Prang
Bruuuggghhhh
Tubuh lemah itu tersungkur begitu saja setelah mendapat sebuah dorongan cukup kuat. Bagian kepalanya terbentur ujung kursi yang terbuat dari kayu. Memang tak ada luka, namun rasa sakitnya begitu terasa hingga membuat kepalanya semakin pusing. Dia adalah Alena, istri pertama Althaf. Dan orang yang telah mendorongnya adalah Ruby, istri ketiga Althaf yang baru dinikahinya sebulan yang lalu.
“Kurang ajar, bisa-bisanya kamu menumpahkan teh hijau mahal milikku. Bahkan dengan nyawamu saja tidak akan bisa membelinya. Hahh, dasar tidak berguna. Napa kamu tidak mati saja sih!!!” bentak Ruby dengan kesal.
Sambil memegangi kepalanya yang berdenyut, Alena berusaha untuk bangkit. Dia tidak ingin menjadi bulan-bulanan Ruby yang memiliki temperamen yang kasar dan angkuh. Meskipun Alena merupakan istri pertama, dia tidak memiliki kuasa apapun. Dia hanyalah seorang istri yang terpaksa Althaf nikahi karena bibinya Alena menyerahkannya untuk membayar hutang.
“Maaf,” cicit Alena, tubuhnya nyaris sempoyongan jika dia tak menahannya dengan tenaga yang tersisa.
“Dasar tidak berguna. Bahkan pelayan di rumah ini saja masih lebih berguna. Buang semua makanan malam ini, gara-gara melihat wajahmu yang memuakkan jadi tidak nafsu makan,” ucap Ruby dengan menohok.
Lagi-lagi dengan hentakan yang cukup kuat di bahunya, Alena kembali terjatuh. Tanpa sengaja telapak tangannya terkena pecahan gelas yang ada di lantai.
Tanpa disadari Alena meneteskan air mata, rasa sakit di tubuhnya dan hatinya bercampur menjadi satu. Jika tidak mengingat ucapan kedua orang tuanya yang telah tiada, Alena mungkin memilih untuk mengakhiri hidupnya. Setelah kedua orang tuanya meninggal, tak ada lagi yang menyayanginya termasuk Althaf suaminya.
Sebuah uluran tangan memberikan tisu untuk menghapus jejak air mata Alena. Dia pun mengobati telapak tangan Alena yang terluka dan membalutnya dengan rapuh. Alena terdiam tak berbicara apapun, sadar statusnya dia tak berani berkata apa-apa.
“Nyonya, saya harap anda tetap kuat. Tolong jaga diri anda lebih baik lagi, jangan biarkan orang-orang di rumah ini menindas anda,” ucap Gilbert dengan pelan namun dalam maknanya.
Dia tak lain sekretaris pribadi Althaf. Hanya dia yang peduli terhadap diri Alena.
“Jangan panggil saya nyonya, Lena saja,” sanggah Alena sambil menarik tangannya yang masih dipegang oleh Gilbert. Dia tak ingin Althaf kembali marah dan menyiksa dirinya.
“Anda adalah istri pertama tuan Althaf sudah sewajarnya saya memanggil anda dengan sebutan Nyonya. Harap anda paham akan hal itu.” Wajahnya yang datar dan tanpa ekspresi apapun selalu menjadi pemandangan saat berbicara dengan lawan bicara. Namun Alena tidak mempermasalahkan hal itu.
“Tapi….”
“ Saya tidak peduli, bagi saya anda tetap nyonya muda yang harus saya hormati terlepas bagaimanapun pandangan orang yang ada di rumah ini,” potong Gilbert dengan cepat. Dia paling tidak suka wanita di depannya ini selalu diam saja saat diperlakukan tidak baik oleh seluruh penghuni rumah termasuk para pelayan.
Alena terdiam, percuma saja menyela atau membantah perkataan manusia kutub di depannya. Dia tak jauh berbeda dengan Althaf, hanya saja Gilbert selalu membantunya secara tidak langsung.
