Chandra berdiri di tepi jendela besar di ruang kerjanya, memandang ke arah gedung-gedung tinggi yang menjulang di kejauhan. Kota ini, yang selalu penuh dengan aktivitas dan hiruk-pikuk kehidupan modern, terasa begitu hampa. Di lantai paling atas dari gedung perkantoran milik keluarganya, ia merasa terasing. Tangannya menyentuh kaca jendela yang dingin, sementara pikirannya berkecamuk dalam keheningan yang menyesakkan.
Ruangan di sekelilingnya sangat luas dan mewah, dengan lantai marmer yang mengkilap dan perabotan kayu mahoni berkelas yang mencerminkan kekayaan keluarganya. Sebagai CEO di perusahaan ayahnya, Chandra adalah sosok yang dihormati dan dipandang sukses di dunia bisnis. Namun, di balik segala kemewahan ini, ia merasakan kehampaan yang semakin hari semakin menggerogoti dirinya.
Beberapa hari yang lalu, hidupnya berantakan. "Aku dan Erika..." Kata-kata kakaknya, Awan, terus terngiang di benaknya. Pengakuan itu menghancurkan seluruh kepercayaannya pada keluarga dan cinta. Erika, wanita yang ia cintai dan yang selama ini menjadi sumber kebahagiaannya, ternyata diam-diam menjalin hubungan terlarang dengan Awan. Bukan hanya itu, Erika kini mengandung anak dari Awan. Dunia Chandra seolah hancur dalam sekejap.
Pandangan Chandra beralih ke meja kerjanya, di mana sebuah undangan pernikahan tergeletak_pernikahan yang seharusnya antara Awan dan seorang gadis bernama Shabiya. Namun, setelah pengkhianatan itu, perjodohan mereka dibatalkan. Kini, pernikahan itu jatuh pada dirinya, sebuah keputusan yang dibuat oleh ayahnya untuk menyelamatkan reputasi keluarga. Shabiya, seorang wanita dari keluarga terpandang, adalah seseorang yang seharusnya tidak pernah masuk dalam kehidupan Chandra. Namun, kini nasibnya terjalin dengan wanita yang tak pernah ia kenal.
Chandra memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam. Ruang kantornya yang besar dan dingin terasa semakin menyempit, menekan dadanya. Ia muak pada segala kebohongan yang mengelilinginya_Erika, Awan, keluarganya. Bahkan, perusahaan yang ia kelola dengan tangan dingin terasa tak lebih dari beban sekarang.
Saat langkah kaki bergema dari arah pintu, pintu kayu besar itu terbuka. Ayahnya, Pak Satria, masuk dengan langkah mantap. Pak Satria adalah pria tua yang meski tubuhnya mulai melemah, masih memancarkan wibawa seorang pemimpin besar. Ia memandang putranya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan, campuran rasa iba dan harapan.
“Chandra,” ucapnya pelan, tapi suaranya penuh ketegasan. “Aku sudah berbicara dengan keluarga Shabiya. Mereka setuju dengan penggantian ini. Kau yang akan menikahinya, menggantikan Awan.”
Chandra menoleh perlahan, menatap ayahnya dengan ekspresi datar. “Kau tahu aku tidak peduli dengan ini, kan?” ucapnya dingin.
“Aku tahu,” jawab Pak Satria, mendekat ke arah Chandra. “Tapi ini bukan soal apa yang kau pedulikan, Chandra. Ini soal keluarga. Kita sudah memberikan janji pada keluarga Shabiya, dan janji itu harus ditepati.”
Chandra mendengus, tertawa tanpa humor. “Janji? Setelah semua ini? Setelah Awan dan Erika?”
Pak Satria menundukkan kepalanya sejenak, membiarkan keheningan mengambil alih sebelum melanjutkan. “Aku tahu kau merasa dikhianati. Tapi kehidupan tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Kadang, kita harus melakukan apa yang benar, bukan apa yang kita inginkan.”
“Benar? Apa yang benar tentang semua ini?” Chandra menatap ayahnya tajam, suaranya rendah tapi penuh dengan kemarahan yang tertahan. “Aku tidak mencintainya, aku bahkan tidak mengenalnya.”
