Genap 31 tahun usianya, Rafardhan Faaz Imtiyaz belum kembali memiliki keinginan untuk menikah. Kegagalan beberapa tahun lalu membuat Faaz trauma untuk menjalin kedekatan apalagi sampai mengkhitbah seorang wanita.
Hingga, di suatu malam semesta mempertemukannya dengan Ganeeta, gadis pembuat onar yang membuat Faaz terperangkap dalam masalah besar.
Niat hati hanya sekadar mengantar gadis itu kepada orang tuanya dalam keadaan mabuk berat dan pengaruh obat-obatan terlarang, Faaz justru diminta untuk menikahi Ganeeta dengan harapan bisa mendidiknya.
Faaz yang tahu seberapa nakal dan brutal gadis itu sontak menolak lantaran tidak ingin sakit kepala. Namun, penolakan Faaz dibalas ancaman dari Cakra hingga mau tidak mau pria itu patuh demi menyelamatkan pondok pesantren yang didirikan abinya.
.
.
"Astaghfirullah, apa tidak ada cara lain untuk mendidik gadis itu selain menikahinya?" Rafardhan Faaz Imtiyaz
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Pim-pim pom!! Terbuka!!"
"Terbuka!!"
"Sekali lagi, terbuka!!"
Rasanya sudah terlalu larut untuk sebuah pertunjukan sulap. Namun, begitulah yang tengah dilakukan gadis cantik berwajah imut itu. Pengaruh alkohol dan obat terlarang yang baru saja dia coba membuatnya melayang hingga berhalusinasi tengah hidup di dimensi lain.
Jika orang-orang berpikir gadis itu adalah anak broken home yang tengah mencari ketenangan, tentu saja salah besar. Sebaliknya, gadis itu terlahir dari keluarga baik-baik dan tumbuh dengan kasih sayang yang cukup.
Ganeeta Maheswari, bisa dipanggil Anet dan saat ini dia merupakan seorang mahasiswi baru di fakultas kedokteran salah-satu universitas swasta terbaik di ibu kota.
Masih sangat muda, dia baru ulang tahun ke-18 bulan lalu dan hari ini dia tengah merayakan pesta ulang tahun bersama pacar dan juga teman-temannya di sebuah gang sempit tempat dimana anak punk kerap berkumpul.
Pesta yang menjadi petaka dimana Ganeeta dikenalkan dengan hal baru berupa ekstasi hingga membuatnya kian tak terkendali seperti ini.
Beruntungnya, sebelum terlalu jauh pesta tersebut bubar dengan kedatangan Faaz yang tidak sengaja melewati tempat itu.
Awalnya Faaz hanya sekadar mengingatkan mereka untuk pulang, tapi begitu melihat ada Ganeeta di antara anak-anak itu, Faaz segera ambil tindakan dan bermaksud untuk mengantarnya pulang.
"Masuklah, sampai tahun depan juga tidak akan terbuka jika hanya mengandal_"
"Yash, berhasil!! Tangan ini benar-benar ajaib ternyata!!" serunya kemudian masuk dan masih lanjut berhalusinasi ria dengan fantasinya.
Faaz yang menyaksikan pemandangan ini hanya bisa tersenyum miris. Tak bisa dia bayangkan bagaimana perasaan kedua orang Ganeeta andai menyaksikan sendiri putri kesayangan mereka kian hancur begini.
Sebenarnya Faaz tidak mengerti apa alasan yang membuat Ganeeta begini. Namun, dari cerita yang dia dengar anak itu memang na-kal, pembangkang dan sulit diatur.
Lagi dan lagi, Faaz hanya mendengar cerita dan tidak tahu fakta sebenarnya. Baru malam ini dia menyaksikan sendiri seberapa parah kelakuan Ganeeta sebagai perempuan di matanya.
"Eugh ...."
Baru juga selesai memasangkan seal belt, telinga Faaz dengan jelas mendengar lenguhan manja lolos dari bibir gadis itu.