Begitu Gilbert tak lagi terlihat oleh penglihatannya, Alena bergegas membersihkan pecahan gelas dan tumpahan teh di lantai. Jika Gilbert ada di rumah ini, maka Althaf sudah pulang dari kantor. Althaf tak boleh melihat dalam kondisi seperti ini, jika tidak maka suaminya itu tak segan-segan akan menyiksanya tanpa ampun.
Sepuluh menit berlalu, tak ada tanda-tanda Althaf masuk ke dalam rumah. Alena memutuskan beristirahat sejenak setelah membersihkan area dapur. Denyutan di kepalanya terasa begitu kuat, rasa lelah di tubuhnya membuat Alena tertidur di atas meja makan. Padahal sejak siang tadi, Alena bahkan belum memakan apapun.
Tiba-tiba saja Alena terbangun, dengan paksa menyeret tubuh Alena sambil menarik kedua tangannya. Tak ada daya untuk melawan, apalagi tubuhnya masih begitu lemas. Melawan pun percuma, Alena sadar siapa yang bisa memperlakukannya seperti ini.
Brakkk
Dengan kedua bola mata yang memerah, Althaf menatap wajah Alena dengan pandangan yang sulit diartikan. Rasa sakit luar biasa saat mencengkram rahang Alena dengan sebelah tangannya. Ingin rasanya Alena menangis saat itu juga, namun perkataan Althaf selalu berputar di kepalanya.
“Kenapa ada memar di kepalamu Lena! Jawab!!!” bentak Althaf dengan suara baritonnya. Wajahnya memang tampan, namun tetap saja Alena merasa takut.
“I–ini ti-tidak sengaja terbentur ujung meja saat mengambil barang ya-yang terjatuh,” jawabnya tergagap berusaha menyembunyikan kebohongannya.
Alena terlalu baik, meskipun Ruby telah menyakitinya namun tak mungkin Alena harus meregang nyawa di tangan Althaf.
Terakhir enam bulan yang lalu, saat salah satu pelayan di rumah Althaf ketahuan mendorong Alena hingga jatuh dan lututnya berdarah. Saat itu juga Althaf langsung membuat pelayan itu mati tenggelam di kolam renang.
“Beraninya kamu menyakiti tubuhmu ini Alena!!! Apa kamu masih belum paham, tubuh ini sudah saya beli!! Hanya saya yang boleh melakukan apapun terhadap tubuh ini. Tidak juga orang lain apalagi kamu!!!” geram Althaf semakin menjadi, cengkraman tangannya semakin kuat nyaris membuat Alena kesulitan bernapas.
“Sekarang kamu ikut saya!!”
Dengan kasar Althaf menarik Alena menuju kamar mandi. Wanita itu tahu apa yang selanjutnya akan terjadi, Alena berusaha melepaskan cengkraman tangan Althaf. Namun sia-sia, tenaga Althaf jauh lebih kuat, Alena semakin diseret dengan paksa.
Air yang keluar dari shower langsung membasahi tubuh Alena bersamaan dengan Althaf yang merobek baju yang dikenakan oleh Alena.
“Tidak, aku mohon tidak untuk hari ini,” pinta Alena dengan memelas.
Sekujur tubuhnya langsung menegang membayangkan perlakuan Althaf saat sedang emosi. Yang pasti tubuhnya sudah tak sanggup lagi untuk menahan rasa sakit.
Seluruh pakaian luar yang menempel di tubuhnya sudah terlepas hanya tersisa pelindung dalam. Hangatnya air pun langsung bisa dirasakan oleh Alena, mengalir di permukaan kulitnya. Mengalir bersamaan dengan air mata yang keluar, menyamarkan jejak ketika Alena saat ini sedang menangis. Bahkan Alena tidak diperbolehkan untuk menangis tanpa seizin Althaf.
“Sekali lagi saya ingatkan jika yang ada pada dirimu adalah seutuhnya milikku. Bahkan nyawamu sekalipun ada di tanganku. Saya sudah membelimu dengan uang yang cukup banyak. Kamu itu boneka sekaligus mainan milikku, hanya bisa dimainkan sesuka hati oleh saya,” bisik Althaf sambil membelai dan menyentuh setiap inci tubuh Alena.
