Gunung-gunung di kejauhan tampak jelas, dengan awan jatuh di atasnya, seolah sang pelukis tanpa sengaja meninggalkan goresan, yang menjadikannya lukisan yang menakjubkan.
Tidak jauh dibawahnya, sebuah kereta melaju dengan kecepatan tinggi. Salah satu jendela kaca menampakkan tampilan seorang gadis manis. Matanya jernih selembut embun di pagi hari. Bibirnya pink alami tanpa ternoda bahan kimia. Alis hitam pekat, bulu mata panjang, dan lentik. Wajahnya bersih, cerah seputih air susu. Gadis yang amat cantik.
Hanya saja gadis itu tampak linglung, dengan pandangan yang kosong, menatap ke luar jendela.
Di dalam kereta, seorang pria dewasa, bergerak dengan ragu-ragu, "Ehem, dik? Adik bepergian sendirian, memang tidak takut ya."
Tak ada tanda-tanda perubahan pada ekspresi gadis di depannya. Sikapnya sangat tenang. Hanya melirik pria dewasa di depannya. Kursi yang mereka tempati, untuk diisi empat orang. Namun, sepertinya dua penumpang lainnya telah turun di pemberhentian sebelumnya.
"Jangan takut, saya bukan orang jahat kok. Saya seorang guru. Apa kamu tahu NUSANTARA HIGH SCHOOL. Nah, saya adalah salah satu guru disana. Hehe, lebih tepatnya guru magang. Baru satu bulan lalu saya baru mulai magang. Kali ini saya pulang ke kampung halaman Di kota Malangit-"
Mendengar kota yang disebutkan, ketenangan yang sebelumnya ditunjukkan gadis itu menjadi sedikit goyah.
".... Karena ada keperluan mendadak. Adik sendiri? Asal mana dan mau kemana. Ah, maaf jika saya banyak bicara. Semenjak dari Jayakarta tidak ada yang bisa diajak ngobrol."
"Saya turun di Malangit," kata Aria.
"Ah, jadi kita memiliki tujuan yang sama. Itu sebuah kebetulan."
Aria sedikit mengangguk untuk membenarkan.
"Wah, tidak kusangka akan bertemu sesama penduduk kota seperti ini...."
Obrolan berlanjut, meski Aria hanya sesekali menanggapi dengan singkat, hingga keduanya turun bersama di stasiun Malangit, mereka pun berpisah di jemputan masing-masing.
...----------------...
Jalan di kota Malangit sudah mengalami banyak perubahan dalam delapan tahun terakhir. Bangunan-bangunan baru nampak memenuhi lahan-lahan yang mulanya kosong.
Aria menatap sekeliling dengan tertarik, kenangannya melayang pada delapan tahun yang lalu, saat Dia meninggalkan kota ini.
Delapan tahun yang lalu, Dia juga melalui jalan ini. Saat itu perjalanan nampak singkat. Seperti tidak membiarkannya menyimpan banyak kenangan.
Kepalanya tertunduk memikirkan banyak hal. Sampai tidak sadar motor yang ditumpanginya mulai melambat. "Dik, kita sudah sampai di desa Suko. Dimana adik ingin turun?"
Aria mendongak, menatap tugu selamat datang, dan bergumam, "Aku pulang?"
"Yaa? turun dimana dik?"
"Turunkan di perempatan di depan, pak. Terima kasih."
Aria turun dari atas becak, menyerahkan beberapa lembar uang, dan menurunkan tasnya. Tukang becak yang telah mendapatkan uang pun menjalankan kembali becaknya menuju pangkalan semula.
Untuk sejenak Aria terpaku, sepertinya Dia masih tidak percaya Dia benar-benar kembali ke rumah.
Samar-samar terlihat para ibu-ibu sedang bercengkrama di teras rumah. Sedangkan anak-anak bermain di jalan-jalan. Tidak nampak pria dewasa di antara mereka. Sepertinya sang kepala keluarga tengah mencari nafkah.
Jantung nya berdebar-debar, seulas senyum terbit di bibirnya, tidak berlama-lama Dia berjalan ke sisi samping, sebuah jalan kecil menuju rumahnya.
Mengikuti ingatannya, Aria melewati beberapa belokan, beberapa rumah sudah mengalami renovasi, sehingga Dia tidak lagi mengenalnya. Namun, beberapa hal masih dipertahankan. Misalnya sumur desa yang biasa dia pakai seluruh desa. Rumput di sisinya sudah tinggi, tapi melihat jejak di sisi lainnya, nampak sumur itu masih digunakan.
