Di suatu hari Anis yang sedang mempersiapkan baju untuk berkemas pindah rumah setelah di tinggal orang tuanya, Anis dengan sangat terpaksa harus pindah ke kampung neneknya di daerah Jawa Timur.
Perjalanan dari Jakarta ke Jawa timur sekitar 8 Jam via kereta api.
Anis pun mulai berangkat ke Jawa Timur pukul 13:00 siang, dalam perjalanan anis melihat pemandangan indah dari kaca jendela kereta Api. Dan tak terasa mata Anis pun mulai mengantuk, dan akhirnya anis memutuskan untuk tidur.
Waktu tak terasa Anis telah sampai di Jawa timur, Anis lalu memesan taksi online menuju ke Alamat desa neneknya, dan sampailah Anis di desa tujuan, Anis menoleh kanan kiri dan melihat rumah besar di sebelah kanan jalan, Rumah tersebut rupanya rumah neneknya.
Anis berdiri di depan rumah besar itu, menatapnya dengan perasaan campur aduk antara kagum dan ngeri. Rumah yang berdiri angkuh di hadapannya begitu tua dan megah, tapi aura kelam terasa begitu kuat. Batu-batu bata di dindingnya terlihat kusam, dikelilingi lumut yang menjalar ke sana kemari. Tanaman liar tumbuh merambat di sekitar pintu, sementara jendela-jendela tua itu seakan-akan menatapnya, kosong namun mengintimidasi.
“Selamat datang, Anis,” Tante Parmi berkata dengan senyum yang tampak dipaksakan. "Mulai sekarang, rumah ini akan menjadi rumahmu juga."
Anis berusaha tersenyum, tapi hatinya masih terasa berat. Setelah kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan tragis, ia tak punya pilihan selain tinggal bersama tante satu-satunya, yang tidak terlalu ia kenal. Namun, di balik kesedihan itu, ada perasaan lain yang tidak bisa ia jelaskan. Ada yang terasa salah sejak pertama kali melihat rumah itu.
Saat memasuki rumah, suara pintu yang berderit memecah kesunyian, mengundang rasa dingin yang mengalir hingga ke tulang belakang Anis. Udara di dalam rumah lebih dingin dari yang ia bayangkan. Ruang tamu yang luas itu terasa kosong dan suram, meskipun banyak perabot antik yang mengisi ruangan. Cahaya remang dari lampu gantung tua hanya menambah suasana misterius.
“Rumah ini… sudah lama tidak ditempati, ya?” tanya Anis dengan nada hati-hati.
Tante Parmi mengangguk pelan, matanya sedikit menghindari tatapan Anis. “Ya, sudah cukup lama,” jawabnya singkat. “Tapi jangan khawatir. Kamu akan terbiasa. Semua ini hanya soal waktu.”
Tidak lama kemudian, seorang pria tua dengan wajah berkeriput muncul dari balik pintu belakang, membawa sapu dan ember. Dia mengenakan topi anyaman dan mengenakan seragam yang sudah usang, namun rapi. Pria itu memandang Anis dengan mata yang tajam, seolah menilai kedatangannya.
“Oh, Anis, kenalkan. Ini Pak Handoko, tukang kebun di sini,” ujar Tante Parmi. “Dia sudah bekerja di rumah ini selama bertahun-tahun.”
Anis menatap Pak Handoko dan memberi senyuman kecil. Pria itu hanya mengangguk singkat, lalu berkata dengan suara pelan, “Selamat datang, Nona Anis. Jika ada yang dibutuhkan, saya ada di belakang.” Dengan cepat, Pak Handoko berlalu, tapi Anis bisa merasakan sesuatu yang tidak ia mengerti dalam tatapan pria itu—seolah ada peringatan yang tak terucap.
Malam pertama di rumah baru itu, Anis sulit tidur. Kamar yang disiapkan untuknya berada di lantai atas, menghadap ke halaman belakang yang gelap dan terkesan menyeramkan. Setiap kali Anis mencoba memejamkan mata, ia merasa seperti ada yang mengawasinya. Angin malam menembus celah jendela tua, menghasilkan bunyi berdesir yang menyeramkan. Di tengah malam, ia mendengar suara langkah kaki di lorong.
