"Ini apa, Mas?" tanya Giana sambil menunjukkan foto yang terpampang di layar ponselnya pada suaminya yang baru saja pulang.
Bukan bermaksud bersikap kurang ajar, hanya saja apa yang ada di foto itu sungguh membuat hati Giana sakit. Hati istri mana yang tak sakit saat melihat foto sang suami sedang merangkul mesra pinggang seorang wanita di sebuah pesta. Sementara ia sejak tadi menunggu kepulangan sang suami hingga tengah malam, tapi ternyata sang suami justru sedang bersenang-senang dengan wanita lain.
"Itu fotoku dan Angel, kenapa?" jawab Herdan acuh tak acuh. Ia melenggang santai melewati Giana begitu saja menuju tangga ke kamar mereka yang ada di lantai dua.
"Kau tanya kenapa? Kalian menjalin hubungan di belakangku?" Bukan bermaksud menuduh, tapi sikap mereka berdua terlihat sangat mesra. Siapapun yang melihat pasti akan sepemikiran dengannya.
"Jangan sembarangan menuduh! Kau tahu bukan dia itu sekretarisku," ketus Herdan kesal.
"Jadi dia sekretarismu? Tapi kenapa kalian bergandengan bermesraan seperti itu? Mas bahkan memeluk pinggangnya seperti sepasang kekasih. Sementara dengan aku saja Mas seakan jijik. Mas hanya menyentuhku saat Mas menginginkan tubuhku saja, tapi selain itu, tak pernah. Seakan aku ini sangat menjijikan di matamu," sahut Giana dengan hati yang rasa berdarah-darah.
Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk terus bertahan dalam ikatan pernikahan yang menyakitkan itu, hanya saja Giana tak ingin membuat ibunya bersedih saat mengetahui pernikahannya yang tidak baik-baik saja. Sudah cukup penderitaan ibunya. Ibunya sudah cukup bekerja keras untuk membesarkannya seorang diri, Giana tak mau menambah beban sang ibu lagi. Oleh sebab itu, pahit getir Giana terima meskipun hatinya harus remuk redam karena sikap suami dan keluarganya.
"Kau lihat, foto itu diambil di pesta pengusaha yang kami hadiri. Setiap tamu diwajibkan datang dengan pasangannya. Dan aku sebagai seorang direktur operasional tentu harus membawa pasangan ke sana."
"Kalau begitu, kenapa kau tidak mengajakku dan justru mengajak sekretarismu itu?" tanya Giana tak habis pikir. Kalau memang harus membawa pasangan, bukankah ia adalah pasangan Herdan, tapi kenapa Herdan justru membawa sekretarisnya? Bukannya ia yang notabene adalah istri sahnya.
"Kau lihat dulu dirimu itu! Pendidikanmu? Apa kau mau aku mempermalukan diriku sendiri saat ada yang bertanya siapa perempuan udik di sampingku? Apa pendidikannya? Pekerjaannya apa? Begitu?" Herdan tersenyum remeh membuat hati Giana hancur bukan main.
Giana sadar diri. Ia hanyalah gadis dari kampung. Pendidikannya hanya sebatas SMA sebab setamatnya SMA ia terpaksa menikah karena kepergok warga sedang berduaan dengan seorang mahasiswa KKN di sebuah gubuk kecil.
Tidak. Mereka tidak melakukan apa-apa. Giana masih tahu batasan dan larangan. Meskipun ia bahagia bukan main saat Herdan saat itu begitu perhatian padanya. Tidak pernah merasakan kasih sayang dan figur seorang ayah sejak kecil membuat Giana begitu bahagia saat ada seorang laki-laki yang begitu perhatian padanya. Apalagi laki-laki itu tampan.
Namun, sore itu hujan turun sangat deras. Ia yang baru saja pulang dari mengambil uang hasil menjual keripik singkong dan kacang goreng yang ia titipkan di warung pun memilih berteduh di gubuk kecil yang ada di pinggir jalan yang cukup sepi. Namun, tanpa ia tahu ternyata Herdan juga ada di sana.
