Sakila cahyaningrum, gadis berusia 21 tahun yang hidup sederhana bersama kedua orang tuanya. Di usianya yang masih terbilang muda, yakni 3 tahun. Dia harus di hadapkan pada situasi menyakitkan. Sakila kehilangan sosok Ibu dalam insiden kecelakaan maut.
Sakila menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ibunya meregang nyawa dalam mobil yang di tumpanginya. Beruntung kala itu Sakila dapat di selamatkan. Sementara Ibunya harus meregang nyawa dan pergi untuk selamanya saat itu juga.
Setahun pasca kepergian sang bunda, Ayah Sakila menikah lagi dengan seorang gadis bernama Dinda. Sakila menyambut hangat pernikahan Ayahnya itu. Karena dia pikir wanita yang kini menjadi Ibu sambungnya mampu menyayangi dirinya selayaknya anak kandung, tapi ternyata Sakila salah menilai. Dinda tak pernah tulus menyayangi dirinya. Terlebih lagi setelah kehadiran putranya yang bernama Aksat. Namun, Sakila dan Aksat saling menyayangi satu sama lain. Mereka tak membedakan status yang di sandang keduanya, yakni saudara tiri.
Sehari-hari Sakila bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran besar milik sahabatnya yang bernama Sina. Sakila bekerja dari pagi hingga malam hari.
**
Alka Prayoga, duda kaya raya beranak dua dan telah menikah. Alka memiliki dua menantu perempuan. Di usianya yang tak terlalu tua, Alka sudah memiliki menantu. Karena dulu pria yang berprofesi sebagai pebisnis properti itu menikah di usia muda, yakni 19 tahun.
Menantu Alka bernama Riana dan Herlina. Sementara putranya bernama Very Prayoga dan Aldiansyah Prayoga.
Selama bertahun-tahun Alka hidup dalam kesendiriannya sebagai duda. Dia bahkan tak sekalipun berniat untuk menikah kembali. Padahal banyak gadis dan janda yang antri untuk membuat Alka jatuh cinta. Namun, hati pria itu hanya untuk mendiang istrinya, Indah Permatasari.
Kecelakaan maut yang menimpa Indah mengubah hidup Alka dalam semalam. Dimana dia harus menjadi seorang Ayah sekaligus Ibu untuk kedua putranya yang masih belia. Beruntung ada Ibu Alka yang selalu setia menemani dan membantu pria berkacamata tersebut.
Alka menjalani hidupnya dalam kesendirian dan kesedihan. Namun, dia tak pernah mengeluh atau menunjukkan perasaannya pada kedua putranya atau pada Ibu. Alka menyibukkan diri dengan mengembangkan usahanya di bidang properti. Tak tanggung-tanggung, Alka bahkan memenangkan gelar pebisnis sukses seantero negeri ini. Namun, tetap saja hatinya terasa kosong dan hampa tanpa adanya Indah, sang istri yang telah memberinya dua putra.
Merasa iba pada Alka, Ibu pun menyarankan agar putranya itu mau membuka hatinya untuk menikah lagi. Namun, lagi-lagi pria itu menolak. Baginya, tak ada cinta untuk wanita lain selain Indah. Cinta Alka telah mati seiring dengan kepergian sang istri.
Barulah Alka menyetujui pernikahan ketika dua menantunya menginginkan sosok Ibu mertua. Maka sebuah pertemuan yang tak di sengaja, menantu tertua Alka yang bernama Riana bertemu Sakila di sebuah pesta salah satu sahabatnya. Disitulah Riana tertarik untuk menjadikan Sakila sebagai Ibu mertuanya. Tak peduli seberapa mudanya usia Sakila, yang penting dia mampu memenangkan hati Ayah mertuanya itu.