Awalnya ia mengira itu hanya perasaan atau halusinasi karena lelah, tapi suara itu semakin nyata—langkah demi langkah, terdengar semakin dekat. Dengan jantung berdegup kencang, Anis berusaha tetap diam. Namun, ketakutannya semakin menjadi ketika pintu kamarnya berderit terbuka sedikit, meski ia tahu telah menguncinya.
“Siapa… di luar sana?” bisiknya dengan suara gemetar.
Tak ada jawaban. Setelah beberapa saat, langkah kaki itu menghilang begitu saja, dan pintu kembali tertutup pelan, seolah tak ada yang pernah terjadi.
Keesokan paginya, Anis mencoba menyingkirkan perasaan takutnya. Ia berpikir mungkin saja itu hanya imajinasinya, atau mungkin suara angin yang kebetulan berhembus di lorong. Namun, ia masih tidak bisa menghilangkan perasaan aneh itu.
Di sore hari, saat sedang duduk di beranda belakang, Anis mendengar suara lembut dari belakang. “Halo, kamu Anis, ya?”
Anis terkejut dan menoleh. Seorang gadis seusianya berdiri di sana, mengenakan pakaian putih sederhana. Rambutnya hitam panjang, dan matanya tampak menyimpan keanehan yang sulit dijelaskan.
“Siapa… kamu?” tanya Anis, mencoba mengenali gadis itu.
“Aku Fina. Senang berkenalan denganmu, Anis,” jawab gadis itu dengan senyum tipis yang nyaris tak terlihat.
Anis mengernyit. “Kamu tinggal di sekitar sini?”
Fina mengangguk, tetapi tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. “Aku sering datang ke sini. Rumah ini menarik, penuh kenangan, dan penuh cerita yang belum selesai.” Ucapannya terdengar aneh, namun Anis tidak ingin mengusik lebih jauh. Fina kemudian mengajaknya berjalan di sekitar halaman, sambil bercerita tentang bagian-bagian rumah yang tampak usang dan berdebu.
Namun, ada satu hal yang membuat Anis merasa tidak nyaman. Fina tampak sangat mengenal rumah itu, bahkan lebih dari dirinya sendiri. Gadis itu tahu setiap sudut dan detail kecil di rumah itu, termasuk ruangan-ruangan terkunci yang bahkan belum pernah dibuka oleh Anis.
Saat Fina mengajak Anis ke ruang bawah tanah, Anis menolak dengan sopan. “Aku pikir, mungkin lain kali saja. Tempat ini… terlalu menyeramkan,” kata Anis sambil tersenyum kaku.
Fina memandangnya dengan tatapan kecewa, namun senyumnya masih tetap terpampang. “Baiklah, kalau begitu. Tapi ingat, Anis, ada banyak hal yang harus kamu ketahui tentang rumah ini,” katanya sambil menatap tajam. “Kadang, bukan kita yang memilih tempat tinggal, tetapi tempat itu yang memilih kita.”
Anis merasakan bulu kuduknya meremang. Gadis ini aneh, dan cara bicaranya membuat suasana menjadi semakin tidak nyaman. Namun sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, Fina berbalik dan berjalan perlahan ke arah taman belakang, menghilang di balik pepohonan.
Saat itu, Pak Handoko datang menghampiri dengan raut wajah serius. “Nona Anis, kalau boleh tahu, tadi Anda bicara dengan siapa?” tanyanya sambil melirik ke arah taman.
“Oh, tadi aku bertemu seorang gadis bernama Fina. Dia bilang sering datang ke sini. Dia sepertinya tahu banyak tentang rumah ini,” jawab Anis dengan santai.
Ekspresi Pak Handoko tiba-tiba berubah pucat. “Nona Anis… Tidak ada seorang pun yang bernama Fina di sini. Sejak dulu, rumah ini selalu sepi,” katanya dengan suara bergetar.
Anis terdiam, hatinya mendadak terasa berat. Tiba-tiba, pertemuannya dengan Fina terasa semakin aneh dan menyeramkan. Tidak mungkin itu hanya halusinasi—Fina tampak begitu nyata, begitu dekat. Namun, ucapan Pak Handoko membuat Anis mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
Saat itu juga, perasaan gelisah kembali menyelimuti Anis. Apa yang sebenarnya tersembunyi di balik rumah ini? Dan siapa sebenarnya Fina?
