Seorang wanita gagah perkasa berdiri tegak di hadapan mayat-mayat yang bergelimpangan di medan perang. Di tangannya menggenggam sebilah samurai tajam dan panjang, berlumuran cairan merah kental dan berbau amis. Dia tersenyum puas, peperangan kali ini pun dia menangkan.
Pantaslah gadis bernama Lyara itu menyandang gelar sebagai jenderal perang yang tak terkalahkan. Sejarah tidak pernah mencatat kegagalannya dalam berperang. Pergi dengan tekad dan semangat, kembali membawa kemenangan.
Jleb!
"Argh!"
Jenderal perang itu jatuh berlutut bertumpu pada pedang di kala sebuah benda tajam menghunus dadanya. Dia memuntahkan seteguk darah dari mulutnya. Tertunduk lemas, dan perlahan denyut jantung semakin lemah. Ketukan langkah menyapa telinga, ia terpejam untuk menahan segala rasa sakit yang menyerang.
Sepasang sepatu kain muncul di penglihatannya ketika mata terbuka. Dia tahu milik siapa itu? Adik tiri yang mengincar nyawa serta suaminya.
Gadis itu berjongkok, menyentuh dagu Lyara dengan jari telunjuk. Mengangkat wajah itu bertatapan dengannya.
"Bagaimana rasanya? Apakah sakit ... Kakak?" bisiknya sambil tersenyum sinis.
Lyara tak mampu menjawab, kembali memuntahkan seteguk darah dari mulut membuat tubuhnya benar-benar ambruk di tanah. Gadis itu berdiri, muncul lagi seseorang yang tak kalah mencengangkan. Dia suami Lyara, bersekongkol untuk membunuhnya.
Pandangannya semakin memburam, melihat mereka yang semakin menjauh sambil berpelukan. Bahkan, tak segan mengumbar kemesraan di hadapan Lyara yang sekarat.
"Jika ada kehidupan lainnya, aku akan membalas kalian."
Uhuk!
Lyara jatuh terkulai, kedua matanya menutup sempurna. Napas terputus, dan segala kehidupannya pun telah berakhir. Kejayaan yang diraihnya tak dapat ia nikmati. Lyara mati membawa dendam di hati.
****
Hah~
Lyara membuka mata secara tiba-tiba, baru saja dokter mengatakan bahwa dia sudah meninggal. Sontak tubuh itu duduk, menatap sekitar. Semuanya nampak aneh, dinding yang terbuat bukan dari kayu. Semuanya berwarna putih bersih, kasur kecil dengan seprei yang lusuh dan kusut.
"Di mana ini? Bukankah aku mati di medan perang? Kenapa bisa ada di tempat aneh ini?" Dia bergumam sambil melihat-lihat sekeliling kamar kecil itu.
Tangannya yang kurus menyibak tirai, menatap benda-benda aneh berlalu-lalang di luar sana. Ia menatap tangan dan jemarinya dengan dahi berkerut.
"Kenapa tubuhku kurus dan lemah seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi?" Dia kembali bermonolog, tak percaya.
Brak!
Pintu terbuka, spontan kewaspadaannya meningkat. Matanya menajam menatap sekelompok orang yang berdiri di ambang pintu.
"Ha-hantu!"
"Nona! Nona!"
Seorang gadis kecil berpakaian pelayan berlari menyerobot kerumunan orang itu. Dia memeluk Lyara sambil menangis terharu. Namun, gadis itu belum mengerti apa-apa, tatapan matanya masih sama. Tajam dan menusuk.
"Syukurlah, Anda baik-baik saja, Nona. Aku kira Anda akan meninggalkan aku selamanya," ucap pelayan kecil itu menangis tersedu-sedu.
"Bukankah dia sudah mati? Dokter mengatakan dia sudah mati, kenapa ...?" Kelompok orang itu menatap aneh dan takut padanya.
Lyara masih saja bingung, tak mengerti dengan orang-orang yang berpakaian aneh menurut pandangannya. Ia melepas pelukan si pelayan kecil dengan cepat, dan memeriksa keadaan tubuhnya. Lyara berlari ke hadapan cermin, memeriksa wajah sendiri.
"Kenapa tubuhku kurus sekali? Apa aku tidak pernah makan?" gumamnya setelah memeriksa keadaan.
"Apakah dia masih manusia? Semua orang tahu dia mati tenggelam karena tidak bisa berenang. Kenapa sekarang masih berdiri di sini?" bisik salah satu dari mereka yang bisa didengar oleh Lyara.
Apa? Mati tenggelam? Aku tidak bisa berenang?
Argh!
Argh!
Lyara memegangi kepalanya yang terasa berputar dan pusing tak tertahan. Adegan pun muncul, di mana pemilik tubuh lemah itu ditindas oleh sekelompok orang.
