“Mas aku mau ngomong sama kamu,” ujar Siska, ia buru-buru menghampiriku saat baru saja pulang bekerja, aku tahu ia sengaja melakukan hal itu, karena kalau tidak seperti ini diriku sulit sekali untuk diajak berbicara.
Jujur saja, aku sudah mulai bosan dengan suaranya. Aku ingin cepat-cepat masuk kamar.
“Mau ngomong apa? Aku lagi sibuk, aku capek loh baru pulang kerja, masih banyak pekerjaan yang belum selesai di restoran. Tolong jangan bikin aku tambah pusing.”
“Aku cuma mau ngomong sebentar, tolong dengarkan sekali saja perkataanku, ini tentang anak kita, Mas.”
“Aduh, memangnya anak kita kenapa lagi? Apa dia buat masalah di sekolahnya?”
“Bukan gitu, Mas.”
“Lalu apa?” Terlihat raut wajah Siska, aku tahu dia kecewa atas sikapku. Tapi mau bagaimana lagi. Aku benar-benar sudah lelah.
"Aku tahu kamu lelah, tapi tolong dengar kan ucapanku. Ini demi anak kita."
"Tidak bisakah di lain waktu untuk membicarakan anak kita. Aku yakin sekali, pasti masalah ini enggak jauh-jauh dari sekolah."
“Bukan, Mas, anak kita mau—“
Sebelum dia melanjutkan pembicaraan, aku langsung menghentikannya. “Maaf, ya. Aku lagi banyak pikiran, bicaranya nanti saja ya. Akhir-akhir ini keadaan Resto lagi buruk. Tolong jangan ganggu aku dulu ya, untuk masalah anak sebisa mungkin kamu yang handle dulu, kalau kamu tidak bisa, baru kamu bicara lagi sama aku. Aku mohon sama kamu mengertilah untuk saat ini.”
“Tapi, Mas—“ Tanpa mau mendengarkan ucapannya lagi. Aku lebih memilih masuk ke dalam kamar, dan menutupnya rapat-rapat. Aku benar-benar tidak ingin diganggu olehnya.
Sedangkan Siska, masih diam di tempat sambil menatap pintu kamar yang sudah tertutup rapat. Melihat sikap suaminya yang akhir-akhir ini berubah, membuat perasaan Siska tidak karuan. Ia ingin sekali menepis pikiran buruk tentang suaminya yang sudah berubah beberapa bulan ini, tetapi selalu ia tepis, ia selalu berpikir bahwa suaminya adalah yang terbaik, dan ayah yang baik untuk anak untuk anaknya.
Walaupun Siska sering kali diabaikan oleh suaminya, ia tetap bercerita. Namun sayang, usaha yang sudah ia lakukan agar mendapatkan perhatian suaminya selalu berakhir dengan rasa kecewa, suaminya lebih memilih bermain ponsel ketimbang mendengarkan ucapan dirinya.
...****************...
“Mah, ada yang mau aku bicarakan sama kamu," ujarku.
“Bicara apa, Mas?” Dahiku berkerut, aku bingung melihat wajah Siska yang begitu senang ketika aku mengajak bicara. "Tumben kamu mau bicara sama aku?"
"Memangnya tidak boleh, kalau aku bicara sama kamu?" ketusku, pagi-pagi sudah bikin suasan tidak enak saja. Kenapa sih dia harus berlebihan seperti itu. Hanya diajak bicara saja sudah senang.
"Bukanya enggak boleh, aku cuma senang aja kok, sudah lama kita berdua tidak pernah berbicara. Ngomong-ngomong kamu mau bahas apa nih?"
“Ini tentang resto kita, akhir-akhir ini keadaan resto tidak stabil. Omset yang kita dapat setiap bulan selalu menurun.”
“Masa sih, Mas? Bukanya Resto kita selalu ramai ya setiap hari. Beberapa minggu yang lalu aku sempat datang ke sana untuk melihat keadaan resto.” Aku cukup terkejut dengan pengakuan dirinya. Untuk apa dia datang ke Resto?
“Siapa yang suruh kamu datang ke Resto!” Siska terkejut mendengar suaraku yang sedikit meninggi.