Pertanyaan itu terus menghantuinya, seolah-olah memberi isyarat bahwa pertemuannya dengan Fina adalah awal dari sebuah misteri yang lebih gelap dan lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan.
Malam itu, Anis berbaring gelisah di tempat tidurnya. Pikirannya terus melayang pada sosok Fina. Gadis itu, entah bagaimana, meninggalkan kesan yang sulit ia lupakan. Perkataan Pak Handoko juga terus membekas dalam benaknya. Tidak ada seorang pun bernama Fina di sini. Tapi Anis tahu apa yang dilihatnya. Fina nyata, dia benar-benar berbicara dengannya di taman.
Saat Anis akhirnya hampir tertidur, suara samar terdengar di dekat pintu kamarnya. Sebuah bisikan, lemah tapi jelas. Anis membuka matanya, terdiam. Rasanya seperti seseorang berdiri di depan pintu. Sekali lagi, bisikan itu terdengar. Ia tidak bisa menangkap kata-katanya, tapi suara itu penuh dengan desakan, seolah memanggilnya.
Jantung Anis berdegup kencang. Dengan perlahan, ia bangkit dari tempat tidur, mendekati pintu dengan langkah hati-hati. Tangannya gemetar saat meraih gagang pintu dan membukanya perlahan. Koridor di luar tampak gelap gulita. Lampu-lampu di lorong sudah dipadamkan, hanya ada sedikit cahaya dari jendela di ujung lorong yang memberi sedikit penerangan.
“Fina?” panggil Anis dengan suara hampir berbisik, namun tidak ada yang menjawab.
Suara itu terdengar lagi, kini lebih dekat, dan tampak berasal dari arah tangga yang menuju ke lantai bawah. Tanpa sadar, Anis melangkah keluar dari kamarnya dan mengikuti suara itu. Setiap langkah yang ia ambil terasa begitu berat, namun perasaan penasaran membuatnya terus maju.
Ketika ia sampai di lantai bawah, kegelapan menyelimuti seluruh ruangan. Anis berhenti sejenak, mencoba mendengarkan suara itu lebih jelas. Bisikan tadi kini terhenti, digantikan oleh keheningan yang menyeramkan. Hanya suara detak jantungnya sendiri yang terdengar.
Perlahan, Anis meraba-raba dinding untuk menemukan saklar lampu. Namun sebelum ia sempat menyalakannya, ia melihat sosok berdiri di ujung ruangan. Matanya membelalak saat menyadari siapa yang ada di sana. Itu Fina, berdiri diam dengan tatapan kosong. Rambutnya tampak lebih panjang dari yang ia ingat, mengalir ke bahunya seperti tirai gelap.
“Fina?” Anis memanggil pelan, berusaha mengatasi rasa takut yang mulai merayapi dirinya.
Fina hanya tersenyum tipis, dan Anis merasakan hawa dingin yang membuat kulitnya merinding. Gadis itu tidak menjawab, namun tatapannya seakan memanggil Anis untuk mendekat. Perlahan-lahan, Anis mendekatinya, meski rasa takut hampir membuat kakinya goyah.
“Kau tahu, Anis…” suara Fina terdengar pelan, namun nadanya dingin. “Di sini, banyak rahasia yang belum kau ketahui. Aku bisa menunjukkanmu, jika kau berani.”
Anis terdiam. Ia ingin berlari, tapi tubuhnya terasa membeku di tempat. Kata-kata Fina menggelitik rasa penasarannya. Ada sesuatu di rumah ini, sesuatu yang gelap, dan sepertinya Fina tahu apa itu.
“Kau… tahu apa yang ada di rumah ini?” tanya Anis dengan suara bergetar.
Fina mengangguk. “Ya. Banyak yang tertinggal di sini. Banyak yang tidak bisa pergi.” Senyumnya perlahan memudar, digantikan oleh ekspresi yang penuh kesedihan. “Kau hanya perlu melihat… di tempat yang tepat.”
