Suara riuh obrolan memenuhi ruang kelas 3A. Tawa dan canda teman-temanku menggema, memantul di antara dinding dan jendela besar yang terbuka lebar, membiarkan angin musim semi masuk dengan lembut. Di tengah keramaian itu, aku duduk di barisan ketiga dari belakang, berusaha larut dalam buku catatanku sambil sesekali tersenyum mendengar percakapan mereka. Yah, mungkin aku terlihat pendiam, tapi aku cukup menikmati suasana seperti ini.
Namun, bukan suasana kelas yang paling menarik perhatianku hari ini. Pandanganku sesekali melirik ke arah meja sebelah jendela, tempat seorang gadis duduk dengan tenang, seperti pusat dari segala keindahan di dunia ini—Ayana Suzue. Rambutnya yang panjang dan hitam legam, mengilap terkena cahaya matahari pagi, melambai setiap kali angin meniup pelan. Matanya yang besar dan berbinar seperti selalu menyimpan rahasia, sementara senyum lembutnya mampu meluluhkan siapa saja yang berani menatapnya terlalu lama. Meski aku tak pernah bicara banyak dengannya, aku tahu Ayana bukan hanya cantik, tapi juga baik hati.
“Oi, Hayato! Lagi ngelamun, ya?”
Suara keras Kenta, teman sebangkuku, membuyarkan lamunanku. Aku tersentak dan cepat-cepat kembali ke kenyataan. Aku meliriknya, lalu memasang ekspresi santai seolah aku sama sekali tidak sedang memperhatikan Ayana.
“Enggak, cuma lagi mikir,” jawabku asal, menyembunyikan wajahku di balik tangan.
Kenta tertawa kecil, lalu kembali bercanda dengan yang lain. Aku mencoba bergabung dalam obrolan mereka, meskipun lebih banyak mendengar daripada berbicara. Di dalam hati, aku sebenarnya merasa nyaman dengan mereka—dengan semua teman sekelasku. Biarpun aku bukan yang paling menonjol, keberadaan mereka membuat setiap hari di sekolah terasa berwarna.
Namun, di tengah gelak tawa dan gurauan itu, tiba-tiba sebuah cahaya terang muncul entah dari mana, menyelimuti seisi kelas. Cahaya itu begitu menyilaukan, menyakitkan mata sampai aku harus menutup wajah dengan kedua tangan.
"Apa-apaan ini?" pekikku, meskipun suaraku tenggelam oleh teriakan panik yang membahana.
Suara meja dan kursi yang tergeser, suara teman-temanku yang kebingungan, dan cahaya yang semakin intens… semuanya terjadi begitu cepat. Tubuhku kaku, tak bisa bergerak, hanya bisa merasakan desiran ketakutan di dadaku. Aku mencoba melihat ke arah Ayana, tetapi pandangan mataku perlahan-lahan memudar. Rasa takut menyergap, lalu semua berubah gelap.
"Hmm?"
Kesadaranku perlahan-lahan kembali, meskipun aku masih merasakan pening dan kebingungan. Saat aku membuka mata, yang kulihat hanyalah kegelapan yang pekat, begitu tebal hingga aku nyaris tak bisa melihat tanganku sendiri. Suasana sunyi dan dingin menusuk sampai ke tulang, menciptakan rasa tidak nyaman yang sulit dijelaskan.
Tapi seketika itu juga, jantungku berhenti berdegup saat sebuah sosok muncul dari kegelapan. Sosok itu... tak seperti apa pun yang pernah kulihat sebelumnya. Tubuhnya tinggi dan besar, dilingkupi cahaya merah yang mengintimidasi, seperti nyala api yang hidup. Sepasang mata tajam menatapku, penuh ancaman dan kemarahan, sementara pedang besar yang ia genggam meneteskan darah segar, membuat bau anyir memenuhi ruangan.
Aku ingin berteriak, tapi suara yang keluar hanya terdengar sebagai bisikan serak. Tubuhku gemetar hebat, bahkan kakiku hampir lumpuh.
“Tutup mulutmu, atau kau akan mati di sini juga!”