“Mas, kamu—“
“Kamu jangan lancang ya, datang ke resto tanpa seizin suami. Aku enggak suka kamu datang ke Resto seenak jidat kamu!” Aku langsung menutup mulut dengan tanganku. tiba-tiba saja rasa sesal ini datang menyelimuti hatiku. Bagaimana ini?
“Barusan kamu meninggikan suara?” Aku baru sadar bahwa aku telah melakukan kesalahan di depan Siska. “Sejak kapan nada bicaramu jadi meninggi seperti tadi, Mas? Baru kali ini aku dengar suara kamu seperti itu selama kita menikah.”
“Ma ... Maaf, aku enggak sengaja meninggikan suara di depan kamu. Aku Cuma kelepasan saja.” Terlihat tatapan Siska begitu kecewa dengan diriku, bahkan kelopak matanya sudah mengembun.
“Kamu berubah, Mas,” lirih Siska disertai suara parau.
“Maksud kamu?”
“Di mataku, kamu seperti orang lain, Mas. Kamu seperti bukan suamiku atau Ayah bagi anak kita, akhir-akhir ini sikap kamu juga berubah menjadi dingin, dan lebih parahnya lagi kamu seperti tidak peduli dengan anak kita, setiap kali anak kita ingin mengajak jalan-jalan di akhir pekan, kamu selalu menolaknya dengan alasan terlalu sibuk dengan Resto, hingga akhirnya anak kamu mulai menyerah untuk tidak lagi meminta dirimu untuk menemani jalan-jalan. Itulah sebabnya aku ingin berbicara kepadamu, tentang anak kita."
“Mah, maaf. Aku benar-benar tidak sengaja, aku enggak bermaksud seperti itu. Tolong mengertilah. Akhir-akhir ini kepalaku lagi pusing, memikirkan omset Resto, tahun ini benar-benar sangat kacau. Maka dari itu aku mau membicarakan masalah ini sama kamu. Mulai besok aku akan selalu menginap di resto dan akan jarang pulang ke rumah sampai keadaan Resto benar-benar stabil, jika semuanya sudah beres. Aku akan pulang setiap hari seperti biasanya, tapi untuk kali ini aku akan menginap di sana dan akan pulang seminggu sekali, karena aku juga butuh bantuan teman untuk ikut mengelola restoran.” Terlihat dahi Siska berkerut, terlihat dari wajahnya kalau Siska sulit sekali untuk mempercayai kata-kataku.
“Kenapa kamu sampai harus menginap di restoran? Sebelumnya kamu tidak pernah melakukan ini, padahal dulu awal-awal kita membangun restoran. Kita pernah merasakan yang namanya restoran hampir bangkrut, tapi tidak pernah tuh kamu sampai menginap segala untuk mengurus semuanya, apalagi sampai meminta bantuan teman untuk mengelola bisnis kita, memangnya aku tidak bisa membantu dirimu untuk mengelola restoran. Kenapa harus orang lain yang ikut turun tangan.” Jujur saja Siska sedikit tidak terima jika ada orang asing yang ikut mengelola restoran. Walaupun itu temanku, aku tahu hal seperti ini sangatlah sensitif, apalagi ini berhubungan dengan keuangan dan juga pendapatan omset setiap bulan, jadi Siska benar-benar harus berhati-hati agar tidak ada orang lain ikut mengelola restoran karena hal ini sangatlah berbahaya bagi masa depan restoran tersebut. Tapi aku tidak peduli akan hal itu, toh Siska hanya sibuk mengurus rumah dan anak saja
“Kamu nggak akan mengerti masalahnya.”
“Masalah apa yang tidak aku mengerti? Kamu tahu sendiri kan aku wanita seperti apa, sebelum kita berdua menikah aku juga punya usaha kok, bahkan pengalaman mengelola usaha sudah bagus selama kuliah dulu.”
“Dulu dan sekarang berbeda, jangan kamu samakkan, intinya aku akan menginap ke resto dan kamu tidak akan aku izinkan untuk datang ke sana karena aku tidak mau kamu ikut khawatir dengan keadaan Resto, biar aku yang menghandle.”