Sontak matanya membulat sempurna dengan jantung yang kini berdegup tak karu-karuan saking gugupnya. Sedikit banyak Faaz paham apa yang terjadi pada gadis ini.
Aroma alkohol yang menguar dari mulutnya begitu menyengat hingga tanpa pikir panjang, Faaz segera berlalu meninggalkan tempat itu dan fokus mengemudi.
Semakin lama, Ganeeta semakin memperlihatkan tanda-tanda tak wajar. Dia terlihat kepanasan bahkan berusaha membuka jaketnya.
"Aaah panas ...."
"Panas?" tanya Faaz mencoba membangun komunikasi dengan harapan gadis itu sadar bahwa sekarang tidak sendiri.
Pertanyaan itu memang direspon, dia mengangguk dan terus mengibas-ngibaskan tangan ke depan wajahnya.
Perlahan, tangan yang tadi dia gunakan untuk mengipasi wajahnya kini berusaha meraih tangan Faaz hingga pria itu pucat seketika.
"Astaghfirullah, singkirkan tanganmu."
"Mau kemana? Berhenti dulu di sini ...."
"Ke rumah, aku akan mengantarmu pulang," jawab Faaz seadanya dan sesuai fakta tentu saja.
"Rumah?"
"Hem, rumahmu masih di alamat yang lama, 'kan?"
"Jangan di rumah, di sini saja cepat ... aku kepanas_sssshh aaarrggh," rintih Ganeeta semakin gelisah hingga Faaz kian mempercepat laju kendaraannya.
Tidak ada tujuan lain selain segera mengantarkan gadis ini pada orang tuanya. Walau sesuatu dalam diri Faaz juga berontak, tapi sebisa mungkin dia berusaha mengendalikan diri agar tidak terbujuk rayuan se-tan.
Sepanjang perjalanan, bibir Faaz tak henti berdzikir demi meminta perlindungan kepada Maha Pelindung. Bukan hanya berlindung dari kecelakaan atau semacamnya, tapi juga berlindung dari tipu daya ib-lis lewat wanita yang ada di sebelahnya.
.
.
Lima belas menit berlalu, Faaz tiba di kediaman keluarga Darmawangsa dalam keadaan selamat. Masih dengan jantung yang berdegup kencang, Faaz meminta bantuan security untuk memanggilkan tuan rumah.
Tak berselang lama, yang dimaksud datang dan segera menghampiri Ganeeta dengan perasaan cemas.
"Ya Tuhan, Ganeeta!!!!!!" Suara Ameera - maminya terdengar menggelegar tatkala menyaksikan sang putri yang tampak seperti ODGJ di sana.
Begitu jelas Faaz menyaksikan wajah kedua orang tuanya sampai merah, antara marah dan malu jadi satu. Papi Cakra bergegas membopong putrinya untuk naik ke atas.
"Terima kasih atas bantuanmu, tapi jangan kemana-mana dulu ... tetap di sini, mengerti?"
Faaz mengangguk, aura kemarahan dan kekecewaan begitu tampak jelas, jujur saja Faaz khawatir pria itu salah sangka. Karena itu, dia juga bermaksud meluruskan agar tidak terjadi fitnah nantinya.
Sembari menunggu, Faaz disuguhi minuman hangat dan juga cemilan sebagai pertanda bahwa dia diperlakukan layaknya tamu.
Hal ini sejenak membuat hati Faaz sedikit lebih tenang. Namun, hal itu tak berlangsung lama karena setelah kedua orangtua Ganeeta turun suasana mendadak mencekam lagi.
"Ehm, kau putra dari Kiyai Hanan bukan?"
"Benar, Om," jawab Faaz singkat.
Seingat Faaz, abinya memang mengenal keluarga Darmawangsa dengan cukup baik. Hal itu pula yang menjadi alasan kenapa Faaz tahu alamat rumah Ganeeta karena memang pernah berkunjung bersama abinya.
"Aku rasa dia orang yang tepat, Sayang," bisik Papi Cakra pada sang istri yang sedikit banyak bisa didengar oleh Faaz.
Tentu saja dia sedikit curiga, orang yang tepat untuk apa? Ingin menerka-nerka khawatir justru salah.