Suara sosok itu terdengar rendah namun penuh tekanan, memaku seluruh tubuhku. Ancaman itu terlalu nyata, hingga aku hanya bisa menelan ludah dan mengangguk patuh, pasrah tanpa pilihan lain. Aku tak berani mengalihkan pandangan, takut kalau satu gerakan saja akan membuat pedang berdarah itu menembus tubuhku.
“Bagus. Sekarang, dengarkan baik-baik.”
Sosok itu mendekat, mata merahnya seperti bara api yang hendak membakarku hidup-hidup. "Aku adalah Raja Iblis, penguasa dunia ini," katanya dingin.
Aku terperangah, tak tahu harus berkata apa. Apakah ini hanya mimpi? Bagaimana mungkin aku bisa berada di sini, di depan makhluk yang begitu menakutkan?
“Ini bukan mimpi, bocah. Ini adalah kenyataan. Dan kau harus bisa menghadapinya,” ucapnya, seakan bisa membaca pikiranku. Suaranya dingin, penuh kebencian yang tak dapat disembunyikan. Aku hanya bisa menunduk, menahan gejolak takut yang semakin mendesak keluar.
“Tunggu… bagaimana dengan teman-temanku?” tanyaku, suaraku hampir tak terdengar. “Apa yang terjadi pada mereka?”
“Percuma memikirkan mereka,” jawab Raja Iblis sambil tertawa kecil, sinis. “Karena pada akhirnya, mereka akan membunuhmu.”
Aku terkejut mendengar kata-katanya. “Apa maksudmu? Teman-temanku... mereka tidak akan membunuhku.”
Raja Iblis menatapku dengan tatapan penuh ejekan. “Katakan padaku, bocah. Pernahkah kau membaca Novel Isekai? Tentang seseorang yang dipanggil ke dunia lain untuk menjadi pahlawan dan mengalahkan Raja Iblis?”
Aku mengangguk, meskipun masih bingung ke mana arah pembicaraannya.
“Bagus,” katanya, suaranya berubah menjadi lebih mengancam. “Kalau begitu, kau pasti tahu bahwa dalam cerita seperti itu, ada yang disebut sebagai pahlawan—dan pahlawan itu selalu punya satu tujuan: mengalahkan sang Raja Iblis.”
Kata-katanya mulai masuk akal, tetapi tetap saja membuatku bergidik. “Jadi... kau mau bilang kalau...”
“Benar,” katanya sambil menyeringai, memperlihatkan giginya yang tajam. “Teman-teman sekelasmu adalah para pahlawan itu, yang dipanggil untuk mengalahkan Raja Iblis.”
“T-tapi…” Aku tergagap, berusaha mengumpulkan kepingan-kepingan logika di kepalaku yang kacau balau. “Bagaimana bisa aku…?”
“Kau dipilih untuk menjadi Raja Iblis berikutnya, bocah. Untuk menggantikan posisiku dan mempersiapkan dirimu menghadapi mereka—teman-teman sekelasmu—dalam tiga tahun ke depan.”
Otakku berputar cepat, tak bisa menerima kenyataan yang baru saja kudengar. Ini semua masih terlalu gila. Aku menatap sosok itu, mencoba mencari alasan, mencari bukti yang bisa mematahkan ucapannya.
“Buktikan. Buktikan kalau ini semua bukan hanya tipuan,” kataku, meski suaraku terdengar lirih dan gemetar.
Raja Iblis menatapku dengan tatapan penuh kepuasan, seakan senang melihat kebingungan di wajahku. “Kalau kau tak percaya, ucapkan saja 'status.'”
Aku mengerutkan kening. “Status?”
Seakan menanggapi perintahku, tiba-tiba sebuah layar biru transparan muncul di hadapanku, menggantung di udara seperti tampilan layar dalam game. Mataku membelalak, terperangah melihat informasi yang terpampang di depan wajahku.
[Status Ditampilkan!]
[Level: 1]
[Nama: Hayato]
[Umur: 18 Tahun]
[Stamina: 33]
[Attack: 24]
[Defense: 30]
[Speed: 11]
[Tipe: Calon Raja Iblis]
[Skill: Adaptasi Kegelapan!]