“Tapi, Mas—“
“Cukup sampai sini pembicaraan kita, karena hanya itu yang ingin aku sampaikan ke kamu, mulai detik ini kamu jangan terlalu ikut campur dengan urusan Resto, kamu fokus saja dengan pekerja rumah tangga, dan juga anak kita.”
Semenjak kejadian itu aku benar-benar menepati apa yang aku katakan padanya, setiap hari aku selalu menginap ke Resto, dan akan pulang seminggu sekali, setiap kali istriku mengajak untuk pulang ke rumah , aku selalu menolak dengan alasan yang selalu sama. Sekalinya pulang ke rumah itu hanya seminggu sekali selebihnya aku selalu menginap di sana.
Walaupun Siska sangat Penasaran sekali dengan keadaan Resto, tapi ia tidak bisa membantah perintah perintahku untuk tidak datang ke sana. Biarlah semua urusan itu resto aku yang menangani, yang penting Siska hanya fokus terhadap anak, aku tidak mau dia ikut campur urusanku.
...****************...
“Mah, kemarin aku lihat Ayah di Mall,” ujar sang anak bernama Angga.
“Mah, kemarin aku lihat Ayah di Mall,” ujar sang anak bernama Angga
“Kapan kamu lihat Ayah di mall?” Masalahnya, suaminya itu selalu berada di resto karena alasan sibuk jadi sangat mustahil sekali jika suaminya pergi keluar apalagi ke mall seorang diri.
“Sebenarnya kejadiannya sudah cukup lama, Mah. Angga lihat ayah di mall sama seorang perempuan dan juga anak kecil, Angga enggak sengaja lihat ayah pas Angga diajak sama teman-teman pergi ke mall.”
“Kamu yakin lihat ayah kamu di mall? Kamu enggak salah lihat kan, bukannya kamu pergi ke mall itu sudah satu bulan yang lalu ya, waktu itu kamu minta izin sama mamah, karena diajak pergi ke mall sama teman-teman.”
“Iya, Mah. Aku yakin kok, kalau itu ayah, cuman yang bikin aku heran kenapa ayah bisa jalan sama perempuan lain, bahkan ayah menggendong seorang anak kecil.” Siska langsung memeluk buah hatinya, mendengar akan hal itu membuat dada Siska sedikit bergemuruh. Bagaimana bisa suaminya pergi ke mall, sedangkan dirinya selalu menolak untuk pulang ke rumah. Ingin tidak percaya, tapi anaknya tidak pernah bohong.
“Kok bisa ya, ayah pergi ke mall tanpa mengajak kita berdua? Biasanya setiap Minggu, ayah selalu ajak kita berdua jalan-jalan, tapi kenapa ayah malah pergi dengan orang lain.” Terlihat raut wajah kecewa anaknya membuat hati Siska sakit, jika memang benar suaminya jalan dengan perempuan lain, itu artinya suaminya telah melakukan penghianatan di belakang dirinya.
"Untuk masalah ini, kamu tidak perlu ngomong sama ayah, biar mamah yang cari tahu. Siapa tahu kamu memang salah lihat." Siska sengaja berkata seperti itu, karena tidak mau mental anaknya terganggu.
Semenjak anaknya bercerita tentang suaminya yang pergi dengan orang lain. Diam-diam Siska mencari bukti perselingkuhan suaminya, ia tidak mungkin menanyakan langsung, karena yakin suaminya pasti akan mengelak. Siska juga takut akan terjadi masalah jika dugaan dia salah.
Tepat saat suaminya pulang ke rumah, Siska langsung memeriksa ponsel yang biasa dipakai oleh suaminya, tapi saat diperiksa tidak ada yang aneh ataupun mencurigakan, semuanya bersih tanpa ada yang disembunyikan bahkan ponselnya pun tidak diberikan kode sama sekali sesuai kesepakatan sebelum menikah tidak ada privasi di antara mereka berdua.
Berhari-hari Siska mencari informasi tentang suaminya tapi hasilnya nihil, suaminya selalu bersikap seperti biasa saja hanya saja lebih dingin dan cuek, akibatnya hubungan suami dan anaknya menjadi renggang.