"Kau ingin diperhatikan Xavier, kau selalu mencuri kesempatan untuk dicintai Xavier. Bahkan, dengan tidak tahu malu kau menaruh obat di dalam minuman Xavier. Perempuan sepertimu ini sungguh menjijikkan. Kau pikir Xavier akan melirik mu? Kau tidak pantas berada di sisinya. Itulah mengapa Xavier tidak pernah mengizinkan dirimu untuk meninggalkan mansion ini."
Sebuah cacian mengiang di dalam gendang telinganya. Lyara tidak pernah menerima cacian untuk seumur hidupnya.
"Lyra, kau ingin dicintai Xavier, bukan? Kau harus tahu, Xavier sangat menyukai gadis yang pandai beraksi. Dia menyukai perempuan yang energik, bukan perempuan lemah seperti dirimu ini. Jadi, ku sarankan kau harus belajar melatih dirimu. Kau tahu Xavier sangat menyukai berenang, mulailah dari kolam ini."
Dia mendorong tubuh Lyra ke dalam kolam, tertawa puas menyaksikan betapa Lyra berusaha keras menggapai tepi. Sekuat tenaga mengayuh tangan dan kakinya untuk bisa sampai di daratan. Sayang, tubuhnya begitu lemah ditambah dia yang memang tidak pandai berenang. Perlahan-lahan tubuh Lyra tenggelam dan terkulai lemas. Lalu, meregang nyawa di dalam kolam.
Lyra?
"Tolong aku! Tolong balaskan dendamku!"
Sebuah suara lirih menyapa telinga, rintihan yang begitu memilukan dan menyesakkan dada.
Ah, apakah aku melakukan perjalanan waktu dan berpindah dunia? Lyra? Baiklah, aku akan membuat hidupmu terbebas dari semua rasa sakit ini.
"Memang kenapa jika dia hidup lagi? Nona Myra pasti bisa membuatnya mati lagi. Kau orang rendahan tidak pantas berebut tuan Xavier dengan nona Myra. Menjijikkan!"
Suara penuh kebencian itu kembali terdengar di telinganya. Lyra menghela napas panjang, mengurai rasa pening di kepala. Berangsur-angsur sakit yang mendera kepalanya menghilang. Dia mendongak, menemukan perempuan setengah baya yang menatapnya sinis.
Dia, seharusnya kepala pelayan yang melayaniku, bukan? Begitu berani dan arogan.
"Kenapa kau harus hidup lagi? Menyusahkan saja. Kau lebih baik mati tenggelam dan tidak kembali. Kuburmu sudah digali, seharusnya kau berterimakasih karena tidak harus menggali kuburanmu sendiri," cibir perempuan itu masih dengan sikapnya yang angkuh.
Plak!
Sebuah tamparan yang begitu keras dan tak terduga mendarat di pipinya. Tubuh perempuan setengah baya itu terhuyung dan jatuh di lantai.
"Kau berani menamparku?" hardiknya sengit.
Ah, kenapa tubuh ini lemah sekali? Hanya seperti ini saja harus menghabiskan semua tenaga. Bagaimana aku akan bisa menjalani hidup dengan baik?
Lyra mengeluh di dalam hati. Dia menatap tajam perempuan itu, hal yang selama ini tidak pernah dia lakukan. Lyra selalu menunduk dan patuh.
"Kenapa aku tidak berani? Kau hanya seorang pelayan yang seharusnya melayani majikan dengan baik. Orang rendahan yang tidak tahu posisinya. Beraninya menindas majikan sendiri," ucap Lyra dengan suara khas Lyara yang tegas dan dingin.
Dia berubah? Tidak mungkin dia berubah setelah dinyatakan meninggal. Dia masih Lyra yang sama, yang lemah dan bodoh.
"Kau ...."
"Diam! Pergilah, aku ingin istirahat," usir Lyra seraya berbalik dan melangkah mendekati ranjang.
Si pelayan kecil berlari ke pintu, menutupnya dengan sangat keras dan menguncinya. Dia mendekati Lyra yang duduk di tepi ranjang dengan wajah pucat pasi.
"Nona, Anda tidak apa-apa?" tanyanya cemas.
Lyra mendongak, menatapnya dengan senyuman.
"Kau Nira? Aku tidak apa-apa. Hanya merasa tubuhku lemah dan ingin tidur beberapa saat saja. Kau bisa berjaga di sini untukku?" ucap Lyra lemah.
"Baik, Nona. Saya tidak akan membiarkan siapapun menggangu Anda."
Lyra mengangguk kecil dan tersenyum. Ia berbaring kemudian terpejam. Mengumpulkan tenaga untuk menghadapi masalah lainnya.
"Di mana dia?!"
