NovelToon NovelToon

Harapan Baru Bersama Senja Yang Tak Lagi Sama

Aku juga wanita biasa

Di sebuah ruang yang sangat luas tak berujung, sepi dan serba putih, Aisha berjalan sendirian. Entah tempat apa itu, dia sendiri tak mengenalinya. Indranya menyapu sekeliling, hingga dia menemukan sosok pria berbadan tegap tengah membelakanginya.

"Siapa kamu?" tanya Aisha ketika ia telah sampai tepat di belakang punggung pria itu.

Seketika pria itu berbalik mendengar pertanyaan Aisha. Tiba-tiba kaki Aisha lemas, hampir saja tubuhnya ambruk jika saja pria itu tak sigap memegangi lengan Aisha.

"Mas Azka?" tanya Aisha sendu.

Sosok dihadapannya hanya tersenyum tanpa berucap.

"Jika ini mimpi, mohon jangan bangunkan aku. Izinkan aku tetap bersamamu," racau Aisha dengan air mata yang telah bersimbah.

"Aisha, dengarkan aku!" ucap sosok yang diyakini sebagai Azka.

"Apapun yang terjadi nanti, kamu harus tetap menjadi Aisha yang aku kenal. Wanita tangguh yang senantiasa bersabar dalam menerima apapun yang telah menjadi takdir-Nya. Kamu harus kuat Aisha, jangan terlalu larut akan kesedihan dunia," lanjut Azka yang juga berlinang.

"Maksud Mas Azka?" tanya Aisha bingung, ia benar-benar tak mengerti apa maksud perkataan kekasihnya itu.

Belum Aisha mendapat jawaban, tiba-tiba sosok Azka menghilang, sekujur tubuhnya benar-benar melemas menyaksikan kejadian itu.

"Mas Azka!" teriak Aisha, rupanya ia baru saja terbangun dari pingsannya.

Teriakan Aisha sontak mengejutkan orang seisi rumah yang langsung menghampiri dirinya.

***

Pria berjas putih yang diyakini sebagai dokter sekaligus sahabat Aisha sejak kuliah memeriksa kondisi Aisha yang baru saja siuman. Pasalnya, kini Aisha menjadi sering pingsan sejak peristiwa yang membuatnya harus kehilangan Azka.

Selesai memeriksa Aisha, Faris mengajak Maya, ibu Aisha, untuk membahas perihal kondisi Aisha.

"Seperti yang kita saksikan tadi bu, Aisha terbangun dengan meneriaki nama Azka. Secara psikologis bisa jadi hal itu disebabkan karena Aisha terlalu memikirkan Azka, sepertinya Aisha memang belum bisa melupakan Azka, juga kejadian saat itu bu, itu sebabnya akhir-akhir ini kondisi Aisha sering ngedrop," jelas Faris kepada Maya.

Sejujurnya hatinya sakit menyaksikan wanita yang diam-diam dicintainya terpuruk karena pria lain. Faris sadar diri, rasanya selama ini memang sama sekali tak berbalas, tapi nama Aisha tetap bertakhta dalam hatinya.

"Apa yang harus kita lakukan Nak Faris? Ibu benar-benar tidak tega melihat Aisha terus seperti ini. Aisha berhak bahagia Nak," ucap Maya parau menahan isakan.

"Masalah hati memang tidak bisa dipaksakan bu, kita berdoa saja kepada yang Maha membolak-balikan hati agar Aisha diberikan yang terbaik. Apapun yang terjadi nanti, itu sudah menjadi takdir Aisha bu," ucap Faris menenangkan Maya.

"Terima kasih atas semua bantuan Nak Faris, semoga Aisha bisa cepat kembali pulih ya Nak."

"Iya bu, semoga saja," ucap Faris menghibur Maya.

***

Sepeninggal Faris dari rumahnya, Maya segera menghampiri Aisha, melihat kondisi putrinya juga untuk membantu Aisha meminum obat yang tadi diberikan Faris.