Bahkan anaknya sudah tidak merengek lagi untuk meminta jalan-jalan kepada ayahnya, atau membeli keperluan sekolah seperti biasanya, anaknya juga mulai menolak ketika ayahnya ingin mengajaknya berbicara. Atau mengajaknya jalan-jalan.
“Mah, anak kita Kenapa ya? Kok akhir-akhir ini dia cuek banget sama aku, setiap kali aku ajak jalan-jalan dia selalu menolaknya dengan alasan sibuk dengan urusan sekolah, padahal kan setiap hari libur dia paling senang kalau diajak jalan-jalan biar otaknya tidak Stres mikirin sekolah,” tanyaku saat baru kembali dari restoran selama seminggu menginap di sana.
“Mungkin anak kita sudah muak sama kamu, Mas. Apalagi kamu selalu cuek dan tidak memperhatikan dia lagi,” jawaban Siska begitu ketus terhadap diriku. Tidak biasanya ia seperti ini?
“Kok nada bicaramu seperti itu sih! Memang salahku apa sampai Angga memperlakukan ayahnya seperti itu?”
“Coba tanyakan diri kamu sendiri kenapa anak kita bisa bersikap seperti itu sama kamu. Pasti ada sebabnya.”
“Aku rasa tidak ada yang salah dengan diriku. Aku masih sama seperti yang dulu.”
“Kamu yakin? Coba ingat-ingat lagi, kapan terakhir kali kamu mengajak anak kita jalan-jalan keluar rumah?” Aku sempat terdiam dan berpikir sejenak. Aku lupa Kapan terakhir kali mengajak anakku untuk jalan-jalan. Kemarin saja saat libur sekolah, anakku tidak mau ikut denganku. “Gimana? Kamu ingat enggak kapan terakhir kamu ajak Angga jalan-jalan? Wajar kan jika sikap anak kamu seperti itu, toh kamu juga seperti itu terhadap anak sendiri. Jadi jangan salahkan sikap anakmu!”
“Seharusnya kamu jangan mendidik anak seperti itu, ajarkan dia untuk sopan santun terhadap orang tuanya, masa ayahnya sendiri diperlakukan seperti itu sangat tidak sopan!” Siska langsung menatap tajamku. Tubuhku spontan mundur ke belakang. Wajah cantiknya cukup membuatku takut. Sepertinya ada kata-kataku yang membuat dia marah.
“Jangan sembarangan bicara ya! Aku enggak suka anakku dilebeli seperti itu oleh ayahnya sendiri. Harusnya kamu intropeksi diri. Kenapa sikap Angga seperti itu sama kamu, selama ini kan kamu selalu cuek bahkan terlihat Abai terhadap dirinya, apa kamu lupa. Hampir setiap minggu anak kita selalu meminta bahkan sampai merengek kepadamu untuk pergi jalan-jalan. Tapi kamu selalu mengatakan sibuk mengurus restoran dan yang lebih parahnya lagi kamu malah memarahi Angga, karena terlalu mengganggu!” Aku begitu terperangah dengan sikap istriku, baru kali ini aku mendengar suaranya yang cukup tinggi. Ia seperti meluapkan amarah.
“Sejak kapan suara kamu menjadi keras di depanku?” Jujur saja aku begitu tidak suka melihat cara bicara dia. Apalagi meninggikan suara di depanku.
“Kenapa? Kamu enggak suka cara bicaraku, hah! Kamu mau ribut? Iya!" Lebih baik aku mengalah saja, saat ini aku tidak mau ada keributan.
“Sudah,lah Aku rasa Angga terlalu berlebihan. Masa begitu saja dia baper, padahal dia tahu sendiri kan kalau Ayahnya memang sibuk di restoran sampai menginap segala loh. Cobalah kamu kasih pengertian lagi ke Angga, kalau ayahnya sibuk cari uang untuk masa depan dia.”