Sampai di satu belokan lagi, Aria mempercepat langkahnya. Tapi kemudian Dia berhenti.
Sebuah Rumah hangus, dengan sisa-sisa kebakaran yang jelas. Samar-samar bahkan masih tercium aroma hangus.
Aria menatap lekat-lekat pada rumah yang hangus. Wajahnya pucat pasi, untuk sesaat ingatan keluarga yang terdiri dari lima orang menjadi kabur.
Tiba-tiba sebuah suara terdengar, dari belakangnya, "Nak, siapa kamu? Apa yang kamu lakukan di tempat ini?"
Aria menenangkan dirinya, jarinya yang gemetar Dia sembunyikan di belakang punggung. Suaranya sedikit serak saat berucap, "Dimana keluarga yang tinggal disini?"
Wanita yang bertanya, menjadi curiga, tapi meski begitu Dia masih menjawab. "Apa kamu tidak tahu, satu tahun yang lalu kebakaran terjadi, tidak ada yang selamat. Kamu ini siapa? Apa kamu kerabat jauhnya?"
Seutas benang kewarasan terputus. Otaknya berdengung dengan hebat. Tapi Dia masih berusaha menekan emosinya.
"Tidak ada yang selamat? Bagaimana dengan anak-anak mereka."
"Emm, itu," Wanita itu menjadi ragu-ragu untuk melanjutkan.
Aria tidak sabar menunggu, Dia langsung mengeluarkan uang di sakunya, dan menyerahkan uang itu pada wanita di depannya.
Dengan uang di genggamannya, wanita itu mulai bercerita. "Pasangan itu memiliki tiga anak. Anak bungsunya hilang saat terjadi huru-hara epidemi delapan tahun lalu. Entah bagaimana nasibnya, tidak ada yang tahu. Tapi mereka beruntung dengan dua anak yang tersisa. Keduanya adalah siswa yang cakap. Sehingga mendapat beasiswa di kota kabupaten. Itu merupakan sekolah bergengsi di negara ini. NUSANTARA HIGH SCHOOL. Kamu pasti pernah mendengarnya."
Perasaan familiar hinggap di hatinya, Dia memang merasa pernah mendengar nama sekolah itu. Tak urung hatinya merasa bangga. Kedua kakaknya memang pintar sejak kecil. Wajar jika sampai mereka diterima di kota kabupaten. Namun, kabar selanjutnya seperti menyiramkan air garam ke bekas lukanya.
"Sayangnya keberuntungan itu tidak berlangsung lama. Sekitar satu tahun yang lalu, sebuah kabar buruk datang berturut-turut dari kota, putri sulung mereka bunuh diri. Sedangkan putra kedua mereka dipenjara. Keluarga itu mendapatkan kabar yang sangat menyakitkan dalam satu malam. Tidak ada waktu untuk bersedih, untuk mengambil tubuh putri mereka, dan mencari tahu kenapa putra mereka dipenjara. Sang kepala keluarga pun bergerak ke ibukota."
"Namun, saat dalam perjalanan. Bus yang ditumpangi mengalami kecelakaan. Tak ada korban yang selamat. Bersamaan dengan itu, kabar dari pengadilan datang, sang putra akan segera dihukum eksekusi. Sang istri yang tinggal di rumah, tidak tahan dengan kematian satu persatu anggota keluarganya langsung jatuh sakit. Saat tengah malam, rumah tiba-tiba kebakaran. Karena waktu sudah tengah malam, tidak ada warga desa yang menyadarinya. Sehingga saat semua tahu, rumah sudah terbakar habis."
"Dalam kurun waktu yang singkat seluruh keluarga hancur. Tidak ada yang tersisa. Warga desa yang mengenal sanak saudara mereka langsung menghubungi. Tapi, tidak ada satupun yang menanggapi apalagi datang. Alhasil kami hanya membiarkan tempat ini tanpa membersihkannya. Pada akhirnya kejadian itu terlupakan begitu saja. Jika kamu adalah salah satu anggota keluarganya. Kenapa baru datang sekarang, Nak?"
"Saya baru mengetahuinya," jawab Aria pelan.
"Aneh, kepala desa mengatakan sudah memberi tahu semua saudara. Apa kamu berada di luar kota?"