Kelihaian Sakila dalam mengurus keluarga membuat Riana semakin tertarik untuk menjadikan Sakila sebagai Ibu mertuanya. Namun, Sakila menolak mentah-mentah permintaan Riana itu. Akan tetapi, Sakila tak berdaya ketika Riana berhasil mencari tahu tentang kehidupan wanita itu. Dimana Ibu tiri Sakila terlilit utang yang begitu besar dan Riana lah yang membayar utang Dinda. Dinda merupakan wanita mata duitan. Dia tega menjual sebagian besar tanah peninggalan Ibu Sakila tanpa sepengetahuan Ayah. Dan parahnya lagi, Sakila tak bisa melaporkan perbuatan Ibu tirinya itu kepada Ayah. Dinda mengancam akan membunuh Ayah Sakila suatu waktu jika wanita itu memberitahu perbuatan jahatnya.
Dinda juga mengancam akan membunuh Aksat adik kesayangan Sakila bila wanita itu tak menyetujui permintaan Reina untuk menikahi Ayah mertuanya, yakni Alka. Padahal Aksat merupakan putra kandungnya sendiri.
Pernikahan terpaksa itu pun terjadi. Namun, sebelum itu tentu saja Alka menolak Sakila. Di samping usianya yang masih muda, Sakila merupakan gadis polos dan ceroboh. Dia selalu membuat kesalahan dan masalah dengan Alka. Sakila bahkan memanggil Alka dengan sebutan paman.
Di tengah kakunya hubungan Sakila dan Alka, Reina justru berubah pikiran untuk mengusir Sakila dari rumah yang telah di anggapnya sebagai keluarga. Menurut Reina, Sakila tak mampu menjalankan perannya sebagai istri sekaligus mertua. Mengurus keluarga kecil Sakila, tak segampang mengurus keluarga besar Alka.
Reina juga dapat melihat Alka tak pernah menghargai Sakila. Bahkan dia tak pernah menerima keberadaan wanita tersebut. Reina menjadi murka ketika Sakila tak pernah bisa memenangkan hati Alka yang beku. Padahal mereka sudah menikah selama tiga bulan. Sebenarnya tergolong singkat, tetapi Reina merupakan wanita tak sabaran. Dia sukanya hasil yang instan.
Sakila meminta waktu lebih panjang lagi untuk membuktikan, bahwa dia mampu menjadi mertua yang baik, tak kekanak-kanakan, dan profesional, dan Reina menerima permintaan Sakila itu. Dan disinilah kisah Sakila di mulai.
Pernikahan yang tak di inginkan Sakila, kini akhirnya terjadi juga. Bila kebanyakan pernikahan merupakan momen yang di tunggu-tunggu oleh setiap wanita, maka lain halnya dengan Sakila. Dia justru tak menyukai pernikahannya sendiri, dan mengutuknya. Bagaimana tidak, dia menikah dengan pria yang seharusnya menjadi Ayahnya. Namun, Sakila tak kuasa menolak itu semua. Jika tidak, dia akan kehilangan Ayah dan adiknya sekaligus. Dia menjadi korban ketamakan Ibu tirinya sendiri.
Reina membayar semua hutang Dinda dengan syarat agar wanita paruh baya itu mau menikahkan Sakila dengan Ayah mertuanya, yakni Alka Prayoga.
Pernikahan itu di gelar secara sederhana, meski di liput media. Namun, Reina menyuap seluruh media agar tak membocorkan indentitas Sakila yang sebenarnya.
Sungguh malang nasib Sakila. Dia harus mengorbankan masa mudanya demi keegoisan Ibu tirinya. Namun, Sakila tak ada pilihan lain. Dia harus menyelamatkan adik dan Ayahnya dari kekejaman Ibu tirinya sendiri. Entah itu merupakan gertakan sambal semata atau sungguh-sungguh, yang jelas Sakila sangat ketakutan dengan ancaman Dinda. Bila di lihat dari sorot matanya, Dinda tak main-main dengan ancamannya.
"Apakah kau sangat menikmati statusmu sebagai Nyonya Alka Prayoga sekarang?" tanya Alka yang sudah berada di belakang Sakila.
Sakila memutar tubuhnya hingga menghadap Alka.
"Apa maksud Anda?" tanya Sakila bingung.
"Bukankah gadis sepertimu menikahi pria kaya sepertiku demi harta? tidakkah kau merasa, bahwa seharusnya kau menjadi putriku? apakah harta sangat penting bagimu dari pada masa depanmu sendiri? mengapa kau menerima lamaran menantuku?" tanya Alka penuh selidik.