"Hem, Mami juga yakin ... daripada hidupnya semakin hilang arah."
"Itu yang Papi maksud, segala sesuatu sudah kita lakukan tapi buktinya semakin lama, Ganeeta semakin membangkang saja."
Mereka tampak berdiskusi lagi sebelum mengatakan tujuannya. Selama itu pula, Faaz dengan sabar menunggu di sana.
"Ehm, jadi begini ... kami tahu mungkin ini agak mengejutkan, tapi setelah mempertimbangkan banyak hal kami memutuskan untuk memilihmu sebagai menantu kami."
"Uhuk, maksudnya?"
"Kurasa pertanyaannya sudah sangat jelas. Jadi, bagaimana? Bersediakah kau menikahi Ganeeta?"
.
.
- To Be Continued -
Tak segera menjawab, Faaz terdiam beberapa saat. Sebagai laki-laki pada umumnya, tentu saja dia butuh waktu untuk mempertimbangkan banyak hal sebelum mengambil keputusan.
"Mau, 'kan?"
"Ehm, maaf, Om ... tapi untuk itu, sepertinya saya tidak bisa," jawab Faaz pada akhirnya.
Sekaku itu dirinya tatkala menyampaikan penolakan. Bukan tanpa alasan kenapa Faaz menolak tawaran itu, tapi sedikit banyak dia tahu seberapa nakalnya Ganeeta.
Malam ini saja, Faaz sudah dibuat kewalahan bahkan nyaris gila di perjalanan. Tak dapat dia bayangkan andai nanti jadi istri bagaimana, bisa dipastikan dia akan kerap sakit kepala.
Namun, Faaz lupa dengan siapa kini bicara. Penolakannya tak berguna, pria itu tertawa begitu Faaz mengatakan tidak dengan tegas tanpa terbata.
"Ah, apa kau yakin menolak tawaranku?"
"Maaf, mengingat usia yang terlalu jauh ... di sisi lain, menurut informasi yang saya ketahui putri Om juga masih menjalani pendidikan. Apa Om tidak mempertimbangkan masa depannya?"
"Justru ini demi masa depannya, Faaz," ungkap Papi Cakra disertai helaan napas panjang.
Wajahnya terlihat lelah, sudah tentu karena putus asa dengan kelakuan putri kesayangannya. "Sebagai orangtua kami sudah berusaha mendidiknya dengan berbagai cara, tapi sejak Pras menikah tahun lalu Ganeeta semakin tidak terkendali dan persis anak telantar."
"Dia mencari kesenangan di luar, berteman dengan anak-anak punk yang dia bilang lebih memahami perasaannya."
"Bahkan, sudah berkali-kali melakukan percobaan bu-nuh diri hanya karena patah hati dan menganggap dunia tidak adil padanya."
"Dan malam ini, kau lihat sendiri seberapa menyedihkan hidupnya ... aku tidak tahu bagaimana dia bisa mendapatkan kenyamanan di lingkungan semacam itu."
Panjang lebar Papi Cakra menjelaskan dengan suara yang sampai bergetar saking kecewanya. Faaz yang mendengar turut prihatin, tapi untuk menerima mentah-mentah penawaran Papi Cakra dia tetap tidak bisa.
"Begini saja, jika Om bersedia Ganeeta akan saya bawa ke pesantren di Yogyakarta. Mungkin satu tahun cukup, tapi mau tidak mau kuliahnya harus dihentikan lebih dulu dan_"
"Cara itu sudah pernah dilakukan, Faaz! Tapi pulang dari pesantren tetap tidak ada perubahan dan waktu itu hatinya tidak dalam keadaan hancur karena Pras belum menikah ... bayangkan andai sekarang dipaksa untuk kembali menjalani hukuman semacam itu, bisa dipastikan dia akan semakin tertekan dan melakukan sesuatu yang lebih parah lagi!!" tegas Papi Cakra memperlihatkan seberapa daruratnya keadaan saat ini.