[ - Slot 1: -]
[ - Slot 2: -]
[ - Slot 3: -]
Aku terpaku, mulutku menganga saat membaca data tersebut satu per satu. Setiap kata dan angka di layar itu terasa nyata, menegaskan kenyataan absurd yang sedang kuhadapi. Tipe: Calon Raja Iblis? Ini sungguh tak masuk akal, tapi layar ini… tidak mungkin ini semua hanya mimpi.
Raja Iblis memperhatikan ekspresi kagetku dengan seringai licik di wajahnya. “Seperti yang bisa kau lihat, kekuatanmu masih lemah. Jauh dari kata 'Raja Iblis,'” ucapnya meremehkan. “Stamina, Attack, bahkan Speed-mu… masih memalukan untuk ukuran seorang calon penguasa kegelapan.”
Aku menggigit bibir, merasa kecil di hadapannya. Namun, ketika aku berusaha mencerna semuanya, tiba-tiba Raja Iblis berbalik. “Sudah waktunya aku pergi, dan tugasku di sini selesai. Tapi, ingat kata-kataku, Hayato. Persiapkan dirimu dan jadilah 'Villain Sejati'… karena dalam tiga tahun kedepan, kau harus bisa menghadapi mereka. Temui aku lagi dalam tiga tahun, jika kau cukup kuat untuk melakukannya.”
Dengan kalimat terakhirnya yang bergema di telingaku, sosok merah menyala itu perlahan menghilang dalam bayang-bayang kegelapan, meninggalkanku sendirian dengan layar biru yang terus menampilkan statusku. Kengerian dan ketidakpastian menggantung di udara, sementara pikiranku masih berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.
Semuanya terasa begitu membingungkan, dan lagi-lagi, sepertinya aku kehilangan kesadaran.
Ketika mataku terbuka, pandanganku langsung disambut oleh langit gelap yang tertutup dahan-dahan pohon yang rimbun. Aku terbaring di atas rerumputan basah, dengan tubuh yang terasa lemas. Aroma tanah dan dedaunan memenuhi udara, membuatku sadar bahwa aku berada di tengah hutan yang asing, jauh dari kenyamanan ruang kelas atau ranjangku.
Kuharap semua ini hanyalah mimpi buruk, bahwa begitu aku mengedipkan mata, aku akan terbangun di kamarku. Namun, semakin lama aku terjaga di sini, semakin nyata semua ini terasa. Rasa dingin tanah yang meresap melalui pakaianku, suara gemerisik angin yang berhembus di antara pepohonan, bahkan bau khas hutan yang menusuk hidung… semuanya terlalu nyata untuk menjadi mimpi.
Aku mendesah panjang, mencoba menenangkan pikiran yang masih kacau. “Kembali ke dunia nyata…” gumamku. Kalimat itu terdengar seakan aku sedang berusaha meyakinkan diriku sendiri, tapi rasa putus asa mulai menyelinap. Jika semua yang dikatakan Raja Iblis itu benar, maka… ini bukan mimpi. Aku benar-benar berada di dunia lain, sebagai calon penggantinya.
Setelah berdiam cukup lama, rasa lapar langsung menyergapku. Perutku bergejolak kosong, mengingatkanku bahwa aku butuh makan. Aku bangkit perlahan dan menepuk-nepuk rumput yang menempel di pakaianku. Jika aku benar-benar terjebak di sini, aku harus belajar bertahan hidup. Setidaknya untuk sekarang, aku harus mencari sesuatu yang bisa kumakan.
Aku mulai berjalan menyusuri hutan, memperhatikan sekeliling dengan waspada. Rasanya cukup aneh, berada sendirian di hutan asing ini. Tak ada jalan setapak, hanya hamparan pepohonan besar dan semak belukar yang tampak tak berujung. Cahaya matahari redup menyusup di antara dedaunan, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak seiring angin berhembus, memberikan kesan menakutkan.