"Lalu bagaimana dengan Anda? mengapa Anda tidak mencegah menantu Anda untuk melamar saya? bukankah sebelum melamarku, menantu Anda meminta persetujuan dari Anda terlebih dahulu? apa tanggapan Anda kala itu? bukankah seharusnya Anda menolak pernikahan ini?" balas Sakila tak mau kalah, dan sukses membungkam mulut Alka. Pria itu tak menjawab ucapan Sakila. Dia hanya pergi meninggalkan wanita tersebut. Memang benarkan? seharusnya Alka mencegah menantunya untuk menjadikan Sakila sebagai Ibu mertua mereka.
"Mengapa Anda diam Paman?" tanya Sakila kemudian setelah tak mendapat jawaban dari pertanyaannya.
"Paman?" tanya Alka bingung.
"Iya Paman. Bukankah sebutan itu pantas untuk Anda, mengingat usia Paman yang sudah paruh baya."
Sumpah demi apapun, Alka merasa harga dirinya terluka. Ternyata dia bukan menikahi wanita mata duitan, melainkan gadis gila yang impulsif.
"Paman mau kemana?" tanya Sakila sekali lagi setelah melihat Alka ingin melangkah keluar kamar.
"Aku tidak ada waktu untuk menjawab pertanyaanmu itu!" tandas Alka penuh penekanan, sebelum akhirnya pria itu pergi meninggalkan Sakila yang masih mengenakan gaun pengantin.
"Dia kenapa? bukankah dia sendiri yang memulai tadi? lalu mengapa dia yang marah?" gumam Sakila.
Tak mau membuat suasana hatinya semakin buruk, Sakila pun mengganti gaun pengantin, lalu kemudian membersihkan diri.
Puas membersihkan diri, Sakila pun naik di atas ranjang, lalu kemudian tertidur pulas. Sakila baru saja memasuki alam mimpi. Dimana dia melihat Ibunya sedang tersenyum bahagia ketika melihat dirinya, tiba-tiba Alka masuk ke dalam kamar dan mendapati Sakila tertidur di atas ranjangnya bersama Indah Permatasari mendiang istrinya dahulu.
Alka menjadi murka. Dia menyiram wajah Sakila dengan air yang terdapat di atas nakas.
Byurrr!
"Aaakk--," teriak Sakila.
"Mengapa Paman menyiram wajahku? apakah aku ini tanaman?" tanya Sakila kesal sembari mengusap wajahnya yang basah.
"Berani sekali kau menyentuh tempat tidurku!" tandas Alka murka.
"Mengapa memangnya? bukankah kita sudah menikah? artinya ini adalah ranjangku juga," jawab Sakila tak mau kalah.
Alka menarik lengan Sakila sekuat tenaga, hingga wanita itu turun dari tempat tidur yang di perdebatkan keduanya.
"Ini bukan milikmu! tapi milik Indah istriku. Kau tak berhak tidur di atasnya! ingat! kau hanyalah sebatas mertua dari menantuku, bukan istriku! sampai kapanpun kau tidak akan pernah bisa menggantikan posisi Indah," bentak Alka sembari mengempaskan tubuh Sakila.
Hati Sakila sakit dan terluka. Entah mengapa dia merasa sedih akan penolakan Alka terhadap dirinya. Bukankah mereka tak saling cinta? lalu mengapa Sakila harus merasa kecewa?
"Dan ingat satu hal, jangan pernah menyentuh barang-barangku atau barang Indah!" lanjut Alka kemudian.
Sakila tak menjawab ucapan Alka, dia hanya menganggukkan kepalanya mengiyakan ucapan pria dingin tersebut.
Sakila merasa bingung harus tidur dimana. Tidur di lantai bukan pilihan yang tepat. Dia akan sakit perut karena masuk angin. Sementara Alka sudah mulai berbaring dan menutup mata, bersiap untuk tidur.
Merasa tak menemukan jawaban,Sakila pun bertanya pada Alka.