Hati Maya seperti teriris menyaksikan putrinya bersimbah air mata. Aisha tak henti-hentinya menyebut nama Azka sembari memandangi foto Azka dalam genggamannnya.

"Aisha, kamu harus ikhlas Nak, apapun yang terjadi saat ini, itu sudah menjadi ketetapan Tuhan. Doakan Azka agar dimanapun dia berada Allah senantiasa melindunginya," ucap Maya hati-hati agar tak menyinggung perasaan putrinya.

"Aisha juga wanita biasa bu, Aisha bisa kecewa, Aisha bisa terluka," jawab Aisha disela isak tangisnya.

"Ibu tahu Sayang, ibu tahu itu semua sulit, karena ibu juga pernah kehilangan ayah. Tapi kita bisa apa jika ini memang sudah ketetapan Tuhan?. Hidup harus tetap berlanjut Aisha, dengan ada atau tanpanya orang yang kita harapkan," jelas Maya menasihati putrinya agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan.

***

Alarm yang sengaja Aisha letakan di sisi tempat tidurnya sudah berdering sejak tadi, menunjukan pukul setengah tiga dini hari. Aisha terduduk sebentar di tepi ranjang untuk mengumpulkan kesadarannya sebelum beranjak untuk mengambil air wudhu.

Ia memegangi sebentar kepalanya yang terasa pening, rasanya berat sekali. Siapa lagi jika bukan karena Azka yang membuat kantung matanya menghitam hari ini.

Meski begitu, tapi sama sekali tak mengurungkan niat Aisha untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan solat tahajud seperti hari-hari biasanya.

Teringat bagaimana kemarin ia tertidur, alasan apa yang selalu membuatnya menitikan air mata membuat Aisha semakin bersemangat untuk mengadu kepada Rabb-nya. Mengadu tentang nama yang selalu ia sebut dalam doanya.

Tumbuh sejak kecil tanpa seorang ayah membuat Aisha semakin trauma akan kehilangan. Apa sejarah harus kembali terulang? Mengikhlaskan orang yang disayang, sebagaimana ibunya selama ini lakukan?. Jika orang bilang ibu adalah hidup dan ayah adalah nafas, maka bagi Aisha kini ibunya adalah hidup sekaligus nafasnya.

Selepas solat subuh, Aisha turun ke lantai bawah untuk membantu ibunya yang sudah berkutat di dapur entah sejak kapan.

Mereka memang memiliki asisten rumah tangga untuk sesekali mengurusi rumah jika Maya tengah sibuk dengan usaha kateringnya, tapi Maya lebih memilih untuk melakukan semuanya sendiri jika tentang putri semata wayangnya.

Mulai dari menyiapkan sarapan, hingga segala keperluan Aisha, meski kerap kali Aisha menolaknya karena alasan ia sudah dewasa. Tapi tetap saja, bagi Maya Aisha tetaplah putri kecil pelengkap hidupnya.

“Aisha bantuin apa dong Bu?” tanya Aisha yang melihat ibunya sudah selesai meyiapkan semuanya untuk sarapan.

“Aisha bantuin makan aja,” jawab Maya setelah mengecup kening putri kesayangannya.

Aisha hanya memnberengutkan wajahnya yang membuat Maya tak bisa menahan gelak tawanya.

“Kok tumben pagi banget udah selesai Bu?” tanya Aisha seraya mendudukan dirinya di kursi makan yang sudah tersaji beraneka ragam makanan.

Di mata Aisha Maya adalah sosok ibu yang teramat hebat, karenanya tak pernah lupa setiap dalam doanya selalu Aisha sematkan doa terbaik untuk ibunya, juga ayahnya yang sama sekali tak Aisha ketahui sosok dan rupanya.

“Hari ini kebetulan orderan lagi meledak banget, jadi ibu harus gerak cepat,” jawab Maya seraya mengoleskan selai coklat kesukaan putrinya.