Kembali terdiam, Faaz mendadak bingung hendak menjawab bagaimana hingga memilih diam.
Dan, diamnya Faaz justru diartikan lain hingga oleh pria tak sabaran itu.
"Huft, jadi kau siap pondok pesantren Darul Hikmah dinonaktifkan selamanya?" tanya Papi Cakra di tengah keheningan yang membuat mata Faaz membulat sempurna.
Tak dia duga bahwa pria itu akan menggunakan kekuasaannya. Seketika itu, tangan Faaz mendadak dingin dan bergetar mengingat fakta bahwa hidup mereka memang berada di bawah kekuasaan Cakra Darwangsa.
Tepatnya kekuasaan kakek Cakra yang diwariskan padanya. Selama ini, semua berlangsung baik-baik saja dan Cakra sama sekali tidak menyinggung perkara tanah dan biaya yang digunakan untuk mendirikan pondok pesantren tersebut.
Hingga, malam ini mendadak dia bahas dan membuat Faaz tidak punya pilihan lain. Sejenak dia mengusap kasar wajahnya sebelum kembali melontarkan pertanyaan kepada Papi Cakra.
"Astaghfirullah, apa tidak ada cara lain untuk mendidik gadis itu selain menikahinya?" tanya Faaz masih mengharapkan kebaikan hati Papi Cakra padanya.
Pria itu menggeleng cepat. "Tidak ada, kau harapan kami satu-satunya, Faaz."
Kembali Faaz menghela napas panjang, entah mengapa dia merasa amanah ini terlalu berat, sangat berat.
Beberapa kali dia juga sempat mendapat penawaran dari beberapa ustadz untuk menjadi menantu, tapi rasanya tidak seberat ini.
Penolakan Faaz juga sebatas belum siap untuk membuka hati, tapi untuk yang satu ini Faaz merasa tidak siap untuk segalanya. Naas, Faaz juga tidak dapat menolak karena Papi Cakra dengan dengan mengatakan.
"Pulanglah, dan jangan lupa kembali dalam waktu dekat untuk meminang Ganeeta baik-baik bersama keluarga besarmu," pungkas Papi Cakra kemudian beranjak pergi meninggalkan Faaz yang masih terdiam di sofa. "Satu lagi, ini sudah termasuk perintah, bukan penawaran!!" lanjut pria itu dari kejauhan seraya menunjuk ke arahnya.
Tinggallah kini Faaz bersama Mami Ameera yang dirasa lebih lembut dalam bersikap. "Maafkan sikap suami saya, maksudnya baik ... kami mempercayaimu bisa mendidiknya. Karena itu, sekali lagi sebagai Mami dari Ganeeta memohon agar kamu bersedia menuntunnya, Faaz."
.
.
Satu minggu setelahnya, sesuai dengan perintah Faaz kembali menginjakkan kaki di kota Jakarta setelah sempat berdiskusi bersama keluarga besarnya.
Dalam hal ini, Faaz tidak mengaku jika diancam atau semacamnya. Hanya karena tidak ingin membuat keluarganya tertekan, Faaz hanya mengatakan bahwa dia akan meminang seorang wanita yang telah berhasil menggantikan sosok Shanum di hatinya.
Kedua orangtua Faaz bahagia tentu saja. Walau tahu gadis yang Faaz pinang adalah Ganeeta, tapi bagi mereka sama sekali tidak masalah karena kebetulan kakek Cakra adalah orang yang berperan dalam sejarah pendirian pondok pesantren Darul Hikmah.
Begitu tiba di sana, keluarga Faaz disambut dengan baik oleh keluarga besar Megantara. Rencananya malam ini mereka akan bertunangan, sekadar tukar cincin sebelum kemudian lanjut ke pernikahan di minggu berikutnya.
Semua sudah hadir, tapi hingga acara hendak dimulai mereka baru sadar bahwa calon mempelai tidak lengkap, Ganeeta hilang entah kemana hingga membuat panik semua yang di sana.
"Bagaimana? Dia di kamar?"
"Tidak, entah kemana orangnya."
