Anna melangkah ke ruangan housekeeping office. Di sana Anna harus mengisi absen pada lembaran daftar hadir atau attendant record bagian kolom time in. Mengambil room assignment sheet atau yang disebut juga dengan daftar kamar-kamar yang perlu dibersihkan.
Ya, Anna adalah seorang room attendant atau secara awam dikenal sebagai petugas kebersihan kamar hotel. Setiap hari Anna mengisi room assignment sheet yang telah disiapkan oleh floor supervisor. Semua itu untuk mengontrol pembagian room attendant yang bertugas dalam pembersihan semua kamar di hotel.
Selanjutnya Anna memilih kunci kamar yang merupakan master key dari kamar yang menjadi tanggung jawabnya. Sesuai dengan daftar kamar pada room assignment sheet. Anna membubuhkan tanda tangannya pada key log book di kolom key out yang menunjukkan kunci kamar tersebut telah diambil olehnya.
"Hey!"
Anna terperanjat. Tubuhnya bahkan terlonjak. Di ruangan yang masih hening sepi itu tiba-tiba dikejutkan oleh suara keras dan sergapan di kedua bahunya.
Anna membalik tubuhnya dan langsung memukul, mencubit lengan kedua gadis yang telah membuatnya kaget itu. Anna memandang mereka dengan dada yang turun naik karena kesal. Sementara yang dipukul dan dicubit justru malah terbahak-bahak.
"Serius amat sih Kak? Sampai-sampai kita datang Kak Anna nggak tau?" tanya Cindy.
"Kak Anna lagi jatuh cinta yaa, makanya sering melamun," sambung Desi.
"Sudah becandanya? Tanda tangan ini, jangan sampai lupa!" perintah Anna.
"Iih Kak Anna ini serius amat siih. Makanya Kak Anna, ayo cepet-cepet cari pacar biar hidup ceria, indah, penuh bunga-bunga–"
"Lebay! Beraninya kamu kasih nasehat sama Kak Anna. Giliran putus cinta, kamu nangis sampai seragam Kak Anna basah kuyup," ucap Desi sambil mencibir.
Mereka tertawa, termasuk Cindy sendiri. Mereka adalah tiga room attendant yang masih belum berkeluarga. Berasal dari kota yang berbeda-beda dan latar belakang pendidikan yang berbeda pula.
Desi tamatan SMK jurusan perhotelan. Cindy, tamatan SMA jurusan IPS sementara Anna adalah seorang sarjana yang mengambil jurusan manajemen perhotelan. Karena memiliki kesamaan yaitu sama-sama belum berkeluarga, mereka bertiga menjadi sangat akrab bahkan seperti kakak dan adik.
Perbedaan jenjang pendidikan tak menjadi penghalang. Anna tak pernah merasa istimewa dibandingkan yang lainnya. Itulah yang menyebabkan kedua gadis itu sangat dekat dengannya.
Anna serius dalam menjalankan tugasnya sebagai room attendant, sama seperti room attendant lainnya. Namun, hal itu dipandang pura-pura oleh room attendant yang lebih senior. Mereka menganggap Anna hanyalah seorang pemalas dalam bekerja karena menyandang gelar yang lebih tinggi.
"Wajah cantik, gelarnya sarjana. Apa mungkin dia serius bekerja di sini? Aku yakin, dia tidak sungguh-sungguh ingin bekerja di departemen housekeeping," ujar Wati, room attendant yang telah bersuami.
"Ya betul, paling hanya ingin menggoda tamu dari kalangan atas yang menginap di hotel ini. Secara, hotel ini adalah hotel mewah, yang datang ke sini tentunya bukan orang sembarangan. Syukur-syukur ada yang tertarik, bisa jadi nyonya besar deh," ucap Deswita, janda tanpa anak itu.
Dan banyak gosip lain yang akhirnya sampai ke telinga Anna. Gadis itu hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Baginya apa yang dikatakan ibu-ibu muda itu tidak salah sepenuhnya.
"Harusnya Kak Anna jangan jadi room attendant, tapi manager hotel biar keren, jadi wanita karir. Masa gelar sarjana mau bekerja sederajat dengan tamatan SMA?" tanya Desi.
"Aku memang ingin menjadi manager di hotel ini, tapi fresh graduate sepertiku apa mungkin diterima langsung jadi manager? Sementara lowongan kerja yang terbuka hanya menjadi room attendant, aku harus bagaimana? Apa aku salah memulai bekerja dari bawah?" tanya Anna pada kedua gadis yang melaporkan gosip tentangnya itu.
