NovelToon NovelToon

Bukan Tulang Rusuk

Prolog 'Sahabat Cerita'

...Love Story 'Nofiya & Zaenal'...

Happy reading 😘

Mbok De, buruan hapus gambar kodoknya! Geli tau' ... pinta Nofiya pada salah seorang sahabatnya yang tak lain adalah penulis kisah ini. Sebut saja dia ... Ayu.

Nofiya mengetik pesan tersebut dengan mata terpejam, sebab teramat takut sekaligus geli melihat gambar kodok hijau yang dikirim oleh Ayu di group 'Sahabat Cerita'.

Nofiya teramat gemas dan jengkel setiap Ayu menyalurkan hobinya--usil.

Meski sering dibuat gemas dan jengkel, nyatanya Nofiya tidak pernah 'benar-benar' marah pada Ayu.

Entah, ada saja ide Si Ayu untuk mengusili sahabatnya terkasih--Nofiya Hayati.

Sampai terkadang membuat Andrea kesal dan terpaksa mengeluarkan jurus gertakan supaya sahabat yang sering dipanggilnya 'Mantan' itu berhenti mengusili Nofiya.

Tan, buruan hapus gambar kodok nya! Kasihan Si Nyai. Andrea mengetik kalimat titah dan tentu saja ditujukannya pada Ayu.

Namun sebelum kalimat titah itu terkirim, Ayu sudah terlebih dahulu menghapus gambar kodok yang dimaksud oleh Andrea, sebab ia sudah sangat hafal dengan titah yang sering dilayangkan oleh komandan group, Andrea Winata.

Sesuai janji yang telah mereka sepakati tadi pagi, malam ini mereka berkumpul di Group 'Sahabat Cerita' dan saling berbincang melalui vidio call, terkecuali Andrea.

Andrea teramat sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang CEO sekaligus arsitek dan bapak muda. Apalagi sang bidadari hati--Cantika Maharani baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki, putra kedua mereka.

Group Sahabat Cerita, di sinilah tempat tongkrongan Nofiya dan keempat sahabatnya, Andrea, Ayu, Najwa, dan Riri sejak tiga tahun yang lalu setelah perkenalan mereka di aplikasi menulis 'Ntoon'.

Di sinilah tempat mereka berbagi kisah hidup, suka maupun duka.

Di sinilah tempat mereka sharing mengenai berbagai ilmu, terutama ilmu literasi dan dunia pernovelan.

Di sinilah tempat mereka melepas penat setelah seharian bergelut dengan kisah di real life dan di negeri halu.

Meski terpisah jarak yang cukup jauh, tetapi hati dan pikiran mereka saling bertaut.

Nofiya berada di Luar Negeri--Taiwan, Andrea berada di Kalimantan Barat, Ayu berada di Yogyakarta, Najwa berada di Jember, sementara Riri berada di Riau.

Syukur pada Illahi, hubungan persahabatan mereka terjalin hingga saat ini dan semoga sampai di negeri akherat kelak.

"Kak Naj, Mbokde, Dek Ri, aku sambil makan ya," ucap Nofiya sembari mengaduk-aduk Pop Mie Kuah Pedes Dower yang sudah siap dinikmati.

Mie nya terlihat lezat dan sukses membuat Ayu menelan ludah. Ia hanya bisa memandang, tanpa bisa menikmati.

"Dipenake, Nyai!" ujar Ayu dengan logat Jawanya yang khas.

"Iya, Nof. Sambil makan nggak pa-pa." Najwa turut membalas ucapan Nofiya sembari membenahi posisi duduk. Saat ini ia tengah duduk di sofa dengan menyandarkan punggungnya yang terasa pegal karena seharian menjahit.

"Iya, Kak Nof. Tapi sendoknya jangan ikut dimakan ya!" Riri berceloteh.

Seketika Nofiya tersedak mendengar celotehan yang dilontarkan oleh Riri, sehingga membuat Riri dihinggapi rasa sesal karena melontarkan candaan di waktu yang tidak tepat.

Namun saat menyaksikan ekspresi wajah Nofiya yang terlihat lucu, Riri tidak bisa membendung keinginan untuk mengudarakan tawa.

