Alyssa sedang menyelesaikan tugas rumah ketika tiba-tiba suara Ibu terdengar memanggilnya dari ruang tamu. Suara itu berbeda dari biasanya nada serius yang membuat Alyssa berhenti sejenak, merasakan ketegangan yang tak biasa. Mungkin ini soal utang, pikirnya. Belakangan ini, keadaan keuangan keluarganya memang terasa semakin berat, meski Ibu dan Ayah tak pernah terbuka sepenuhnya. Namun, ada perubahan kecil di sekitar mereka yang tak luput dari pengamatannya Ayah sering pulang larut, wajahnya semakin murung, dan Ibu pun terlihat lebih lelah dari sebelumnya.
Dengan langkah ragu, Alyssa menuju ruang tamu, hatinya diselimuti kekhawatiran yang sulit dihilangkan. Saat tiba di ambang pintu, dia melihat Ayah sudah duduk di sofa, dengan Ibu di sampingnya, keduanya tampak begitu serius. Ayah menatap lurus ke depannya, dan ketika menyadari kehadiran Alyssa, dia pun berdehem pelan, seolah mencari kekuatan untuk berbicara.
Alyssa duduk perlahan di sofa di hadapan mereka, matanya memandang penuh tanya. Ia tak ingat kapan terakhir kali melihat ekspresi seserius ini dari kedua orang tuanya. Biasanya, meski ada masalah, mereka selalu mencoba menenangkan Alyssa dan adik-adiknya, menjaga agar tak ada yang merasa terbebani. Tetapi malam itu berbeda. Ada sesuatu yang membuat Ayah terlihat begitu... muram.
Keheningan yang terasa panjang akhirnya terpecah ketika Ayah membuka suara. "Alyssa, Ayah dan Ibu ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting."
Alyssa menelan ludah, rasa gugup semakin memuncak. Apa pun yang akan disampaikan Ayah, Alyssa merasa ini bukan percakapan biasa. Ada perasaan tak nyaman yang menyusup ke dalam hatinya, seolah sudah meramalkan sesuatu yang besar. Dia mengangguk pelan, menunjukkan bahwa dia siap mendengarkan, meskipun jantungnya berdetak cepat.
Ayah menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Kamu harus menikah, Alyssa."
Kata-kata itu seakan menggema di telinganya, membuatnya tercengang. Untuk beberapa detik, Alyssa hanya bisa memandang kedua orang tuanya, berusaha memproses ucapan Ayah. "Menikah? Ayah... maksudnya menikah dengan siapa?"
Tatapan Ayah mengeras, namun tampak bimbang, seperti ada pergulatan batin di dalam dirinya. "Namanya Arka. Putra dari keluarga kaya yang memiliki bisnis besar di kota ini. Keluarga kita... sedang berada dalam kondisi keuangan yang sangat sulit, dan mereka menawarkan bantuan dengan syarat kamu menikah dengan putra mereka."
Alyssa hampir tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Kepalanya terasa pusing, dan hatinya mulai berontak. Menikah? Dengan seorang pria yang bahkan tidak dikenalnya? Hanya demi menyelamatkan keuangan keluarga? Rasanya seperti sebuah mimpi buruk yang datang tanpa peringatan.
"Ayah, Ibu... Alyssa belum siap untuk menikah. Alyssa bahkan tidak mengenal Arka." Suaranya bergetar, dipenuhi oleh campuran kebingungan dan ketakutan.
Namun, Ayah hanya menatapnya dengan tatapan memohon, penuh harapan yang tampak begitu berat. "Alyssa, Ayah tahu ini bukan keinginanmu. Tapi Ayah mohon... demi keluarga kita."
Ayah melanjutkan, suaranya pelan dan bergetar, "Selama ini, Ayah dan Ibu sudah berusaha keras untuk mempertahankan keluarga kita. Kami tak ingin kamu terbebani dengan masalah ini, tapi keadaan semakin sulit... dan kami tak tahu harus bagaimana lagi."