"Lalu aku tidur dimana? tidakkah Paman akan terlihat sangat jahat jika membiarkanku tidur di atas lantai? disini juga tidak ada kursi sofa. Paman juga bukan pria miskin yang tak memiliki sofa bukan?" tanya Sakila dengan suara lirih.
"Tidurlah di luar jendela kamar ini. Disana ada sebuah kursi yang bisa kau gunakan sebagai tempat tidurmu," jawab Alka.
"Di luar jendela? apakah aku harus tidur di luar?" tanya Sakila dengan raut wajah setengah takut. Ya, Sakila takut dengan kegelapan jika harus tidur di luar.
"Di balik jendela ini ada sebuah ruang kecil. Kau bisa gunakan itu sebagai kamar tidurmu. Kau tidak akan mati apa bila tidur di ruang itu. Bukankah kau terbiasa dengan tempat kecil? jadi jangan berlagak seperti orang kaya yang menginginkan tempat tidur yang luas," tandas Alka.
Sombong sekali pria ini. Haruskah dia menegaskan status sosial Sakila? ini hanya masalah tempat tidur. Mengapa status sosial harus di bawa-bawa? dasar pria menyebalkan.
"Baiklah, aku akan tidur disana," jawab Sakila akhirnya. Dia tak mau menanggapi ejekan Alka. Lagu pula, memang benarkan dia gadis miskin yang terbiasa dengan tempat kecil? lalu mengapa Sakila harus tersinggung?
Sakila menatap nanar tempat tidurnya. Tempat itu sangat tidak layak untuk di jadikan sebuah tempat untuk mengistirahatkan tubuh. Dimana ruang itu hanya terdapat satu sofa kecil yang berukuran panjang, dan sebuah ayunan.
"Paman ini sungguh pelit. Kalau dia tak mau tidur bersamaku, paling tidak dia memberiku tempat tidur yang layak. Aku harus tidur dimana sekarang? apakah di kursi mini ini? atau di atas ayunan yang talinya hampir putus? dasar Paman pelit!" cibir Sakila di penghujung kalimatnya.
Tak ada pilihan lain, untuk sementara waktu Sakila harus tidur di atas kursi mini. Besok pagi barulah dia menyulap ruangan sempit itu menjadi tempat yang layak untuk di tiduri.
To be continued.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarokaatu. Hai readers, Novel ini sedang di revisi ulang ya? ceritanya berbeda dari sebelumnya. Semoga kalian suka.
Hargai aku lewat like dan vote ya. Terimakasih.
Happy reading.
Sakila Pov.
Reina Prayoga dan Herlina Prayoga, dua wanita cantik nan elegan. Mereka adalah menantuku. Reina mengubah nasibku dalam waktu semalam. Dimana aku menjadi seorang istri sekaligus Ibu mertua di usiaku yang masih muda belia. Padahal aku belum pernah melalui proses hamil dan melahirkan, apa lagi bercinta.
Sejujurnya Reina merupakan wanita yang baik. Dia perduli pada keluarga ini. Dia sangat mengutamakan kebahagiaan Ayah mertuanya, yakni Alka. Pria yang kini menjadi suamiku.
Reina melihat kesedihan di mata Alka. Setiap hari pria itu hanya mampu memandang gambar mendiang istrinya tanpa bisa menyentuh raganya. Melihat Ayah mertuanya itu kesepian, Reina rela mencarikan seorang istri untuk Ayah Alka. Dan entah mengapa pilihan Reina jatuh padaku.
Awalnya Alka menolak, tapi Reina berdalih, bahwa dia dan Herlina menginginkan Ibu mertua seperti para menantu yang lain. Mereka ingin bercengkrama bersama seorang Ibu mertua, meski bukanlah Ibu kandung dari suami mereka.
Merasa iba pada Reina dan Herlina, Alka pun setuju dengan permintaan menantunya itu. Namun, dia tidak bisa menjanjikan apapun lebih dari itu. Dia hanya bisa memberikan seorang Ibu mertua untuk Reina dan Herlina, tapi bukan menjadi istri Alka. Terlebih lagi menggantikan posisi Indah Permatasari mendiang istri tercintanya.