Sebelum Anis sempat bertanya lebih lanjut, Fina melangkah mundur, menyatu dengan kegelapan di sekitarnya. Dalam sekejap, gadis itu menghilang, seolah-olah dia adalah bayangan semata. Anis menelan ludah, mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Fina begitu misterius dan aneh?
Keesokan harinya, Anis masih merasakan keanehan yang menekan hatinya. Ia menemukan Pak Handoko di halaman belakang, sedang merapikan tanaman. Pria itu menatapnya sekilas, tampak seolah ingin mengatakan sesuatu, namun ragu-ragu.
“Pak Handoko,” panggil Anis, mendekatinya. “Saya… bertemu dengan Fina lagi tadi malam.”
Pak Handoko berhenti bekerja, dan wajahnya berubah serius. “Nona Anis, saya sudah bilang. Di sini, tidak ada gadis bernama Fina.”
“Tapi saya melihatnya! Dia bicara padaku, bahkan mengajakku untuk… melihat sesuatu di rumah ini,” Anis bersikeras, berharap Pak Handoko akan mempercayainya.
Pak Handoko menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan nada hati-hati, “Dengar, Nona. Dulu, rumah ini pernah menjadi saksi kejadian buruk. Banyak penghuni rumah ini yang… mengalami hal-hal yang tidak seharusnya. Dan ada seorang gadis, seorang gadis muda, yang hilang di rumah ini.”
“Seorang gadis? Apakah itu… Fina?” Anis bertanya, suaranya bergetar.
Pak Handoko mengangguk pelan. “Namanya Fina, Nona. Dia pernah tinggal di sini bertahun-tahun lalu, namun dia… tidak pernah benar-benar meninggalkan rumah ini. Entah bagaimana, arwahnya masih terjebak di sini. Dia tidak bisa pergi.”
Anis tertegun mendengar penjelasan itu. Jadi, gadis yang ia lihat benar-benar Fina, tapi dia bukan manusia. Dia adalah arwah yang masih menghantui rumah ini.
“Pak Handoko, kenapa dia muncul di hadapan saya?” Anis bertanya dengan suara pelan.
“Saya tidak tahu, Nona,” jawab Pak Handoko dengan raut wajah cemas. “Tapi yang saya tahu, dia mungkin ingin sesuatu darimu. Mungkin ada sesuatu yang dia butuhkan untuk bisa pergi dari sini.”
Anis merasa kepalanya berputar. Segala yang ia pikirkan tentang rumah ini berubah seketika. Rumah yang ia anggap hanya tua dan suram ternyata menyimpan rahasia yang lebih mengerikan. Fina bukanlah teman khayalan atau sekadar ilusi. Ia adalah roh yang terjebak di rumah itu, dan entah mengapa, ia ingin Anis mengetahui sesuatu.
Malam itu, Anis berbaring dengan perasaan campur aduk. Ketakutan dan rasa penasaran terus berputar dalam pikirannya. Kata-kata Pak Handoko bergema di kepalanya. Fina mungkin membutuhkan bantuannya. Tapi bagaimana bisa ia membantu arwah yang bahkan tidak sepenuhnya ia pahami?
Saat Anis hampir tertidur, suara langkah kaki terdengar lagi di lorong. Kali ini, suara itu lebih jelas, dan terasa lebih berat, seolah-olah ada sesuatu yang mendekat ke kamarnya. Dengan jantung berdegup kencang, Anis bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu.
Di ujung lorong, samar-samar ia melihat sosok Fina berdiri, kali ini lebih dekat dari sebelumnya. Wajah Fina pucat, dan matanya tampak sayu. Tanpa berkata-kata, Fina mengangkat tangannya, menunjuk ke arah sebuah pintu di ujung lorong yang belum pernah dibuka Anis.
“Di sana,” Fina berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. “Di sana ada jawaban yang kau cari.”
Anis menatap pintu itu, perasaan takut kembali menguasai dirinya. Ia tidak tahu apa yang ada di balik pintu itu, namun sepertinya tempat itu menyimpan sesuatu yang penting. Mungkin sesuatu yang bisa membebaskan Fina, atau mungkin sesuatu yang jauh lebih mengerikan.