Alyssa bisa melihat kerutan di wajah Ayah yang semakin dalam, tanda betapa berat beban yang dipikulnya. Dia menyadari, mungkin inilah pertama kalinya Ayah terlihat begitu rapuh di matanya. Biasanya, Ayah adalah sosok yang tegar, yang selalu terlihat kuat di depan anak-anaknya. Namun malam itu, dia seolah melihat sosok yang berbeda sosok seorang ayah yang merasa tak berdaya, mencari dukungan dari putrinya yang selama ini selalu ia lindungi.
"Alyssa," suara Ibu terdengar lembut, mencoba meredakan ketegangan yang membara, "Kami mengerti ini bukan sesuatu yang mudah untukmu. Tapi, Arka... dia pria yang baik, dan keluarganya adalah salah satu keluarga terpandang di kota ini. Mereka bisa memberikan kehidupan yang lebih baik untukmu... dan juga untuk kita semua."
Alyssa menundukkan kepala, perasaannya campur aduk. Di satu sisi, dia merasa perjodohan ini begitu tak adil. Hidupnya baru saja dimulai, masa depannya masih penuh harapan dan impian. Namun, di sisi lain, dia melihat keputusasaan yang tergambar di wajah Ayah dan Ibu. Mungkin ini adalah jalan yang harus ditempuhnya demi keluarga yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang.
"Arka... apakah dia tahu tentang ini? Apa dia juga setuju?" tanyanya dengan suara pelan, mencoba meraba-raba perasaannya sendiri.
Ayah mengangguk pelan. "Dia sudah tahu, dan keluarganya setuju. Mereka menyatakan bahwa ini akan menjadi pernikahan yang sah, Alyssa. Dan meskipun kamu tidak mengenalnya, kamu akan mendapatkan kehidupan yang baik bersamanya."
Alyssa memejamkan mata, mencoba menenangkan hatinya yang bergolak. Bayangan masa depan yang sudah lama ia impikan perlahan-lahan hancur di hadapannya. Menikah... dengan seseorang yang bahkan tak ia kenal. Bagaimana ia bisa menjalani hidup bersama orang asing? Namun, di balik semua kebingungannya, ada perasaan kecil yang tumbuh sebuah keinginan untuk membantu keluarganya, untuk membalas segala kebaikan dan pengorbanan mereka selama ini.
Dalam keheningan yang terasa berat itu, Alyssa akhirnya mengangguk, meskipun hatinya belum sepenuhnya menerima. "Baiklah, Ayah, Ibu... jika ini yang terbaik untuk keluarga kita... Alyssa akan melakukannya."
Ibu menahan tangis dan menggenggam tangan Alyssa dengan erat, penuh kasih dan harapan. Sementara itu, Ayah tampak sedikit lega, meskipun ada guratan penyesalan di wajahnya. Alyssa tahu, keputusan ini akan mengubah seluruh hidupnya, membawa dia ke jalan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Di dalam kamarnya malam itu, Alyssa merenung dalam kesunyian. Jantungnya berdebar kencang, pikiran tentang Arka terus berkeliaran dalam benaknya. Bagaimana rupa pria itu? Apakah dia juga merasakan hal yang sama, atau pernikahan ini hanya dianggapnya sebagai formalitas semata? Pertanyaan demi pertanyaan muncul tanpa jawaban yang pasti.
Alyssa menatap keluar jendela, ke arah bintang-bintang yang bersinar redup di langit malam. Ia tahu, keputusannya ini akan membawa banyak konsekuensi. Namun, ia juga tahu bahwa keluarga adalah segalanya baginya. Dengan perasaan yang campur aduk, Alyssa menarik napas panjang dan mencoba menerima kenyataan yang ada di depan mata.
Esok adalah awal yang baru, meskipun hatinya belum siap sepenuhnya. Tapi ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap tegar, untuk menjalani setiap langkah dengan kepala tegak.
Malam itu terasa panjang dan sunyi, suara detakan jam dinding menjadi satu-satunya teman Alyssa. Ia berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit yang samar-samar terlihat dalam gelap. Sepertinya, dunia luar tidak berubah, tetapi hidupnya kini telah berputar 180 derajat. Menikah? Tiba-tiba, itu semua terasa begitu nyata dan menakutkan.