Pak Satria menarik napas panjang. “Kau akan mengenalnya. Dan cinta? Cinta bisa datang seiring waktu.” Ia mengulurkan tangan, menepuk bahu Chandra dengan lembut. “Shabiya bukan Erika. Dia tidak bersalah dalam semua ini.”
Chandra mengalihkan pandangannya kembali ke jendela, hatinya bergejolak antara keputusasaan dan ketidakpedulian. “Aku akan melakukannya, bukan karena aku setuju. Tapi karena aku ingin mengakhiri semua ini.”
Pak Satria mengangguk perlahan, tidak menambah kata-kata lagi. Ia tahu, di balik sikap keras Chandra, ada luka yang dalam. Tanpa berkata apa-apa lagi, Pak Satria berbalik dan meninggalkan ruangan, meninggalkan Chandra sendirian dengan pikirannya yang berantakan.
***
Sore itu, langit kota tampak kelabu, menyiratkan hujan yang sebentar lagi akan turun. Mobil mewah Chandra meluncur di jalan-jalan utama kota, melewati gedung-gedung tinggi yang memancarkan kesibukan modern. Lalu lintas yang padat dan lampu-lampu kota yang berkelap-kelip menambah kesan megah, tetapi bagi Chandra, semua ini hanyalah latar belakang yang tidak berarti. Pikirannya masih tenggelam pada pertemuan yang akan segera terjadi_pertemuan dengan Shabiya.
Rumah keluarga Shabiya berada di kawasan elit yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk pusat kota. Saat mobil Chandra melewati gerbang besar yang dijaga ketat, pandangannya tertuju pada rumah megah bergaya klasik yang berdiri kokoh di tengah taman luas. Pohon-pohon besar yang rindang dan bunga-bunga yang tertata rapi di taman memberikan kesan elegan, tetapi dingin.
Begitu mobil berhenti, seorang pelayan membukakan pintu, mempersilakan Chandra untuk masuk. Saat ia melangkah masuk ke dalam rumah, suasana mencekam langsung menyelimutinya. Interior rumah itu dipenuhi dengan ornamen mahal, namun terasa sunyi dan penuh ketegangan. Suara langkah kaki terdengar mendekat, dan kemudian ia melihatnya_Shabiya.
Wanita itu berdiri di ujung ruangan, mengenakan gaun panjang sederhana berwarna krem. Wajahnya cantik, dengan mata yang besar dan sorot tajam. Namun, yang paling menarik perhatian Chandra adalah ekspresi Shabiya_wajah yang datar dan dingin, tanpa senyum, hanya tatapan waspada yang menyiratkan ketidakpercayaan.
Chandra menatapnya, tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Shabiya juga tak berkata apa-apa. Hanya ada keheningan yang menggantung di antara mereka, seolah mereka berdua sama-sama tahu bahwa pertemuan ini hanyalah awal dari sebuah kisah yang dipaksakan. Sebuah pernikahan yang bukan karena cinta, tapi karena kewajiban.
***
Chandra menatap Shabiya yang berdiri diam di ujung ruangan. Ruang tamu keluarga itu begitu luas dan megah, dihiasi dengan lukisan-lukisan besar yang tergantung di dinding dan perabotan antik yang ditata dengan sempurna. Jendela-jendela besar membiarkan cahaya matahari sore yang redup masuk, menciptakan bayangan-bayangan samar di lantai marmer yang mengilap. Meski ruangan ini dipenuhi keindahan, suasananya terasa dingin dan canggung, seolah kemewahan itu tidak mampu menghangatkan jarak yang terbentang di antara mereka.
Shabiya berdiri tegak, punggungnya lurus, dan tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia tidak memalingkan wajah dari Chandra, namun tatapannya penuh dengan kekakuan, seolah menahan emosi yang sulit ditebak. Gaun panjang krem yang dikenakannya bergelombang halus di sekitar kakinya, mengikuti setiap gerakan kecil tubuhnya yang anggun.
Chandra melangkah maju, setiap langkahnya terdengar bergema di ruangan yang terlalu sunyi. Detak jantungnya terasa begitu keras, bukan karena gugup, tetapi karena kemarahan dan kekecewaan yang terus menghantuinya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi lidahnya terasa kelu. Ketika jarak di antara mereka sudah cukup dekat, Shabiya akhirnya angkat bicara, suaranya tenang tapi sarat dengan ketegangan yang terpendam.