Aria mengangguk kecil, Dia memang tinggal jauh dari kota ini.
"Pantas jika kamu baru mengetahuinya.... Nak, sebaiknya kamu menjauh dari rumah ini. Orang berkata seseorang melempar ilmu hitam ke keluarga mereka karena iri. Sehingga satu persatu anggota keluarga dikutuk sampai mati. Jika kamu tidak ingin terkutuk, sebaiknya kamu segera pergi. Doakan saja mereka dari jauh. Itu yang paling mereka butuhkan."
Aria hanya diam tidak menanggapi. berbicara tentang keluarga yang dikutuk sampai mati, lalu bagaimana dengannya, kenapa dia masih hidup, apakah karena keluarga nya tidak lagi menganggapnya, atau karena dosanya terlalu banyak hingga setan pun takut menjeratnya.
Karena keterdiaman Aria, wanita yang berbicara dengannya menjadi takut dan lari. Mungkin dia berpikir telah menemui hantu. Mengingat ekspresi Aria yang datar sejak awal. Seperti bukan manusia normal.
Tapi Aria tidak memperdulikannya. Perlahan Dia memasuki rumah, yang tinggal puing-puing itu.
Langit tiba-tiba menjadi gelap, menelan sepenuhnya cahaya matahari di sebagian bumi, bulir-bulir air hujan mulai jatuh disetiap titik. Semua penduduk desa langsung bergerak panik menyelamatkan pakaian dan gerabah yang mereka jemur, anak-anak ditarik masuk ke rumah, dan pintu-pintu ditutup rapat. Saat seperti ini, tidak ada satupun manusia yang akan keluar. Hujan sederas ini kerap kali mendatangkan banjir yang mengancam nyawa.
Aria jatuh tertunduk tidak berniat mengelak dari air hujan. Dia membiarkan tubuhnya basah kuyup. Rumah mereka tidak besar, total ada tiga kamar, ruang tamu, dapur, dan satu kamar mandi. Sederhana namun cukup hangat untuk sebuah keluarga biasa.
Dulu, cukup hangat, kehangatan yang membuatnya bertahan sampai detik ini, tapi sekarang, yang tersisa hanya....
Ratapan tangis larut teredam dalam derai hujan yang turun. Tak ada yang mendengar, tidak ada yang melihat, hanya alam yang menyaksikan. Hancurnya hati seorang anak yang kehilangan keluarganya. Delapan tahun lamanya, Dia hanya berharap untuk kembali bersatu dengan keluarganya. Tapi takdir seolah membenci dirinya. Apakah dia terlalu tidak pantas untuk mendapatkan kebahagiaan.
Kejadiannya satu tahun lalu, saat itu.... Jika Seandainya saja dia kembali lebih awal, mungkinkah semua tragedi ini tidak akan pernah terjadi. Kenyataannya tidak ada kata seandainya.
Waktu berlalu sangat cepat. Sebelum meninggalkan desa, Aria telah mencoba mencari informasi mengenai keluarganya. Sayangnya tidak banyak yang mengetahui. Tragedi hari itu tiba-tiba saja terjadi, tanpa pertanda yang berarti.
Hal itulah yang membuat keraguan di hati Aria menjadi semakin besar. Jelas tidak ada kebetulan seaneh ini. Satu persatu anggota keluarga menemui kematian, kurang dari waktu setahun. Jika seseorang memang mengutuk keluarganya. Maka sebagai anak yang masih hidup, adalah tugasnya mengembalikan kutukan itu.
...----------------...
Satu bulan kemudian, Aria sudah memasuki Ibukota negara. Setelah mengurus beberapa dokumen yang diperlukan di pemerintahan. Gilirannya mencari tempat sementara untuk tinggal.
Aria berjalan keluar dari gerbang Kantor Hubungan Masyarakat. Dia berjalan perlahan menuju warung makan diujung jalan.
Tempat makan adalah yang paling tepat untuk mencari informasi. Karena pemilik pasti telah mengobrol dengan berbagai pelanggan. Kemungkinan untuk menemukan tempat tinggal akan semakin cepat.
Cuaca sangat bagus, langit cerah tanpa awan, hanya ada polusi yang sedikit mengganggu, jika tidak, akan menyenangkan untuk berjalan-jalan santai.