Beberapa saat terpejam, suara lain menggema mengusik ketenangannya.
Siapa itu?
Siapa itu?
Batin Lyra bergumam, tidurnya terusik. Dahi mengernyit, tapi kedua mata tetap terpejam. Dia sangat lemah tak bertenaga.
Kenapa tubuh ini lemah sekali? Untuk bergerak saja aku tidak bisa.
Dia mengeluh, tubuh yang dia tempati saat ini benar-benar lemah. Untuk membuka kelopak mata saja, rasanya tak mampu.
Brak!
"Lyra! Lyra!" Sebuah suara laki-laki tua menyapa telinga.
"Tuan Besar! Anda datang?" Nira terlihat senang dengan kedatangan laki-laki setengah baya itu.
"Apa yang terjadi padanya? Siapa yang membuatnya celaka sampai menjadi seperti ini?" tanyanya seraya duduk di tepi ranjang, menatap wajah pucat Lyra yang terpejam.
Oh, dia ayah mertuaku yang baik, bukan? Sayang, dia tidak tinggal di mansion ini.
Hati Lyra kembali bergumam, ingin sekali membuka mata dan melihat wajah teduh itu.
Ketukan langkah yang datang, menghentikan Nira yang hendak memberitahu semua yang terjadi pada Halon. Mata tajam Myra menghunus sengit tepat di kedua manik Nira.
"Kenapa kau diam saja? Apa yang terjadi?" bentak Halon tak sabar.
"Ma-maafkan saya, Tuan Besar. Ini karena kelalaian saya yang tidak bisa menjaga Nona dengan baik hingga saat bermain di dekat kolam, Nona terjatuh," jawab Nira berbohong.
Kenapa kau berbohong, Nira?
Lyra menggeram di dalam hati, seandainya dia bisa membuka mata dan memiliki tenaga untuk bangkit, dia akan bercerita tentang kejadian siang itu.
"Tuan!" Nira berlutut, memohon kepada Halon agar tetap diizinkan tinggal merawat Lyra.
"Tuan, jangan usir saya. Tolong biarkan saya tinggal di sisi Nona. Apa yang harus saya lakukan jika saya pergi dari sisinya? Tuan, Anda adalah orang yang bijaksana. Saya siap menerima hukuman, tapi jangan gantikan saya. Tolong, Tuan! Saya sudah merawat Nona dari dulu, saya tidak bisa berpisah jauh dengan Nona," ratapnya dengan air mata berderai deras.
Halon menghela napas panjang, menatap Lyra dengan sedih. Sedikit rasa sesal di hati karena menikahkan gadis itu dengan anak keduanya. Dia berharap Xavier bisa menjaga Lyra sesuai keinginan orang tua gadis tersebut.
Ia menunduk, gamang dengan perasaannya sendiri. Lalu, kembali menengadah, menghirup udara banyak-banyak.
"Baiklah. Kau tetap bisa di sisinya, tapi saya harap jangan sampai ada kejadian seperti ini lagi. Jaga dia baik-baik, jangan pernah meninggalkannya," ucap Halon pada akhirnya.
Semuanya sudah terlanjur, Lyra sudah menjadi istri Xavier dan tinggal di mansion itu. Beruntung, ada Nira pelayan setia Lyra yang mengikutinya sejak dulu. Halon tidak mempercayai siapapun kecuali pelayan kecil itu.
"Terima kasih, Tuan Besar. Terima kasih." Nira menundukkan kepalanya, berterimakasih kepada laki-laki setengah baya itu.
Halon sedikit menunduk, mengusap rambut gadis itu dengan sangat lembut. Dia menyayangi Lyra seperti menyayangi anaknya sendiri. Ia bangkit, pergi meninggalkan kamar Lyra dengan segala kecemasan di dalam hatinya.
Myra yang tadi datang mengancam Nira, terburu-buru berbalik dan pergi. Dia tidak berani berhadapan dengan Halon secara langsung.
Hangat sekali, aku ingin segera membuka mata dan bertemu langsung dengannya. Ayah!
Senyum mengembang di bibir Lyra meski mata masih terpejam. Ada setitik air yang jatuh, sungguh dia tidak memiliki kekuatan.
Ada yang salah dengan tubuh ini. Ya, pasti ada yang salah.
"Nona!" Nira berhambur mendekat, mengusap air yang jatuh dari matanya.
"Maafkan saya karena tidak bisa berkata jujur kepada tuan besar. Dia ... dia mengancam saya, Nona," ucap Nira sedih.
Gadis pelayan itu menunduk sedih karena tak dapat melakukan apapun untuk membela majikannya. Padahal dia sudah berjanji kepada orang tua Lyra akan menjaganya dengan baik.
Tunggu aku bangun, Nira. Kita akan membalas semua yang mereka lakukan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!