“Harusnya ada sesuatu yang bisa dimakan di sini,” gumamku, mencoba menyemangati diriku. Jika ini benar-benar dunia lain, mungkin di sini ada buah-buahan atau hewan yang tidak kukenal, tapi setidaknya aku harus mencoba.
Langkahku terhenti ketika mataku menangkap sekelompok buah kecil berwarna ungu yang tumbuh di semak-semak. Aku mendekat, memperhatikannya lebih jauh. Meski merasa ragu, aku mengambil satu buah dan mencium aromanya, berharap ada tanda-tanda yang meyakinkanku bahwa ini aman untuk dimakan. Tapi tanpa pilihan lain, aku mengambil risiko dan menggigit buah itu. Rasanya agak asam tapi tidak terlalu buruk, dan meski tidak langsung mengenyangkan, setidaknya cukup untuk menenangkan rasa lapar sementara.
Setelah makan beberapa buah, aku melanjutkan penjelajahan di hutan. Perasaan bahwa aku terjebak di dunia asing ini masih terasa menghantuiku. Aku terus berjalan sambil berpikir, tentang apa yang dikatakan Raja Iblis, tentang bagaimana aku diminta untuk menggantikan posisinya, dan tentang teman-teman sekelasku yang kini menjadi pahlawan yang akan mengalahkanku. Semua itu terasa begitu absurd, tetapi semakin lama, semakin masuk akal dengan setiap hal yang kulihat dan kurasakan di sini.
Di tengah lamunanku, tiba-tiba, aku mendengar suara gerakan dari balik semak-semak. Aku langsung terdiam, seluruh tubuhku menegang. Ada sesuatu… atau mungkin seseorang di dekat sini. Suara itu semakin mendekat, langkahnya terdengar berat dan teratur. Rasa takut kembali merayapi diriku, tapi aku tak punya tempat untuk bersembunyi.
Sosok itu pun akhirnya muncul dari balik pepohonan. Seekor makhluk berbulu hitam dengan mata merah menyala, menyerupai serigala tetapi ukurannya jauh lebih besar. Ia menatapku tajam, seakan menilai apakah aku layak menjadi santapannya. Tanpa berpikir panjang, aku mundur perlahan, tetapi makhluk itu terus mendekat, semakin dekat hingga aku bisa mendengar napas beratnya.
“Ini… ini buruk,” bisikku, menyadari bahwa melarikan diri hampir mustahil.
Namun, saat rasa takut mulai menguasai pikiranku, sebuah ide muncul. Aku ingat layar ‘status’ yang kulihat sebelumnya. Mungkinkah… aku punya kemampuan untuk menghadapi makhluk ini? Jika aku memang calon Raja Iblis, seharusnya aku punya kekuatan, bukan?
“Ayo… muncullah lagi,” ucapku dengan suara gemetar. “Status!”
Layar biru yang sama muncul di depanku, menampilkan statistikku. Tapi yang menarik perhatianku adalah sebuah skill yang sebelumnya tak pernah kucoba: Adaptasi Kegelapan. Aku tak tahu bagaimana cara kerjanya, tapi di saat seperti ini, aku tak punya pilihan lain.
Jantungku berdegup kencang saat menatap layar status di hadapanku, berharap kemampuan ini bisa memberiku kesempatan melawan. Tanpa banyak berpikir, aku mencoba mengaktifkan skill Adaptasi Kegelapan. Begitu pikiranku fokus pada kata itu, sesuatu yang aneh terjadi dalam tubuhku—seperti ada energi dingin yang mulai mengalir, menjalar dari dalam diriku dan menyelimuti tubuh.
“Adaptasi Kegelapan… tolong jangan mengecewakan,” gumamku dengan cemas.
Makhluk berbulu hitam itu tiba-tiba menggeram dan melompat ke arahku, taringnya yang tajam berkilat di bawah cahaya redup. Refleks tubuhku terpicu, aku berguling ke samping, nyaris menghindari serangannya. Entah bagaimana, pergerakanku terasa lebih cepat, lebih gesit dari sebelumnya. Ada sesuatu yang berubah—seakan tubuhku menjadi lebih sinkron dengan lingkungan sekitar.