“Alhamdulillah, tapi ibu pasti cape yah?”

“Itu sudah resiko Sayang, lagian kan banyak pegawai ibu juga yang bantuin,” jawab Maya menyerahkan roti yang sudah diolesi selai.

“Tapi kan tetep aja, apa Aisha bantuin ibu aja yah?”

“Makan dan kuliah aja Sayang,” jawab Maya dengan lembut.

Tiba-tiba terdengar seseorang membunyikan bel rumah sambil mengucap salam beberapa kali. Dari suaranya tentunya Aisha dan Maya sudah tak asing siapa pemiliknya.

“Biar saya yang bukain Bu.” Bi Ani beranjak pergi ke depan meninggalkan pekerjaannya di dapur untuk membukakan pintu.

Terlihat Faris yang sudah rapi dengan setelan kemejanya dan jas putih ala dokter yang tergantung di lengan kirinya berjalan mengikuti langkah Bi Ani.

“Kebetulan sekali, sini sarapan dulu!” ajak Maya yang langsung menggiring Faris untuk duduk di kursi sebelah Aisha.

“Padahal Faris udah sarapan loh Bu, tapi kalo dipaksa ya nggak apa-apa deh,” jawab Faris tersenyum menambah kadar ketampanannya.

“Ih pede banget!” tutur Aisha membalas gurauan Faris dengan mulutnya yang masih penuh mengunyah roti.

“Kayaknya udah sembuh nih, makannya aja udah lahap banget,” goda Faris membuat Aisha refleks mendaratkan cubitan dilengannya.

“Tuh kan cubitannya aja udah kerasa sakit,” lanjut Faris membuat Aisha semakin membulatkan netranya.

Ada lengkung indah tercipta di sudut bibir Maya kala melihat putrinya kembali ceria jika bersama Faris, ia hanya berharap siapapun nanti yang menjadi menantunya tidak akan pernah menghilangkan keceriaan itu dari wajah putrinya.

***

Bersambung ...

Jangan lupa vote, like and coment buat nyemangatin author ya readers tersayang ...

Bagaimana bisa aku berdamai?

"Aisha pulang dari kampus ya?" sapa ibu-ibu komplek tetangganya.

"Ah iya bu, mari saya duluan," jawab Aisha ramah.

"Saya suka kasihan kalo liat Aisha loh bu, kurang apa coba yah Aisha, udah cantik, pintar, ramah lagi. Tapi sayang setahun yang lalu pernikahannya gagal."

"Loh memangnya kenapa bu? Calonnya ninggalin atau gimana?"

"Katanya sih kecelakaan waktu perjalanan bisnis bu, sampai sekarang gak ada yang tahu deh gimana kabarnya."

Samar-samar Aisha mendengar percakapan tetangga-tetangganya setelah ia melewati mereka.

Aisha tengah belajar berdamai dengan kepergian Azka, belajar untuk kembali pada kehidupan normalnya. Meski dengan tertatih, ia coba untuk tetap kuat. Tapi mengapa semuanya seperti sengaja mengingatkannya pada Azka?.

Maafkan aku ya Allah karena telah lancang menyimpan rasa kepada makhluk-Mu

Padahal aku tahu bahwa cinta ini lebih pantas kupersembahkan kepada-Mu, Sang Maha pemilik cinta

Ya Allah jadikanlah aku wanita kuat,

Wanita yang mampu menerima kenyataan dengan ikhlas dalam hati

Jika dia yang namanya tertulis di lauhul mahfudz untukku, maka mudahkanlah jalan kami

Namun jika bukan dia orangnya,

Maka buatlah hati ini tetap baik-baik saja

Karena aku yakin rencana-Mu tetap yang terindah

Tanpa sadar air mata telah membasahi wajah manisnya.