"Entah kenapa mendengar ucapan kamu membuat hati kecilku sedikit tidak percaya. Aku merasa seperti ada sesuatu yang disembunyikan olehmu, Mas. Dan untuk anak kita, kenapa kamu harus menuntutku untuk memberikan pengertian terhadap Angga? Seharusnya kamu sebagai ayahnya ikut andil dong.”
“Kamu ini ngomong apa sih! Apa maksud kamu bicara seperti itu. Mengatakan aku menyembunyikan sesuatu. Dan satu lagi, kamu kan, ibunya. Angga juga dekat kok sama kamu. Kenapa harus aku juga yang turun tangan?”
“Dengar ya, Mas. Aku hanya memperingatkan satu hal sama kamu. Jangan sampai membuat anak kita kecewa atas sikap kamu, cepat atau lambat suatu saat kamu akan menyesal. “
“Jangan bicara macam-macam, ya! Aku enggak suka cara bicaramu, kamu seperti mengancam sesuatu. “
“Aku bukannya mengancam , aku hanya memperingatkan, jangan sampai Angga membenci dirimu hanya karena kamu menyembunyikan sesuatu.” Mendengar kata sembunyi dari mulut istriku, membuat wajahku sedikit tegang, walau pun aku sempat tegang seperkian detik. Aku bisa mengendalikannya. Aku tidak mau Siska curiga terhadapku. Atau menimbulkan kesalah pahaman.
“Dengar, ya. Saat ini aku tidak mau ada keributan. Aku ingin mendapatkan ketenangan di rumah ini. Aku sudah cukup lelah dengan semua pekerjaan yang selalu saja menumpuk setiap hari. Lagi pula aku tidak menyembunyikan apa pun darimu." Terlihat Siska mencibirkan bibirnya, sepertinya ucapanku barusan dianggap angin lalu.
“Ya siapa tahu saja ada sesuatu yang kamu sembunyikan sampai-sampai lupa sama anak dan istri sendiri atau mungkin kamu sudah mulai bosan ya hidup dengan kita berdua?”
“Omonganmu semakin lama semakin ngaco! Padahal kita sedang membicarakan Angga, tapi kenapa jadi merembet ke mana-mana.”
“Kamu kok kayak sewot begitu sih, Mas? Kalau memang kamu tidak menyembunyikan sesuatu dariku dan juga Angga, seharusnya kamu bisa bersikap tenang.”
“Intinya aku enggak menyembunyikan sesuatu. Aku harap kamu jangan memulai pertengkaran di rumah tangga kita. Aku ingin hidup tenang. Tolong jangan cari-cari masalah.”
Malam harinya, aku mencoba untuk tidur tenang. Semenjak perdebatan pagi tadi, sikap istriku berubah dingin. Biasanya setiap sore ia selalu menyiapkan cemilan untuk menemani sore hari.
"Mana camilanku?"
"Aku lagi malas membuat camilan, kalau mau camilan. Bikin sendiri!" Siska langsung pergi begitu saja. Pada akhirnya aku membuat makanan sendiri.
Kulihat Siska sudah tidur pulas, terdengar suara dengkuran kecil. Saat aku tengah melamun menatap platfom kamar. Aku merasakan ada getaran di saku celanaku. Ternyata ponselku, saat kuambil benda segi empat itu. Mataku langsung menoleh ke arah Siska, takut tiba-tiba dia bangun. Aku baru sadar ponsel yang ada di tanganku berbeda.
Perlahan aku bangkit dan turun dari ranjang, jangan sampai Siska terbangun. Aku harus hati-hati menuju dapur, apalagi ponsel ini terus berdering.
Saat sudah sampai dapur, aku langsung angkat panggilan teleponnya. Ternyata dari pujaan hatiku.
“Halo, kamu jangan telepon dulu ya. Aku lagi ada di rumah, aku takut ketahuan sama istriku,” ujarku bisik-bisik lewat telepon. Kenapa pula dia menghubungiku malam-malam begini.
“ .... “
“Kamu tenang saja minggu ini kita akan jalan-jalan ke luar Kota. Apa pun yang kamu minta akan aku berikan, asalkan kamu bisa memuaskan aku di atas ranjang.”