Aku mendarat dengan posisi berjongkok, mataku menatap makhluk itu yang kini berbalik, bersiap untuk menyerang lagi. Skill ini benar-benar bekerja, memberiku kelincahan yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
“Kalau begini… mungkin aku bisa menang,” pikirku, sedikit keberanian mulai tumbuh di dalam diriku.
Makhluk itu kembali menyerang, menerjang ke arahku dengan kecepatan luar biasa. Kali ini, aku berdiri tegak dan menunggu hingga ia benar-benar dekat. Begitu jaraknya hanya beberapa langkah dariku, aku melompat ke samping dengan kecepatan yang sama. Serangan makhluk itu hanya mengenai angin, sementara aku berhasil menghindar dan melayangkan tendangan ke tubuhnya. Makhluk itu menggeram keras, terjatuh sesaat sebelum bangkit lagi.
Tubuhku bergerak seakan dipandu oleh insting yang tak pernah aku miliki sebelumnya. Tiap gerakanku terasa lebih gesit dan akurat. Tapi meskipun begitu, serangan yang kulakukan hampir tak berpengaruh. Aku mulai kelelahan, napasku terengah-engah.
“Adaptasi Kegelapan… hanya menambah kelincahanku?” tanyaku pelan, menyadari bahwa aku masih jauh dari kata kuat. Tanpa senjata atau skill ofensif lain, aku hanya bisa menghindar, mengulur waktu.
Serigala itu menyerang lagi, dan kali ini, aku melompat ke belakang, berusaha mempertahankan jarak. Di tengah pertarungan sengit, sebuah pemikiran muncul dalam benakku. Kalau ini memang seperti sistem dalam game, mungkin ada cara lain yang bisa kumanfaatkan.
“Status!” teriakku lagi, berharap ada perubahan atau bantuan apapun. Layar biru itu muncul kembali, menampilkan informasi yang sama. Tapi kali ini, aku melihat sesuatu yang baru di bagian bawah layar, sebuah tulisan kecil yang menyala.
[Skill Baru Tersedia: Gigitan Kegelapan]
Mataku berbinar, harapan kembali menyala di dalam diriku. Tanpa membuang waktu, aku fokus pada skill itu, berharap bisa mengaktifkannya.
“Gigitan Kegelapan!” ucapku mantap, merasakan energi kegelapan mengalir menuju tanganku. Tanpa sadar, aku melayangkan tinju ke arah makhluk itu yang kini menyerang kembali. Begitu tinjuku mengenai tubuhnya, sebuah aura hitam menyelimuti tanganku, meledak di titik kontak dan membuat makhluk itu terpental ke belakang.
Makhluk berbulu hitam itu jatuh, tubuhnya berguling beberapa kali sebelum akhirnya terdiam. Tubuhku terhuyung, kekuatan yang kurasakan mulai menghilang, menyisakan rasa lelah yang berat. Tapi di satu sisi, aku merasa puas—aku baru saja berhasil mengalahkan makhluk itu.
Perlahan aku berdiri, memandang ke arah makhluk yang kini tergeletak tak bergerak. Rasa lega mengalir dalam diriku, tapi tak berlangsung lama. Aku tersadar bahwa ini hanyalah awal dari segalanya. Hutan ini, dunia ini, masih penuh dengan misteri dan bahaya. Jika aku memang harus menghadapi lebih banyak lagi makhluk seperti itu, aku perlu menjadi lebih kuat.
Suara notifikasi berbunyi di hadapanku, muncul di tengah udara seperti layar transparan. Aku mengerjapkan mata, menatap pesan yang tiba-tiba saja ada.
[Selamat! Kamu telah naik level.]
Layar itu segera berubah, menampilkan status baruku.
[Status Ditampilkan!]