Aisha masih setia bersua dengan kenangan satu tahun silam, saat sosok Azka tak hanya bayang-bayang hitam tanpa rupa nyata seperti yang ada dalam imajinasinya saat ini.

"Apa aku masih bisa kembali melihatmu Mas?"

"Akankah kisah kita berlanjut?"

"Atau harus kandas dengan cara seperti ini? "

"Sampai kapan aku akan terus seperti ini?"

Brak ... Aisha menghempaskan semua barang yang ada di atas meja rias kamarnya.

Aisha benar-benar hilang kendali jika mengingat tentang Azka.

"Astagfirullah ... Aisha!" teriakan Maya menghentikan kegiatan Aisha.

"Aisha istighfar Sayang," ucap Maya mendekati Aisha.

"Aisha cape bu kayak gini terus, apa yang harus Aisha lakuin Bu?" Aisha terisak seraya memeluk Maya erat.

"Sabar Sayang ... semuanya memang tidak mudah, tapi kita coba sama-sama yah," ucap Maya menghibur Aisha.

***

"Assalamualaikum ...." tiba-tiba seseorang mengucap salam.

"Waalaikumsalam ...." jawab Aisha dan Maya bersamaan.

"Astagfirullah ... apa yang terjadi sama kamu Sha?" tanya Faris yang langsung menghampiri keduanya ketika melihat barang-barang di kamar Aisha berserakan.

"Apa yang harus aku lakuin Faris?" pinta Aisha memelas.

Hati Faris benar-benar teriris mendengar semuanya.

"Kamu harus ikhlas Aisha, jika memang Azka jodohmu maka ia tidak akan berpaling kepada selainmu," jawab Faris lembut.

"Gimana kalo Mas Azka beneran nggak kembali sama aku, Faris? Apa aku sanggup?" ucap Aisha parau.

"Semua pilihan ada di tanganmu, sebenarnya bukan kenangan yang membelenggu kita, tapi kitalah yang sengaja selalu berkubang di dalamnya," jawab Faris.

"Aku tahu kamu memang tak pernah memiliki rasa apapun padaku Aisha, cintamu memang hanya untuk Azka, pria yang kepergiannya selalu mengusik batinmu. Apa memang sudah tak ada ruang sedikitpun untuk namaku bersarang di hatimu?"

"Jangan terlalu sombong menutup hati hanya untuk satu nama Sha, karena kita tak pernah tahu takdir seperti apa yang tengah menanti kita," lanjut Faris pada Aisha.

"Kamu gak pernah tahu gimana rasanya kehilangan Faris," jawab Aisha dengan isak yang masih tersisa.

"Kamu lupa kalo aku udah lebih dulu kehilangan Ayah sama Bundaku, Sha?" jawab Faris parau.

"Astagfirullah maafin aku Ris, aku beneran gak ada maksud kayak gitu," jawab Aisha spontan.

"It's okay Sha, santai aja kaya sama siapa," jawab Faris tenang.

"Makasih Faris selama ini kamu selalu ada buat aku, kamu selalu sabar dengerin keluh kesahku," ucap Aisha menghapus sisa air matanya.

"Apapun pasti aku lakuin buat kamu Sha."

***

Mobil yang dikendarai Faris membelah jalanan Surabaya yang ramai dipadati para pengendara yang mungkin tengah menikmati Udara akhir pekan.

Dalam perjalanannya Aisha lebih banyak terdiam, hanya sesekali menanggapi obrolan yang Faris lontarkan. Ramainya pengendara yang berlalu lalang cukup menyita perhatian Aisha, mengalihkannya dari bayang-bayang Azka yang akhir-akhir ini sering bertakhta.

Tanpa Aisha sadari diam-diam Faris tengah menatapnya di sela fokusnya ia memegang stir kemudi, dengan tatapan sayu yang sulit diartikan.

Aisha mematung di atas pijakannya saat mobil yang Faris kendarai terhenti di sebuah halaman luas, netranya menatap nanar bangunan megah berkubah dihadapannya, seketika hatinya menyejuk saat Faris menganggukan kepalanya mengajak Aisha untuk melangkah masuk ke dalamnya.