"Ya sih, tapi harusnya Kak Anna menunggu aja, kalau-kalau ada lowongan sebagai staf manajemen hotel. Jadi Kak Anna nggak memulai dari bawah sekali," usul Cindy.
"Aku mau menunggu Cindy, tapi perutku nggak bisa menunggu. Harus diisi minimal satu kali sehari, jika aku nggak kerja gimana aku mengisi perutku? Aku mau tanya, apa kalian keberatan aku bekerja di sini? Apa gelarku mengganggu kalian? Kalau iya, aku akan keluar," ucap Anna.
"Haah, nggak Kak! Jangan! Kami senang kok Kak Anna kerja di sini. Kami sayang Kak Anna!" seru kedua gadis itu sambil memeluk Anna dari samping kiri dan kanannya.
"Aku nggak peduli dengan pemikiran mereka. Aku nggak peduli digosipkan seperti apapun oleh mereka, tapi aku sedih jika orang-orang yang aku sayangi, benci padaku dan merasa terganggu oleh kehadiranku. Jika seperti itu aku nggak akan bisa bekerja. Lebih baik aku pergi aja …."
"Nggak Kak! Jangan! Maafkan kami. Kami nggak benci Kak Anna kok. Kami justru benci mereka. Aku nggak suka mereka gosipkan Kak Anna terus," jawab Desi yang disusul anggukan kuat oleh Cindy.
"Kalau begitu jangan dengarkan gosip mereka. Kerja aja yang serius. Nggak perlu kecil hati dengar gosip-gosip mereka. Asalkan kita nggak berbuat salah. Jangan pikirkan hal yang nggak penting," ucap Anna tegas dan kedua gadis itu mengangguk kuat.
Tak lama kemudian mereka dipanggil untuk berkumpul. Semua room attendant harus mengikuti morning briefing yang dipimpin oleh supervisor. Setelah memperoleh pengarahan terkait kegiatan hotel, para room attendant pergi ke section masing-masing.
Anna dan yang lainnya segera persiapkan trolley dengan perlengkapan yang dibutuhkan untuk setiap kamar. Memastikan status kamar sesuai dengan sistem komputer dengan tujuan untuk memeriksa laundry tamu. Selain itu mereka juga memeriksa kamar dengan tanda service atau DND sebagai laporan untuk room discrepancy.
"Kami duluan ya Kak," ucap Cindy pada Anna.
Gadis cantik itu mengangguk pada Cindy dan Desi. Semua room attendant telah siap melakukan tugas pembersihan kamar. Biasanya dimulai dari kamar-kamar dengan tanda make up room begitulah rutinitas mereka sehari-hari.
Pagi itu, Anna mendorong trolley ke dalam lift untuk kembali ke section. Setelah menyelesaikan kamar-kamar yang menjadi tanggung jawabnya. Terkadang room attendant harus melakukan tugas seorang diri. Terkadang diperlukan dua orang untuk kamar dengan ruangan yang lebih luas dan kelas yang lebih tinggi.
"Aku bisa bantu ambilkan itu, jika kamu tidak keberatan."
Anna kaget dari lamunannya. Seseorang sedang bicara padanya. Anna sontak menoleh ke arah samping. Seorang pria tampan berdiri di sebelahnya sambil tersenyum. Menyadari dirinya yang termenung saat di dalam lift, gadis itu langsung bertanya pada pria itu dengan ekspresi tak mengerti.
"Ya, ada apa Tuan?" tanya Anna.
"Itu!" tunjuk laki-laki itu dengan matanya.
Pandangan mata Anna mengikuti arah tatapan mata laki-laki itu. Terlihat sebuah kamper menggelinding tepat di bawah roknya. Anna langsung tersenyum salah tingkah.
"Oh tidak usah Tuan, biar aku aja yang ambil," ucap Anna langsung meraih kamper itu dan menaruhnya di atas trolley.
"Kalau kerja itu jangan sambil melamun," ucap pria tampan itu.
"Iya Tuan, maaf. Ngomong-ngomong apa Tuan bekerja di sini?" tanya Anna.
"Nggak, aku baru saja kunjungi seorang teman di hotel ini," jawabnya.
"Oh," ucap Anna sambil mengangguk.
Denting bunyi lift sontak membuat keduanya kaget. Serentak keduanya menatap angka pada indikator gerbong lift. Pria itu tersenyum lalu melangkah keluar dari lift setelah dibalas anggukan hormat oleh Anna. Pria tampan itu melangkah di lantai satu menuju lobby hotel. Anna hembuskan nafas panjang sambil menatap punggung laki-laki tampan itu sebelum pintu lift tertutup kembali.