[Level: 2]
[Nama: Hayato]
[Umur: 18 Tahun]
[Stamina: 35]
[Attack: 28]
[Defense: 34]
[Speed: 13]
[Tipe: Calon Raja Iblis]
[Skill: Adaptasi Kegelapan, Gigitan Kegelapan]
[ - Slot 1: -]
[ - Slot 2: -]
[ - Slot 3: -]
Aku mengamati perubahannya dengan rasa puas yang samar. Sedikit peningkatan dalam status—rasanya mungkin belum terlalu besar, tapi ini berarti aku perlahan semakin kuat. Aku mengepalkan tangan, merasakan kekuatan yang perlahan bertambah dalam tubuhku. Sebuah langkah pertama yang cukup baik.
Aku berbalik, menatap makhluk berbulu hitam yang kini tergeletak di tanah. Rasa lapar mulai terasa menyiksa perutku, dan tanpa bahan lain, aku memutuskan untuk memanfaatkan apa yang ada. Menyedihkan memang, tapi tidak ada pilihan lain.
"Yah… sepertinya aku tidak punya pilihan."
Dengan hati-hati, aku menurunkan tubuhku dan mulai mencoba mencari cara untuk menguliti makhluk itu. Cukup sulit, tapi syukurlah aku masih memiliki pecahan batu tajam yang kutemukan tadi di perjalanan. Sedikit demi sedikit, aku mengiris kulitnya, berusaha keras agar tidak mengacaukan dagingnya.
Butuh waktu lebih lama dari yang kubayangkan, tapi akhirnya, aku berhasil memisahkan sebagian daging dari tubuh serigala itu. Setelah terkumpul, langkah berikutnya adalah memasak.
Aku mencari dedaunan kering di sekitar, lalu membuat tumpukan ranting untuk dijadikan api. Menggosokkan dua batang ranting dengan tenaga yang tersisa, akhirnya muncul percikan api kecil yang cukup untuk menyalakan tumpukan dedaunan kering di depanku. Api perlahan menyala, memberiku sedikit rasa hangat di tengah hutan yang gelap ini.
Perlahan-lahan, aku menaruh potongan daging serigala di atas ranting yang kutata rapi, membiarkannya terpanggang oleh api. Aroma daging yang mulai matang membuat perutku semakin lapar, ini terasa aneh karena aku malah merasa lega di tengah kondisi seperti ini. Untuk sesaat, aku bisa melupakan semua kegelisahan yang melingkupi pikiranku.
"Siapa sangka aku bakal berada di sini, memasak daging serigala di tengah hutan yang asing," gumamku sambil tersenyum kecut.
Beberapa saat kemudian, dagingnya tampak sudah matang dengan warna kecokelatan yang menarik. Aku mengambilnya dengan hati-hati, meniup permukaan daging agar tidak terlalu panas, lalu mulai menggigitnya. Rasanya agak kenyal dan sedikit asing, tapi cukup lezat untuk ukuran daging liar. Ini mungkin makanan terenak yang bisa kudapatkan di dunia baru ini.
Setelah kenyang, aku duduk bersandar di pohon, menatap ke langit yang tersembunyi di balik dedaunan lebat. Bayangan teman-temanku kembali muncul di benakku—Ayana, teman-teman sekelasku, semua yang sekarang berada di dunia ini berstatus sebagai pahlawan.
“Dalam tiga tahun… mereka akan menjadi musuhku,” bisikku, merasakan beban yang tak tertahankan.
Namun, di satu sisi, aku sadar tak ada jalan untuk kembali. Raja Iblis telah memberi misi yang tak bisa kuhindari. Jika tak siap, aku akan dihancurkan oleh teman-temanku sendiri.
Aku mengepalkan tangan, memandang layar status sekali lagi dengan tekad baru. Tiga tahun mungkin terdengar lama, tapi waktu itu bisa berlalu lebih cepat dari yang aku kira.
Suara notifikasi kembali terdengar setelah aku termenung memikirkan nasibku. Sebuah layar juga muncul di depan, menampilkan tulisan yang membuatku sedikit terkejut.
[Selamat! Kamu telah mempelajari skill baru: Memasak]
Aku menatap layar itu dengan campuran antara takjub dan sedikit geli. Memasak? Rasanya tak pernah kubayangkan mendapat skill seperti itu dalam situasi ini, apalagi setelah mengira kalau aku telah mengolah makanan pertamaku dengan sukses.