"Ada-ada gajah, Ri. Gara-gara ucapanmu Si Nofi keselek 'kan. Besok-besok kalau dia lagi makan jangan di becandain!" ujar Najwa seraya menegur Riri. Namun diselipi candaan dan membuat Riri seketika menghentikan tawanya yang mengudara.

Gadis manis bermata sipit itu pun lantas meminta maaf pada Nofiya.

"Nggak pa-pa, Dek Ri. Nyai udah terbiasa keselek, apalagi keselek kodok. Eh --" Ayu menyahut permintaan maaf yang diucapkan oleh Riri, lalu buru-buru menutup mulutnya yang sering kali lancang mengucap kata 'kodok', hewan yang paling membuat Nofiya takut dan geli.

Sepasang netra Nofiya membulat sempurna kala mendengar ucapan Ayu. Nafsu makannya pun seketika hilang saat terbayang rupa kodok hijau.

"Mbokdeee, kebiasaan, tuman!" Nofiya terlihat sebal dan kesal. Namun Ayu malah tersenyum nyengir--memperlihatkan deretan giginya yang lumayan putih sambil mengangkat dua jari ke atas.

"Muehhehe, maaf Nyai. Bersyanda."

"Jangan nyebut kodok lagi! Aku gilo tenan lho!"

"Iya, Nyai. Maaf ya! Tadi mulutku khilaf. Buruan, diterusin makannya!"

"Udah nggak nafsu, Mbok! Nanti aja yang nerusin. Lagian laper ku udah hilang."

"Ya udah, kamu mulai cerita aja! Mumpung aku belum ngantuk, oppa sama Kiran juga masih di bawah. Jadi, nggak ada yang gangguin obrolan kita."

"Iya, Nof. Buruan cerita! Aku, Dek Ay, dan Riri sudah siap mendengar ceritamu." Najwa turut bersuara--menimpali ucapan Ayu.

"Baiklah." Nofiya menghirup udara dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.

Kemudian ia mulai bercerita mengenai kisah hidupnya yang sangat pelik.

Bermula dari kisah kasihnya dengan Zaenal yang terjalin di bangku kuliah .....

🍁🍁🍁

Bersambung ....

Assalamu'alaikum, Kakak-Kakak terkasih. Alhamdulillah, kita dipertemukan kembali di kisah Nofiya.

Karya baru yang berjudul 'Bukan Tulang Rusuk' diilhami dari kisah hidup salah seorang sahabat saya yang teramat pelik.

Meski diilhami dari kisah nyata, novel ini dibalut dengan imajinasi, sebab ada beberapa hal yang bersifat privasi.

Semoga tulisan saya kali ini bisa menghibur Kakak-kakak pembaca dan para sahabat, sekaligus sebagai pengobat rindu setelah beberapa purnama kita tidak berjumpa di dunia halu.

Terima kasih dan love sekebon untuk Kakak-kakak yang berkenan memberi dukungan.

Wassalamu'alaikum .... 😊🙏🏻

Bab. 1 Sun

Happy reading 😘

Memang faktanya hidup tak semanis ekspektasi

Kebahagiaan terkadang hadir menyapa diri Namun air mata penderitaan lebih mendominasi

Saat terbelenggu rantai ujian yang tiada bersimpati

Aku terpaksa memilih jalan yang tak terbayangkan selama ini ....

-Nofiya Hayati-

...🌹🌹🌹...

"Baiklah." Nofiya menghirup udara dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.

Kemudian ia mulai bercerita mengenai kisah hidupnya yang sangat pelik.

Bermula dari kisah kasihnya dengan Zaenal yang terjalin di bangku kuliah.

Manis di awal. Namun .....

...🍁🍁🍁...

Sebaris senyum terlukis indah di wajah Zaenal saat Ninja ZX-10R kesayangannya menginjak halaman rumah Nofiya--gadis berparas manis yang telah berhasil menawan hati.

Hati seorang Zaenal Pramudya. Putra tunggal pemilik perusahaan Pramudya Group.

Usai mengumpulkan segenap keberanian, Zaenal mengetuk pintu rumah Nofiya. Ia berharap, Nofiya sendiri yang membuka pintu rumah itu, bukan mama tiri ataupun papanya yang dikenal galak.

Zaenal menahan nafas ketika seseorang membuka pintu dengan perlahan. Terbesit rasa takut jika pintu itu dibuka oleh Ridwan--papa Nofiya.