Di dalam warung tidak begitu ramai. Hanya seorang pria yang duduk di sudut kiri, dan tiga keluarga di bagian tengah. Aria langsung duduk di sisi kanan yang kosong.
"Mau makan apa, dik?" tanya Mbok Darti ramah.
"Biasa, Bu," Jawab Aria.
Bu Darti mengerti dan langsung menyiapkan pesanan. Makanan yang dijualnya memang sudah matang semua. Dia hanya perlu mengambil dan meletakkannya di piring. Lauk di etalase sangat bervariasi, dari ikan, ayam, bebek, tahu, tempe, semua masih komplit. Tapi Aria memesan menu biasa, itu berupa nasi, sayur, telur, dan kerupuk. Cukup bernutrisi dan mengenyangkan.
"Ini, dik," Bu Darti menyerahkan piring yang telah terisi makanan.
Aria menerimanya, "Terima kasih."
"Haduh sama-sama, sopan sekali adik ini, jarang-jarang anak muda jaman sekarang begini."
Aria hanya tersenyum tipis, memilih mengisi perutnya dulu, baru melaksanakan tujuannya.
Bertemu dengan anak muda yang menyenangkan, Bu Darti dengan senang hati meluangkan waktu untuk mengobrol lebih banyak.
"Adik baru ya disini? Saya gak pernah lihat soalnya."
Aria menelan dulu makanan dalam mulutnya, sebelum akhirnya menjawab.
"Iya, Bu. Baru saja selesai melapor."
"Ohh, pantas saya lihat keluar dari arah Kantor di depan. Tempat tinggalnya dimana? Apa disekitar sini? Hehehe, maaf ya Ibu banyak bertanya."
"Gak apa-apa, Bu. Tempat tinggal, belum ada, masih mencari-cari."
"Yang bener, kebetulan sekali kalau gitu.... Begini, menantu saudara Ibu itu punya kontrakan, baru saja tadi pagi, penyewa sebelumnya habis sewa. Nah, Ibu dimintai tolong untuk mencarikan penyewa baru. Soalnya kan bikin iklan itu gak gampang, ribet, dan bahaya. Syukur-syukur ketemu orang baik kan, kalau ketemu penjahat, haduhh, jangan sampe."
"Karena Ibu buka warung, ketemu banyak pelanggan tuh, jadi sedikit bisalah menilai karakternya. Pas sekali kamu belum punya tempat tinggal. Dan Ibu lihat, adik anak baik, sopan juga, cocok sekali. Gimana kalau adik saja yang jadi penyewa baru. Ibu jamin deh, kosan nya nyaman, harganya juga terjangkau, letaknya strategis juga. Adik tahu Sekolah NUSANTARA HIGH SCHOOL, kosan nya itu di dekat situ, loh. Gimana dik, mau yahh, saya kenalin langsung nanti," kata Bu Darti mulai melebihi lebih kan.
Aria hanya mendengarkan dalam diam. Keberuntungannya cukup baik, untuk langsung menemui kosan di dekat sekolah tujuannya. Tapi harga yang terjangkau, memang agak mencurigakan. Jadi Dia tidak langsung menyetujuinya.
"Apa harganya benar terjangkau, Bu? Di tempat yang se strategis itu. Pilihan yang nyaman untuk siswa disana kan," kata Aria dengan nada curiga.
Bu Darti langsung mengangguk semangat, "Ya-ya sangat terjangkau sekali. Adik mungkin merasa aneh kenapa kosan nya murah. Ibu tidak akan menipu. Letaknya memang dekat dengan sekolah. Tapi sebenarnya itu terletak di bagian belakang. Jauh dari jalan utama. Harus melewati gang untuk ke jalan utama. Dan gang nya sangat kecil, hanya bisa digunakan pejalan kaki. Kebanyakan siswa tentu tidak akan mau. Apalagi ada juga asrama di sekolah. Jadi penyewa sebelumnya hanya beberapa pekerja. Tak pernah Ibu lihat ada siswa sekolah."
Aria akhirnya paham, pantas jika harganya terjangkau. Dia percaya pemilik warung, meski mereka baru bertemu, sebagai orang yang setiap hari menjual makanan. Menipu gadis remaja seperti dirinya. Hanya akan merugikan diri sendiri.
"Kalau begitu saya akan melihat tempatnya dulu, baru memutuskan."
"Bagus-bagus, aku akan menghubungi menantu saudaraku dulu, agar dia datang kesini."