“Ada kajian yah?” tanya Aisha sebelum mereka berpisah di pintu masuk antara pria dan wanita.

Faris hanya mengangguk tersenyum, kemudian mengikuti Aisha yang lebih dulu melangkah melalui pintu yang berbeda.

Aisha memilih duduk di barisan terdepan, bersandar pada tiang yang menjadi tumpuan bangunan megah yang ia kunjungi.

Semakin lama barisan di sampingnya semakin penuh oleh jamaah yang berdatangan silih berganti, bahkan menambah hingga beberapa barisan di belakangnya.

Seorang penceramah berbadan tegap dengan tubuh yang tinggi semampai menaiki mimbar, memulai kajian yang diikuti oleh puluhan jamaah yang sudah terduduk khusyuk di tempatnya.

Ketika Allah menakdirkan sesuatu yang membuat kita bersedih, yakinlah bahwa Allah selalu ada untuk kita dan membersamai kita.

Sedih merupakan bagian dari fitrah manusia. Tak satu pun manusia bias lepas dari kesedihan, termasuk para nabi dan rasul. Semua orang hampir bisa dipastikan pernah mengalami yang namanya sedih.

Nabi Ya’kub sedih dikarenakan kehilangan Nabi Yusuf ‘alaihissalam, Nabi Nuh ‘alaihissalam sedih karena kehilangan anak dan istrinya. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersedih tatkala kehilangan istri dan paman tercintanya, Abu Thalib, sehingga masa-masa itu disebut dengan “ammul huzni” (tahun kesedihan).

Namun, kesedihan nabi dan rasul tidak melampaui batas dan melemahkan iman.   Ini berbeda dari sikap umatnya yang kadang tak memahami batas-batas kesedihan, terlalu larut dalam kegundahan, sampai-sampai ada yang berubah sikap dan karakter secara signifikan.

Biasanya, yang mengalami keadaan seperti itu adalah mereka yang gersang jiwanya, lemah agamanya, dan minim pengetahuannya, tetapi besar harapan dan angan-angannya, sehingga tatkala apa yang sangat dicintainya hilang, ia seperti tak punya pegangan. Ada yang menjerit-jerit, stres, depresi, bahkan putus asa dan bunuh diri.

Allah subhanahu wata’ala memberikan motivasi kepada orang yang beriman melalui firman-Nya: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. Ali Imran [3]: 139)

Aisha tak henti-hentinya menghapus ujung netranya dengan ujung jilbab yang semakin basah, betapa sepanjang materi yang disampaikan selalu menjadi tamparan keras untuknya.

Ia tersadar betapa gersang dan lemah jiwanya hingga ia berlarut-larut dalam kesedihan hanya karena cinta, cinta kepada mahluk-Nya yang seharusnya tak boleh melebihi akan cintanya pada Sang Maha Pemilik cinta yang sesungguhnya.

Bersambung ...

Jangan lupa vote, like and coment buat nyemangatin author ya readers tersayang ...

Bukan Azka

Hari ini Aisha ditugaskan oleh Maya mengantar makanan untuk Faris di Rumah Sakit, kebetulan memang hari ini Aisha tidak ada jadwal ke kampus.

Bukan tanpa alasan Maya menyuruh putrinya, melainkan agar Aisha bisa kembali pada kehidupan normalnya tanpa terus menerus berkutat dengan kepergian Faris.

Aisha memilih untuk menaiki bus, menikmati ramainya kehidupan oleh orang-orang yang berlalu lalang.

Tersisa satu kursi kosong saat dirinya menaiki bus yang berhenti di depan halte tempatnya menunggu.

Baru saja Aisha mendudukan tubuhnya di kursi penumpang yang sudah cukup usang, ada seorang  wanita tua yang sudah membungkuk tengah tergopoh mencari-cari kursi kosong.