Seketika Zaenal bernafas lega saat seorang gadis muncul dari balik pintu yang terbuka.

Siapa lagi jika bukan Nofiya, gadis berparas manis dengan kumis tipis yang terhias di wajahnya.

"Zen--" ucap Nofiya tertahan.

Berulang kali ia mengucek kedua mata, lalu mengedip-mengedipkan nya.

Nofiya tidak percaya dengan objek yang dilihatnya saat ini. Dipikirnya, ia sedang bermimpi.

"Fiya," sapa Zaenal disertai senyuman setipis kertas yang terlihat samar. Samar seperti rupa rembulan di malam ini karena tertutup mendung.

"Eng, Zen. Kamu --" Sebelum Nofiya melanjutkan ucapan, Zaenal mengulurkan boneka kelinci berwarna pink yang membawa bantal berbentuk hati ke arahnya, tanpa mengucap sepatah kata.

Sweet ....

Meski tidak ada serangkaian kata yang keluar dari bibir Zaenal, Nofiya tahu maksud kedatangan pemuda itu. Bahkan teramat sangat tahu. Karena dialah yang membuat Zaenal nekat datang ke rumah.

Rupanya, dua hari yang lalu Zaenal menghubungi Nofiya via telepon.

Zaenal bertutur bahwa ia menyukai Nofiya dan menginginkan hubungan mereka lebih dari sekedar teman.

Nofiya tidak lantas percaya, apalagi menerima Zaenal sebagai kekasih. Ia pun menantang Zaenal supaya datang ke rumahnya untuk membuktikan kesungguhan.

Tentu saja Zaenal langsung memenuhi tantangan gadis yang telah menjerat hatinya itu tanpa rasa ragu atau pun rasa takut, karena ia sangat ingin menjadikan Nofiya sebagai kekasih.

Selang dua hari setelah mengumpulkan pundi-pundi keberanian, Zaenal datang ke rumah Nofiya dengan membawa boneka.

Tanpa ia tahu, dari kecil Nofiya tidak menyukai boneka. Terlebih boneka imut berwarna pink seperti boneka yang dibawa oleh Zaenal saat ini.

"Fi, aku beneran datang 'kan. Jadi, gimana?" ucapnya kemudian tanpa basa-basi.

Nofiya menjawab tanya yang terlontar dari bibir Zaenal bukan dengan rangkaian kata. Namun dengan meraih boneka kelinci yang masih setia terulur ke arahnya.

"Yes!" Zaenal bersorak pelan dan melebarkan senyum begitu Nofiya menerima boneka kelinci pemberiannya. Ia teramat yakin bahwa Nofiya telah menerima nya sebagai kekasih atau 'pacar'.

"Fi, makasih ya," Zaenal berbisik tepat di telinga Nofiya sehingga membuat gadis berparas manis itu merinding.

"Makasih untuk apa?" Nofiya berusaha menahan diri dan memasang wajah datar. Seolah ia tidak memahami perkataan Zaenal.

"Makasih, karena kamu mau menerima boneka kelinci dariku."

"Lalu?"

"Itu tandanya, kamu mau jadi pacarku," tegas Zaenal dengan kepercayaan diri tingkat dewa.

"Nggak, Zen. Kamu salah! Aku nggak mau jadi pacar kamu." Nofiya menatap lekat sepasang netra bening pemuda yang masih setia berdiri di hadapannya itu.

Lunglai. Tubuh Zaenal seketika lunglai. Raut wajahnya yang semula terhias binar bahagia kini terlihat pasi dan segumpal daging yang bersemayam di dalam dadanya terasa nyeri. Bahkan teramat nyeri.

Namun, nyeri yang ia rasakan tak seberapa dibanding dengan rasa malu yang tengah menghinggapi.

"Ka-mu serius, Fi?" Suara Zaenal terdengar bergetar. Ia belum siap menerima penolakan yang dituturkan oleh Nofiya.

"Iya, aku serius. Bahkan teramat sangat serius."

"Lalu, kenapa kamu menerima boneka dariku?"

"Karena, boneka ini teramat manis. Manis seperti kamu yang nggak bisa aku abaikan begitu saja." Nofiya menjeda ucapan dan menghirup nafas dalam.