Mereka pun mengobrol sampai hujan sedikit reda. Belum sempat mereka pulang, tiba-tiba sekumpulan warga menuduh mereka melakukan yang tidak-tidak di sana. Lalu, atas desakan warga, mereka pun diminta segera menikah. Tak ada jalan lain untuk meredam amarah warga selain dengan menikah. Alhasil, keesokan paginya mereka pun dinikahkan.
Setelah menikah, Giana diboyong ke kota. Ia awalnya merasa senang sebab sudah lama ia ingin tinggal di kota. Hanya saja, ibunya selalu melarang. Lagipula mereka tidak memiliki keluarga di sana. Belum lagi menurut cerita, mencari pekerjaan di kota tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Terlebih dengan pendidikannya yang hanya lulusan SMA di desa. Sangat susah sekali.
Namun, kebahagiaan itu ternyata hanya bertahan sementara saja. Meskipun saat itu Herdan masih bersikap baik padanya, akan tetapi ibu mertua dan adik iparnya justru bersikap semaunya padanya. Mereka bersikap semena-mena. Bahkan semenjak kedatangannya, mereka memecat pembantu rumah tangga yang dulu bekerja di sana dan meminta dirinya mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga dari mulai memasak, bersih-bersih, mencuci piring dan pakaian mereka, semua ia kerjakan seorang diri.
Meskipun saat itu Herdan tidak pernah membelanya, setidaknya ia tidak bersikap semaunya padanya. Hingga akhirnya, seiring bergulirnya waktu, sikap Herdan perlahan berubah. Apalagi setelah ia bekerja di kantor dan memiliki jabatan cukup tinggi di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang medis–Satya Medika, sikapnya semakin hari semakin berubah. Herdan jadi kasar. Bukan hanya secara verbal, tapi juga fisik. Namun, sebisa mungkin Giana bersabar. Akan tetapi, bila suaminya sudah secara terang-terangan lebih membela perempuan lain, apa yang bisa ia lakukan? Bertahan atau menyerah, Giana belum bisa memutuskan.
"Aku memang tidak cantik, tidak pintar, dan tidak berpendidikan, tapi setidaknya aku masih sadar akan statusku yang merupakan seorang istri, tidak seperti dirimu yang mengaku lajang di luar sana. Apa? Kenapa Mas melotot? Apa yang aku katakan benar, bukan?" Giana menaikan suaranya karena kesal dengan sikap Herdan yang semakin hari semakin menjadi.
"Sepertinya semakin hari kau semakin kurang ajar padaku," sentak Herdan sambil mencengkram rahang Giana. Giana mengerang kesakitan, tapi Herdan tidak peduli. Ia sudah terlanjur emosi dengan Giana yang sudah berani meninggikan suaranya. "Apa karena kau adalah seorang istri jadi kau merasa paling berhak atas diriku? Hei, sadar dirilah! Siapa kau siapa aku sekarang? Kita tidak setara. Kau perhatikan penampilanmu itu ...." Herdan berdecak sambil tersenyum mengejek. "Bahkan penampilan pembantu saja jauh lebih baik dibandingkan ka---"
"Itu karena Mas yang tidak memberikan nafkah yang sesuai padaku. Bagaimana aku bisa mempercantik diri sementara uang yang Mas berikan saja selalu pas-pasan bahkan kurang. Bahkan untuk membeli sekadar pembalut pun aku aaakh ...."
Tiba-tiba Herdan mendorong tubuh Giana kasar hingga terjengkang di lantai. Sakit. Bukan hanya tubuh, tapi hati. Perlakuan Herdan semakin hari semakin kasar dan tidak berperikemanusiaan.