Ucapan itu sekaligus meruntuhkan hatinya yang mencoba kuat. Bukan hanya sekali ini saja Althaf berkata demikian. Bahkan satu menit setelah pengucapan ijab kabul, Althaf pun mengucapkan hal yang sama. Alena yang tak memiliki daya apapun hanya bisa menerima hal itu semua dan bertahan agar tetap hidup.
Tindakan Althaf saat ini sangat lembut, namun itu hanya sementara sebentar akan semuanya akan berubah.
“Jangan diam saja Lena, apa kamu sudah bisu. Jawab!!” Althaf mencengkram kedua lengan Alena dengan sangat kuat.
“Sa-sakit mas!!” Kuku Althaf yang pendek terasa masuk ke dalam kulit, rasanya perih, panas dan kebas.
“Apa yang kamu katakan!!” teriak Althaf semakin keras hingga gendang telinga Alena bergetar.
“Sa-sakit mas Al, sakit. Ampun.. mas ampun,” rengek Alena tak sanggup lagi tubuhnya menahan rasa sakit.
Tanpa basa basi, dengan tubuh yang masih basah Althaf menggendong tubuh Alena seperti karung beras dan melemparkannya ke atas ranjang. Dengan sisa kesadaran dan tenaga yang masih ada, Alena berusaha merangkak turun dari atas ranjang. Namun dia berhasil ditarik kakinya oleh Althaf.
Rintihan kesakitan Alena tak lagi terdengar saat Althaf membungkamnya dengan bibirnya dan Alena hanya bisa pasrah menahan segalanya. Althaf bertindak cepat hingga Alena tak kuasa mengambil tindakan.
“Aaahhkkk sakit mas, sakit! Tolong jangan lakukan itu,” pekik Alena saat Althaf melakukan hubungan dengan paksa.
Meskipun bukan yang pertama kali, tetapi Althaf tak pernah peduli dengan apa yang rasakan oleh Alena. Althaf hanya mementingkan kepuasannya sendiri.
“Cukup mas, cukup. Lena mohon lepaskan. Ini terlalu sakit mas,” pinta Alena sambil menangis.
Namun ucapannya tak pernah didengar oleh Althaf. Lelaki itu terus memacu tubuhnya dengan kasar, suara rintikan Alena seolah terdengar begitu merdu di telinganya.
Tubuh Alena yang sudah lagi tak dapat menahan rasa sakit hanya bisa pasrah, tak ada lagi perlawanan agar Althaf bisa menyudahi perbuatannya. Hingga perlahan berkas cahaya lampu mulai meredup dan tersisa kegelapan di matanya.
Althaf hanya menatap nanar tanpa ekspresi wajah Alena yang masih terlelap tidur. Dia tidak merasa bersalah sama sekali telah membuat istri pertamanya itu pingsan. Sekarang dia tengah menunggu kedatangan dokter pribadi untuk memeriksa kondisi Alena yang tengah demam. Entah apa yang dirasakan oleh Althaf, yang jelas dia tidak ingin wanita miliknya itu sakit.
Tok
Tok
Tok
“Tuan Althaf, ini dokter Alex sudah datang,” ucap salah seorang pelayan.
“Masuk.”
Muncullah seorang pria gagah memakai kemeja berwarna biru muda sambil menjinjing tas kerja miliknya. Sudah pasti di dalamnya terdapat alat bantu kerja untuk memeriksa kondisi pasien dan beberapa obat umum untuk pertolongan sementara.
“Apa lagi yang kamu lakukan Al?” tanya Alex dengan ketus.
Meskipun sebagai dokter pribadi Althaf, tapi kejadian ini sudah sering dimana Alena yang ditemukan dalam kondisi tidak sadarkan diri.
“Periksa!!” tegas Althaf
Meskipun Alex adalah teman dekat sekaligus sahabatnya tetapi dia paling tidak suka orang lain ikut campur atau mengomentari tentang kehidupannya.