"Zen, aku nggak mau jika sekedar menjadi pacarmu. Tapi, aku mau menjadi wanita yang selalu kamu cinta dan kamu perjuangkan. Bukan menjadi persinggahan sementara, tapi menjadi pelabuhan terakhirmu."

Rangkaian kata yang keluar dari bibir Nofiya bagai hembusan angin surga dan berhasil menyentuh relung rasa.

Wajah Zaenal yang semula terlihat pasi, seketika kembali dihiasi binar bahagia. Bibir yang semula terkatup, seketika melengkung membentuk senyuman. Rasa nyeri yang terasa di ulu hati, seketika hilang tak berbekas.

Dan rasa malu yang sempat menghinggapi diri, seketika terhempas.

Ingin rasanya Zaenal meluapkan bahagia yang tengah dirasa dengan menarik tubuh Nofiya, lalu membawanya ke dalam dekapan dan menghujani wajah bidadari hatinya itu dengan kecupan.

Tapi, Zaenal ragu. Ia takut jika Nofiya marah dan menganggapnya lancang. Zaenal juga takut, jika tiba-tiba Ridwan muncul lalu menyaksikan sang putri tengah dipeluk dan dicium olehnya.

Bisa dipastikan, Ridwan akan menendang dan mengusirnya, dan yang terburuk adalah ... ia gagal menjadikan Nofiya sebagai kekasih karena tidak mendapat restu dari calon mertuanya itu.

Suasana hening yang sejenak tercipta, terpecah oleh suara petir yang menyapa bumi. Seakan, dia cemburu melihat dua anak Adam yang tengah berdiri saling berhadapan, berselimut atmosfer romantis.

"Zen, buruan pulang! Sepertinya, bakal turun hujan lebat." Nofiya meminta Zaenal untuk segera pulang meski sebenarnya ia masih ingin berlama-lama dengan Zaenal.

"Eng, iya Fi. Tapi sebelum aku pulang beri aku --” Zaenal menggantung ucapan, lalu menarik kedua sudut bibirnya. Ia sengaja membuat Nofiya penasaran.

"Kamu mau minta apa, Zen?" Nofiya menarik satu alisnya ke atas dan menatap curiga.

"Minta SUN."

Seketika mata Nofiya membulat sempurna saat mendengar jawaban yang terlontar dari bibir Zaenal.

Bukan kecupan yang ia beri, melainkan injakan kuat yang membuat Zaenal meringis kesakitan.

"Awww, sakit Fi."

"Makanya, jangan minta yang aneh-aneh sebelum kita berlabel halal."

"Iya, Fi. Tadi, aku cuma bercanda. Seandainya beneran di sun juga alhamdulillah."

"Ishhh ...." Satu jitakan mendarat cantik di kepala Zaenal. Bukannya marah atau merintih kesakitan, Zaenal malah tertawa kecil.

Lalu diraihnya tangan Nofiya dan ditatapnya lekat sepasang netra bening milik gadis berparas manis itu. "Fi, kapan aku bisa halalin kamu?"

"Setelah mendapat restu dari papa. Jadi, kamu harus berjuang meluluhkan hati papaku, Zen."

"Aku akan berjuang demi kamu, Fi. Tepatnya, demi kita."

"Makasih ya, Zen."

Zaenal mengulas senyum dan mengacak lembut rikma hitam Nofiya.

"Aku pulang dulu, Fi. Doain aku ya!"

"Doa apa?"

"Doain aku biar nggak dikejar Mbak Kun saat melewati jurang angker."

"Eh, iyaya. Apalagi malam ini Jumat Kliwon --"

Zaenal terkekeh karena candaannya ditanggapi serius oleh Nofiya.

"Udah ah, jangan ngingetin. Bisa-bisa aku numpang tidur di teras rumahmu karena takut pulang."

"Aku kok malah jadi khawatir sama kamu, Zen. Gimana ya?" Nofiya menggigit bibir bawahnya dan tampak berpikir.

"Nggak usah khawatir. Lagian, aku terbiasa berpetualang di hutan. Jadi nggak masalah kalau nanti bertemu Mbak Kun di jurang angker. Mungkin dia hanya menyapa dengan suara tawanya yang teramat khas dan melengking."