Orang-orang yang beruntung. Dilahirkan dari keluarga kaya. Disambut dengan hormat oleh semua orang. Apa mungkin aku bisa merasakan itu sebelum aku mati? Tanya Anna dalam hati.
Tak ada yang bisa menjawabnya hingga pintu lift kembali terbuka dan Anna pun melangkah keluar lift. Anna hembuskan nafas panjang teringat kehidupannya yang berat. Dengan melangkah perlahan, Anna kembali ke section-nya.
"Apa kalian dengar kalau putra pemilik hotel sedang menginap di hotel ini?" tanya seorang room attendant pada yang lainnya.
"Aku dengar orangnya sangat tampan, oh ya ampun, aku penasaran, tapi di ruangan mana yaa dia menginap?" tanya room attendant yang lain.
"Pastilah kamar terbaik di hotel ini. Tapi … hotel ini bukan hotel terbaik milik mereka, kenapa memilih menginap di hotel ini?" tanya Wati. Anna hanya duduk mendengar pembicaraan para room attendant itu. Beristirahat sambil memijat-mijat bahu dan lengannya.
"Mungkin ingin melarikan diri dari masalah. Aku dengar dia memang hobi pindah-pindah, menginap dari satu hotel ke hotel yang lain," jawab Deswita.
"Wah enak banget hidupnya, benar-benar seperti pangeran …."
"Pangeran yang nggak bertanggung jawab," ucap room attendant itu sambil tertawa.
"Kok seperti itu?"
"Ya, udah dewasa tapi masih aja begitu. Belum mau memikul tanggung jawab terhadap bisnis keluarganya. Kerjanya cuma mabuk, mabuk dan mabuk, lari, lari dan lari," jelas room attendant yang lebih tahu tentang itu.
"Nggak apa-apalah kalau punya duit banyak. Kerjanya cuma nikmati hidup," ujar Wati.
Anna tersenyum mendengar obrolan ketiga room attendant itu. Lalu tertunduk memikirkan nasibnya sendiri. Kebanyakan orang harus bekerja keras hanya untuk menikmati sesuap nasi. Sementara bagi yang lainnya, hanya bersantai menghabiskan harta dan waktu. Namun, uang tetap mengalir ke rekening mereka.
Tidak ingin iri, tapi apa yang diceritakan ketiga orang itu membuat Anna merasakan betapa tak adilnya dunia. Namun, setelah memikirkan keluarganya. Ayah dan ibunya. Anna tetap bersyukur. Meski terlahir dari keluarga miskin, Anna tetap bersyukur memiliki kedua orang tua itu.
Rutinitas sebagai room attendant dijalani Anna dengan sepenuh hati. Meski sehari-hari mengerjakan tugas yang berat dengan tingkat cedera yang cukup tinggi. Karena pekerjaan itu menuntut fisik dengan sifat pekerjaan yang sensitif terhadap waktu. Belum lagi resiko menghadapi pelecehan dan penyerangan seksual karena harus bekerja seorang diri di kamar yang disewa oleh orang yang tidak dikenal.
...🍀🍀🍀 ~ Bersambung ~ 🍀🍀🍀...
Pagi itu, Anna kembali menjalani rutinitasnya. Sementara Cindy dan Desi hingga kini masih belum muncul juga. Anna menanti kedatangan mereka dengan sedikit rasa cemas. Merasa khawatir dengan karakter kedua gadis room attendant itu yang masih suka bermain-main. Terkesan kurang disiplin meski selama ini belum pernah terkena sanksi.
Begitu tiba mereka langsung bergegas menyiapkan diri sesuai dengan prosedur. Anna menatap keduanya yang seperti sedang berdebat. Keduanya seperti saling menyalahkan. Anna jadi tak tahan melihat tingkah mereka.
"Makanya Kakak bilang jangan begadang. Kalian malah bandel, sekarang hampir aja kalian telat," ucap Anna menasehati Desi dan Cindy.
"Kalau masalah begadangnya sih aman Kak. Kami bisa bangun pagi tapi perutku ini yang melilit, kebanyakan makan cemilan pedas sih," ucap Cindy sambil meringis menahan mulas.
"Tapi kita dapat tugas berdua lho, Cin," ucap Anna khawatir.
"Hehe, ya Kak, Kak Anna duluan yaa, nanti aku nyusul. Perutku masih belum stabil Kak, takutnya malah merepotkan nanti," ungkap Cindy sambil tersenyum memohon.