Alyssa berusaha menenangkan diri, mengingat semua cita-cita yang pernah ia impikan. Dia ingin melanjutkan pendidikan, meraih gelar di universitas, dan memiliki karier yang bisa mengubah hidupnya dan keluarganya. Namun, semua itu kini seakan sirna dalam sekejap mata. Dia merasa seolah-olah terperangkap dalam jaringan yang dibuat oleh orang-orang di sekelilingnya. "Apakah semua impianku harus dikubur begitu saja?" tanyanya dalam hati.
Keesokan harinya, matahari terbit dengan indah, seolah tidak mengindahkan kekacauan di dalam hati Alyssa. Ia bangun dengan perasaan campur aduk dan melangkah ke kamar mandi. Sambil mencuci wajahnya, ia mencoba menghilangkan rasa kantuk dan kebingungan yang masih membayangi pikirannya. Alyssa tahu, hari ini adalah hari yang penting hari di mana ia akan bertemu Arka untuk pertama kalinya.
Setelah sarapan yang penuh keheningan, Alyssa bergegas bersiap. Ibu dan Ayah sudah menunggunya dengan penuh harap, memberi semangat di antara ketegangan yang masih terasa di udara. “Kamu pasti akan baik-baik saja, Alyssa,” Ibu berkata dengan senyum tipis yang mencoba menutupi kekhawatiran. “Dia anak yang baik, dan keluarganya terhormat.”
Alyssa hanya mengangguk, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Ya, Ibu," jawabnya pelan, meskipun hati kecilnya meragukan segalanya.
Alyssa mengenakan gaun sederhana, meskipun sedikit lebih formal dari biasanya. Dia ingin memberikan kesan yang baik, meskipun semua ini terasa seperti paksaan. Setelah berpamitan dengan Ibu dan Ayah, Alyssa keluar rumah dengan langkah yang terasa berat. Setiap langkah menuju mobil terasa seperti perjalanan menuju ketidakpastian.
Ketika mereka tiba di rumah Arka, Alyssa merasa jantungnya berdebar kencang. Rumah besar di depannya megah, dengan taman yang tertata rapi dan pagar tinggi yang melindungi kehidupan di dalamnya. Ia menghela napas dalam-dalam sebelum melangkah keluar dari mobil, berusaha menenangkan diri. Saat dia mendekati pintu depan, suara ketukan di pintu terdengar kencang di telinganya.
Pintu terbuka, dan di depannya berdiri seorang pria tampan dengan senyum hangat yang menghiasi wajahnya. Arka, pikir Alyssa. Dia terlihat jauh lebih muda dari yang ia bayangkan, mungkin sebaya atau sedikit lebih tua. "Selamat datang, Alyssa," katanya dengan suara yang lembut namun tegas. "Senang bertemu denganmu."
"Selamat datang, Alyssa," ujar seorang wanita paruh baya yang muncul di belakang Arka. "Aku Ibu Arka. Kami sudah menunggu kedatanganmu." Senyumannya menunjukkan kehangatan, meskipun Alyssa merasakan ada harapan yang besar terpancar dari matanya.
“Terima kasih, Bu,” jawab Alyssa, berusaha tersenyum meskipun perasaannya masih campur aduk. Arka mengajak Alyssa masuk, dan saat melangkah ke dalam, Alyssa merasa seolah sedang memasuki dunia baru dunia yang sama sekali berbeda dari kehidupannya sehari-hari.
Di dalam, suasana rumah terasa nyaman dan elegan. Ruang tamu yang luas dipenuhi dengan perabotan mewah dan lukisan-lukisan indah di dinding. Alyssa merasa sedikit canggung, seolah ia adalah penonton di dalam sebuah drama yang tak ia pahami. Arka memperkenalkan Alyssa kepada keluarganya, dan Alyssa berusaha menjawab semua pertanyaan dengan baik, meskipun di dalam hatinya dia masih merasa ragu.
Setelah beberapa saat berbincang, Arka mengajak Alyssa ke taman belakang yang lebih tenang. "Aku tahu ini mungkin terasa aneh bagi kamu," kata Arka dengan nada yang tulus. "Tapi aku ingin kita saling mengenal, agar pernikahan ini tidak terasa seperti sebuah paksaan."