Aisha geram melihat seorang pemuda yang nampak segar bugar justru terduduk dengan santainya saat wanita tua itu tergopoh melewatinya.

Bukan Aisha jika tega bersantai ria melihat orang lain membutuhkan pertolongan.

“Mari sebelah sana Nek,” ajak Aisha menuntun wanita tua itu menuju kursinya.

“Lah kamu bagaimana Nduk?” tanya wanita tua itu.

“Saya sebentar lagi turun kok Nek,” bohong Aisha.

Dengan berbinar, wanita tua itu duduk di kursi yang semula Aisha duduki.

Aisha mengeratkan pegangannya ketika bus yang dinaikinya melewati jalanan yang cukup berbelok, tentu saja agar tubuhnya tak sampai ambruk, terutama rantang makanan yang Maya amanatkan untuk Faris.

Aisha melirik arloji yang melingkar di pergelangannya, sudah hampir lima belas menit Aisha berdiri dan jarak Rumah Sakit masih lumayan jauh.

Tiba-tiba laju bus melambat ketika melewati persimpangan dekat alun-alun kota, kendaraan di depannya sama sekali tak bergerak.

Para penumpang mulai ramai menebak-nebak apa gerangan yang terjadi di depan sana. Sirene ambulan tiba-tiba saling bersahutan.

Dari posisinya yang berdiri, terlihat jelas oleh Aisha banyak garis polisi yang terpasang.

Tim medis berlarian untuk memberikan pertolongan. Rupanya sebuah kecelakaan telah terjadi.

Beberapa kali Aisha mengucap kalimat istirja’, dari dalam bus netranya menangkap seorang wanita sebayanya terduduk di belakang mobil yang sudah tak berbentuk tengah sibuk menepuk-nepuk pipi seorang anak kecil di pangkuannya.

Sangat tidak manusiawi jika Aisha hanya mematung menyaksikan pemandangan dihadapannya, ia memutuskan untuk turun dari bus yang tidak bergerak itu, menghampiri wanita yang tadi ia lihat dari dalam bus.

Langkah Aisha sempat terhenti oleh seorang polisi yang berjaga di lokasi kejadian.

“Saya mahasiswa kedokteran yang sudah selesai koas Pak,” tutur Aisha sambal terburu-buru mengeluarkan kartu tanda mahasiswanya.

Beberapa saat polisi tersebut memeriksa kartu mahasiswa Aisha sebelum akhirnya membolehkan Aisha melewati garis polisi untuk ikut andil membantu korban kecelakaan tersebut.

Aisha mencoba memeriksa nadi anak yang tengah tergeletak di pangkuan wanita yang tadi Aisha lihat dari dalam bus, dan ternyata nadinya sangat lemah.

“Mba tolong selamatkan anak saya,” tutur wanita itu panik yang ternyata adalah ibu korban.

Sebagai seorang dokter yang baru saja menyelesaikan program profesinya, Aisha cukup gemetar menyaksikan kecelakaan semacam itu, jiwanya belum terlalu terbiasa dengan pemandangan tersebut.

Aisha berusaha memberikan pertolongan pertama pada si anak sembari menunggu tim medis datang.

Ia mencoba menyadarkan korban dengan memposisikannya secara terlentang dan menaikan kakinya lebih tinggi sekitar 30 cm dari dada agar mengembalikan aliran darah kembali ke otak.

Tak lupa semua pakaian anak itu pun Aisha longgarkan agar lebih mudah untuk bernapas.

Beberapa menit lamanya anak itu tetap belum sadarkan diri, Aisha memutuskan untuk memberikan napas buatan sambil menunggu tim medis datang, akhirnya anak tersebut sadarkan diri meski keadaannya sangat lemah.

Aisha baru bisa bernapas lega karena akhirnya usahanya membuahkan hasil, ibu si anak juga tak henti-hentinya berkali-kali mengucapkan terima kasih padanya.