“Aku tahu ini bukan pilihanmu,” kata Shabiya pelan, tapi tegas. “Dan kau harus tahu, ini juga bukan pilihanku.”
Chandra menatap wajah gadis itu, mencoba mencari petunjuk dari sorot matanya. Di balik tatapan dingin itu, ia bisa merasakan ada kerumitan emosi yang sama seperti yang ia rasakan_kecewa, marah, dan ketidakberdayaan. Namun, Shabiya tidak menunjukkan kelemahannya, dia tampak tegar dan terkendali.
“Tidak ada yang menginginkan ini, Shabiya,” jawab Chandra, suaranya rendah dan dingin, mencerminkan kebekuan hatinya. “Tapi di dunia kita, apa yang kita inginkan tidak selalu berarti apa-apa.”
Shabiya menatapnya dengan tatapan tajam, seolah mengevaluasi setiap kata yang keluar dari mulutnya. “Benar. Tapi aku tidak ingin kita berpura-pura, Chandra. Jika kita harus melakukan ini, aku hanya meminta satu hal_kejujuran. Aku tidak mengharapkan cinta atau perhatian, tapi aku tidak akan toleransi kebohongan.”
Keheningan menyelimuti mereka lagi. Chandra merasakan ada kekuatan dalam kata-kata Shabiya yang membuatnya tersentuh, meskipun ia tidak ingin mengakuinya. Wanita ini berbeda dari yang ia bayangkan. Ia pikir Shabiya akan menjadi wanita yang lemah, tunduk pada kehendak keluarganya tanpa perlawanan. Namun, yang berdiri di hadapannya adalah seorang wanita yang kuat dan penuh tekad, seseorang yang menuntut kejelasan bahkan di tengah situasi yang kacau.
“Aku tidak punya alasan untuk berbohong padamu,” jawab Chandra, tatapannya tetap dingin. “Aku juga tidak mengharapkan apapun darimu. Ini hanya... formalitas. Sesuatu yang harus dilakukan.”
Shabiya menghela napas, suaranya terdengar lebih lembut sekarang. “Mungkin begitu. Tapi aku harap kita bisa menjaga hubungan ini dengan kehormatan, meskipun tanpa perasaan.” Ia memalingkan wajahnya sejenak, menatap keluar jendela di mana sinar matahari yang tersisa mulai memudar, menggantikan langit dengan kegelapan malam. “Aku tidak ingin menjadi boneka dalam permainan keluargaku, Chandra. Dan aku yakin kau juga tidak.”
Chandra diam, meresapi kata-kata Shabiya. Ada kesamaan dalam luka mereka. Meski mereka datang dari keluarga yang berbeda, beban yang mereka tanggung terasa mirip_tanggung jawab keluarga, reputasi, dan pengorbanan atas kehendak pribadi. Chandra mulai menyadari bahwa Shabiya, seperti dirinya, hanyalah korban dari permainan yang lebih besar.
“Aku mengerti,” jawab Chandra akhirnya, nadanya sedikit lebih lunak. “Kita mungkin tidak menginginkan ini, tapi kita bisa menjalani ini dengan cara kita sendiri.”
Shabiya menoleh kembali padanya, mata mereka bertemu dalam keheningan yang penuh makna. “Baik. Kita jalani dengan cara kita. Tapi ingat, Chandra, aku tidak akan membiarkan diriku terluka lebih dari ini.”
Ada keteguhan dalam ucapannya, seolah ia sudah siap untuk menjaga dirinya dari rasa sakit yang lebih dalam. Chandra mengangguk pelan, menghargai ketegasan Shabiya. Ia bukan Erika. Wanita ini tidak akan bermain di belakangnya, ia tidak akan mengkhianatinya seperti yang dilakukan Awan dan Erika. Meskipun pernikahan ini dimulai dari kehampaan, mungkin, hanya mungkin, ada sesuatu yang lebih bisa berkembang dari kejujuran yang mereka sepakati.
Setelah beberapa detik yang panjang, Shabiya melangkah mundur, menunjukkan bahwa percakapan mereka telah selesai untuk saat ini. “Besok kita akan berbicara dengan keluarga. Semua akan diatur.” Ucapannya terdengar formal, seperti seorang diplomat yang menegosiasikan perjanjian.