Alyssa melihat mata Arka, yang bersinar penuh harapan. Dia merasa terkejut dengan kejujuran dan ketulusan pria ini. "Kau benar. Semua ini terasa cepat, dan aku tidak tahu harus bagaimana," jawab Alyssa, suaranya bergetar. "Aku... aku tidak ingin menyakiti keluargaku, tetapi aku juga tidak tahu apakah aku siap untuk menikah dengan seseorang yang bahkan tidak aku kenal."
Arka mengangguk, memahami kegundahan yang ada di hati Alyssa. "Kita semua punya beban masing-masing. Aku pun tidak ingin menjalani ini tanpa ada rasa saling mengenal. Mari kita coba untuk memahami satu sama lain, setidaknya sebelum semuanya terjadi."
Percakapan mereka mengalir begitu natural, meskipun Alyssa masih merasa gelisah. Mereka mulai berbicara tentang hobi, kehidupan sehari-hari, dan impian masing-masing. Alyssa menemukan bahwa Arka adalah orang yang baik, dengan pandangan hidup yang sejalan dengan dirinya. Meskipun terpaksa, Alyssa merasa ada benih rasa nyaman yang tumbuh di antara mereka.
Sesi perkenalan itu berakhir dengan lebih banyak pertanyaan dari Arka. Dia tampak tertarik dengan apa yang Alyssa lakukan dan dengan antusiasme yang tulus. Alyssa merasa sedikit lega, seolah beban di pundaknya sedikit berkurang.
Saat waktu berlalu, Alyssa merasakan bahwa mungkin ada harapan di balik semua ini. Mungkin, pernikahan yang dia terima ini bukan hanya sekadar paksaan, tetapi bisa jadi awal dari sesuatu yang lebih. Namun, saat kembali ke rumah, perasaan keraguan masih menghantuinya. Apakah ini benar-benar langkah yang tepat? Akankah Arka bisa menerima Alyssa apa adanya, dengan segala ketidakpastian yang mengelilinginya?
Di rumah, Ibu dan Ayah menunggu dengan penuh harapan. "Bagaimana pertemuannya, Alyssa?" tanya Ibu dengan wajah bersemangat.
Alyssa tersenyum, meskipun hatinya masih bergejolak. "Dia baik, Ibu. Kami... kami berbincang-bincang. Tapi semuanya terasa cepat."
Ayah menepuk bahunya. "Yang terpenting, kamu berusaha. Kami percaya ini akan menjadi awal yang baik."
Malam itu, Alyssa berbaring di ranjangnya, mencoba memikirkan segala hal yang terjadi. Dia ingin percaya bahwa keputusannya untuk menikah bisa menjadi langkah yang benar, bukan hanya untuknya tetapi juga untuk keluarganya. Namun, di balik semua itu, keraguan masih terus mengintai. Akankah Arka dan keluarganya menerima Alyssa, dengan segala ketidaksempurnaannya? Dan bagaimana jika dia tidak bisa mencintai Arka seperti yang seharusnya?
Dengan pikiran yang penuh keraguan, Alyssa akhirnya terlelap dalam tidurnya, berharap untuk menemukan jawaban dalam mimpi yang indah.
Hari-hari setelah pertemuan itu terasa berlalu lambat bagi Alyssa. Meskipun dia berusaha untuk menjalani rutinitasnya seperti biasa, pikirannya selalu kembali pada pertemuan dengan Arka. Dia merasa terjebak dalam labirin perasaan yang sulit dijelaskan. Antara harapan dan ketakutan, Alyssa merasakan beban yang semakin berat di pundaknya.
Sekolah masih berlangsung seperti biasanya, meskipun Alyssa merasa dunia di luar sana seolah tidak lagi berarti. Ia duduk di bangku belakang di kelas IPS, berusaha mendengarkan pelajaran dari guru. Namun, semua itu terasa hampa. Teman-temannya, Rani dan Amel, yang selalu ceria dan penuh semangat, mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang mengganggu Alyssa.
"Hey, Alyssa! Kamu baik-baik saja? Sejak kapan kamu jadi pendiam begini?" tanya Rani dengan nada khawatir, matanya meneliti ekspresi Alyssa.
Alyssa memaksakan senyum, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit banyak pikiran." Jawabnya pelan, meskipun hatinya merasa berat.