Dengan berdecak Alex memeriksa kondisi Alena yang nampak lemah. Wajahnya yang tirus, bibirnya yang pucat dan lebam berwarna ungu yang terdapat di sisi dahinya selalu membuatnya merasa prihatin dan kasihan. Meskipun tak begitu mengenal dengan baik sosok Alena, tetapi beberapa kali bertemu Alex sudah bisa menyimpulkan jika Alena gadis yang baik.
“Demamnya 39.5 celcius, tekanan darah 85/60, kondisi alat vital semuanya bagus. Istrimu ini sebaiknya dirawat dirumah sakit karena kondisi tubuhnya yang lemah dan kelelahan. Jika ingin masih melihat Alena hidup sebaiknya turuti anjuran saya,” sahut Alex memberikan gambaran kondisi Alena.
“Apa tidak bisa dirawat di rumah dan diberikan obat penurun panas?”
“Bisa saja, tapi saya tidak yakin Alena bisa istirahat dengan baik. Saya sudah suntikkan obat anti demam dan vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya,” ucap Alex sambil memasukkan stetoskop dan peralatan lainnya ke dalam tas.
Althaf hanya berdiam tanpa ekspresi.
Karena tugasnya sudah selesai, Alex langsung berdiri dan hendak meninggalkan kamar Althaf. Namun ketika di ambang pintu, Alex berbalik.
“Saya harap kamu mengerti Al. Alena tidak aman di rumah ini!”
Tak banyak kata terucap, setelah itu Alex segera pergi menuju rumah sakit. Untuk biaya pemeriksaan tentu akan di berikan tanpa harus diminta.
Althaf tak bergeming, mencerna kalimat terakhir yang diucapkan oleh Alex. Dengan perlahan, Althaf mendekati tubuh Alena yang masih terbaring agar tidak mengganggu istirahatnya. Jemarinya terulur untuk mengusap lembut pipi Alena yang mulus. Wajah Alena dalam tidur terlihat sangat cantik di mata Althaf.
“Tuan, maaf anda harus segera pergi ke kantor karena 30 menit lagi rapat bulanan akan dimulai. Jangan sampai anda terlambat,Tuan.” Tiba-tiba Gilbert masuk ke dalam kamar karena pintunya sudah terbuka.
“Tunggu saya 10 menit lagi. Jangan lupa membawa berkas yang diperlukan, USB ada di laci ketiga di meja kerja,” jawabnya tanpa melihat ke arah Gilbert.
Setelah memandangi wajah Alena cukup lama, sebuah kecupan singkat tepat di bagian dahi Alena yang lebam akibat terbentur ujung kursi. Althaf pun, pergi meninggalkan Alena seorang diri di kamar pribadinya.
⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐
Suasana hening di ruang makan hanya ada Ruby istri ketiga dan Dyah istri kedua Althaf. Mereka menyantap sarapan tanpa kehadiran Althaf yang harus pergi ke kantor. Althaf memang menerapkan aturan keras agar semua istrinya selalu makan bersama tanpa terkecuali. Namun itu hanya berlaku jika Althaf hadir di antara mereka bertiga. Jika Alfa tidak ada tentu Alena akan dijadikan pelayan oleh Ruby dan Dyah, karena menurut kedua isi tersebut Alena tidak selevel dengan mereka yang berasal dari keluarga konglomerat.
Pada satupun pelayan yang berani melaporkan karena beberapa pelayan pun turut merendahkan status Alena di rumah tersebut. Dukungan dari Ruby dan Dyah membuat para pelayan berani kepada Alena dan berbuat semena-mena.
“Kemana Upik abu, jam segini belum muncul? Apa Althaf menghukumnya lagi?” Ruby celingukan mencari keberadaan Alena. Ada sesuatu hal yang ingin dia lakukan kepada istri pertama Althaf.
“Maaf Nyonya Ruby, dia sedang beristirahat di kamar Tuan Althaf. Kabarnya dia sakit karena tadi pagi dokter Alex berkunjung,” terang salah satu pelayan yang berada tak jauh dari meja makan.