"Ya udah, kalau gitu Kakak duluan. Minum obat kalau tidak kunjung membaik," ucap Anna.
Cindy mengangguk sambil tersenyum. Desy telah lebih dulu jalan dan Anna pun melangkah melanjutkan tugasnya. Hari ini Anna dan Cindy bertugas bersama membersihkan kamar kelas presidential suite. Kamar paling mewah di hotel kelas atas itu.
Begitu tiba di depan pintu, Anna mengamati bel digital pintu kamar hotel itu. Panel pintu itu tidak memaksa sign DND atau do not disturb yang menunjukan kalau penyewa tidak ingin diganggu. Jika Anna menjumpai DND, Anna harus mencatat nomor kamar yang diberi tanda pada door lock itu lalu melaporkannya pada supervisor.
Setelah mendapat instruksi dari supervisor barulah seorang room attendant membersihkan kamar tersebut. Anna yakin tidak melihat sign DND atau do not disturb. Artinya tamu mengizinkan Anna melaksanakan tanggung jawabnya untuk bersih-bersih kamar. Dengan master key yang telah dikantonginya, Anna siap masuk ke dalam kamar super mewah itu.
Namun, Anna tercengang melihat apa yang ada dihadapannya. Melihat ke sekeliling kamar, Anna seperti berada di tengah perang dunia kedua. Semua berantakan. Barang-barang bertebaran di mana-mana. Ranjang kehilangan bantal dan gulingnya. Sprei terbang entah ke mana. Anna berkacak pinggang tanpa sadar sambil menghembuskan napas.
Baru kali ini Anna melihat ruangan yang lebih mirip kandang dari pada kamar hotel. Anna kembali menghembuskan napas panjang. Melihat tugasnya yang begitu banyak, Anna menguatkan hati. Memberi semangat untuk dirinya sendiri. Anna pun bergegas mengerjakan semuanya.
Aku yakin penyewa kamar ini sengaja keluar karena malu bikin kamar begitu porak-poranda. Awas aja kalau nggak kasih tips yang banyak untukku, batin Anna.
Sebenarnya Anna tak pernah berharap mendapatkan tips dari tamu hotel. Tamu yang pengertian memang sering meninggalkan tips untuknya. Namun, tidak mendapatkan tips pun tidak apa-apa. Karena bagi Anna, yang dikerjakan memang tugasnya dan dia digaji untuk itu.
Namun, membayangkan beratnya pekerjaan kali ini membuat Anna justru berharap mendapatkan tips dari tamu tak punya hati nurani itu. Melihat banyaknya tugas yang harus dikerjakannya saja, belum apa-apa tubuh Anna sudah terasa letih. Meskipun begitu, akhirnya Anna tetap melaksanakan tugasnya. Merapikan tempat tidur, mengganti seprai, sedot karpet. Membersihkan meja yang penuh dengan sampah dan sisa makanan.
Kenapa room service belum bereskan peralatan makan ini? Tanya Anna dalam hati.
Anna heran tetapi akhirnya tak menggubris semua itu. Anna hanya segera ingin menyelesaikan tugasnya. Perlahan akhirnya kapal pecah itu berubah menjadi kamar yang nyaman kembali. Anna merasa ini adalah tugas terberatnya selama bekerja di hotel itu.
Saking letihnya, Anna bahkan rebah di ranjang yang baru saja dirapikan. Anna meluruskan punggungnya yang terasa pegal. Begitu nyaman hingga hampir saja Anna tertidur. Saat sadar, Anna segera merapikan kembali ranjang yang telah ditidurinya.
Ini gila, ya ampun. Bagaimana kalau tadi aku tertidur lalu tamunya datang. Ih bahaya! Bahaya! Bahaya! aku bisa dipecat, batin Anna segera melanjutkan pekerjaannya yang tersisa.
Mengambil handuk bersih dan tisu baru di trolley untuk ditaruh di kamar mandi. Anna membawanya dengan tergesa-gesa kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Langkah Anna terhenti. Matanya terbelalak dan mulutnya menganga. Anna bahkan menjatuhkan tisu toilet itu karena kaget.
"Ma–maaf Tuan," ucap Anna yang tak menyangka di dalam jacuzzi whirlpool bath itu berendam seorang pria yang langsung menatapnya dengan tatapan nanar.
"Vero?"
"Bukan! Bukan! Maaf Tuan," ucap Anna segera mundur dan menutup pintu kamar mandi itu.