Amel, yang duduk di samping Rani, menatap Alyssa dengan penasaran. "Kalau ada yang ingin kamu bicarakan, kita di sini untuk mendengarkan. Teman-teman itu penting, lho."
Ketika bel sekolah berbunyi, Alyssa merasa lega bisa meninggalkan kelas sejenak. Dia menghabiskan waktu di perpustakaan, tempat di mana dia bisa melupakan sejenak semua masalah yang ada di kepalanya. Buku-buku adalah pelarian yang baik baginya. Namun, hari itu, pikirannya sulit untuk fokus. Dia membuka buku tanpa benar-benar membacanya.
Dengan pandangan kosong, Alyssa teringat kembali pertemuannya dengan Arka. Ia tidak bisa menghilangkan kenangan akan tatapan hangat dan senyum tulusnya. Namun, ada juga rasa khawatir yang menghantuinya. Arka adalah seorang pria dari keluarga kaya, dan Alyssa khawatir tentang perbedaan yang ada di antara mereka. Apakah dia akan diterima? Apakah dia bisa memenuhi harapan keluarganya?
Setelah jam sekolah berakhir, Alyssa pulang dengan hati yang masih bergetar. Di rumah, Ibu sudah menunggu dengan segudang pertanyaan. "Alyssa, bagaimana dengan persiapan pernikahanmu? Kapan kamu akan bertemu lagi dengan Arka?"
Alyssa menghela napas, "Ibu, aku... aku tidak tahu. Kami baru saja bertemu sekali. Rasanya terlalu cepat."
Ibu mengangguk, memahami ketidakpastian di hati putrinya. "Aku tahu ini semua terasa asing bagimu. Tapi ingat, ini juga demi kebaikan kita semua. Arka adalah pria yang baik. Keluarganya juga ingin membantu kita."
Setelah percakapan tersebut, Alyssa berusaha untuk lebih terbuka dan menerima kenyataan. Dia tahu, tidak ada jalan lain yang bisa dia ambil selain menjalani apa yang sudah ditentukan. Namun, hatinya masih dipenuhi oleh keraguan. Hari demi hari berlalu, dan rasa cemas mulai merayap ke dalam hidupnya.
Seminggu setelah pertemuan pertama, Alyssa kembali diundang untuk bertemu Arka. Keluarganya ingin mengadakan acara resmi untuk memperkenalkan Alyssa kepada kerabat dekat Arka. Dia merasa tertekan, tapi juga sedikit bersemangat. Mungkin ini adalah kesempatan untuk mengenal Arka lebih baik, dan mengatasi semua keraguannya.
Hari itu, Alyssa memilih gaun yang sederhana namun elegan, berusaha tampil percaya diri meskipun dia merasa cemas. Ketika tiba di rumah Arka, suasana terasa lebih hidup dibandingkan pertemuan pertama. Keluarga Arka telah menyiapkan berbagai hidangan lezat dan mengundang beberapa kerabat dekat. Alyssa merasakan campuran antara ketegangan dan rasa ingin tahunya.
Saat memasuki ruang tamu, Alyssa disambut oleh Arka yang sudah menunggu. "Selamat datang, Alyssa. Aku senang kamu bisa datang lagi," katanya dengan senyum lebar.
"Terima kasih, Arka," jawab Alyssa, merasakan kehangatan dari sambutannya.
Acara dimulai dengan perkenalan dari masing-masing keluarga, di mana Alyssa diharapkan untuk menjawab beberapa pertanyaan tentang dirinya. Meski rasa cemas menyelimuti, dia berusaha untuk tampil baik. Arka tetap berada di sampingnya, memberikan dukungan yang membuatnya sedikit lebih tenang.
Setelah beberapa waktu, suasana menjadi lebih santai. Alyssa mulai berbincang dengan beberapa kerabat Arka dan menemukan bahwa mereka semua sangat ramah. Saat berbincang, dia mulai merasakan kenyamanan yang sebelumnya tidak ia harapkan. Ternyata, ada kesamaan minat dengan beberapa dari mereka yang membuatnya merasa lebih diterima.