“Apa?? Jadi jam segini si Upik abu itu masih tidur nyenyak di kamar Althaf. Enak banget hidupnya. Seperti aku harus berbuat sesuatu!!” geram Ruby mendengar keterangan dari pelayan itu.
“Mohon maaf Nyonya Ruby, tapi sebelum berangkat Tuan berpesan agar tidak ada yang mengganggu Nyonya Alena,” ucap pelayan itu sambil menundukkan kepalanya, dia takut Ruby akan marah-marah seperti biasanya.
“Tidak bisa, peduli setan dengan pesan Althaf. Selama Upik abu itu tinggal di sini akan aku buat hidup serasa di neraka,” sahut Ruby sambil mengepalkan tangannya.
“Kau tidak ikut bersenang-senang,Dyah?” Dyah masih berdiam diri sambil menikmati sarapannya yang belum habis. Biasanya Dyah tak pernah absen turut serta menindas Alena.
“Tidak By, kau tahu sendiri dokter menyuruhku untuk bedrest. Kejadian jatuh kemarin membuat kandunganku sedikit lemah,” jawab Dyah sambil menggelengkan kepalanya.
Kemarin lusa saat Dyah hendak mendorong Alena, karena posisi tubuhnya yang tidak seimbang justru dirinya yang berakhir jatuh di lantai. Untung saja pendarahan tidak fatal dan Alena yang sigap menolong Dyah pada saat itu.
“Ya sudah, aku sendiri yang akan bersenang-senang. Enak saja dia bisa nyenyak tidur di kamar utama, sedangkan aku untuk memasukinya saja dilarang keras oleh Althaf,” sungut Ruby dengan membara.
“Jangan lupa, pelayan sudah memberitahumu untuk jangan ganggu si Upik abu. Jangan sampai Althaf murka kau mengabaikan perintahnya.” Dyah berusaha untuk memperingatkan Ruby, sedikitnya dia memiliki rasa simpati karena pertolongan Alena kemarin.
Ruby seakan tak mendengarkan nasehat Dyah dan justru melambaikan tangannya agar tidak mengkhawatirkan dirinya. Ruby membawa dua pelayan lainnya menuju kamar Althaf di mana Alena sedang beristirahat. Dia sudah memikirkan apa yang akan dilakukannya kepada Alena.
Bbbyyyuuurrrrr
Sebaskom air bekas cucian piring disiramkan ke wajah Alena yang masih tertidur. Alena tentu terkejut dan terbangun saat rasa dingin menyentuh wajah dan tubuh bagian atas. Ruby sama sekali tidak peduli dengan kondisi Alena padahal dia jelas melihat ada infusan yang masuk ke dalam tubuhnya.
“Bangun ja-lang, enak sekali jam segini masih tidur. Apa kamu berpikir bisa berstatus nyonya di rumah ini hah!! Cepat bangun, banyak pekerjaan harus kamu kerjakan,” hardik Ruby sambil menarik rambut Alena.
Tentu rasa sakit luar biasa Alena rasakan di bagian kulit kepalanya. Belum lagi rasa pusing di kepalanya sejak semalam tak kunjung hilang. Alena berusaha mengumpulkan kesadarannya yang belum penuh, jika masih nekat berdiam tentu tindakan Ruby akan semakin lama.
“Aaaahhhkkkk….” pekik Alena kesakitan saat Ruby menarik dengan paksa jarum infus, darah pun mengalir dari bekas tusukan jarum tersebut.
“Apa ini hah, tidak pantas kaum rendahan seperti kamu mendapatkan semacam ini. Dasar lemah. Cepat bangun.” Ruby menarik tangan Alena, hampir saja terjatuh ke depan jika tangannya tak kuatnya menopang tubuhnya.
Dua orang pelayan yang berada di belakang Ruby, terpaksa mengikuti perintah Ruby karena takut akan ancaman dipecat dari pekerjaannya. Mereka pun memegang kedua tangan Alena dan memaksanya agar bergerak.