Chandra mengangguk sekali lagi, lalu berbalik dan melangkah pergi. Saat ia berjalan keluar dari ruangan besar itu, perasaan aneh mulai menggerogoti dirinya. Wanita yang baru saja ia temui ini begitu berbeda dari yang ia bayangkan. Ada sesuatu tentang Shabiya yang membuat Chandra merasa bahwa pernikahan ini, meskipun tanpa cinta, mungkin tidak akan seburuk yang ia kira.
Begitu pintu tertutup di belakangnya, Chandra berhenti sejenak di koridor besar rumah itu. Ia menatap tangannya sendiri, merasa dingin yang merambat dari ujung jari ke seluruh tubuhnya. Ia mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ini bukan pernikahan biasa_ini adalah sebuah kontrak tanpa cinta, tapi penuh dengan harapan dan tuntutan kejujuran. Mungkin, hanya mungkin, ada jalan untuk mereka berdua menemukan sesuatu di tengah kekosongan ini.
Tetapi di sisi lain, Chandra juga tahu_bayang-bayang pengkhianatan masih mengikuti setiap langkahnya.
***
Di aula mewah hotel yang dipenuhi lampu kristal berkilauan, pernikahan berlangsung dengan kemegahan yang nyaris menyesakkan. Dekorasi berwarna putih dan emas mendominasi ruangan, dengan bunga lili putih dan mawar merah menghiasi setiap sudut, simbol kesucian yang bertentangan dengan kekacauan yang tersembunyi di dalam hati kedua mempelai. Di hadapan kerumunan para tamu yang penuh harap, Chandra dan Shabiya berdiri berdampingan, tampak seperti pasangan yang sempurna di mata semua orang. Namun, di antara mereka, atmosfer terasa tegang.
Chandra berdiri dengan tubuh tegap dan sorot mata yang tenang namun penuh perhitungan, seperti seorang pria yang tahu persis di mana letak setiap jebakan di ruangan itu. Jas hitamnya yang rapi, dengan dasi gelap yang dipilihnya dengan saksama, memancarkan kekuatan dan keanggunan yang dingin. Tapi dalam hatinya, ada gejolak yang sulit ia kendalikan, terutama saat pandangannya tertuju pada dua sosok yang berdiri tidak jauh dari altar—Awan dan Erika.
Awan tampak tersenyum kecil dengan ekspresi santai, sementara Erika berdiri di sampingnya dengan mata yang berkilat sinis, seolah menikmati setiap detik dari momen ini. Melihat mereka berdiri begitu dekat, tampak tenang dan puas, membuat darah Chandra mendidih. Ada kepahitan yang menggores hati Chandra, namun ia tetap menjaga wajahnya datar. Ini adalah momen Shabiya dan dirinya—tidak ada tempat untuk menunjukkan kelemahan.
Saat itu, pandangannya beralih ke Shabiya yang berdiri di sampingnya. Gaun putih yang membalut tubuh Shabiya berkilauan di bawah sinar lampu, memberikan kesan anggun dan rapuh, meskipun wajahnya yang tenang memperlihatkan ketegasan yang kuat. Bibirnya yang merah terlihat tanpa senyum, namun tatapannya teguh, hampir menantang, seperti ia tidak peduli apa yang orang pikirkan. Di balik ekspresi tenang itu, Chandra bisa merasakan kemarahan dan ketidakpercayaan yang sepadan dengan miliknya. Mereka mungkin sama-sama terpaksa, tetapi di momen ini, mereka berdua adalah sekutu dalam kepura-puraan.
Sang pengantin pria, meski jantungnya berdebar tak nyaman, memegang tangan Shabiya erat, meski tangannya dingin dan kaku. Keduanya bertukar sumpah dengan nada formal, seolah itu hanya kalimat tanpa makna yang harus diucapkan, bukan janji yang lahir dari hati.
Ketika upacara mencapai puncaknya, sang pendeta berkata dengan suara yang tenang namun jelas, "Dan sekarang, Anda boleh mencium pengantin Anda."