Gadis itu menaruh kembali handuk dan tisu yang tadi dipeluknya ke dalam trolley. Anna bergegas ingin meninggalkan kamar itu. Baru saja hendak mendorong trolley-nya menuju pintu, Anna merasakan tubuhnya ditarik kembali. Anna bahkan terhempas ke atas ranjang.
"Vero jangan pergi! Tetaplah di sini bersamaku," ucap laki-laki itu dan langsung menyumpal mulut Anna dengan mulutnya.
Anna menjerit, meronta karena perlakuan tak pantas itu. Namun, sekuat apapun dirinya melawan. Sekuat apapun mendorong tetap saja Anna tak mampu mengalahkan tubuh tegap atletis itu. Anna menangis, memohon, mendorong sekuat-kuatnya tapi tetap saja tak menghentikan perbuatan laki-laki itu. Sekeras apa pun jeritannya tetap mampu diredam oleh bibir laki-laki bertubuh kekar itu.
Air mata Anna mengalir. Gadis itu terguncang saat merasakan dirinya telah dinodai oleh laki-laki yang bahkan memanggilnya dengan nama wanita lain. Tubuhnya yang lelah bekerja semakin tak mampu melawan hasrat kuat laki-laki itu. Hasrat yang seperti tidak tertahankan lagi. Hingga akhirnya laki-laki itu terkulai lemas setelah mendapatkan apa yang diinginkannya.
Semua telah terjadi. Anna yang masih sadar, perlahan bergeser menjauh dari tubuh laki-laki yang tertidur pulas tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Anna menutupi tubuh itu sambil memalingkan wajahnya. Menangis terisak seorang diri, teringat apa yang baru saja terjadi. Dalam sekejap kehormatan yang dijaganya sekuat tenaga itu kini telah terkoyak.
Dengan sisa tenaganya, Anna turun dari ranjang. Merapikan seragam kerjanya yang telah terkoyak karena beberapa kancing yang telah terlepas. Anna menatap noda merah yang terlihat jelas di seprai putih yang baru saja diganti itu dengan hati pedih.
Tanpa sadar Anna meraih pisau makan di atas meja yang baru saja dirapikan. Dengan sebelah tangannya yang menggenggam seragam dan sebelah tangannya menggenggam pisau, Anna menatap tajam laki-laki yang tertidur lelap di ranjang itu.
"Apa yang kamu lakukan!" teriak wanita paruh baya yang tiba-tiba muncul dalam kamar sambil melangkah dengan tergesa-gesa.
Anna terkejut, pisau di tangannya jatuh menimpa piring yang telah tersusun. Mengeluarkan suara yang begitu keras hingga membangunkan laki-laki yang tertidur itu. Sontak terduduk lalu menatap sekelilingnya.
Plak! Bunyi tamparan melayang ke pipi Anna. Rasa panas segera menjalar hingga ke seluruh wajahnya. Anna menatap wanita kelas atas itu dengan tatapan nanar.
"Apa yang kamu lakukan di sini perempuan murahan! Beraninya kamu menggoda putraku. Keluar kamu dari di sini!" bentak wanita paruh baya itu.
"Aku bukan perempuan murahan, Nyonya. Aku tidak menggoda. Aku tidak menyerahkan diri. Aku diperkosa!" seru Anna. Lagi-lagi Anna mendapat tamparan karena seruannya itu.
"Beraninya kamu memfitnah putraku?"
"Cukup!" tegas laki-laki paruh baya yang datang bersama wanita kelas atas itu.
"Aku tidak berbohong, Tuan. Aku diperkosa. Aku akan menuntut tanggung jawab dari …."
"Apa?" tanya laki-laki pemerkosa itu. Langsung turun dari ranjang dengan kain putih yang melilit di pinggangnya.
"Aku akan laporkan perbuatanmu. Aku akan menuntut tanggung jawabmu. Kamu akan dipenjara!" jerit Anna.
Mendengar ucapan Anna, bola mata wanita kelas atas itu langsung terbelalak. Dengan kesal langsung mendorong tubuh Anna hingga jatuh ke lantai. “Berani sekali perempuan murahan seperti kamu menghardik anakku!”
Anna terduduk. Air matanya mengalir perlahan. Tubuh dan hatinya terasa begitu sakit dan lelah.
Apalah daya Anna di tengah orang-orang yang berkuasa. Wanita kelas atas itu jelas bukanlah orang sembarangan. Pria yang telah menodainya menginap di kamar paling mewah di hotel itu. Anna sadar usahanya menuntut keadilan akan sia-sia.
Perlahan gadis itu bangkit dengan isak tangis yang terdengar pilu. Anna melangkah tertatih menuju pintu. Meninggalkan orang-orang yang bertindak semena-mena terhadapnya.