Namun, di tengah kesenangan itu, Alyssa tidak bisa menghindari perasaan bahwa semua ini adalah sebuah permainan. Meskipun ia merasa senang, ada ketidakpastian di dalam hati yang terus mengganggu. Ia masih merasa belum sepenuhnya mengenal Arka. Satu-satunya cara untuk mengetahui apakah pernikahan ini adalah langkah yang tepat adalah dengan mengenal pria ini lebih dalam.
Saat acara berlanjut, Alyssa dan Arka terpisah untuk sejenak berbincang dengan tamu lain. Arka memperkenalkan Alyssa kepada sepupu-sepupunya dan berbagi cerita tentang masa kecilnya. Alyssa tidak bisa menahan senyumnya saat mendengarkan cerita lucu tentang Arka yang pernah terjatuh dari sepeda saat belajar mengendarainya. Cerita itu membuatnya merasa lebih dekat dengan Arka, dan untuk pertama kalinya, dia merasa nyaman berada di sisinya.
Namun, saat mata mereka bertemu, Alyssa merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa nyaman. Ada ketegangan di antara mereka, sesuatu yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Momen itu terasa intim, dan Alyssa tahu bahwa dia tidak bisa terus-menerus menutupi perasaannya. "Arka," katanya, suaranya bergetar. "Kita perlu berbicara lebih serius."
Arka mengangguk, memahami. "Ya, aku tahu. Mari kita pergi ke taman belakang. Di sana lebih tenang."
Mereka melangkah keluar, menuju taman yang indah dengan bunga-bunga berwarna cerah. Ketika mereka duduk di bangku taman, Alyssa merasakan angin sepoi-sepoi yang menyegarkan. "Arka, aku merasa bingung. Ini semua terasa begitu cepat. Kita belum mengenal satu sama lain dengan baik."
Arka memandang Alyssa dengan tatapan serius. "Aku mengerti, Alyssa. Ini semua terasa aneh untuk kita berdua. Tapi aku ingin kita saling mengenal lebih baik. Mari kita lakukan ini bersama-sama."
Alyssa menatap Arka, melihat ketulusan dalam matanya. Dia merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Mungkin, justru di situlah harapan terletak dalam usaha untuk saling mengenal dan membangun sesuatu yang lebih dari sekadar perjodohan yang dipaksakan.
Alyssa dan Arka menghabiskan malam itu berbicara dengan penuh keterbukaan. Mereka saling berbagi impian, ketakutan, dan harapan. Alyssa mulai merasa seolah mereka sedang membangun jembatan di antara dunia mereka yang berbeda. Arka tidak hanya sekadar seorang pria dari keluarga kaya, tetapi dia adalah seseorang yang memiliki impian dan cita-cita, sama seperti Alyssa.
Saat mereka kembali ke dalam rumah, Alyssa merasa ada perubahan dalam dirinya. Rasa takut dan keraguan yang sebelumnya membelenggu jiwanya mulai berkurang. Mungkin, hanya mungkin, pernikahan ini bisa menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar paksaan. Dia ingin percaya bahwa dengan waktu, mereka akan menemukan cara untuk mencintai satu sama lain meskipun semua ini dimulai dari sebuah perjodohan yang tidak diinginkan.
Ketika malam berakhir, Alyssa pulang dengan perasaan yang lebih ringan. Dia merasa sedikit lebih optimis tentang masa depannya dan pernikahan yang akan datang. Mungkin, justru dalam ketidakpastian inilah, mereka bisa menemukan makna cinta yang sesungguhnya.
Dengan harapan baru yang muncul dalam hatinya, Alyssa berjanji pada diri sendiri untuk terus membuka hati dan menjelajahi jalan yang telah ditetapkan untuknya. Akankah ini menjadi perjalanan yang penuh cinta, ataukah hanya akan berujung pada rasa sakit? Hanya waktu yang bisa menjawab pertanyaan itu. Namun, untuk saat ini, dia ingin menikmati setiap momen yang ada dan berusaha untuk menjadikan pernikahan ini berarti.
Alyssa terbangun dengan semangat baru. Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamarnya, menciptakan pola cahaya yang indah di dinding. Dia berusaha untuk tidak terjebak dalam keraguan yang sempat menghantuinya sebelumnya. Setelah pertemuan dengan Arka, dia merasakan ada secercah harapan. Mungkin, pernikahan ini tidak hanya tentang mengorbankan dirinya, tetapi juga tentang kesempatan untuk menemukan cinta.