"Ya Tuhan, Ganeeta ... sampai hari ini pun kamu masih membuat Papi sakit kepala," ucap Papi Cakra sembari memijat pangkal hidungnya.
Sementara itu, Faaz yang telah berbohong pada keluarga besarnya mulai panik. Menghilangnya Ganeeta sama saja membuat pernikahan ini terancam batal.
Tidak ingin sampai terjadi, Faaz mengatakan akan kembali mendatangi gang sempit yang merupakan tempatnya menemukan Ganeeta malam itu.
"Kau yakin dia di sana?"
"Kemungkinan, karena yang saya tahu tempat itu memang tongkrongan teman-teman Ganeeta."
"Kalau begitu, aku ikut bersamamu," tegas Papi Cakra dan bergegas pergi.
Beberapa waktu menyusuri perjalanan, dan tebakan Faaz tidak meleset. Begitu tiba di lokasi, Ganeeta yang sudah terlihat cantik dengan gaunnya seketika berdiri sembari merem-as jemarinya.
Mata sayunya menatap tak suka ke arah pria tampan ber jas biru muda, senada dengan gaunnya. Perlahan Ganeeta mundur, sesekali dia melirik ke layar ponsel dengan harapan Zion ~ pacarnya akan segera datang sesuai janji.
"Sayang, pulang yuk ... Kamu ngapain di tempat ini?" tanya Papi Cakra dengan sesak yang luar biasa karena benar-benar terluka sampai menjadikan tempat ini sebagai pelarian ternyamannya.
Ganeeta menggeleng, "Tidak, Anet tidak mau pulang!! Sudah Anet bilang tidak mau ... Papi kenapa maksa Anet tunangan sama orang-orangan sawah itu?"
"Baiklah, jadi Anet tidak mau tunangan?"
"Tidak mau dan tidak akan pernah mau!!" tegas Ganeeta tanpa keraguan.
Papi Cakra sejenak memijat pangkal hidung, dia mengangguk dan mendekati putrinya pelan-pelan. "Ya sudah, kalau tidak mau tunangan tidak apa-apa ... kita pulang tapi ya?"
"Benar Papi tidak maksa Anet tunangan lagi?"
"Tentu saja, sejak kapan Papi bohong," ucap Papi Cakra yang ternyata berhasil membuat hati si keras kepala itu melunak seketika.
Tanpa tahu bahwa ucapan papinya mengandung makna tersirat di dalamnnya."Tidak tunangan, tapi langsung akad nikah maksudnya."
.
.
- To Be Continued -
Sungguh terpaksa Papi Cakra berbohong, dia tidak punya cara lain untuk menangkap putrinya. Lagi dan lagi, kebohongan itu ternyata menjadi petaka.
Selepas akad berlangsung, Ganeeta mengurung diri di kamar dengan perasaan hancur. Dia merasa dunianya seperti direnggut paksa, bahkan dramanya mengalahkan korban pemerkosa-an.
Bagaimana tidak? Selain dibohongi, kebebasan Ganeeta juga dibatasi. Ponsel disita, akun sosial medianya dihapus hingga tidak bisa menghubungi sahabat maupun pacarnya.
Karena itulah, setengah jam Ganeeta gunakan untuk meraung dan meluapkan kekesalan di dalam kamar tanpa satu pun yang mengganggu.
Hingga setelah merasa lelah, Ganeeta menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Masih dengan air mata yang terus berurai, Ganeeta meratapi jalan hidupnya.
Setelah satu tahun lalu dibuat patah sepatah-patahnya dengan kabar pernikahan Om Pras - pria yang dia cintai dari kecil, kali ini Ganeeta kembali merasa patah karena lagi-lagi harus terpisah dengan orang yang dia cinta, Zion.
"Papi maunya apasih? Dulu sama Om Pras dilarang ... sekarang sama Zion juga dipisahin, jadi orangtua egois terus," ucapnya sembari terisak.