"Kamu tidak terima dengan uang yang aku beri? Kau pikir cari uang itu gampang, hah? Lalu kamu mau minta uang yang gede untuk ubah penampilan kamu? Iya? Udik ya udik aja. Jelek ya jelek aja. Muka kampungan kayak kamu mau dipermak pake bedak seharga satu juta pun tetap nggak akan berubah. Makanya sadar diri. Syukur-syukur aku mau nikahin kamu. Dasar nggak tau diri. Memangnya siapa laki-laki baik-baik yang mau nikah sama anak yang bapaknya aja nggak jelas siapa dan di mana. Jangan-jangan ibu kamu dulu pelacur, makanya sampai nggak tau siapa bapakmu itu. Benar bukan apa yang aku bilang?"
"Diam! Diam, brengsekkk! Kamu boleh caci maki aku, tapi tidak dengan ibuku, Sialan!" teriak Giana yang sudah sampai pada puncak emosinya.
...***...
Hai, hai, hai, akhirnya kisah anaknya Asrul si Semprul rilis juga setelah sekian lama menanti kepastian. 😂
Selamat membaca, ya! Jangan lupa dukungannya dari like, komen, vote, hadiah, dan nonton iklan supaya karya ini nggak tenggelam seperti kisah emak bapaknya.
Thank you yang masih setia membaca karya D'wie. Semoga sehat selalu dan selamat membaca. 🥰🥰🥰
...Happy reading 🥰 🥰 🥰...
"Ini ada apa-apaan sih? Udah malam pake ribut-ribut segala," sela Rahma–ibu kandung Herdan yang tiba-tiba muncul diikuti anak perempuannya–Ratih.
"Pasti kamu yang buat anak saya marah, iya 'kan!" sentak Rahma.
"Suami pulang malam-malam capek, bukannya disambut malah diajak bertengkar. Dasar istri nggak ada akhlak. Gini nih kalo perempuan modelan pembantu yang pendidikannya aja cuma sebatas SMA di kampung, jangankan otak, etikanya aja nggak ada," imbuh Ratih mengejek Giana. Rahma dan Ratih memang sangat membenci Giana. Hal itu karena Giana merupakan perempuan miskin yang berasal dari desa. Padahal mereka berekspektasi kalau Herdan akan menikah dengan orang kaya yang berpendidikan, bukan perempuan udik, miskin, dan tidak berpendidikan seperti Giana.
"Tutup mulutmu! Yang tidak punya akhlak itu sebenarnya siapa? Aku apa kamu? Kamu masih berumur berapa, tapi sudah berani ikut campur urusan orang," balas Giana.
"Urusan orang? Heh, Mbak, Mbak jangan lupa ya, aku itu adiknya Kak Herdan jadi wajar kalau aku ikut campur urusan kalian," balas Ratih tak kalah sengit.
"Kau ...."
"DIAM SEMUA! Dan kau, tutup mulutmu itu kalau tidak mau aku robek!" sentak Herdan yang kini sudah mengacungkan jari telunjuknya di depan wajah Giana.
"Robek, Mas. Robek! Ayo, robek! Kau yang salah, kau yang marah-marah, dasar suami kurang a---"
Sebuah tamparan seketika mengenai pipi Giana hingga telinganya berdenging sakit bahkan ujung bibirnya berdarah.
"Sudahlah. Lebih baik tadi aku tidak pulang kalau tau hanya akan membuat kepalaku pusing seperti ini," seru Herdan kesal. Tanpa memedulikan penampilannya yang tidak karuan, Herdan memilih memutar tubuhnya dan melewati ibu serta adiknya untuk pergi dari sana.
"Huh, syukurin! Dasar, udah udik mandul pula!" ejek Ratih yang tidak iba sama sekali dengan apa yang barusan Giana alami.
"Dasar, menantu tidak tahu diri! Sudah mandul, ngeselin pula. Memang benar kata Ratih tadi, kamu itu memang menantu tidak punya akhlak. Sudah bagus suami masih ingat rumah untuk pulang, tapi kamu malah ajakin berantem." Rahma mengomel, tanpa memedulikan Giana yang masih terpaku di lantai.