Aku yang tak berdaya harus rela menerima lamaran Reina untuk Ayah mertuanya itu. Entah apa yang membuat wanita itu menjatuhkan pilihannya padaku. Padahal aku bukan dari kalangan atas. Bahkan aku jauh dari kata layak.
Melihat kenyataan, bahwa Mama menjadi lebih serakah karena di tawari uang oleh Reina dan membayar utang dari Ibu tiriku itu, Mama menjadi lebih tamak dan serakah. Dia bahkan rela mengancamku jika tak menikahi pria yang ku sebut Paman itu. Dan disinilah aku sekarang, bersama dua menantuku.
"Hei bangunlah! apakah kau akan terus tidur sepanjang waktu?" ucap Reina yang ternyata sudah berdiri di sampingku. Entah dia tahu dari mana aku tidur di ruang kecil ini.
"Kau ada disini?" tanyaku dengan suara serak khas orang bangun tidur.
"Apakah kau hanya tidur saja selama ada di rumah ini? jalankan lah peranmu sebagai Ibu mertua kami," titah Reina dan seketika menyadarkanku akan statusku itu.
"Ibu mertua?" gumamku.
"Ayo bangunlah! kita harus cepat menyiapkan sarapan untuk Ayah sebelum beliau pulang joging."
Oh, aku paham sekarang. Pantas saja Reina tahu tempat ini dan dengan leluasa mencariku, ternyata Paman sedang tidak disini. Dia pergi joging. Oke baiklah, Sakila, jalankan peranmu sebagai Ibu mertua sebaik mungkin.
"Tapi apakah itu harus? bukankah kalian adalah menantunya? sudah seharusnya kan kalian para menantu yang melayani Paman itu?" balasku masih belum mau beranjak dari tempat sempit ini.
"Tapi kamu adalah istrinya sekarang. Apakah kau lupa perjanjian kita? haruskah aku mengingatkanmu kembali tentang perjanjian itu?" tandas Reina.
Perjanjian menyebalkan. Mengapa Reina harus mengingatkanku akan perjanjian konyol itu? seharusnya aku tidak berada di rumah ini, melainkan di restoran tempatku bekerja.
"Tunggu apa lagi? ayo cepat ganti baju dan turunlah ke bawah! kita masak bersama. Aku akan mengajarimu sesuatu di dapur," titah Reina. Lalu kemudian pergi meninggalkanku.
"Masak? seumur hidup aku belum pernah masak. Kalau belanja keperluan dapur aku bisa, dan melayani orang makan aku juga ahlinya, tapi kalau untuk urusan masak aku menyerah. Bagaimana ini? apakah Reina akan marah jika aku tak pandai memasak?" gumamku.
Tak mau berpikir panjang, akhirnya aku mengikuti Reina ke dapur. Hitung-hitung belajar masak juga, dan disinilah aku sekarang. Di dapur bersama Reina.
Aku mengenakan celemek, lalu kemudian mengikat rambutku yang panjang. Sungguh repot sekali. Di rumah aku hanya tinggal duduk dan makan saja. Mama Dinda selalu menyiapkan makanan untuk kami. Meski Mama Dinda tak pernah menyayangiku, tapi aku bersyukur karena dia tak membuat kami kelaparan, terutama Ayah. Aku hanya kebagian tugas pergi belanja keperluan dapur. Urusan masak, Mama Dinda ahlinya.
"Potong daging itu, dan rebus makaroni ini! kita akan membuat pasta untuk sarapan," titah Reina menyadarkanku dari lamunan masakan Mama Dinda.
"Potong daging? tapi aku tidak bisa potong daging," lirihku.
"Astaga Sakila, hanya memotong daging saja kamu tidak tahu? biar aku ajari."
Reina mengambil pisau, lalu kemudian mengajariku memotong daging tersebut.
"Pegang pisaunya seperti ini, lalu kemudian letakkan pada bagian tengah daging, gesek pisaunya, dan terbelah. Gampang kan?"
"Iya gampang," jawabku sembari tersenyum senang. Iya, aku senang. Karena akhirnya aku bisa memotong daging. Selama ini aku tidak pernah bisa memotong apapun. Terdengar konyol memang, tapi itulah faktanya.