Napasnya sampai terasa sempit, Ganeeta menggigit bibir dan mencoba untuk berpikir jernih. Setelah tadi sempat berusaha mencari benda tajam yang bisa digunakan untuk menyakiti diri sendiri gagal, dia mulai berpikir untuk benar-benar membenturkan kepalanya ke wastafel kamar mandi.
Dengan cara itu, Ganeeta yakin sakitnya minimal, tapi kemungkinan wa-fat lebih maksimal. Namun, belum sempat dia realisasikan seseorang mengusap rambutnya begitu pelan.
Tanpa perlu dijelaskan, Ganeeta tahu siapa di balik usapan lembut itu. "Mami mau apa? Anet tidak lapar, silakan nikmati makan malam kalian."
Jawaban super dingin dari Ganeeta cukup membuat batin maminya teriris. Tidak pernah dia menduga, Ganeeta yang dulunya ceria akan mengalami hal semacam ini sewaktu beranjak dewasa.
Hanya karena Papi Cakra menentang keras cinta terlarangnya kepada Prasetya, Ganeeta kian lama kian terluka dan kehilangan dirinya. Hingga, pernikahan Prasetya dan Innaya menjadi puncak kehancuran Ganeeta.
Sejak saat itu, Ganeeta benar-benar menjelma menjadi gadis nakal dan liar. Lingkungannya berubah, anak punk seakan jadi sahabat bahkan dia rela kehilangan teman kecilnya.
Jalan raya seolah jadi dunia, kebut-kebutan menjadi hobinya dan tidak terhitung sudah berapa kali pulang dalam keadaan mabuk.
Terakhir, dia juga mulai mengonsumsi nar-koba jenis ekstasi hingga membuat kedua orang tuanya putus asa.
Padahal, tujuan Papinya baik. Dia tidak merestui cinta yang Ganeeta miliki pada Prasetya karena usia mereka jauh berbeda, 24 tahun bedanya.
Di sisi lain, Prasetya juga mencintai wanita lain yang sekarang dijadikan istri dan dia pun menganggap Ganeeta seperti anak sendiri.
Sayangnya, hingga detik ini Ganeeta masih tutup mata dan buta akan fakta. Tanpa peduli dengan maksud dan tujuan kedua orangtuanya, yang Ganeeta tahu baik papi maupun maminya sama, egois.
"Eh, Oma masakin iga bakar loh ... Anet suka, 'kan?"
"Tidak, sudah Anet bilang tidak mau."
"Loh kok gitu? Atau mau Papi yang ajak makan?"
Ganeeta menggeleng pelan. "Anet benci papi," ucap Ganeeta sembari mengepalkan tangan. "Benci mami juga," tambahnya kemudian.
Bukan main perihnya hati Ameera, walau memang dalam keadaan marah, tapi kata-kata benci dari sang putri terlalu menyedihkan baginya.
Terlebih lagi, sejak kecil tidak pernah begitu. Ameera tidak dapat menyalahkan siapa-siapa, hendak menyudutkan suaminya tidak mungkin karena yang Cakra lakukan sudah benar.
Hanya saja, Ganeeta memang belum dewasa dan terobsesi pada kisah cinta sesuai dengan dongengnya.
"Baiklah, Mami keluar kalau begitu ... maaf kalau Papi dan Mami terkesan kejam, tapi percayalah semua ini demi kebaikanmu, Ganeeta," ucap wanita itu kemudian mengecup puncak kepala putrinya.
Tetap tidak ada tanggapan, Ganeeta masih terlihat keras hati. Hal itu tidak mengurungkan niat Mami Ameera untuk keluar mengingat keluarga besannya masih di rumah.
Begitu membuka pintu kamar, wanita itu dibuat terkejut tatkala sadar Faaz tengah berdiri di sana.
.
.
"Ehm, kamu di sini?"
"Iya, tadi diminta Om Cakra_"
"Heih kenapa Om manggilnya? Papi dong, ingat kamu sudah jadi bagian dari keluarga ini ... jadi jangan lagi dipanggil Om, kualat loh nanti," ucapnya masih saja bisa bercanda.
Padahal, hati wanita itu hancur lebur dengan apa yang terjadi pada putrinya.