“ .... “
“Besok aku akan menginap lagi di rumah kamu seperti biasa, tapi untuk saat ini jangan menghubungi aku dulu ya.” Selesai berbicara lewat telepon, aku langsung mematikan ponselnya. Kuhembuskan napasku perlahan, agar jantungku kembali tenang. Aku harap Siska tidak mengikutiku. Lebih baik aku kembali ke kamar agar Siska tidak curiga. Bisa gawat nanti.
Saat Danu sudah pergi dari dapur, diam-diam Siska berdiri dibalik tembok, menyaksikan suaminya telah melakukan suatu kesalahan yang fatal. Ia tidak mengira jika suaminya bermain api di belakang. Walau pun Siska berusaha berpikir positif tentang suaminya. Tapi fakta yang ia lihat saat ini, sulit sekali menepis sisi positifnya. Siska meremas jarinya kuat-kuat.
Karena tak mau membuat hatinya semakin sakit atas sikap suaminya, Siska akan melakukan sesuatu untuk menguapkan perselingkuhannya dengan perempuan lain, ia juga harus berhati-hati agar rencananya tidak terbongkar.
Saat sudah sampai di pintu kamar, kubuka pintu secara perlahan agar Siska tidak bangun. Saat pintunya sudah terbuka, betapa terkejutnya diriku.
"Loh, di mana Siska? Kenapa tidak ada di kasur?" batinku. Pikiran langsung berkecamuk apakah Siska tahu kalau diam-diam aku ke dapur untuk menghubungi kekasih gelapku. ini tidak bisa dibiarkan, aku harus mencari Siska.
Saat tubuh ini berbalik untuk mencari Siska tiba-tiba aku berteriak kencang.
“Aagh ...!” Tubuhku langsung terjatuh ke lantai saking kagetnya dengan kehadiran Siska yang sudah di depan mataku. Melihat diriku tersungkur di lantai. Ia hanya menatap biasa saja.
“Ka ... Kamu, habis dari mana?” tanyaku gugup.
“Dari dapur.”
“Da ... Dapur kamu bilang?”
“Iya, kenapa? Kaget ya aku habis dari dapur?” Perlahan aku bangkit, aku menatap istriku. Jantungku terus saja berdetak tak karuan. Saat ini aku benar-benar takut. Apalagi tatapan dia begitu datar. Buktinya saat aku jatuh, ia terlihat biasa saja. Tak ada niatan untuk menolong suaminya. Padahal bokongku terasa sakit. "Kenapa tatapan matamu seperti melihat hantu saja."
“A ... Itu.” Tiba-tiba saja suaraku seperti tertahan sesuatu, mulutku begitu kelu, aku ingin sekali menanyakan apakah ia mendengar sesuatu saat aku di dapur, namun perkataan itu seperti tidak bisa keluar.
“Minggir, kamu menghalangi jalanku, Mas.”
“Ma ... Maaf." Aku hanya bisa memperhatikan dirinya yang sudah naik ranjang, kepalaku dipenuhi rasa curiga tentang Siska yang baru saja dari dapur. "Sa .. Sayang, apa kamu mendengar sesuatu saat berada di dapur tadi?” tanyaku memastikan, semoga saja ia tidak mendengarkannya.
“Dengar apa, Mas?”
“Benaran kamu enggak dengar apa-apa?”
“Memangnya kenapa, Mas? Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan di dapur?”
“A ... Aku nggak menyembunyikan apa-apa kok."
“Hoh, ya sudah.” Siska membaringkan tubuhnya serta menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut aku hanya bisa terdiam, untuk saat ini aku merasa lega karena dia tidak tahu apa-apa ketika aku di dapur, aku belum siap jika dia tahu bahwa aku telah melakukan sebuah kesalahan besar.
Setelah perasaanku mulai tenang, aku ikut naik ke atas ranjang, walaupun jantungku masih berdetak kencang aku mencoba mengusap dadaku. Semoga saja malam ini aku bisa tidur pulas.
...****************...
"Hah! Jam berapa ini? Gawat aku kesingan." Aku langsung loncat dari kasur menuju kamar mandi, aku tidak mau telat, karena hari ini aku sudah ada janji dengan kekasihku. Kalau sampai telat bisa-bisa dia tidak mau melayaniku.