Setelah sarapan, Alyssa duduk bersama Ibu untuk membahas rencana pernikahan. “Ibu, kapan kita akan mulai mempersiapkan semuanya?” tanya Alyssa, berusaha terdengar bersemangat meskipun hatinya masih bergetar.
Ibu tersenyum, penuh antusiasme. “Kita bisa mulai merencanakan segala sesuatunya minggu depan. Keluarga Arka juga ingin membantu, jadi kita bisa bekerja sama.”
Mendengar itu, Alyssa merasa lebih tenang. Meski dia masih merasa tidak siap, dia menyadari bahwa persiapan bisa menjadi cara untuk lebih mengenal Arka dan keluarganya. “Baiklah, Ibu. Aku siap membantu,” jawabnya, mencoba menampilkan semangat yang lebih besar.
Setelah perbincangan itu, Alyssa memutuskan untuk menghabiskan waktu di perpustakaan lagi. Dia merasa bahwa buku adalah tempat terbaik untuk mencari inspirasi. Saat ia mencari buku tentang pernikahan dan hubungan, dia tidak bisa menahan senyumnya. Ada begitu banyak hal yang ingin dia ketahui dan pelajari.
Sore itu, saat ia sedang membaca, ponselnya bergetar. Ternyata, itu pesan dari Arka. “Alyssa, aku ingin mengajakmu untuk bertemu besok. Ada yang ingin aku bicarakan.”
Alyssa merasa jantungnya berdebar. Apa yang ingin Arka bicarakan? Dia merasa campur aduk antara rasa penasaran dan kecemasan. “Tentu, Arka. Aku akan bertemu denganmu besok,” balasnya.
Keesokan harinya, Alyssa berusaha menyiapkan dirinya untuk pertemuan dengan Arka. Dia memilih pakaian yang membuatnya merasa percaya diri dan nyaman. Setelah sedikit ragu, dia akhirnya memutuskan untuk mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda. Warna ini membuatnya merasa segar dan ceria.
Saat mereka bertemu di kafe favorit mereka, Alyssa melihat Arka sudah menunggu dengan senyum di wajahnya. “Hai, Alyssa! Senang melihatmu lagi,” katanya dengan nada ceria.
“Hai, Arka. Senang bertemu lagi,” jawab Alyssa, merasa sedikit lebih tenang dengan kehadiran Arka.
Setelah memesan minuman, Arka mulai menjelaskan niatnya. “Aku berpikir bahwa kita harus mulai membahas persiapan pernikahan kita. Kita bisa melakukannya bersama-sama, sehingga semuanya terasa lebih baik.”
Alyssa mengangguk, merasakan rasa gugup yang sedikit mereda. “Ya, aku setuju. Mungkin kita bisa membuat daftar hal-hal yang perlu dipersiapkan.”
Arka tersenyum, terlihat antusias. “Bagus! Mari kita buat rencana. Aku sudah berbicara dengan keluargaku, dan mereka sangat mendukung. Mereka ingin membantu kita agar pernikahan ini berjalan lancar.”
Mendengar itu, Alyssa merasa sedikit lebih tenang. Dia mulai berpikir bahwa mungkin ada jalan untuk menjalani pernikahan ini dengan baik. “Apa yang perlu kita lakukan terlebih dahulu?” tanyanya, berusaha terlibat.
“Pertama-tama, kita harus menentukan tanggal pernikahan,” jawab Arka. “Kemudian, kita perlu memikirkan tempat dan tema. Aku tahu beberapa lokasi yang mungkin bagus.”
Mereka melanjutkan perbincangan, merencanakan setiap detail dengan penuh semangat. Alyssa mulai merasakan kegembiraan yang sempat hilang. Dia menyadari bahwa meskipun ini adalah pernikahan yang dipaksakan, dia bisa mengambil bagian dalam proses tersebut dan menjadikannya lebih berarti.
Setelah beberapa jam, mereka menyusun daftar untuk hal-hal yang perlu dipersiapkan. Alyssa merasa seolah ada beban yang terangkat dari bahunya. Dia mulai percaya bahwa dia dan Arka bisa membuat pernikahan ini menjadi sesuatu yang indah, meskipun dengan segala keterbatasan.
