari aktivitas nya.
"Tidak apa-apa. Nyonya ini hanya tidak sengaja menabrak ku."
Deg!
Aliran darah di tubuh Laura seketika berdesir cepat. Dengan posisi masih berjongkok ia terdiam membisu, tangannya sudah berhasil mengumpulkan rangkaian bunga milik wanita yang ditabraknya. Suara dari dua orang itu begitu tidak asing di telinga Laura. Ia mengenalnya. Ia masih mengingat meski sudah puluhan tahun berlalu.
"Istri Anda sudah berjalan dengan tidak hati-hati, bagaimana jika istri saya terluka karena kecerobohan istri Anda?!" Pria yang merupakan suami dari wanita yang Laura tabrak tadi langsung bersuara arogan pada Ardi Lim.
Jika dilihat dari penampilan, keduanya memiliki usia yang tidak jauh berbeda. Ardi sempat meminta maaf pada pasangan suami istri itu, kemudian ia segera ikut berjongkok, mendekat pada Laura. Entah kenapa Laura tidak kunjung beranjak dari posisinya.
"Sudah. Tidak apa-apa," bisik Ardi pelan pada Laura. Ardi berusaha menenangkan Laura, ia menilai jika Laura merasa takut atau tidak nyaman karena telah menyebabkan insiden kecil.
Akan tetapi diluar perkiraan Ardi. Saat ia meraih buket bunga di tangan Laura, Laura dengan cepat beranjak berdiri, berbalik dan segera berlalu pergi.
Ardi melihat itu tentu saja dengan cepat mengejar Laura. Ia lebih dulu menyerahkan buket bunga pada pasangan tadi dan kembali meminta maaf atas kejadian kecil yang sempat terjadi.
"Tunggu Laura!" Ardi dengan cepat meraih tangan Laura. Entah mengapa langkah Laura begitu cepat, padahal ia tengah mengenakan long dress yang seharusnya membatasi pergerakan Laura.
"Lepas!!" Laura menatap Ardi tajam dengan mata yang sudah memerah.
Ardi semakin tidak mengerti dengan sikap yang ditunjukkan Laura secara tiba-tiba. Dengan perlahan Ardi melepas cekalan tangannya dari Laura.
"Sorry," kata Ardi. Ia menatap dalam wanita yang kini ada di hadapannya. Ardi sendiri bingung ingin berkata apa, tapi melihat keadaan Laura, ia berinisiatif lebih dulu untuk mengantarkan Laura pulang, meski beribu tanya ada di benak Ardi.
Sepanjang jalan keduanya diam. Ardi sesekali melirik pada Laura yang terlihat melamun. Setelah beberapa saat menempuh perjalanan karena tempat tinggal Laura yang berada di tepi kota akhirnya mereka tiba dan Ardi menghentikan mobilnya di pekarangan rumah.
"Maaf karena tidak bisa menemani mu sampai akhir acara," kata Laura pada Ardi Lim.
"Tidak apa-apa. Aku juga tidak terlalu suka dengan pesta seperti itu."
Laura menoleh pada Ardi. Ekspresi wanita itu seakan tidak percaya dengan apa yang Ardi Lim katakan. Jika tidak suka pesta lalu kenapa hampir setiap malam Ardi mendatangi club milik Laura.
"Jangan menatap ku seperti itu! Aku bukan penjahat. Aku sudah berhenti, tidak pernah lagi bermain wanita," kata Ardi Lim panjang lebar. Entah apa gunanya ia menjelaskan pada Laura yang sama sekali tidak bertanya. "Aku hanya belum bisa berhenti minum, tapi aku sudah lumayan bisa mengendalikannya."
"Kalau begitu jangan berhenti!" kata Laura seraya mengembalikan tatapan ke arah depan dan kini berbalik Ardi Lim yang memperhatikannya. "Itu hanya akan membuat pelanggan di clubku berkurang."
Merasa tidak ada suara, Laura kembali menoleh dan ternyata Ardi masih memperhatikan dirinya. Keduanya saling menatap dan tak lama setelahnya mereka tertawa.
Laura keluar dari dalam mobil dan segera masuk ke dalam rumahnya. Sedangkan Ardi, pria itu terlihat tidak memiliki keinginan untuk menyalakan kendaraan. Ia masih duduk dengan mengunci hunian yang kini ada di depan mata.
Laura Zoun, mantan kupu-kupu malam. Dan kini beralih profesi sebagai pemilik club. Wanita yang di lingkungan sosialnya selalu tersisihkan.
Ardi bisa melihat jika tawa yang diberikan Laura tadi tidaklah sepenuhnya. Banyak hal yang wanita itu simpan. Laura begitu lihai menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Hal itu semakin membuat Ardi ingin mengenal jauh sosok Laura. Wanita yang pernah bekerja sebagai wanita penghibur dan kini memiliki club pribadi itu benar-benar telah mencuri perhatian Ardi sepenuhnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!