Saat ia berbalik untuk melihat Fina lagi, gadis itu telah menghilang, menyatu dengan kegelapan. Anis hanya berdiri di sana, menghadap pintu yang seolah memanggilnya, dengan sebuah perasaan yang tidak bisa ia jelaskan—ketakutan bercampur rasa penasaran yang tidak terbendung.
Keesokan paginya, Anis terbangun dengan perasaan campur aduk. Pintu misterius di ujung lorong itu kini terus terngiang-ngiang di pikirannya, seolah-olah sesuatu di sana menunggu untuk ditemukan. Namun, ingatan akan tatapan kosong Fina dan cerita Pak Handoko membuatnya ragu untuk mengambil langkah pertama. Apakah ia benar-benar siap menghadapi apa yang tersembunyi di balik pintu itu?
Saat duduk di meja makan, Anis memperhatikan Tante Parmi yang sedang menyiapkan sarapan. Tiba-tiba, ia merasa perlu untuk bertanya, meskipun dengan hati-hati.
“Tante Parmi, apakah ada sesuatu yang… penting di balik pintu di ujung lorong atas?” tanyanya pelan, berharap tidak menimbulkan kecurigaan.
Tante Parmi berhenti sejenak, dan Anis melihat perubahan di wajahnya. Ekspresi tenang tante berubah menjadi tegang. Dengan sedikit tersenyum kaku, Tante Parmi menjawab, “Itu ruang penyimpanan lama. Tidak ada apa-apa di sana, hanya barang-barang tua yang tidak pernah dipakai lagi.”
Namun, nada suaranya membuat Anis ragu. Ada sesuatu yang tidak beres dalam cara Tante Parmi berbicara. Seolah-olah ia menyembunyikan sesuatu yang tidak ingin diketahui siapa pun.
Hari itu, Anis memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya, meskipun dorongan untuk mencari tahu semakin kuat. Namun, saat malam tiba dan rumah itu kembali sunyi, rasa penasarannya menjadi semakin besar. Ia merasa seperti ada kekuatan tak terlihat yang memanggilnya ke sana, ke pintu di ujung lorong yang tersembunyi dalam kegelapan.
Ketika waktu menunjukkan tengah malam, Anis mengumpulkan keberanian dan perlahan keluar dari kamarnya. Dengan langkah hati-hati, ia menuju lorong atas. Jantungnya berdebar kencang saat mendekati pintu terlarang itu. Saat berdiri di depannya, Anis merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, seolah-olah udara di sekitar pintu itu berbeda dari tempat lain di rumah tersebut.
Tangannya gemetar saat meraih gagang pintu. Ia mencoba memutar gagangnya, tapi pintu itu terkunci. Rasa kecewa dan lega sekaligus menyergapnya. Namun, saat ia hampir menyerah, ia melihat sesuatu tergantung di dekat pintu: sebuah kunci tua dengan besi yang sudah berkarat. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil kunci itu dan memasukkannya ke lubang kunci.
Dengan sedikit usaha, kunci itu berputar, dan pintu terbuka dengan derit panjang yang memecah kesunyian. Anis menahan napas saat mendorong pintu perlahan, mengungkapkan ruang yang gelap dan dipenuhi debu. Senter kecil yang ia bawa menerangi ruangan dengan sinar redup, memperlihatkan tumpukan barang-barang tua, kain yang menutupi perabot, dan cermin besar yang berdiri di salah satu sudut.
Namun, yang menarik perhatiannya adalah sebuah lukisan yang tergantung di dinding. Lukisan itu menggambarkan seorang gadis dengan rambut hitam panjang, mengenakan gaun putih. Wajah gadis itu tampak akrab—itu adalah Fina. Anis merasakan bulu kuduknya meremang. Lukisan itu begitu mirip dengan sosok Fina yang ia temui di rumah ini.
Sementara ia terpaku menatap lukisan itu, ia mendengar bisikan halus di baliknya. Suara yang sama dengan yang ia dengar malam sebelumnya. Anis menoleh, dan di belakangnya, bayangan Fina muncul, kali ini lebih dekat dan lebih jelas. Wajahnya pucat, tapi tatapannya tajam, penuh rasa duka dan keinginan untuk menyampaikan sesuatu.
“Kamu… menemukan sesuatu?” bisik Fina, suaranya seolah bergema di ruangan itu.