"Nikahi dia! Dean … kamu harus bertanggung jawab terhadapnya!" ucap laki-laki separuh baya itu setelah diam saja mendengar cacian wanita yang merupakan istrinya itu.
Penuh wibawa. Pelan tetapi tegas. Namun, membuat semua orang di ruangan itu langsung terperangah. Suka tidak suka. Setuju tidak setuju. Ucapan pria paruh baya itu harus dilaksanakan karena itu adalah titah yang tidak bisa dibantah.
...🍀🍀🍀 ~ Bersambung ~ 🍀🍀🍀...
Anna melangkah tertatih menuju pintu. Meninggalkan orang-orang yang bertindak semena-mena terhadapnya. Namun, dalam hatinya, Anna tidak akan membiarkan begitu saja laki-laki yang telah merusak kehormatannya. Anna bertekad ingin menyeret laki-laki itu ke meja hijau. Laki-laki itu harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
Tiba-tiba laki-laki paruh baya itu memutuskan putranya harus menikahi Anna. Langkah kaki Anna terhenti. Laki-laki perusak kehormatan itu pun protes dengan keputusan ayahnya. Dean Monteiro berusaha menghindar dari perintah ayahnya meski tahu tak akan mudah menentang keputusan ayahnya itu.
"Nggak bisa! Aku nggak akan menikah dengan gadis kampung itu! Kalau Daddy memaksa aku akan pergi dari sini dan tidak akan kembali," ucap Dean dengan keras berusaha menggertak ayahnya.
"Dean! Bicara apa kamu? Jangan asal bicara," ucap Maria. Ibunda Dean Monteiro dengan raut wajah khawatir.
“Biar aja Mom! Jika harus tunduk pada keinginan Daddy. Lebih baik aku pergi!”
"Pergilah!"
Bentak Tn. Monteiro jauh lebih keras. Membuat Dean sendiri tertegun sambil menelan ludah. Sementara sang ibu langsung gemetar dan mencoba menegur anaknya demi menghindari murka sang ayah. Dean langsung menoleh ke arah Anna dengan tatapan yang menyalahkan. Dengan langkah cepat menyusul Anna.
"Ini semua gara-gara kamu! Aku nggak akan nikahi kamu. Ini semua kesalahan kamu. Salah kamu sendiri masuk ke kamarku!" bentak Dean mencoba mencari cara lain untuk menghindar dari tanggung jawabnya.
Menyalahkan Anna yang masuk ke kamar presidential suite itu hingga terjadi peristiwa perkosaan itu. Dean menggenggam lengan Anna begitu erat. Menatap dengan sorot mata yang tajam. Berharap gadis itu ketakutan lalu menghilang dari hadapannya dan melupakan segalanya.
"Tuan tidak tahu bagaimana kotornya tempat ini? Membersihkan kamar ini memang tugasku. Tuan sendiri yang tidak memberi tanda agar Tuan tidak diganggu! Aku rasa bukan kali ini saja Tuan menginap di hotel. Tuan pasti tahu prosedur kebersihan kamar hotel. Jangan coba-coba menyalahkan aku!" bentak Anna mencoba melepaskan genggaman tangan Dean dari lengannya.
"Aku … pokoknya aku tidak akan menikah denganmu," ucap Dean lebih lunak tapi masih dengan tatapan mata yang tajam. Seolah-olah ingin menyadarkan Anna bahwa dirinya tak akan bertanggung jawab dengan cara seperti itu.
"Aku tidak menuntut pertanggungjawaban seperti itu. Aku ingin Tuan di penjara!"
Jerit Anna membuat tangan Dean sontak terangkat. Ingin melayangkan tamparan ke arah gadis yang selalu menentang ucapannya itu. Tn. Monteiro berteriak menghentikan Dean. Anna justru balik membalas tatapan Dean tak kalah tajamnya.
"Tampar … ! Tampar saja … ! Ini akan melengkapi laporan kekerasan yang kamu lakukan terhadap aku!" seru Anna yang tak lagi menggunakan panggilan hormat pada laki-laki itu.
"Dean! Kamu nikahi dia atau kamu pergi!" bentak Tn. Monteiro.
"Daddy?" tanya Ny. Maria.
"Biarkan dia pergi! Selama ini kita memang tak pernah merasa punya anak! Hal yang kita rasakan di usia tua justru hanya membereskan kelakuannya. Menutupi kesalahan-kesalahannya. Kita tidak pernah merasakan bakti dari satu-satunya anak kita. Semua karena wanita itu. Wanita yang kamu sanjung-sanjung sebagai calon menantu terbaikmu ….”