Namun, sebelum aku sempat merayakan keberhasilan kecil ini, sebuah rasa sakit tiba-tiba menghantam perutku. Awalnya, hanya seperti sensasi tidak nyaman, tapi kemudian berubah menjadi rasa sakit yang mengerikan. Seakan ada sesuatu yang mencengkeram dan memeras seluruh organ dalam perutku.
"A-apa… ini…" bisikku, suaraku tersendat saat rasa sakit semakin menguat.
Aku terhuyung, mencoba bertahan sambil meremas perutku. Rasanya seperti ribuan jarum menusuk dari dalam, membakar, dan menggeliat di lambungku. Wajahku mulai berkeringat, tubuhku bergetar tanpa kendali.
“Uhuk!” Aku tersentak, mendapati diriku mulai memuntahkan segalanya yang telah kumakan. Daging serigala yang tadi terasa cukup lezat kini terasa seperti racun yang menyiksa setiap inci dari kerongkonganku. Tak hanya daging serigala, tapi juga sisa buah-buahan yang kukumpulkan sebelumnya ikut keluar, mengalir tanpa henti.
Aku terbaring di rerumputan, tak berdaya, terengah-engah setelah muntah yang begitu menguras tenaga. Nafasku tersengal-sengal, rasa mual yang masih terasa di tenggorokanku membuatku semakin lemah. Tak ada yang bisa kulakukan selain menatap kosong ke langit di antara pepohonan, berusaha menenangkan tubuh yang masih berdenyut kesakitan.
Di antara sisa kesadaranku yang tersisa, sebuah layar baru muncul di depan mataku, menampilkan tulisan yang semakin memperjelas keadaanku.
[Peringatan: Daging serigala yang kamu makan beracun. Gunakan skill Memasak untuk mengolah bahan berbahaya dengan benar di lain waktu!]
"Jadi… begitu…” aku berbisik lemah. Ternyata, meski mendapatkan skill Memasak, aku masih harus mempelajarinya dengan benar. Baru sekarang kusadari, caraku tadi benar-benar salah.
Bagaimana ini? Aku tidak tahu harus berbuat apa, rasanya begitu menyakitkan. Tapi, di tengah kepanikanku, sebuah layar baru tiba-tiba muncul di hadapanku.
[Selamat! Kamu telah memperoleh skill baru: Manipulasi Racun]
Aku menatap layar itu dengan mata terbelalak, tidak yakin dengan apa yang baru saja kubaca. Manipulasi Racun? Dari mana datangnya skill itu? Tapi, tubuhku semakin melemah, dan aku tak punya waktu untuk bertanya-tanya lebih lama. Insting bertahan hidupku mengambil alih, memaksaku berpikir cepat.
Jika skill ini bisa membantuku… Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku meraih pohon terdekat dengan tangan gemetar. Saat jariku menyentuh permukaannya, aku memejamkan mata, berharap racun dalam tubuhku akan berpindah ke pohon itu.
Perlahan, rasa sakit yang mendera perutku mulai mereda. Sensasi panas dan menyengat di dalam tubuhku merayap keluar, mengalir melalui tanganku, dan seolah terserap oleh pohon itu. Setelah beberapa detik yang terasa seperti keabadian, tubuhku akhirnya terasa lebih ringan.
Aku terduduk di tanah, mengatur napas dengan lega. Rasa sakit yang nyaris membunuhku telah hilang, digantikan dengan kelegaan yang hampir membuatku ingin tertawa. Rasanya hampir tak percaya bahwa aku selamat, meski dengan cara yang sama sekali tidak terduga.
Aku harus lebih berhati-hati ke depannya, pikirku, meremas dadaku yang masih terasa berdebar karena pengalaman barusan. Jelas, dunia ini tidak akan bersahabat padaku. Jika aku lengah sedikit saja, aku tahu kematian bisa datang kapan saja.
Aku pun memutuskan untuk memahami dunia ini lebih jauh, mencari tahu seluk-beluknya dan bagaimana aku bisa bertahan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!