"Menakutkan." Nofiya bergidik ngeri.

"Tapi nggak se menakutkan papamu. Eh --"

"Ck, belum jadi menantunya aja udah berani ngatain papaku menakutkan." Nofiya mencebik dan melipat kedua tangannya di depan dada. Seolah ia tidak terima dengan celotehan Zaenal.

"Bercanda, Fi. Maaf ya."

Belum sempat Nofiya membalas ucapan Zaenal, terdengar suara petir menyambar diiringi suara teriakan yang berasal dari dalam rumah.

"Fiya ...."

🍁🍁🍁

Bersambung ....

Bab. 2 Demi Cinta

Happy reading 😘

...Cinta hadir seperti hembusan angin. Ia datang secara tiba-tiba dan dengan lancangnya menyelusup relung rasa. Bahkan terkadang tanpa disertai alasan yang bisa dimengerti....

...🌹🌹🌹...

"Nyai --" Ayu menginterupsi. Ia sengaja memotong cerita yang dituturkan oleh Nofiya karena tergelitik rasa penasaran.

"Apa, Mbokde?"

"Eng, aku pingin tau alasan yang membuat kamu mau menjadi pacar Bang Jae --"

"Kamu penasaran ya?"

"Huum, aku penasaran."

"Aku mau menjadi pacar Bang Jae karena aku salut dengan perjuangannya, Mbok. Bayangin aja, dia rela jauh-jauh datang ke desaku dan melewati jurang yang terkenal sangat angker demi membuktikan kesungguhannya," tutur Nofiya--menjawab rasa penasaran Ayu.

"Malam-malam lho, Mbok. Ditambah lagi hujan deres," imbuhnya.

"Iya juga sih. Lalu, bagaimana perasaanmu terhadap Bang Jae, Nyai? Apa kamu mencintainya?"

"Entahlah, Mbok. Aku nggak tau."

"Loh, kenapa kamu nggak tau?"

"Sebenarnya aku tipe orang yang sulit jatuh cinta, Mbok. Dan aku belum yakin perasaanku terhadap Bang Jae, beneran cinta atau hanya sekedar rasa salut dan kagum."

"Mungkin, kamu beneran cinta sama Bang Jae. Tapi karena suatu hal yang hanya kamu sendiri yang tahu jawabannya, membuat kamu tidak meyakini perasaanmu."

Nofiya mengendikkan bahu, lalu membuang nafas kasar. "Bisa jadi, Mbok."

Mungkin benar, menerima cinta seseorang dan menjadikannya sebagai kekasih terkadang tidak perlu disertai alasan yang detail. Cukup karena rasa salut atau rasa kagum.

"Ogeh, Nyai. Lanjutin ceritamu!"

"Baiklah, Mbok."

Nofiya pun mulai melanjutkan cerita, sementara ketiga sahabatnya kembali menyimak dengan hikmat.

Setiap cerita yang mengalir dari bibir Nofiya, terekam di ingatan Ayu dan kini menjadi kisah yang tertera di lembaran karya.

...🍁🍁🍁...

Nofiya dan Zaenal terperanjat mendengar suara bariton yang berasal dari dalam rumah. Mereka bisa menebak siapa pemilik suara itu. Terlebih Nofiya.

Sepersekian detik, keduanya saling berpandangan dan mematung.

Nge-freeze

"Fiya ...."

Sampai suara bariton itu terdengar lagi dan berhasil membuat mereka berdua tersadar.

"Fi, aku pulang sekarang ya," ucap Zaenal seiring usapan lembut yang ia labuhkan di pundak Nofiya.

Zaenal berusaha tetap tenang, meski rasa takut sudah mendominasi karena suara langkah kaki pemilik suara bariton itu terdengar kian mendekat.

"Iya, Zen. Hati-hati! Sampai di rumah, kabari aku!" Nofiya membalas ucapan Zaenal disertai tatapan lembut yang membuat pemuda itu kian terpesona.

Ah ... andai Nofiya mengijinkan, ingin rasanya Zaenal melabuhkan kecupan singkat di pipi atau di bibir ranum gadis yang kini berstatus sebagai kekasihnya.

Untuk saat ini Zaenal harus bersabar, tentu saja sampai mereka mendapat restu dari Ridwan dan berlabel halal.