"Sayang, kenapa aku enggak dibangunkan?" tanyaku, tapi Siska hanya menoleh sekilas dan kembali melanjutkan kegiatannya. "Kamu kenapa? Kok sikap kamu kaya gitu sama aku?"
" .... "
"Sayang?" Lagi-lagi dia mengabaikanku, sebenarnya dia kenapa sih. Kok sikapnya aneh sekali hari ini. Saat sarapan berlangsung, suasana seperti sangat canggung. Biasanya kita berdua selalu bercerita tentang hal yang baru. Tapi tidak kali ini. Suasana begitu hening. Aku mencoba untuk membuka obrolan, tapi dia hanya menjawab sekedarnya. Begitu juga dengan anakku. Ketika ditanya, dia hanya jawab seperti ibunya.
Selesai sarapan aku langsung bersiap-siap berangkat ke resto.
"Aku berangkat kerja dulu ya, Mah." Aku mengulurkan tanganku, tapi ia hanya melihat saja.
"Ya, sudah berangkat saja. Memangnya kamu nunggu apalagi, Mas?"
"Kamu nggak mau Salim sama aku?"
"Maaf, Mas. Aku lagi buru-buru untuk mengantar Angga ke sekolah, takut dia terlambat." Ia pergi begitu saja, sedangkan tanganku masih mengatung di udara, tiba-tiba hatiku seperti mempunyai firasat yang tidak enak, seperti ada sesuatu yang mengganjal.
Selama dalam perjalanan menuju restoran, aku terus saja memikirkan sikap istriku yang mulai berbeda, dari cara bicaranya, dari cara gestur tubuhnya bahkan ia seperti enggan disentuh olehku. Sebenarnya dia kenapa ya? Kok jadi aneh begini.
Setengah jam kemudian, aku sampai ke resto. Seperti biasa aku selalu menyuruh karyawanku untuk menghandle semua pekerjaan. Sedangkan diriku hanya setor muka, lalu pergi ke tempat kekasihku tercinta.
Sudah beberapa hari ini, Siska tidak pernah menghubungiku melalui pesan. Biasanya dia selalu menanyakan kabar, dan menyuruhku untuk pulang lebih cepat. Sebenarnya aku paling tidak suka jika dia menanyakan kabar setiap hari atau memberitahukan hal yang tidak penting selama aku tidak di rumah. Tapi kali ini, aku justru mengharapkan dia mengirimku pesan, walau pun hanya sekendar menanyakan kabar.
"Aku pulang ke rumah dulu, ya?" ujarku pada istri keduaku bernama Rahma. Ya dia adalah istri keduaku. Diam-diam aku menikah siri tanpa sepengetahuan Siska atau keluarga besar lainnya. Aku kembali jatuh cinta padanya saat pertama kali bertemu di sebuah Mall.
"Kok cepat banget sih pulangnya? Ini belum ada seminggu loh kamu di sini, biasanya akhir pekan kamu baru pulang ke rumah istri tuamu."
"Untuk kali ini berbeda, aku harus buru-buru pulang karena ada pekerjaan yang harus aku handle. Aku tidak bisa menyuruh karyawanku, karena ini pekerjaanku." Aku terpaksa bohong padanya. Padahal aku hanya ingin pulang ke rumah untuk melihat keadaan Siska dan juga Angga.
"Padahal aku masih mau dekat sama kamu, Mas." Raut wajahnya terlihat kecewa, aku jadi sedih meninggalkan dia di sini.
"Aku janji akan datang ke sini lagi seperti biasanya."
"Janji ya, tapi sebelum kamu pulang. Transfer aku uang lagi ya. Uangku sudah habis buat beli skincare sama tas baru. Baru-baru ini aku juga ikut arisan supaya aku punya tabungan untuk masa depan kita."
"Iya, sayang. Nanti aku transfer uang ke kamu."
"Terima kasih, Mas. Aku beruntung bisa kembali lagi sama kamu." Kupeluk tubuh Rahma dengan erat. Inilah yang kusuka darinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!