"Tidak perlu, Bu," tolak Aria halus. "Biar saya langsung kesana. Ibu katakan saja kemana saya harus pergi."
"Ahh, baiklah. Jadi dari sini...."
...----------------...
20 menit kemudian, Aria telah sampai di kosan yang dimaksud Bu Darti.
Sebelum Aria sempat melangkah maju, sebuah teriakan terdengar dari belakangnya.
"Anak nakal! bukannya sekolah, malah kelayapan, dari mana kamu, Hahh. Muka lebam-lebam, baju sobek, udah mulai berani ikut-ikut tawuran, kamu ya."
Aria berbalik melihat seorang wanita dewasa menjewer remaja SMP dan berjalan ke arahnya.
Ketika dua pasangan Ibu dan anak itu menyadari kehadiran seorang gadis di depan rumahnya. Keduanya berhenti dengan raut muka malu.
Sang Ibu bergerak maju lebih dulu, "Cari siapa ya, dik?"
"Pemilik kosan ini. Saya diperkenalkan Bu Darti, penjual makanan di depan Kantor Hubungan Masyarakat," jawab Aria.
Saras berkedip bingung, sedetik kemudian Dia menepuk tangan, teringat permintaannya pada sang Budhe, "Ohh, penyewa kos baru, ya! Saya ini pemiliknya, ayo-ayo masuk ke rumah dulu, kita bicarakan di dalam."
Aria berjalan mengikuti tanpa tergesa-gesa.
Rumah pemilik kos berada tepat di samping bangunan kos berlantai dua, tempat Aria tadi berdiri.
"Silahkan duduk, anggap saja rumah sendiri, saya ambilkan minuman dulu."
Aria duduk dengan patuh, matanya sedikit menelusuri ruang tamu, ruangannya tidak begitu luas, ada penyekat di bagian tengah, dari celahnya Dia bisa melihat tv di letakkan.
"Nah, silahkan. Maaf ya cuma seadanya," ucap Sarah setelah kembali dengan minuman di tangannya.
"Terima kasih, sudah repot-repot."
"Gak repot kok. Silahkan, silahkan diminum dulu."
Aria menyesap sebagai bentuk kesopanan.
"Baru saja tadi pagi saya minta bantuan Budhe Darti untuk mencarikan penyewa baru. Saya gak menyangka akan secepat ini, Budhe akan mendapatnya."
Aria tersenyum tipis, "Kebetulan saya bertemu orang yang tepat."
"Ya benar sekali. Kalau begitu bagaimana kalau langsung saja. Saya yakin kalau sudah Budhe Darti yang mengenalkan. Jadi gak perlu basa basi lagi."
"Mungkin Budhe Darti sudah sedikit cerita. Salah satu kamar kosan ada yang kosong. Baru tadi pagi pemilik sebelumnya pergi. Tapi saya jamin tempat nya sudah bersih dan rapi. Saya sendiri yang membereskan nya. Apa adik mau melihatnya dulu sebagai pertimbangan."
"Tidak perlu, saya juga percaya pada Bu Darti dan keluarganya."
Sarah tersenyum puas, satu poin lebih untuk menyukai penyewa barunya.
"Kalau begitu langsung saja, saya jelaskan syaratnya...."
Hari di minggu depannya.
Jalanan di depan sekolah telah ramai dengan aktivitas siswa siswi yang keluar masuk sekolah.
Pintu gerbang dibuka lebar, dengan satpam dan anggota OSIS menjaga di kedua sisinya.
Dari gang di sisi Timur, ada jalan setapak kecil menuju pemukiman di belakang sekolah, jalannya hampir tidak terlihat, hanya tanahnya yang berbekas orang telah menggunakan jalan itu.
Aria keluar dari gang itu dan berjalan mendekati sekolah itu.
Pada saat Dia sampai di depan gerbang, seseorang lebih dulu menghentikannya.
"Maaf, ada keperluan apa adik kesini?" tanya satpam penjaga.
Aria memang memakai pakaian biasa saat ini. Wajar jika membuat orang lain curiga.
"Saya murid pindahan, ini dokumennya."
Satpam menerima dokumen, dan mempelajarinya.
Surat penerimaan siswa baru
Nama : Aria
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 1 November 20××
Pindahan dari : -
Dst...
Paragraf paling terakhir berbunyi.