Zaenal bergegas menggeber sepeda motor kesayangannya, sementara Nofiya bersegera masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.

"Papa kok belum tidur?" Nofiya sekedar berbasa-basi. Ia lantas berjalan ke arah Ridwan yang kini tengah duduk di kursi tamu sambil memainkan gawai ditangannya.

"Siapa yang bertamu?" Ridwan balik bertanya, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Nofiya.

"Eng, Zen. Teman Fiya, Pa," jawab Nofiya ragu.

"Ada perlu apa dia datang malam-malam?"

"Dia --" Nofiya menggantung ucapannya.

Rasa takut yang saat ini memenuhi ruang pikir membuatnya ragu untuk berterus terang.

"Dia hanya ingin mengantar boneka dari Inul, Pa," jawab Nofiya--berdusta.

Maksud Fiya boneka dari Onal, Pa. Zaenal, ralatnya yang hanya tercetus di dalam hati.

"Kenapa bukan Inul sendiri yang mengantar bonekanya?"

Bak seorang terdakwa, Nofiya kembali dicecar pertanyaan.

"Fiya nggak tau, Pa. Mungkin, karena dia takut datang ke rumah kita. Maksud Fiya, dia takut karena perjalanan menuju rumah kita melewati jurang angker."

Nofiya memilin ujung bajunya dan sedikit menundukkan kepala. Ia teramat takut jika sang papa curiga dan tahu bahwa putrinya itu tengah berbohong, karena selama ini Nofiya tidak pernah berkata dusta. Terlebih pada papanya.

Maafin Fiya, Pa. Fiya terpaksa berbohong.

"Jika benar begitu, lain kali jangan datang malam-malam!" Ridwan berucap pelan. Namun penuh penekanan.

"Baik, Pa. Besok Fiya sampaikan ke Inul dan Zen."

"Ya sudah, segeralah tidur!"

"Iya, Pa. Papa juga segera tidur! Jaga kesehatan Papa."

"Hmm." Balasan singkat yang terdengar seperti dengungan seekor lebah.

Nofiya segera memutar tumit, lalu berjalan menaiki anak tangga menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua.

"Zen, semoga kamu nggak kenapa-napa di jalan," ucapnya lirih sambil memutar kenop pintu kamar.

Saat ini pikiran Nofiya dipenuhi oleh Zaenal. Ia teramat khawatir dan takut jika terjadi sesuatu terhadap pria itu.

Di tempat yang berbeda, Zaenal masih berjuang menerobos air langit yang turun kian deras.

Bulu kuduk Zaenal tiba-tiba berdiri saat kuda besinya melintas di jurang angker. Indera penglihatannya menangkap sesosok wanita bergaun putih tengah duduk di atas pohon sambil menatap sendu.

Wajah wanita itu terlihat muram, kentara sekali jika dia sedang bersedih.

Zaenal berpikir, wanita yang tengah duduk di pohon itu terlihat muram karena tidak ada satu pun makhluk yang peduli atau pun mau menemani kesendiriannya.

Mana ada makhluk yang mau menemani, apalagi manusia sejenis Zaenal?

Menatap wajahnya saja takut, terlebih melihat pakaian yang dikenakan. Sangat mirip dengan seragam dinas Mbak Kun di film horor.

Eh ....

"Jangan-jangan, wanita itu beneran Mbak Kun?" Zaenal bergidik ngeri. Ia bergegas menambah kecepatan kuda besinya, meninggalkan wanita bergaun putih yang tertawa melengking karena melihat Zaenal ketakutan.

"Sial! Kalau bukan demi Cintaku, aku nggak bakal nekat melewati jurang angker, apalagi di malam Jumat Kliwon."

Zaenal terus melajukan kuda besinya, tanpa memedulikan hawa dingin yang kian mendekap erat.

Di dalam kamar bernuansa biru, Nofiya masih terjaga. Matanya serasa enggan terpejam.

Berulang kali ia mengirim chat ke nomor Zaenal. Namun tidak satu pun yang dibalas oleh pemuda itu.

"Zen, kamu di mana? Sudah sampai rumah atau belum? Kenapa, kamu bikin aku khawatir?" monolognya diikuti helaan nafas panjang.

Ting ....