“Daddy … ini nggak ada hubungannya Vero,” sanggah Ny. Maria.
“Apa … ? Apa kebaikan yang kamu dapatkan dari wanita yang hanya membuat anakmu menjadi laki-laki yang manja! Laki-laki yang hanya bisa membuat onar di usianya yang sudah cukup dewasa!” lanjut Tn. Monteiro.
“Daddy …” ucap Dean lalu diam tak bisa berkata-kata.
“Dapat masalah sedikit saja langsung frustasi. Mabuk, merengek menangisi wanita itu. Menjadi seorang yang tidak punya rasa tanggung jawab! Bahkan masa depannya sendiri dia tidak peduli! Apa mungkin dia memikirkan masa depan kita? Kita semakin tua, apa mungkin kita bergantung padanya?” tanya Tn. Monteiro pada Ny. Maria.
“Dia pasti akan berubah suatu saat nanti,” jawab Ny. Maria.
“Kapan? Kamu sudah katakan itu sejak 7 tahun yang lalu. Perubahan apa yang kamu dapatkan?” tanya Tn. Monteiro.
“Mungkin setelah menikah dengan Veronica, dia jadi seorang yang bertanggung jawab,” balas Ny. Maria berusaha membela.
“Setelah menikah dengan wanita itu? Aku tidak suka Veronica sejak awal. Dia hanya membawa keburukan bagi putramu tapi demi persahabatanmu dengan wanita-wanita kelas atas itu, kamu jadikan putramu sebagai umpan ….”
“Umpan bagaimana?” tanya Ny. Maria.
“Agar kamu menjadi anggota yang dihormati dalam perkumpulanmu. Kamu sandingkan putramu dengan putri ketua kelompokmu itu. Apa perlu sampai seperti itu? tanya Tn. Monteiro.
“Aku tidak umpankan seperti itu. Kebetulan mereka berkenalan dan saling suka ….”
“Sudah … ! Cukup! Aku tidak bersedia bereskan masalah yang ditimbulkan oleh dia lagi. Nikahi gadis itu atau kamu pergi, Dean!" ucap Monteiro bergantian pada istrinya dan putranya.
"Apa? Tidak Tuan. Aku menolak menikah dengannya! Aku tidak sudi menikah dengan laki-laki seperti itu. Aku ingin dia dihukum. Aku hanya ingin dia dipenjara!" seru Anna sambil berusaha melepaskan genggaman tangan Dean di lengannya.
“Apa? Sombong sekali kamu!” bentak Dean sambil mengangkat sebelah tangannya hendak menampar Anna.
Anna menghentakkan lengannya hingga membuat genggaman tangan Dean terlepas. Anna segera berlari menuju pintu ruangan. Anna ingin segera berlalu dari tempat itu. Anna ingin melaporkan perbuatan Dean Monteiro.
"Tunggu!" panggil Tn. Monteiro dengan raut cemas.
Langkah Anna terhenti. Sebenarnya Anna tidak ingin berada di ruangan itu lebih lama lagi. Tak sanggup lagi seruangan dengan orang-orang yang hanya merendahkannya. Namun, bapak itu memanggilnya. Satu-satunya orang yang menyisakan rasa hormat dan tak menghina gadis miskin sepertinya. Demi bapak itu, entah kenapa Anna menghentikan langkahnya.
Anna membalik badan dan terkaget. Apa yang dilihatnya sungguh sangat mengejutkan. Bapak itu perlahan menurunkan kakinya satu persatu dan berlutut di hadapan Anna. Ketegasan Anna yang ingin melaporkan perbuatan putranya memaksa bapak itu melakukan hal seperti itu. Tidak hanya Anna yang terkejut tapi semua yang berada di ruangan itu.
"Menjaga nama baik dan kehormatan keluarga. Itu yang aku lakukan selama ini. Nama baik itu yang menjadi pegangan hidupku. Aku tidak mau nama baik keluargaku hancur di tanganku. Karena aku yang tidak mampu mendidik anakku …."
"Tuan tolong berdirilah. Jangan seperti ini," ucap Anna dengan mata yang berkaca-kaca, merasa tak pantas diperlakukan seperti itu.
Pemilik hotel di mana dia bekerja justru berlutut dihadapannya. Air matanya mengalir semakin deras membasahi pipinya. Mengingat pengorbanan seorang ayah. Anna teringat pada ayahnya yang juga berjuang membesarkannya.