Saat semuanya sudah pergi, air mata Giana turun satu persatu. Rasa sakit di fisiknya tidak lebih sakit dari rasa di hatinya. Ia benar-benar sakit. Rasanya ia sudah tak sanggup bertahan, hanya saja bila ia pergi, ia harus pergi ke mana? Sementara ia tidak memiliki tempat pulang selain kampung halaman sang ibu. Ia juga tidak memiliki uang untuk bertahan hidup di luar sana. Sedangkan kebutuhan hidup di kota besar tidaklah sedikit. Mau mencari pekerjaan pun rasanya sulit. Terlebih dengan ijazahnya yang hanya sebatas lulusan SMA di kampung.
Giana tergugu. Ia merintih mempertanyakan kenapa nasibnya semenyakitkan ini?
*
*
*
"Aaargh ...," erang seorang laki-laki yang terbangun dari tidurnya. Laki-laki itu terengah-engah. Nafasnya memburu. Peluh sebesar biji jagung bercucuran di pelipisnya.
Ia memeriksa jam di atas nakas, ternyata baru jam satu malam, tapi entah kenapa ia seakan baru saja bermimpi buruk. Perasaannya tiba-tiba terasa tak tenang. Entah apa alasannya, ia sendiri pun tidak mengerti.
"Sebenarnya aku kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi? Mimpi apa aku barusan? Kenapa mendadak perasaanku tak nyaman? Ada apa ini?" lirih laki-laki itu sambil memegang dadanya yang berdebar kencang.
*
*
*
Tak jauh berbeda dengan yang laki-laki itu alami, seorang wanita yang tadi sempat tertidur setelah melakukan shalat malam tiba-tiba tersentak. Matanya seketika membulat saat merasakan degupan jantungnya yang tidak biasa. Kekhawatiran tiba-tiba melingkupi.
"Gia, kamu kenapa, Nak? Semoga semuanya baik-baik saja. Semoga Allah selalu melindungimu di mana pun kau berada," lirih wanita yang masih memakai mukena itu. Perempuan yang tak lain adalah ibu kandung Giana–Via.
*
*
*
Seorang wanita tampak menggeliat saat mendengar suara bel apartemennya berbunyi. Dengan malas-malasan, ia pun berjalan menuju pintu. Ia melihat dari layar interkom di depan pintu untuk memastikan siapa yang datang. Saat melihat seorang yang tak terduga, senyumnya pun mengembang. Ia pun segera membuka pintu dengan memasang senyum termanisnya.
"Sayang," sapa wanita yang tak lain bernama Angel itu. Dia adalah sekretaris Herdan di kantor. Namun, selain sebagai seorang sekretaris, ia juga merangkap sebagai kekasih Herdan. Herdan yang merasa memiliki jabatan cukup tinggi jelas memerlukan pendamping yang pantas dan setara. Baik secara penampilan, pendidikan, maupun secara intelektual. Herdan merasa ia sangat cocok dengan Angel. Apalagi meskipun Angel termasuk independen women, tapi ia pun bisa bersikap manja dan agresif. Herdan menyukai semua yang ada di dalam diri Angel.
Terbiasa dengan visual yang sempurna di luar membuat Herdan semakin memandang remeh Giana. Apalagi wanita yang sudah menjadi istrinya selama lima tahun itu belum juga memberikannya keturunan. Alhasil, Herdan semakin ilfil dengan Giana.
Dulu memang Herdan jatuh cinta pada Giana pada pandangan pertama karena kecantikannya. Herdan termasuk laki-laki visual. Oleh sebab itu, ia begitu mudah tertarik dengan sesuatu yang indah dan menarik terlebih itu seorang perempuan. Melihat Giana yang berbeda dari perempuan-perempuan yang kerap ia temui membuat Herdan seketika jatuh hati. Hanya dengan kata-kata manisnya, siapa sangka berhasil menjerat Giana. Saat itu, ia merasa senang karena merasa menang sebab ada beberapa temannya yang juga menyukai Giana, tapi ia yang justru berhasil mendapatkan Giana. Apalagi ia juga berhasil menikahinya.