Bunyi pesan yang berasal dari gawai yang masih setia berada di genggaman.

Nofiya segera membaca nama pengirim pesan yang tertera di layar gawai.

'Zaenal Terconal-conal'

Ya, Nofiya menyimpan nomer Zaenal dengan nama yang terkesan unik, nyleneh, menggemaskan, dan lucu. Seperti karakter Zaenal. Meski sering kali Zaenal bermetamorfosa sebagai cowo' cool.

Fi, aku udah sampai rumah

Kedua sudut bibir Nofiya melengkung--membentuk senyuman saat membaca pesan balasan dari Zaenal.

Syukurlah. Kamu nggak kenapa-napa 'kan? ketiknya--membalas pesan.

Gawai Nofiya bergetar diiringi nada dering yang mengalun merdu.

Dengan tangan yang sedikit bergetar, Nofiya menggeser layar gawainya dan menerima vidio call dari Zaenal.

Terpampang wajah Zaenal memenuhi layar gawai dengan senyumnya yang teramat menawan.

Di mata Nofiya, saat ini ketampanan Zaenal bertambah sepuluh kali lipat dari biasanya karena terhias senyuman manis dan rambut yang tampak basah.

Hingga sepersekian detik, sepasang netra beningnya tak berkedip menyaksikan Maha Karya Illahi yang teramat indah.

"Hai, Fi."

Suara Zaenal memecah kaca lamun dan sukses membuat Nofiya tersadar.

"Ha-hai, Zen."

"Kamu belum tidur?"

"Seperti yang sedang kamu lihat. Aku belum tidur."

"Ehem, pasti kamu menunggu balasan pesan dariku. Iya 'kan?"

"PD amat."

Zaenal tertawa kecil, lalu menyandarkan punggungnya pada headbord.

"Kamu beneran nggak kenapa-napa 'kan, Zen?"

"Enggak. Cuma ketemu Mbak Kun yang lagi dinas aja di jurang angker. Kasihan banget nggak ada yang nemenin."

"Ih, beneran? Emang kamu nggak takut?"

"Enggak."

"Masa sih?

"Lagian, Mbak Kun nya nggak begitu nyeremin. Ada yang lebih nyeremin."

"Emang, siapa yang lebih nyeremin?"

"Yang lebih nyeremin, calon papa mertua."

"Sudah kuduga, kamu pasti bakal bilang begitu --"

"Meski terlihat nyeremin, tapi aku yakin beliau sangat baik dan seperti Hello Kity."

"He'em. Sebenernya papaku nggak nyeremin. Hanya saja, beliau itu tegas. Papaku posesif karena beliau sangat menyayangi anak-anaknya."

"Ya, aku juga berpikir seperti itu."

"Udah malam, Zen. Aku ngantuk."

"Aku juga ngantuk, Fi. Tapi aku kedinginan. Pingin dipeluk."

"Minta dipeluk mama-mu lah!"

"Nggak, aku 'kan udah gede. Maunya dipeluk sama Hello Kity-ku."

"Siapa?" Nofiya mengangkat satu alisnya ke atas.

"Kamu."

"Ishhh, emoh."

"Memelukmu di dalam mimpi, Fi. Kita berpeluk dan bercum-bu di bawah naungan sinar Sang Dewi Malam."

"Aish, sok sweet."

"Emang sweet."

"Dah ya, Zen. Buruan tidur."

"Iya, Yang. Sampai ketemu besok di kampus --"

Nofiya menggeser layar gawai dan mengakhiri vidio call, sebelum Zaenal sempat menyelesaikan ucapan.

"Selamat tidur, Zen," bisiknya lembut diiringi seutas senyum yang teramat manis.

Rasa bahagia memenuhi ruang kalbu kala ia teringat ucapan dan perlakuan Zaenal di malam ini.

Dengan senyuman yang masih membingkai wajah, Nofiya memejamkan sepasang netra indahnya dan mulai berlayar ke alam mimpi. Bersamaan dengan Zaenal. Namun di tempat yang berbeda. Kamar masing-masing.

Suara gemericik air langit yang jatuh dari langit dan hembusan sang bayu yang menebar hawa dingin, kian membuat mereka terbuai dan tenggelam di alam mimpi.

🍁🍁🍁

Bersambung ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!