"Lakukan itu berulang kali sampai dagingnya berbentuk dadu," titah Reina selanjutnya.
"Baiklah," jawabku mantap.
Aku memotong daging seperti yang di ajarkan Reina barusan, dan... bingo!
"Aku berhasil, ye... aku berhasil, ye, ye, ye, aku berhasil, berhasil, hore!" sorakku bahagia. Aku seperti seorang Dora yang berhasil menempuh perjalanan jauh, dan tiba pada garis finis.
Aku terus meloncat, dan terus meloncat, hingga aku sadar, bahwa percikan air daging yang ku potong tadi sudah terkena wajah Reina.
"Ups."
Aku bisa melihat kemarahan di wajah menantuku itu. Matanya yang bulat kini terbuka lebar karena amarah.
"Tidak bisakah kau bekerja sebagai mana mestinya? apa kau harus segembira ini ketika berhasil memotong daging?" kesal Reina.
Ayolah Reina, jangan marah-marah. Kau tidak tahu betapa bahagianya aku berhasil memotong daging. Akhirnya aku bisa juga melakukan hal yang tidak pernah aku lakukan. Mama Dinda tak pernah mengizinkanku untuk menyentuh barang-barang yang ada di dapur. Maka jadilah aku seperti ini.
"Maafkan aku," sesalku.
"Baiklah, lanjutkan kerjaanmu! aku mau ke kamar mandi dulu. Jangan lupa rebus makaroni ini. Setelah itu tumis bawang dan jahe, serta cabe yang sudah aku potong itu," titah Reina padaku.
Banyak sekali bahan-bahannya. Apakah aku bisa melakukan ini? oh tidak. Bagaimana jika aku gagal? rebus makaroni? masak Indomie saja aku tidak tahu, apa lagi rebus makaroni. Di tambah lagi aku harus menumis bawang, menyalakan kompor saja aku tidak bisa. Dasar payah!
"Bagaimana cara menyalakan kompor ini? apa harus memutar tombol ini?" Aku memutar tombol berwarna biru yang bertuliskan "On/Off".
Beruntung aku bisa membaca, jika tidak maka tamatlah riwayatku saat ini juga.
Aku mulai merebus makaroni. Merebus artinya memasukan air ke dalam panci, lalu kemudian memasukkan makaroni di dalam panci tersebut, dan yes! aku berhasil lagi.
Kini giliran menumis bawang merah, bawang putih, bawang bombai, jahe dan cabe.
"Banyak sekali bawangnya?" gumamku. Tapi tak mengapa, ini pasti sudah sesuai takaran yang di buat Reina tadi.
Aku pun mulai menumis semua bumbu yang ada. Lalu kemudian apa lagi? apakah aku harus memasukan makaroninya terlebih dahulu atau daging?
Lama berpikir sampai bawang yang ku tumis hampir gosong, akhirnya aku memasukkan makaroni terlebih dahulu. Sepuluh menit kemudian aku memasukan daging sapinya. Dan...
"Selesai," gumamku bangga dengan mahakaryaku yang baru ini.
"Pasta makaroni ala Sakila," lanjutku bangga selayaknya chef handal.
Tak lama datanglah Reina dari kamar mandi. Dia pun turut berdecak kagum padaku, karena berhasil memasak pasta daging sapi hanya dalam hitungan lima belas menit saja.
"Apakah ini sudah siap untuk di makan?" tanya Reina.
"Iya sudah," jawabku mantap.
"Baiklah, sajikan di atas meja. Ayah sudah kembali dari joging. Aku mau ke kamar dulu untuk membangunkan suamiku," titah Reina buru-buru.
"Baiklah."
Aku terus berdecak kagum atas karya pertamaku ini. Akhirnya aku berhasil juga.
"Aku sudah bilang bukan? bahwa aku akan membuktikan pada Paman Alka jika aku bisa menjadi seorang Ibu mertua yang baik," gumamku masih dengan raut kebanggaan. Meski tak tahu bagaimana rasanya pasta ini, yang terpenting adalah aku sudah selesai masak.
To be continued.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!