Mau tidak mau Alena memaksakan tubuhnya untuk berjalan meskipun hanya ada sedikit tenaga. Kondisinya yang masih demam ditambah dengan bajunya yang basah tentu membuat Alena merasa kedinginan.
“Lama!! Bisa cepat ga sih jalannya, sudah kaya keong sawah saja,” umpat Ruby yang jengkel melihat Alena berjalan perlahan.
Kedua pelayan yang membantu memapah Ruby merasa kesulitan.
Ruby yang tidak sabaran akhirnya melepas dengan paksa pelayan yang memegangi kedua tangan Alena. Alena berusaha menopang tubuhnya agar mampu berdiri dengan berpegangan pada pagar besi di lantai dua.
Selangkah demi selangkah Alena menuruni tangga meskipun kepalanya semakin berat dan pandangannya mulai sedikit berbayang. Namun tangannya dengan kuat berpegangan agar tidak terjatuh. Tetapi Ruby melakukan hal yang di luar dugaan.
“Nyonyaaa…”
Di koridor rumah sakit, dengan tatapan yang kosong Althaf fokus pada lampu ruang operasi yang masih menyala. Saat sedang meeting dengan petinggi di perusahaannya, Althaf dikabari jika Alena terjatuh di tangga dan tidak sadarkan diri. Tanpa banyak bicara, mendengar kabar tersebut dia langsung meninggalkan ruang meeting dan melakukan mobilnya sendirian tanpa Gilbert.
Kondisi Alena yang banyak kehilangan darah karena terlambat dibawa ke rumah membuat kondisinya kritis. Apalagi luka retakan di kepala Alena menambah parah kondisinya. Althaf merasa separuh jiwanya hilang, tak membayangkan jika Alena harus meregang nyawa di meja operasi.
Kondisinya yang kalut membuat Althaf tak mampu berfikir. Di dalam pikirannya hanya menginginkan Alena selamat, bahkan dia sempat mengancam membakar rumah sakit jika nyawa Alena tidak dapat tertolong.
Terdengar bunyi langkah kaki yang berjalan cepat, dialah Gilbert yang baru saja tiba di rumah sakit setelah membereskan urusan pekerjaan di perusahaan. Mau tidak mau, Gilbert bertanggung jawab atas meeting hari ini apalagi kondisi perusahaan sedang tidak baik-baik saja setelah inflasi di negara A membuat salah satu cabang perusahaan harus diakuisisi.
“Tuan,” ucap Gilbert dengan sendu.
Tak pernah dia melihat kondisi Althaf yang terlihat sangat kacau setelah kematian kedua orang tuanya. Althaf yang terlihat tegas, kejam dan egois menyimpan sisi lemahnya dan itu hanya diketahui oleh Gilbert. Selain itu Althaf yang memiliki penyakit kelainan mental, akan mudah terpancing emosi jika trauma masa lalunya kembali terulang. Althaf tak bisa kehilangan atau ditinggalkan oleh sesuatu atau seseorang yang dekat dengannya.
Meskipun perlakuan Althaf kepada Alena selalu menindas dan bertindak seenaknya, tetapi Alena lah yang menemani hari-hari Althaf di rumah pribadinya. Hanya Alena yang bisa menemani tidur Althaf sepanjang malam tanpa bermimpi buruk. Hanya Alena yang sabar menerima segala perlakuan buruk Althaf dan tak pernah sekalipun berniat untuk meninggalkannya.
“Gill, Alena Gill. Apa dia akan pergi seperti papa dan mama?” tanya Althaf dengan sendu.
Kedua matanya berkaca-kaca namun berusaha untuk tidak menangis.
“Berdoalah kepada Tuhan, Tuan. Tapi saya yakin Nyonya Alena adalah wanita yang kuat,” jawab Gilbert.
Althaf berusaha berdiri, mensejajarkan posisinya dengan Gilbert. Dengan kuat Althaf mencengkram kedua lengan Gilbert bagian atas.