Anis mengangguk pelan, berusaha menenangkan diri. “Apa yang terjadi padamu, Fina? Kenapa kamu… tidak bisa pergi dari sini?”
Fina menatap lukisan dirinya dengan sorot mata yang penuh kesedihan. “Aku terjebak di sini, Anis. Ada yang mengunci jiwaku di rumah ini, sesuatu yang belum selesai. Aku… tidak bisa pergi sebelum menemukan kedamaian.”
Anis merasa hatinya terenyuh, namun ia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih kelam dari sekadar rasa duka di mata Fina. Seolah-olah gadis itu membawa beban besar yang tidak bisa ia ungkapkan. “Bagaimana aku bisa membantumu?”
Fina menatapnya dengan tatapan penuh harap. “Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang harus kau temukan. Kunci bagi jiwaku ada di ruang bawah tanah. Di sana, kau akan menemukan jawabannya, namun… tempat itu berbahaya. Hati-hatilah, karena ada kekuatan yang tidak ingin aku bebas.”
Anis merasakan hatinya berdebar. Ruang bawah tanah yang pernah Fina coba ajaknya datangi ternyata bukanlah sekadar ruang biasa. Ada sesuatu yang tersembunyi di sana, sesuatu yang mungkin bisa mengungkap misteri tentang Fina.
Saat Anis hendak bertanya lebih lanjut, bayangan Fina memudar, perlahan-lahan menghilang seperti kabut yang tersapu angin. Ia sendirian lagi di ruangan itu, dengan lukisan Fina yang menggantung dingin di dinding.
Keesokan paginya, Anis mencoba mencari keberanian untuk bertanya pada Pak Handoko. Ketika ia menemukan pria tua itu di kebun, ia langsung menyampaikan rasa penasarannya. “Pak Handoko, apa Anda tahu tentang ruang bawah tanah di rumah ini?”
Pak Handoko terdiam sesaat, seolah tidak ingin menjawab. Namun, ia tampaknya menyadari bahwa Anis tidak akan berhenti sampai mendapat jawaban. “Nona Anis, ruang bawah tanah itu… sudah lama tidak dikunjungi siapa pun. Banyak yang bilang ada kekuatan aneh di sana, sesuatu yang membuat orang merasa tidak nyaman.”
Anis menatapnya dengan serius. “Tapi apa yang sebenarnya terjadi di sana? Apa ada hubungannya dengan Fina?”
Pak Handoko mengangguk perlahan, matanya tampak dipenuhi ketakutan. “Fina adalah anak bungsu keluarga ini. Dia… menghilang secara misterius, dan sejak saat itu, rumah ini menjadi tidak tenang. Banyak orang percaya bahwa arwahnya masih terjebak di sini, tidak bisa pergi. Mungkin ada sesuatu di ruang bawah tanah yang menyimpan rahasia kematiannya.”
Anis menggigit bibirnya. Ia tahu ini berbahaya, tapi sesuatu di dalam dirinya seakan memaksa untuk terus maju. Mungkin ini satu-satunya cara untuk menolong Fina dan membuat rumah itu kembali tenang. Meskipun takut, ia merasa harus menyelesaikan misteri ini.
Malam berikutnya, dengan berbekal senter dan tekad yang bulat, Anis turun ke lantai dasar dan menemukan pintu menuju ruang bawah tanah. Pintu itu terkunci rapat, namun kali ini, ia menemukan sebuah kunci lain yang tergantung di dinding sebelah pintu, mirip dengan kunci yang ia temukan di lantai atas.
Dengan napas tertahan, ia membuka pintu dan melangkah menuruni tangga yang gelap. Udara di ruang bawah tanah begitu dingin dan lembap, dipenuhi aroma tanah basah dan kayu lapuk. Senter di tangannya menerangi dinding yang dipenuhi coretan dan tanda aneh.
Di sudut ruangan, Anis menemukan sebuah kotak kayu tua yang terlihat usang, dengan ukiran nama Fina di atasnya. Jantungnya berdetak kencang. Ini mungkin yang dimaksud Fina, sesuatu yang mungkin bisa membebaskannya. Namun saat ia hendak membuka kotak itu, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Anis terdiam, merasakan kehadiran seseorang atau sesuatu yang tak terlihat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!