"Aku tidak akan berdiri sebelum kamu batalkan niat melaporkan putraku. Sebelum anak itu pergi. Maka aku belum lepas dari tanggung jawabku terhadap anak itu," jawab Tn. Monteiro.
Membuat Anna dan semua yang berada di ruangan itu tertunduk. Anna sendiri tidak tahu pilihan apa yang terbaik baginya. Namun, dari lubuk hatinya yang paling dalam, Anna merasa kasihan pada atasannya yang berlutut di hadapannya.
Dean menarik tangan gadis itu dan membawanya ke balkon. Anna memalingkan wajahnya karena Dean yang hanya mengenakan kain putih yang melilit hingga sebatas pinggangnya.
"Jangan laporkan aku. Aku beri kamu kompensasi yang besar atas apa yang sudah aku lakukan padamu," ucap Dean memberikan tawaran.
"Aku tidak menjual diri," ucap Anna dengan sorot mata tajam.
"Jangan sombong! Seumur hidup kamu bekerja banting tulang jadi pembantu di hotel ini tidak akan mampu mengumpulkan uang sebanyak yang aku berikan padamu," ucap Dean kesal.
"Aku tahu, tapi jika aku terima uang itu, selamanya aku tidak bisa mengangkat wajahku di hadapan kamu! Tidak perlu bicara lagi. Serahkan saja dirimu ke polisi!" seru Anna hendak melangkah pergi dari hadapan Dean tapi laki-laki itu menahan lengannya.
"Jadi kamu mau menikah denganku?" tanya Dean dan menarik gadis itu mendekat padanya.
Anna menatap tajam sekaligus sendu wajah tampan yang begitu dekat dengannya itu. Ditanya seperti itu Anna sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Keputusan apa yang terbaik bagi mereka. Hanya saja Anna tidak rela laki-laki itu bebas dari tanggung jawabnya.
"Uang itu hanya secuil dari saldo rekeningmu tapi bagiku, aku telah kehilangan kehormatanku untuk seumur hidupku. Aku tidak tahu bagaimana pandangan seorang suami terhadap aku kelak jika menerima uangmu. Bagaimana aku bisa jelaskan kalau aku kehilangan kesucianku karena direnggut paksa. Jika kamu dipenjara, aku punya bukti bahwa aku adalah korban perkosaan …."
"Kamu tega melihat ayahku yang telah tua itu berlutut di hadapanmu?" tanya Dean.
Pertanyaan Dean membuat langkah Anna langsung terhenti. Gadis itu tertunduk. Anna memang tidak tega melihatnya. Gadis itu hampir saja luluh saat bapak itu memohon padanya. Melihat Anna yang tertegun, Dean menetapkan keputusan.
"Baiklah aku akan menikah denganmu. Mungkin kamu ingin merasakan jadi istri terhormat seorang pengusaha kaya tapi ingatlah aku tidak akan mencintaimu ….”
“Apa katamu?” tanya Anna merasa terhina.
“Aku tidak akan menganggapmu sebagai seorang istri tapi hanya sebagai pembantu dan jika waktunya tiba aku akan menikahi kekasihku. Kamu tidak boleh melarangku," jelas Dean lalu kembali masuk ke kamar kelas presidential suite itu.
"Aku bersedia menikah dengannya Daddy," ucap Dean lantang.
Setelah melihat kemarahan ayahnya. Dean merasa ayahnya sungguh-sungguh bisa mengusirnya. Tanpa fasilitas dari keluarga, kekasih yang dicintainya pun bisa mendepaknya. Dean merasa tak sanggup menjalani hidup seperti itu.
Mengambil keputusan untuk menikahi Anna seolah-olah adalah keputusan berat baginya. Namun, dibalik semua itu terselip niat ingin pertahankan segala kemewahan yang tak sanggup dilepasnya. Dean seolah pasrah dan patuh pada perintah ayahnya. Padahal sesungguhnya semua itu demi mengamankan posisinya sebagai ahli waris tunggal seluruh harta ayahnya.
"Benarkah? Apa itu benar?" tanya Monteiro pada Anna yang baru memasuki ruangan itu.
Anna mengulurkan tangannya, meminta Tn. Monteiro untuk berdiri dari posisi berlutut. Tn. Monteiro meraih kedua tangan Anna dan menggenggamnya dengan penuh harapan. Ny. Maria menatap adegan itu dengan wajah kesal. Sementara Dean hanya tersenyum sinis sambil berkacak pinggang.
...🍀🍀🍀 ~ Bersambung ~ 🍀🍀🍀...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!