“Alena tidak akan pergi kan Gill, selamanya dia milikku kan. Setelah ini, jika Alena selamat akan saya kurung dia di dalam kamar hingga tak ada seorangpun yang akan menyakitinya kembali. Dan Alena juga tidak akan bisa pergi kemana-mana,” imbuh Althaf dengan sorot kedua matanya yang memerah, Gilbert hanya bisa menahan sakit.
“Tu-tuan, ji–jika Nyonya Alena yang ada di dalam sana mendengar ucapan Tuan, Nyonya mungkin lebih memilih untuk pergi ke sisi Tuhan.” Gilbert terpaksa berkata demikian karena merasa kesal sekaligus sakit hati dengan ucapan Althaf.
Bruuuggghhhh
Rasa anyir darah mulai menguar, Althaf tak sanggup lagi menahan amarahnya dan memukul Gilbert. Tapi Gilbert tidak marah, dia berusaha untuk membuat Althaf sadar. Pikirannya yang impulsif jangan sampai merusak kesadarannya untuk saat ini dan mengendalikan Althaf untuk bertindak seenaknya.
“Siapa!!!”
“Nyonya Ruby dan dua pelayan, Tuan,” jawab Gilbert dengan lancar.
Tanpa bertanya dengan banyak bicara, Gilbert seolah bisa mengetahui apa isi pikiran Althaf.
“Wanita siaalan, beraninya dia mengabaikan perintah saya agar tidak mengganggu boneka kesayanganku,” geram Althaf sambil mengepalkan tangannya hingga kuku-kukunya memutih.
“Kembali ke rumah!!”
Althaf berjalan dengan sangat cepat, meninggalkan Alena yang masih berjuang di meja operasi. Gilbert mengekor di belakang dan memastikan tuannya tidak bertindak sembrono. Tak lupa Gilbert meminta dua orang bodyguard untuk berjaga dan memberitahu jika proses operasi Alena sudah selesai.
...⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐...
Tak
Tok
Tak
Tok
Bunyi ketukan hak sepatu dengan lantai begitu menggema di rumah Althaf yang besar. Tak terlihat seorangpun yang berada di dalam rumah. Para pelayan pun lebih memilih menyingkir dan tak terlihat oleh tuannya agar bisa selamat dari penyiksaan. Mereka masih merasa ngeri saat dua orang pelayan diseret paksa dan digantung di halaman belakang dalam kondisi siang terik.
Althaf berjongkok, melihat jejak darah Alena yang tercecer di lantai. Beberapa anak tangga pun terlihat noda darah di ujungnya. Napasnya mulai menderu, membayangkan saat tubuh Alena terjatuh dan terguling dari atas tangga. Dia bersumpah akan membuat pelakunya menanggung akibat yang sama.
“Maaf Tuan, jejak Nyonya Ruby tidak ada di rumah. Menurut penjaga gerbang beliau telah pergi satu jam yang lalu,” lapor salah satu anak buah Althaf.
‘Wanita ular sialan!!’ umpatnya dalam hati.
“Dalam waktu 30 menit cari dan seret wanita itu kembali ke sini!!” Althaf memberikan perintah. Aura kelamnya begitu terasa hingga hawa berada disekitarnya.
Berjumlah sepuluh orang anak buah Althaf langsung bergegas mencari keberadaan Ruby. Bagi mereka sangat mudah untuk mencari dimana Ruby berasa. Akses CCTV disepanjang jalan, keberadaan GPS di mobil dan perhiasan yang wanita itu kenalan tentu menjadi petunjuk bagi mereka. Tak butuh waktu lama, lima menit mereka sampai di lokasi tempat Ruby berasa.
Setelah mengetahui jika Althaf marah saat Alena jatuh dan kondisinya sekarat, Ruby langsung kabur dan lari ke rumah ayahnya. Dia meminta perlindungan agar tidak dihabisi oleh Ayahnya. Namun sebagaimana ketatnya penjagaan di rumah ayah Ruby tetap dapat diterobos dengan mudah oleh para anak buah Althaf. Mereka adalah orang-orang terlatih yang memiliki kemampuan khusus dan dibekali dengan kemampuan bela diri yang sangat tinggi.