Chandra seketika merasa jantungnya berhenti sejenak. Untuk mencium Shabiya berarti menegaskan kebersamaan mereka, sesuatu yang belum tentu diinginkannya. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia menutupinya dengan gerakan tenang, dan menarik napas panjang. Namun, saat ia melirik ke arah Awan dan Erika, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya semakin mendidih—Awan melipat tangannya sambil tersenyum mengejek, dan Erika berdiri dengan mata yang seolah-olah menantang, seperti berkata,'Kau tidak bisa menghindari ini, Chandra.'
Sejenak, Chandra ragu. Tapi melihat tatapan meremehkan itu, keputusan tiba-tiba muncul dalam benaknya. Ia tidak akan mundur. Tidak di depan mereka.
Ia menatap Shabiya, yang masih berdiri dengan tatapan tajam, nyaris tanpa ekspresi, tetapi ada kilatan kebingungan dan sedikit penantian dalam matanya. Perlahan, Chandra mendekat. Wajah mereka hanya beberapa inci terpisah, dan ia bisa merasakan kehangatan napas Shabiya yang lembut di wajahnya. Meskipun hatinya masih dipenuhi kemarahan dan kepedihan, Chandra mengulurkan tangannya, meraih wajah Shabiya dengan lembut namun tegas. Kemudian, dengan perlahan, ia menutup jarak di antara mereka.
Ciuman itu dimulai dengan keheningan, dingin dan penuh formalitas. Bibir mereka bersentuhan seolah menandakan ikatan kosong yang mereka buat demi kehormatan keluarga. Namun, dalam sekejap, ada sesuatu yang berubah. Kemarahan, rasa sakit, dan rasa frustrasi yang berbaur dalam hati mereka seolah menemukan pelampiasan dalam ciuman itu. Chandra memperdalam ciuman itu, seolah ingin menunjukkan pada Awan dan Erika bahwa ia tidak peduli dengan mereka, bahwa ia telah melangkah lebih jauh dari permainan mereka.
Namun, di balik amarah itu, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang tak terduga. Ciuman itu mulai terasa lebih dari sekadar formalitas, lebih dari sekadar pembuktian. Di balik ketegangan dan kemarahan, Chandra merasakan sesuatu yang aneh di dadanya, sesuatu yang tidak ia rencanakan. Shabiya pun tampak terkejut dengan intensitas ciuman itu, tapi ia tidak menghindar. Tatapan tajam yang biasa menghiasi wajahnya kini berubah, menyiratkan kebingungan dan kehangatan yang tiba-tiba mengisi ruang di antara mereka.
Saat akhirnya mereka melepaskan ciuman itu, mata mereka bertemu dalam keheningan yang dalam, masing-masing bertanya-tanya apa yang baru saja terjadi. Di balik ekspresi dingin dan teguh, ada kebingungan yang tak terucap di mata mereka. Chandra menatap Shabiya dengan intensitas yang sulit dijelaskan, dan di sana, di dalam tatapan itu, ia melihat sesuatu yang lebih dari sekadar sekutu dalam pernikahan ini. Ada ketegangan dan rasa yang lebih dalam yang membuat Chandra merasa… gentar.
Kerumunan tamu bertepuk tangan, tetapi suara itu hanya terdengar samar di telinga Chandra. Baginya, yang ada hanyalah detak jantungnya yang semakin keras dan mata Shabiya yang masih menatapnya penuh tanda tanya. Chandra merasakan perasaan aneh yang menghantui dadanya—perasaan yang tak ingin ia akui, tapi sulit diabaikan.
Kemudian, dari sudut matanya, Chandra menangkap pandangan dari Awan dan Erika, yang masih berdiri di sudut ruangan. Ekspresi Awan yang sebelumnya santai kini berubah menjadi tatapan tajam penuh ironi, sementara Erika menatap Chandra dengan wajah yang tidak bisa disembunyikan lagi—cemburu.
Senyum tipis muncul di bibir Chandra. Ia tahu sekarang ia yang memegang kendali. Tapi di balik kemenangan kecil itu, ada perasaan yang mulai mengusik hatinya. Perasaan yang belum pernah ia alami sebelumnya, perasaan yang lebih dari sekadar balas dendam.
Saat itu, suara seorang tamu yang tak dikenal menginterupsi, membawa mereka kembali ke realitas. Tapi saat mereka berbalik, Shabiya berbisik pelan, nyaris tak terdengar, namun cukup bagi Chandra.