Namun, itu dulu. Tidak dengan sekarang. Perasaan menggebu itu telah sirna berganti dengan rasa muak yang semakin hari justru semakin menjadi. Andai bukan karena larangan ibunya, mungkin sudah lama ia sudah menceraikan Giana. Bukan karena ia kasihan atau sayang pada menantu, tetapi karena mereka membutuhkan tenaga Giana.
"Lumayan 'kan dapat pembantu gratisan. Kalau mau bayar pembantu, udah berapa duit tuh. Mending duitnya kamu kasi ke Mama biar Mama dan adik kamu bisa bersenang-senang ke salon atau sekadar jalan-jalan ke mall."
Itu yang Rahma katakan pada Herdan. Alhasil, Herdan pun membiarkan saja Giana tetap menjadi istrinya. Toh tak ada buruknya. Ia bisa memanfaatkan Giana untuk menyalurkan hasrat biologisnya bila Angel sedang berhalangan dan tidak bisa melayaninya.
Setelah membawa Herdan masuk ke apartemennya, Angel pun segera mengambilkan minum untuk diberikannya pada atasan sekaligus kekasihnya itu. Setelah Herdan minum, barulah ia bertanya ada apa dengan Herdan? Kenapa raut wajahnya terlihat begitu kusut.
"Astaga, istri kamu itu! Udah bener kamu pulang ke rumah, eh malah ditodong pertanyaan ngeselin." Angel menggeleng seraya berdecak. Ia bergelayut manja di lengan Herdan. "Yah, tapi sebenarnya wajar sih. Istri mana yang nggak cemburu liat suaminya jalan dengan perempuan lain terlebih perempuan itu cantik seperti aku." Angel berkata penuh percaya diri seraya terkekeh sendiri.
"Ngomong-ngomong, Giana dapat foto itu dari mana ya? Apa itu kerjaan kamu?" tanya Herdan yang langsung dibalas cengiran oleh Angel.
"Maaf. Aku tuh abisnya cemburu tau nggak sih, Yang. Seharusnya kamu tuh pas anterin tadi nggak usah pulang, eh kamu malah milih pulang. Tapi aku senang, akhirnya kamu milih ke mari." Angel tersenyum lebar sekali. Herdan bukannya marah, ia justru gemas dan mencium bibir Angel.
"Bagaimana kalau kita menikah saja? Jadi aku nggak perlu mondar-mandir lagi? Kita bisa tinggal satu atap bersama, bagaimana?" tanya Herdan.
"Di rumah kamu?"
"Ya, di rumah aku."
"Emangnya mama kamu setuju?"
"Lebih dari setuju malah."
"Terus perempuan itu gimana?"
"Ya nggak gimana-gimana. Paling aku minta pindah kamar. Lumayan 'kan punya pembantu gratis," ucap Herdan tanpa perasaan.
Angel pun mengangguk dengan cepat. Memang inilah yang ia tunggu-tunggu, bisa menikah dengan Herdan–atasan sekaligus kekasihnya itu.
"Ya, aku mau." Merasa senang, Herdan pun segera mencumbu bibir merah Angel dengan begitu menggebu.
...***...
...Happy reading 🥰🤩🤩...
Pagi itu kepala Giana sedang benar-benar sakit. Akan tetapi, Giana tetap berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga suaminya berharap sedikit saja ada secercah sinar harapan agar rumah tangganya bisa kembali utuh dan harmonis. Tidak masalah mertua dan iparnya memperlakukannya kurang baik, asalkan suaminya tetap mendukungnya, maka ia akan berusaha bersabar.