Ruby akhirnya bisa dibawa pulang dan siap untuk mendapatkan hadiah manis dari Althaf.
Hampir dua jam Ruby tidak sadarkan diri, dengan posisi tubuh berdiri dan kedua tangannya terikat digantung. Di sebuah ruangan khusus Althaf masih menunggu istri keduanya itu sadarkan diri. Tangannya sudah gatal ingin melakukan sesuatu.
“Tuan, tolong batasi diri anda. Jangan sampai kejadian hari ini akan mengganggu anda di masa depan,” ucap Gilbert memperingatkan Althaf
“Tenang saja, saya hanya memberikan pelajaran karena sudah berani membantah perintah saya agar tidak mengganggu Alena. Jika bukan karena investasi ayahnya, hari ini adalah hari terakhirnya bisa menghirup oksigen,” ucap Althaf tenang.
Jangan ditanyakan bagaimana nasib dua orang pelayan tersebut, tentu saja Althaf tidak membiarkan mereka dapat bernapas kembali. Mereka berdua dimasukkan ke dalam sebuah kolam berisikan es dan dibiarkan hingga mereka meregang nyawa. Tak ada satupun yang bisa lolos dari hukuman seorang Althaf.
“Uuugghhhh.”
Terdengar lenguhan dari wanita di depan Althaf, seringai senyuman liar pun seketika muncul di bibir tebal itu. Cambukan yang telah dipersiapkan sejak tadi akhirnya akan segera dipergunakan.
Perlahan Ruby mulai membuka matanya dan mengumpulkan kesadarannya, meskipun belum terlalu jelas namun dia tahu Althaf ada dihadapannya saat ini. Wangi parfum khas milik Althaf meyakinkan Ruby jika suaminya itu ada tepat di depannya.
Mendadak aura dingin dan seluruh rambut halus di permukaan kulitnya berdiri tegak. Pancaran aura pembunuh terlalu kentara dan dapat dirasakan dengan jelas. Nyali Ruby menciut, lidah dan bibirnya seolah kaku tak berucap apapun.
Cetar
Cetar
Bunyi lantai keramik yang beradu dengan ujung tali cambuk, terdengar menggema di ruangan tersebut. Ruby ketakutan setengah mati, tak bisa membayangkan bagaimana perihnya saat cambukan tersebut menyentuh kulitnya yang mulus.
“Ampun.. ampun.. Maafkan aku, Al. Maaf,” ucap Ruby terdengar menyayat hati, namun sayangnya Althaf tak mendengarkannya.
“Aaaahhhkkkk!!” teriak Ruby kesakitan saat Althaf baru saja mengayunkan cambukan itu dengan sangat cepat.
Garis merah panjang langsung tercetak jelas di paha Ruby. Sakit, panas dan perih bercampur menjadi satu, bahkan air mata pun lolos tak tertahan di pelupuk mata. Suara tertawa Althaf pun terdengar begitu nyaring seolah baru saja mendapat suatu kesenangan.
Cetarrrr…
“Aaaahhhkkkk… ampun Al, sakit.. sakit.” Ruby kembali berteriak sedu. Rasa sakit tak tertahan menjalar hingga ke seluruh tubuh. Althaf semakin menikmati wajah Ruby yang menahan rasa sakit.
“Maaf Al, ampun. Ini sakit Al,” rengek Ruby meminta ampun.
“Berisik, suara kamu menyakiti telinga. Sebaiknya saya sumpal mulutmu yang bau sampah ini,” ucap Althaf sambil memasukkan gumpalan kain kedalam mulut Ruby.
Althaf pun melanjutkan penyiksaan terhadap Ruby. Bukan hanya kaki, tetapi hampir sekujur tubuh Ruby mendapatkan cambukan. Tangisan Ruby pun tak menghentikan tindakan Althaf
“Tuan, maaf barusan pihak rumah sakit mengabarkan jika Nyonya…..”
“Alena kenapa? Alena selamat kan? Dia sudah sadar?” seru Althaf bersemangat.
Gilbert menggeleng kepalanya.
“Bukan Tu-tuan. Nyonya…”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!