Aisha melirik rantang makanan untuk Faris yang sejak tadi tak lepas dari genggamannya, lalu memutuskan untuk segera ke Rumah Sakit menghampiri Faris setelah tim medis datang memberikan pertolongan lanjut pada anak yang tadi ia tolong.

***

"Permisi, Mba apa dokter Faris ada di ruangannya?" tanya gadis berjilbab pashmina dusty.

"Sebentar ya Mba saya hubungi dulu," jawab resepsionis ramah. Aisha hanya menggangguk mengiyakan.

"Ada seseorang yang mencari anda Dok," terdengar resepsionis berbicara dengan Faris di telepon.

"Dengan Mba siapa?" tanya resepsionis.

"Ah saya Aisha," jawab Aisha spontan,lalu kembali menunggu resepsionis menyelesaikan teleponnya dengan Faris.

"Mba silahkan langsung ke ruangan Dokter Faris, beliau sedang istirahat," titah resepsionis ramah.

Aisha langsung melangkah menuju ruangan Faris setelah berterima kasih pada resepsionis tadi, tanpa bertanya di sebelah mana ruangan Faris. Tentu Aisha sudah hapal ruangan sahabatnya itu.

***

"Assalamualaikum," sapa Aisha ketika masuk ke ruangan Faris.

"Waalaikumsalam, cantik banget ... habis ketemu siapa sih?" tanya Faris spontan.

Sejujurnya itu bukan sekedar candaan, melainkan memang ungkapan tulus dari hatinya.

"Ih apa sih Faris, aku kan kesini memang mau ketemu kamu," jawab Aisha kesal, bibirnya mengerucut menambah kesan gemas bagi Faris yang melihatnya.

"Oh jadi dandan cantiknya buat aku?" racau Faris menggoda sahabatnya.

"Ih pede ya kamu, cantik mah udah dari sananya tau," jawab Aisha bertambah kesal.

"Iya iya Aisha yang selalu cantik, hue hue ...." goda Faris dengan gaya seperti orang mual.

"Farissss ...." teriak Aisha semakin kesal.

"Suttt ... kamu mau diusir security berisik di Rumah Sakit," jawab Faris semakin menggoda Aisha.

"Kamu sih," jawab Aisha kesal.

"Nih dari Ibu, takut kamu belum makan katanya," lanjutnya seraya menyodorkan rantang makanan yang dibawakan Maya.

"Masya Alloh ... Luv banget deh bu Maya. Bilangin kata Faris ganteng makasih gitu," ucap Faris dengan percaya dirinya.

"Hue ... Hue," jawab Aisha kembali meledek Faris.

"Loh baju kamu kenapa ada darahnya Sha? Kamu kenapa?" tanya Faris panik saat melihat bercak darah di lengan kemeja Aisha yang berwarna putih.

Faris langsung bangkit dari duduknya untuk menghampiri Aisha.

Aisha melirik kemejanya, ia sendiri tak menyadarinya.

"Oh ini bukan darah aku, mungkin tadi darah anak kecil yang kecelakaan."

"Kecelakaan? Tapi kamu nggak apa-apa kan?" lanjut Faris tergesa menggiring Aisha untuk duduk di sofa yang sudah disediakan di ruangannya.

"Aku nggak apa-apa Faris, cuma tadi emang ada kecelakaan waktu aku mau ke sini. keliatannya tadi tim medis juga kewalahan banget, jadi aku turun dulu buat bantu mereka. Makanya makanan kamu agak dinging yah?"

"Alhamdulillah … ya ampun kamu masih sempet-sempetnya mikirin makanan buat aku," tutur Faris yang baru bisa bernapas lega mendengar Aisha baik-baik saja.

"Ya udah kamu makan dulu gih! Udah dingin nanti tambah dingin."