"Kamu ini masak apa sih? Buat nasi goreng aja hambar. Dan ini apa? Kenapa jus jeruk Mama asin gini? Kamu mau meracuni Mama? Iya? Kamu mau Mama hipertensi terus segera mati biar nggak ada yang ngomeli kamu lagi, begitu?" sentak Rahma membuat Giana tercengang. Ia memang sedang sakit kepala, perutnya pun rasa bergejolak, tapi tak mungkin ia sampai tidak bisa membedakan gula dan garam. Kalau nasi goreng yang hambar, mungkin bisa saja karena ia tidak bisa berkonsentrasi saat masak. Tapi kalau untuk jus jeruk yang justru asin, itu sangat aneh. Ibu mertuanya itu memang lebih suka jus jeruknya diberi sedikit gula untuk menetralisir rasa asam, tapi mana mungkin ia tidak bisa membedakan gula dan garam.
"Maaf, Ma. Kepala Gia sedang sakit banget, makanya ...."
"Stop banyak alasan! Dasar menantu tidak becus. Urus diri sendiri tidak becus, urus suami tidak becus, masak pun tidak becus. Jadi kamu bisanya ngapain? Mau disuruh kerja cari duit apalagi ini. Benar-benar menantu nggak guna," bentak Rahma sambil menggebrak meja. Giana meringis menahan perih. Ia sudah tidak memiliki tenaga untuk berdebat. Jadi ia memilih membereskan meja. Sementara Rahma gegas berlalu dari sana. Sedangkan Ratih justru terkekeh dari balik pintu karena berhasil mengerjai kakak iparnya itu.
"Rasain kamu!" bisik Ratih seraya terkekeh.
"Tih, kopi aku mana? Kamu bukannya buatin aku kopi, malah berdiri di situ," seru Rendi–suami Ratih.
"Eh, iya. Maaf, Sayang. Ya udah, aku minta Mbak Gia buatin kopi buat kamu dulu, ya." Ratih pun gegas berlalu menuju dapur. Rendi menggelengkan kepalanya melihat tingkah istrinya yang selalu saja menyuruh kakak iparnya untuk melakukan ini itu. Rendi sudah sering kali menasihati Ratih, tapi Ratih tak pernah mengindahkan setiap perkataan Rendi. Rendi bahkan sudah mengajak Ratih untuk menyewa kontrakan saja agar mereka bisa lebih mandiri, tapi Ratih justru menolak membuat Rendi akhirnya pasrah dengan apa yang hendak Ratih lakukan.
Baru saja Rendi hendak berbalik, tiba-tiba ia mendengar suara kegaduhan di dapur. Rendi pun gegas menuju dapur saat mendengar suara sang istri begitu melengking.
"Ada apa ini?" tanya Rendi. Rahma pun ikut menyusul.
"Ini ada apa lagi sih? Nggak pagi, nggak siang, nggak malam, bahkan tengah malam ada aja keributan. Bisa-bisa Mama darah tinggi kalau kalian begini terus," omel Rahma.
"Sayang, liat, tangan aku jadi melepuh. Itu karena Mbak Giana yang sengaja numpahin kopi panas ke tangan aku. Kayaknya dia marah gara-gara aku minta buatin kopi. Padahal wajar 'kan, dia hidup numpang di sini. Jadi sudah seharusnya dia bekerja untuk rumah ini," adu Ratih membuat Rendi menghela nafas panjang.
Baru saja Rendi hendak membuka suara, suara Rahma sudah lebih dulu terdengar.
"Kamu lagi, kamu lagi. Apa nggak bisa sehari aja nggak butuh kegaduhan di rumah ini, hah?" sentak Rahma memarahi Giana.
"Tapi itu bukan salah aku, Ma. Salah Ratih sendiri. Kopi itu baru saja aku buat, tapi dia langsung merebutnya begitu saja sehingga airnya tumpah mengenai tangannya sendiri," ucap Giana jujur.
"Kamu nyalahin aku? Kamu yang nggak becus kerja malah nyalahin aku. Ma, liat tanganku ... Huhuhu ... perih banget." Ratih merengek seraya menunjukkan permukaan kulit tangannya yang sedikit memerah. Padahal bekas tumpahan kopi itu tidak terlalu besar, tapi Ratih mendramatisir seolah-olah lukanya begitu berat dan menyakitkan.