"Iya, maksudnya Papi," ucap Faaz gugup sekali.
Bukan hanya gugup di hadapan mertua, tapi hatinya sudah dag dig dug sejak awal diminta masuk untuk menemui Ganeeta.
"Ah iya, mau masuk, 'kan?"
"Iya, Mi."
"Masuklah, maaf kalau sikapnya bikin ngelus dada ... Mami yakin lama-lama dia akan menerima, mohon bersabar ya, Faaz," tutur Mami Ameera dengan kedok peringatan darurat di sana.
Meski begitu, Faaz tidak memperlihatkan ketakutannya. Pria itu mengangguk seraya mengulas senyum hangat sebagai bentuk keikhlasannya.
"Oh iya, Ganeeta belum makan ... nanti agak maleman dikit tolong kamu tanyain ya, Mami khawatir karena dia punya riwayat magh," jelas Mami Ameera sebelum benar-benar berlalu pergi meninggalkan kamar putrinya.
Selepas kepergian mertuanya, baru kemudian Faaz memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar istrinya. Belum apa-apa, Faaz sudah lebih dulu mengelus dada tatkala memandangi seisi kamar yang sudah persis kapal pecah.
Ingin sekali dia tegur, tapi yang punya kamar sudah mendengkur hingga membuat Faaz mengurungkan niat.
"Cepat sekali tidurnya, apa mungkin lelah setelah olahraga?" Faaz bermonolog sembari menatap ke arah Ganeeta yang tidur di tepian ranjang dengan posisi meringkuk.
Tanpa menunggu lama, Faaz berinisiatif memperbaiki posisi tidur sang istri sebagaimana mestinya.
"Maaf ya, Mas izin benerin posisi tidurnya," ucap Faaz masih meminta izin walau Ganeeta sudah terpejam.
Hanya terpejam, bukan tertidur karena hingga detik ini Ganeeta masih terjaga. Bahkan, dia masih bisa memandangi wajah tampan Faaz dengan modal pura-pura tidur seperti ini.
Seakan sengaja menguji kesabaran Faaz, setelah posisinya diperbaiki bahkan diselimuti, Ganeeta berdiri dan meraih dua bantal dengan wajah cemberutnya.
"Kamu mau kemana?"
"Tidur," jawabnya cuek seraya memalingkan muka.
"Tidur kemana?"
"Kamar tamu."
"Kenapa begitu?"
"Masih tanya kenapa, aku tidak mau sekamar lah," jawab Ganeeta sedikit lebih panjang dari sebelumnya.
"Tetap di sini, biar Mas yang tidur di sofa," ucap Faaz segera ambil tindakan dan mengambil satu bantal untuk dia letakkan di atas sofa yang berada di sudut kamar.
"Huft, aku bilang tidak mau sekamar."
Faaz terdiam, dia tampak berpikir sebelum kemudian kembali bicara. "Ehm, kalau begitu seranjang mau?"
"Ih, apalagi itu!! Sekamar saja tidak mau, apalagi seranjang."
"Tapi bagaimana? Kamar tamu sudah terisi, satu-satunya kamar yang bisa kutempati hanya ini."
"Hah? Sudah terisi?"
"Iya, full pokoknya."
"Kok bisa? Siapa yang isi?"
"Keluarga Mas ada beberapa yang nginap di sini, karena itu semalam saja Mas numpang tidur di kamar kamu boleh ya," ucap Faaz baik-baik tak ubahnya tengah merayu anak TK.
Dengan wajah sebalnya, Ganeeta berdecak pelan seraya melemparkan kembali bantal-bantal yang tadi dia peluk.
"Ya sudah, tapi ingat cuma tidur ya!"
"Iya, memangnya mau apa lagi selain tidur?"
"Situ kan sudah dewasa, jadi aku harus waspada."
"Kenapa harus waspada?" tanya Faaz masih dengan pikiran super sucinya.
"Takut saja, nanti dicoblos diam-diam kan bahaya."
"Astaghfirullah, Ganeeta ...."
.
.
- To Be Continued -
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!