Saat mereka selesai, Arka menatap Alyssa dengan serius. “Alyssa, aku ingin kita saling terbuka satu sama lain. Ini adalah langkah besar dalam hidup kita. Kita harus saling mendukung.”
Alyssa terkejut dengan pernyataan itu. Dia merasa bahwa Arka benar-benar serius ingin menjalin hubungan yang lebih baik. “Aku setuju, Arka. Aku juga ingin kita saling mendukung dan memahami,” jawabnya dengan tulus.
Setelah pertemuan yang produktif itu, Alyssa pulang dengan perasaan yang lebih optimis. Mungkin, ada harapan di balik semua ini. Dia tahu bahwa pernikahan ini bukan hanya tentang dirinya dan Arka, tetapi juga tentang keluarga mereka.
Malam itu, setelah menyelesaikan tugas sekolah, Alyssa duduk di meja belajarnya dan mulai membuat catatan. Dia ingin mencatat semua ide dan inspirasi yang datang ke pikirannya. Dengan pensil di tangan, dia mulai menulis tentang tema pernikahan yang ia impikan. Ia berharap bisa membuat segalanya lebih personal, meskipun situasi ini terasa terpaksa.
“Tema yang cerah dan penuh cinta,” pikirnya. Dia membayangkan dekorasi yang indah, bunga-bunga segar, dan momen-momen bahagia yang ingin dia abadikan. Ia juga mencatat hal-hal yang ingin dia bicarakan dengan Arka selanjutnya, seperti detail pernikahan dan harapan masing-masing.
Hari demi hari berlalu, dan persiapan pernikahan berjalan semakin lancar. Alyssa dan Arka semakin sering bertemu, baik untuk membahas pernikahan maupun untuk sekadar berbincang. Mereka mulai menemukan kenyamanan satu sama lain, berbagi cerita tentang masa lalu dan mimpi di masa depan.
Meskipun ada ketegangan di antara mereka, Alyssa merasa hubungan ini semakin mendalam. Arka bukan hanya sekadar calon suaminya, tetapi juga sahabat yang bisa dia ajak berbagi suka dan duka. Dalam proses tersebut, Alyssa menemukan bahwa pernikahan ini bisa menjadi kesempatan untuk mengubah hidupnya menjadi lebih baik.
Suatu sore, saat mereka sedang duduk di taman setelah pertemuan, Alyssa memutuskan untuk berbicara tentang harapannya. “Arka, aku ingin kita saling terbuka tentang apa yang kita harapkan dari pernikahan ini. Apa harapanmu?”
Arka terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. “Aku ingin pernikahan ini menjadi perjalanan yang indah bagi kita berdua. Aku ingin kita saling mendukung, dan aku berharap bisa menjadi suami yang baik untukmu. Aku juga ingin kamu merasa bahagia.”
Mendengar pernyataan Arka, Alyssa merasa terharu. Dia tidak menyangka bahwa Arka memiliki harapan yang sama. “Aku juga ingin merasakan kebahagiaan dalam pernikahan ini. Aku berharap kita bisa saling memahami dan menghargai satu sama lain.”
Malam itu, Alyssa pulang dengan perasaan bahagia. Dia merasa seolah telah menemukan cahaya di ujung terowongan. Mungkin, pernikahan ini bukanlah akhir dari semua impian dan cita-citanya. Mungkin, ini adalah awal dari sebuah perjalanan yang penuh harapan dan cinta.
Dengan semangat yang baru, Alyssa berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadikan pernikahan ini berarti. Dia ingin berjuang demi kebahagiaan mereka, dan menjadikan momen-momen indah dalam hidupnya. Setiap langkah yang diambil akan menjadi bagian dari kisah cinta yang akan ia bangun bersama Arka.
Ketika malam tiba, Alyssa berbaring di ranjangnya, mengingat semua yang terjadi. Dia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang dan penuh tantangan. Namun, untuk pertama kalinya, dia merasa siap menghadapi apa pun yang akan datang. Dengan harapan yang mengalir dalam jiwanya, dia tertidur dengan senyuman, bermimpi tentang masa depan yang cerah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!