Setelah meletakan makanan yang Aisha bawa, Faris melangkah menuju lemari di samping mejanya, mengambil salah satu kemejanya yang memang sengaja ia siapkan untuk berjaga-jaga jika harus mendadak lembur.

"Nih ganti baju dulu," tutur Faris memberikan kemeja putihnya pada Aisha.

Aisha segera melangkah ke kamar mandi di ruangan Faris untuk mengganti bajunya yang terkena bercak darah, sedangkan Faris lebih memilih untuk menyantap makanannya sembari menunggu Aisha.

Beberapa saat kemudian Aisha keluar dengan kemeja putih yang agak kebesaran, namun ia masukan ke dalam rok plisketnya yang senada dengan hijabnya, juga lengannya yang dilipat karena terlalu panjang.

"Cocok nggak?" tanya Aisha mematut dirinya dihadapan Faris.

"Tetep cantik kok," jawab Faris yang membuat Aisha merona.

"Ayo makan! Pasti kamu belum makan juga?" lanjut Faris yang hanya dijawab oleh kekehan Aisha.

"Faris tau nggak?" tanya Aisha seraya menyaksikan Faris menyantap hidangan yang ia bawa.

"Hmmm ...." Faris hanya menjawab dengan deheman, ia terlalu fokus pada makanannya.

"Faris ih dengerin," ucap Aisha kesal dengan jawaban Faris.

"Iya iya Aisha Ameera Al-Insani."

"Aku dapet SIP (Surat Izin Praktek) internship di Rumah Sakit ini loh," ucap Aisha antusias.

"Uhuk ... Uhuk," tiba-tiba Faris tersedak makanannya mendengar pernyataan Aisha. Hatinya terlalu gembira mendengar kabar itu.

"Serius kamu?" tanya Faris antusias.

"Serius tau," jawab Aisha tak kalah antusias.

"Habis makan kamu ikut aku oke?" lanjut Faris.

"Kemana ih?" tanya Aisha penasaran.

"Ada deh, pokoknya surprise," jawab Faris menggoda.

"Kamu tunggu di sini, jangan kemana-mana. Aku ada operasi satu lagi, sekitar empat puluh menit," lanjutnya.

"Gila! Kamu nyuruh aku nungguin kamu sendirian di sini 40 menit? Kamu mau aku mati kebosenan di sini?" tanya Aisha kesal.

"Ih lebay deh kamu," jawab Faris enteng.

"Bye ...." lanjutnya seraya meninggalkan ruangan.

***

"Faris kita mau kemana sih?" tanya Aisha penasaran.

"Ih berisik deh kamu! namanya juga surprise."

"Aw ... sakit tau," rintih Faris ketika Aisha tiba-tiba mencubit kecil pinggangnya.

"Bodo amat,"jawab Aisha kesal.

Aisha benar-benar dibuat penasaran dengan tujuan mereka saat ini, ia larut dalam lamunan kemungkinan tempat yang akan mereka tuju. Hingga Aisha tak sadar jika Faris telah menghentikan mobilnya.

"Ayo turun," ajak Faris setelah memarkirkan mobil.

Aisha hanya menggangguk mengiyakan. Dia terlalu sibuk dengan lamunannya setahun silam saat Faris justru membawanya ke tempat ini, tentunya kenangannya bersama Azka.

"Kita tuh harus ngerayain kedatangan kamu di Rumah Sakit tahu Sha, makanya aku bawa kamu ke sini. Gimana suka gak?" ucap Faris antusias.

"Mas Azka," ucap Aisha kosong.

Dia benar-benar larut dengan lamunannya bersama Azka dulu. Dia tak sadar jika pria di hadapannya bukanlah Azka yang telah meninggalkannya.

Seketika senyum di wajah Faris memudar, hatinya sesak mendengar nama yang Aisha panggil.

"Aku Faris Zein Abdullah, bukan Azka!"

***

Bersambung ...

Jangan lupa vote, like and coment buat nyemangatin author ya readers tersayang ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!