Sebagai hasil penilaian yang telah dilakukan, siswi dengan nama Aria, diterima sebagai siswa kelas 10 A2, pada tanggal XX, XX, XXX.
Satpam mendongak sedikit terkejut, usia gadis di depannya terhitung baru 14 tahun, satu tahun lebih muda, dari usia yang seharusnya dimiliki untuk anak SMA. Dengan kagum Dia menyerahkan dokumen di tangannya.
"Maaf, bapak sudah tidak sopan. Kepala Sekolah sebelumnya sudah mengabari, untuk memperhatikan murid baru. Mari saya antar masuk."
Aria sedikit mengangguk dan mengikuti dari belakang.
Saat Aria melewati itu gerbang, fokus semua orang beralih padanya, gadis cantik dengan pakaian biasa, sangat mencolok di tengah seragam putih abu-abu. Tapi Aria bahkan tidak menoleh, terus fokus pada jalan didepannya. Sampai satpam di depannya tiba-tiba berhenti.
"Kenapa berhenti?" tanya Aria bingung.
Satpam penjaga menggeleng, lalu kembali berjalan, bagaimana mungkin Dia akan mengatakan, Dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian.
...----------------...
Di taman sekolah, bunga Tulip tengah mekar, warnanya yang beragam tertata dengan cantik. Tidak hanya Tulip, bunga-bunga yang tidak biasa tumbuh di negara ini, terlihat tumbuh kuat di sisi lainnya.
Aria yang melihatnya berkedip tertarik, sekolah kelas atas memang berbeda.
Setelah sampai di depan pintu kepala sekolah.
"Kamu masuklah sendiri, bapak mesti kembali ke depan," kata Satpam penjaga.
Aria hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia menyaksikan kepergian Satpam penjaga dengan tenang. Kemudian Dia bergerak mengetuk pintu di depannya.
Tokk tokkk
"Masuk," suara berat dari dalam terdengar.
Aria membuka pintu, dan masuk ke dalam ruangan.
Di dalam ruangan, Kepala Sekolah NUSANTARA HIGH SCHOOL duduk dibalik meja, tanpa tanda-tanda peduli pada tamunya.
Aria kembali menutup pintu, lalu berjalan beberapa langkah ke depan, Dia tidak bicara, ataupun langsung duduk, Dia berdiri lima langkah dari sisi meja.
Hening sejenak di dalam ruangan, hanya suara lembaran kertas dibalik yang mengisinya.
Lima menit kemudian, Kepala Sekolah menaruh pulpennya, dan melepas kacamatanya. Kepalanya mendongak menatap Aria dari atas sampai bawah.
"Murid baru!?" tebak nya ragu.
"Ya, Pak," jawab Aria.
Ekspresi Kepala Sekolah langsung berubah bersemangat, "Akhirnya,... saya sudah menunggu dari kemarin, senang kamu ada disini. Ayo silahkan duduk dulu."
Aria tetap pada ekspresi tenangnya, lalu duduk di kursi.
"Bagaimana lingkungan sekolah, apa kamu sudah melihatnya? Kamu pasti sudah melewati taman kami. Gadis-gadis biasanya menyukai bunga. Taman kami satu-satunya yang paling baik, bunganya diimpor, dan tukang kebunnya adalah seorang ahli," Kepala Sekolah berkata dengan senang hati. Dia terus memandang Aria dengan penuh kasih sayang. Bagaimana tidak sayang, jika mendapatkan seorang siswi jenius, di tengah krisis yang dihadapi sekolah.
Mendapatkan nilai sempurna di semua mata pelajaran. Sekarang tidak akan ada yang berani meremehkan sekolah mereka lagi.
Aria mengangguk sebagai tanggapan.
Mendapat tanggapan cuek, Kepala Sekolah tidak marah, dan terus berkata, "Nah, untuk kelas yang akan kamu tempati. Saya akan panggilkan wali kelasnya dulu. Dia yang akan menjagamu selama tiga tahun kedepan."
Tutt tutt tutt
"Bu Alin, bisa ke ruangan saya sekarang, saya tunggu."
Pluk
"Disini semua fasilitas tersedia. Semua disediakan untuk kenyamanan siswanya. Nanti kamu akan melihat-lihat sendiri. Kamu pasti akan segera terbiasa.
Tak lama kemudian, pintu kembali terketuk, dan seorang guru muda masuk.