"Lain kali tak perlu buatin aku kopi lagi kalau kamu cuma bisa memerintah orang lain," ujar Rendi kesal. Tanpa memedulikan rengekan Ratih, Rendi pun segera berlalu dari sana. Ratih berteriak memanggil Rendi, tapi laki-laki itu mengabaikan panggilan Ratih dan memilih segera pergi bekerja.
Kesal karena Rendi pergi begitu saja, Ratih justru melampiaskan kekesalannya pada Giana. Padahal yang salah adalah Ratih. Bahkan sebenarnya tangan Giana pun perih karena Ratih yang sengaja mendorong cangkir ke arah Giana sehingga tangan Giana bukan hanya terpercik, tapi tersiram kopi panas tersebut.
"Semua gara-gara, Mbak. Mbak yang ceroboh, aku yang jadi kena marah Mas Rendi," sentak Ratih.
"Berhenti menyalahkan ku terus, Ratih! Kau sendiri yang ceroboh dan tidak hati-hati, tapi kau justru menyalahkan aku. Lihat, karena ulahmu, tanganku pun terkena air panas. Jadi jangan playing victim karena semua takkan terjadi kalau kamu bisa lebih berhati-hati!" balas Giana kesal.
"Kau ...."
"Ratih, cukup! Sekarang ke depan. Dan kau ... Segera buatkan minum untuk Herdan dan tamu istimewanya. Cepat!" perintah Rahma pada Giana.
"Baik, Ma." Tanpa banyak bertanya apa yang dimaksud ibu mertuanya itu dengan tamu istimewa, Giana pun segera melakukan perintah sang ibu mertua.
Setelah selesai, Giana membawa minuman itu ke ruang tamu. Dahi Giana mengernyit saat melihat seorang wanita duduk tepat di samping suaminya. Bukan hanya itu, ibu mertua dan adik iparnya tampak begitu akrab dengan wanita tersebut. Mereka bercerita sambil tertawa. Herdan pun terlihat ikut menimpali dengan tawa yang begitu renyah. Entah kapan terakhir kali Herdan tertawa seperti itu dengannya, Giana sudah lupa.
Giana membawa minum itu dengan jantung yang berdebar kencang. Ia menghidangkan minum itu sambil berharap salah satu dari mereka mau mengenalkan siapa wanita itu. Giana tidak mengenalnya, tapi entah kenapa ia begitu familiar.
Wanita yang tak lain adalah Angel itu pun tersenyum ke arah Giana. Seketika Giana teringat dengan foto-foto yang dikirimkan kepadanya. Meskipun dari jarak cukup jauh, tapi Giana kini bisa mengenalinya dengan jelas.
"Halo, Kakak Madu, perkenalkan aku Angel, calon istri kedua suamimu. Salam kenal." Angel memperkenalkan diri sambil tersenyum tipis.
Sontak saja, jantung Giana bagai diremas tangan-tangan tak kasat mata. Giana menoleh ke arah sang suami, berharap mendengar kata-kata penyangkalan darinya. Tapi, Herdan justru tampak santai sekali. Ia bahkan tidak menyangkal sama sekali membuat mata Giana sontak memerah.
"Mas, dia ...."
"Apa yang Angel katakan benar. Dia adalah calon istriku. Kami akan segera menikah."
"Tapi Mas ...."
"Tidak ada penolakan, Gia. Terima tidak terima, keputusanku sudah bulat, aku akan segera menikahi Angel. Titik," tegas Herdan tanpa perasaan sama sekali.
Jelas saja, kata-kata Herdan itu meremukkan hati Giana. Nampan yang tadi berada di tangan, reflek jatuh. Dengan hati yang hancur berkeping-keping, Giana pun segera berlari menuju kamarnya.
...Happy reading 🥰🥰🥰...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!