“Apa kau menikahiku hanya untuk membuktikan sesuatu pada mereka?”
Pertanyaan itu menghantam Chandra seperti pukulan yang tak terduga, membuatnya terdiam sesaat. Namun sebelum dia sempat menjawab, Shabiya telah berbalik dan melangkah meninggalkannya, meninggalkan perasaan aneh yang menggantung di udara, tak terjawab.
Dan Chandra hanya bisa menatap kepergiannya dengan hati yang semakin gelisah, bertanya-tanya pada dirinya sendiri: Apa yang sebenarnya dia inginkan dari pernikahan ini?
***
Suasana di aula perlahan berubah. Tepuk tangan dari para tamu mereda, digantikan oleh obrolan rendah yang terdengar seperti gumaman lebah di kejauhan. Namun, bagi Chandra, keramaian itu hanyalah latar belakang kabur dari pikirannya yang sibuk mencerna pertanyaan Shabiya.
Shabiya berjalan menjauh darinya, gaun putih panjangnya meluncur anggun di lantai marmer, memantulkan cahaya kristal dari lampu gantung di atas. Punggungnya tegak, kepalanya sedikit terangkat, seperti seorang ratu yang baru saja memutuskan bahwa ia tidak peduli lagi dengan kerajaannya. Tapi Chandra tahu lebih baik. Gerakan itu adalah caranya menyembunyikan sesuatu. Amarah. Luka. Atau mungkin… ketidakpastian.
Di sisi lain ruangan, Awan dan Erika masih berdiri. Awan kini bersandar santai di meja hidangan, memegang segelas anggur merah dengan senyum miring yang sama sekali tidak membantu suasana hati Chandra. Erika, di sisi lain, tampak resah. Matanya melirik Shabiya, kemudian Chandra, lalu kembali lagi. Ada sesuatu yang menggumpal dalam tatapan wanita itu—sesuatu yang membuat Chandra ingin tertawa sinis.
"Jadi kau cemburu," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Ia memutuskan untuk bergerak, meninggalkan kerumunan yang mulai mendekat untuk memberikan ucapan selamat. Tapi langkahnya terhenti ketika seorang tamu tua dengan jas abu-abu mendekat, memaksa Chandra untuk berhenti dan beramah tamah.
"Selamat, Chandra. Pengantin wanita yang cantik sekali," ujar pria itu sambil menjabat tangannya erat.
"Terima kasih, Pak Hari," jawab Chandra dengan senyum diplomatis, meski matanya sesekali melirik ke arah Shabiya yang kini berdiri di dekat balkon, sendirian.
Ia mendapati dirinya terganggu. Biasanya, ia mampu membagi perhatian tanpa kesulitan, tetapi malam ini berbeda. Ada sesuatu tentang Shabiya—ketegangan di bahunya, tatapan dinginnya, dan cara ia mengajukan pertanyaan itu—yang membuat Chandra merasa… terbuka. Rawan. Dan ia benci perasaan itu.
Setelah berhasil mengakhiri percakapan dengan tamu, Chandra memutuskan untuk mendekati Shabiya. Langkahnya mantap, ekspresinya netral, tapi di dalam dirinya, ada badai yang sulit dikendalikan. Ketika dia sampai di balkon, dia berhenti sejenak, membiarkan bayangan tubuhnya terpantul di lantai marmer sebelum akhirnya berkata dengan suara rendah yang hanya bisa didengar mereka berdua.
“Kau selalu memiliki cara untuk mengakhiri momen, bukan?”
Shabiya berbalik perlahan. Angin sore yang masuk melalui pintu balkon menggoyangkan rambutnya yang panjang. Matanya yang gelap bertemu dengan milik Chandra, penuh dengan keteguhan yang membuat pria itu kembali merasa ditelanjangi.
“Apa aku salah?” jawab Shabiya, nada suaranya tajam namun terkendali. “Bukankah itu yang kau lakukan? Membuktikan pada mereka bahwa kau masih bisa berdiri lebih tinggi?”
Chandra menghela napas panjang, mencoba menahan dorongan untuk merespons dengan kemarahan. Ia melangkah lebih dekat, hingga jarak mereka hanya beberapa inci, lalu bersandar di pinggiran balkon.