"Pak Kepala Sekolah, memanggil saya."
"Benar, kemari lah. Ini adalah Aria, yang akan menjadi murid didikmu sekarang."
Mendengar perkataan Kepala Sekolah, Guru Alin langsung memperhatikan gadis muda yang duduk.
"Bukannya kita tidak menerima murid baru di semester dua," tanya Guru Alin heran.
"Ini keadaan khusus. Aria mendapat nilai sempurna di soal tes ujian tahun lalu," ucap Kepala Sekolah bangga.
Guru Alin langsung memasang ekspresi tidak percaya. Dia tahu betul kesulitan tes tahun lalu. Bahkan banyak anak-anak hampir tidak naik kelas karenanya.
"Kepala Sekolah yakin akan menempatkannya di kelasku," ucap Guru Alin dengan nada bergetar. Biasanya murid terbaik adalah milik A1.
"Yah, tentu saja yakin. Ini juga permintaan Aria sendiri. Sudah, tidak perlu terkejut. Kali ini memang keberuntunganmu."
"Baik, terima kasih Kepala Sekolah."
"Hmm, sama-sama."
...----------------...
Selama perjalanan menuju kelas Aria kembali melewati taman. Kali ini matanya melihat lebih banyak.
"Indah kan taman nya?" Guru Alin bertanya lembut.
Aria menoleh ke depan, lalu menjawab dengan pelan, "Ya," dalam hati Dia sedikit bergumam, "Apa semua orang disini terobsesi dengan taman."
"Jika kamu suka, kamu bisa ikut klub merangkai bunga. Semua bunga disini adalah milik mereka. Ada rumah kaca di sisi Selatan. Tempat mereka biasa berkumpul," terang Guru Alin.
Setelah beberapa saat, mereka sampai di kelas 10 A2, kelas dengan tema kuning terang, pot bunga matahari tersusun di sisi pintu, sangat mencolok dibandingkan kelas lain.
"Kita sampai di kelas," ucap Guru Alin dengan senyum.
Bulu mata Aria sedikit bergetar, ekspresinya sedikit berubah, tanpa disadari siapapun.
Di dalam kelas.
Semua murid menatap panas pada satu tempat, yaitu pintu masuk kelas. Kabar akan adanya murid baru yang cantik telah sampai ke telinga semua orang. Hampir semua kelas mengharapkan murid baru itu akan datang ke kelas mereka. Sayangnya keberuntungan menghampiri kelas 10 A2. Karena mereka melihat wali kelas 10 A2 berjalan bersama murid baru. Inilah mengapa murid kelas 10 A2, sudah begitu antusias menunggu kedatangan murid baru.
Guru Alin yang baru saja masuk, terheran dengan suasana kelas. Entah perasaannya atau tidak suasana nampak cerah. Alasannya jelas tidak mungkin karena kehadirannya. Guru Alin melirik murid baru di belakangnya yang diam dan patuh. Dia bertekat untuk menjaga anak baik ini.
Aria yang ditatap, dengan polos balik menatap.
"Tidak biasanya kalian begitu bersemangat," kata Guru Alin mengalihkan pandangan ke seluruh kelas.
"Kita kan selalu semangat untuk belajar, Bu," Celetuk siswa di barisan belakang.
"Ah, masak," ejek Guru Alin. "Bukan karena ada murid baru, ya. Ibu mengerti pikiranmu itu. Jangan macam-macam. Perbaiki dulu nilai senimu. Apa-apaan siswa SMA menggambar gunung dan sawah. Anak SD saja menggambar lebih baik."
"Hahahaha," tawa seluruh kelas seketika pecah.
Hanya Aria yang tetap mempertahankan wajah tanpa ekspresinya.
"Sudah-sudah. Semuanya kenalkan, ini Aria, yang akan bergabung ke kelas kita. Ibu harap kalian membantunya agar Dia bisa segera terbiasa di sekolah kita, jangan menggretaknya, bertemanlah dengan baik...."
"Ketua kelas, tugasmu untuk memastikan tidak ada yang mengganggu Aria. Laporkan ke Ibu segera jika ada yang membuat masalah.... Nah, Aria kamu bisa duduk di bangku kosong. Kita akan memulai pelajaran."
"Baik, terima kasih, Bu," balas Aria sambil bergerak menuju bangku kosong.
"Ah, anak baik," batin Guru Alin semakin sayang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!