“Kau tidak tahu apa-apa tentang aku,” katanya dengan nada rendah yang mengandung bahaya.
“Tidak, aku tidak tahu.” Shabiya menyilangkan tangannya, matanya masih terpaku pada Chandra. “Dan kau juga tidak tahu apa-apa tentang aku. Jadi mengapa kita berpura-pura, Chandra?”
Shabiya diam sesaat, membiarkan kata-kata itu menggantung di udara. Lalu ia melanjutkan, lebih pelan namun lebih tajam. “Kau tahu apa yang paling menyedihkan dari semua ini? Kau pikir aku peduli pada permainan kecilmu dengan mereka. Aku tidak peduli.”
Chandra merasa darahnya mendidih. Tapi sebelum ia bisa menjawab, Shabiya melanjutkan.
“Yang aku pedulikan adalah… apakah kita akan terus begini? Bermain perang dingin yang sama sekali tidak ada pemenangnya? Jika ya, maka aku tidak mau melanjutkan ini. Aku punya lebih banyak hal untuk dilakukan.”
Ia berbalik, meninggalkan Chandra lagi, kali ini dengan langkah yang lebih cepat. Tapi sebelum ia sepenuhnya menghilang ke keramaian aula, ia berhenti, menoleh sedikit, dan berkata dengan nada datar.
“Aku akan pergi ke ruang ganti lebih dulu. Aku harap kau tidak lama.”
Chandra berdiri diam di sana, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Angin sore bertiup lebih dingin, tapi dadanya terasa lebih panas dari sebelumnya. Ia merasa kalah, meskipun tidak ada pertarungan yang jelas.
Kemudian, dari sudut balkon, ia mendengar suara langkah mendekat. Ketika ia menoleh, ia menemukan Awan berdiri di sana, membawa segelas anggur dengan ekspresi penuh kepuasan.
"Berat ya, punya istri yang tidak bisa kau kendalikan?" Awan meneguk anggurnya dengan santai, senyumnya licik.
Chandra menatapnya tajam, bibirnya melengkung ke dalam senyum tipis yang dingin.
"Sudah mulai menarik, bukan?" Suara Awan terdengar di belakang Chandra, memecahkan keheningan yang ia nikmati. Awan berdiri dengan senyum santai, tetapi ada kilatan sinis di matanya. "Kau bahkan tidak terlihat seperti pria yang baru saja menikah. Kau seharusnya... sedikit lebih banyak senyum, mungkin?"
Chandra menoleh perlahan, memberikan senyum tipis yang tak sampai ke matanya. "Kau benar, Awan. Mungkin aku harus mempelajari caramu tersenyum sambil mengkhianati keluargamu."
Ekspresi Awan berubah, tapi hanya sekejap. Ia meneguk anggurnya dengan santai, mencoba tetap terlihat tenang. "Aku hanya mencoba bersikap ramah, Chandra. Jangan terlalu sensitif."
"Ramah? Itu hal baru," balas Chandra dengan nada tajam. Ia mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat, suaranya rendah, hampir berbisik. "Tapi aku tahu permainanmu, Awan. Dan aku tidak akan kalah kali ini."
Awan tersenyum tipis, tetapi ada ketegangan di garis rahangnya. "Hati-hati, adikku. Kadang, terlalu banyak strategi bisa membuatmu lupa pada tujuan sebenarnya."
Sebelum Chandra sempat merespons, suara langkah sepatu hak menghentikan pembicaraan mereka. Shabiya muncul, mendekati mereka dengan langkah tegap yang hampir menyerupai seorang prajurit. Wajahnya tetap tenang, tetapi ada kilatan tajam di matanya yang membuat Awan langsung terdiam.
Shabiya kembali. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya. Ia berdiri tegap di pintu balkon, matanya tajam seperti pisau yang baru diasah. Ekspresinya begitu dingin hingga membuat Awan berhenti tertawa, meskipun hanya sesaat.
"Apa kalian sedang membicarakan aku?" Shabiya berhenti di depan mereka, tangannya menyentuh meja kecil di samping. Ia menatap keduanya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Jika iya, jangan ragu untuk melanjutkan. Aku selalu suka mendengar bagaimana orang lain mencoba menilai hidupku."
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!