"Kenapa kamu berhenti bekerja? Kamu sudah mendapat pekerjaan yang bagus dengan gaji yang tinggi di perusahaan besar Jepang, tapi kamu sia-siakan! Percuma kamu kuliah di luar negeri jika akhirnya kembali ke sini. Gaji di sini tidak bisa diandalkan."
Nasi yang ada di mulut Aira seolah sulit sekali dia telan. Dia sedang makan malam tapi ibunya terus memarahinya. Dadanya terasa sesak setiap kali mendapat tuntutan dari orang tuanya. Setelah lulus kuliah, dia sudah bekerja selama lima tahun di Jepang, tapi gajinya sudah habis untuk orang tua dan adiknya.
"Kamu tahu kan, adik kamu masih kuliah semester empat. Masih butuh biaya. Uang semester ini juga harus segera dibayar. Usaha Ayah kamu juga lagi sepi!"
Aira memukul meja cukup keras. Dia anak pertama, tapi mengapa dia yang harus menanggung semuanya. "Ibu, mengapa selalu menuntutku? Aku sudah belajar keras agar aku mendapat beasiswa. Aku juga sudah berusaha keras untuk terus bekerja selama lima tahun. Aku beri apa yang Ibu minta. Harusnya Ibu bertanya mengapa aku berhenti bekerja, bukan memarahiku seperti ini."
Kemudian Aira berdiri dan melangkah ke kamarnya.
"Terus apa rencana kamu selanjutnya di sini? Sudah satu minggu kamu hanya di rumah." Rika masih saja menekan putrinya. Tanpa dia mengerti bagaimana perasaan Aira.
"Aku akan cari kerja. Kalau tidak ada uang buat bayar semester, Yudha suruh kerja. Selama ini dia cuma main saja," kata Aira. Kemudian dia masuk ke dalam kamarnya. Dia menyandarkan punggungnya di pintu. Suara mereka semua masih terdengar jelas di telinganya.
"Kak Aira saja yang sudah malas kerja! Dia ingin menganggur di rumah."
"Ibu tidak akan biarkan dia menganggur!"
"Kalau dia tidak mau mencari pekerjaan, biar Ayah jodohkan saja sama Bang Toni."
Perlahan Aira beringsut ke lantai. Dia menangis tanpa suara. Dadanya terasa sangat sesak.
Seharusnya aku tidak pulang ke rumah ini.
Dada Aira semakin sesak, bahkan dia hampir tidak bisa bernapas. Dia merangkak dan membuka laci mejanya untuk mengambil botol obatnya. Dia mengambil sebutir obat penenang itu lalu menelannya.
"Sampai kapan aku harus bergantung sama obat ini!" Aira melempar botol obat plastik itu. Kemudian dia menangkup kepalanya di tepi ranjang. Dia menangis sesenggukan sendirian. Hingga beberapa saat kemudian, dia mulai tenang.
Seharusnya keluarga menjadi tempatku bersandar di saat lelah, menjadi tempatku mengadu di saat sedih, dan menjadi tempatku berlindung. Tapi, tidak aku temukan semua itu di keluarga ini. Apa aku bukan anak kandung ibu?
Aira mengusap air matanya. Dia bangkit dan duduk di meja kerjanya. Dia membuka laptop dan berusaha mencari lowongan pekerjaan di beberapa situs.
"Aku tidak boleh nyerah. Aku harus segera dapatkan pekerjaan tapi aku tidak mau lagi dimanfaatkan."
Tekad Aira sudah bulat. Dia segera mencari pekerjaan sesuai dengan kualifikasinya. "Ada beberapa lowongan di perusahaan besar. Sebagai sekretaris dan staf keuangan. Aku akan mencoba kirim lamaran lewat e-mail."
Aira segera menyiapkan semua filenya lalu mengetik lamaran pekerjaan itu dan mengirim ke e-mail masing-masing. Sekarang dia hanya tinggal menunggu panggilan interview.
"Aku melakukan ini untuk diriku sendiri. Bukan untuk Ibu, Ayah, apalagi Yudha!"
...***...
Aira menatap layar laptopnya. Dia mencoba mengirim lamaran lagi ke beberapa perusahaan. Sudah satu minggu berlalu tapi belum juga ada panggilan interview satupun.
"Kamu siap-siap, kita makan malam di luar. Kita belum merayakan kepulangan kamu."
Aira mengernyitkan dahinya mendengar hal itu. Merayakan kepulangan? Hal itu terdengar aneh karena kedua orang tuanya selama dua minggu ini dia di rumah sama sekali tidak senang padanya. "Tidak perlu. Aku di rumah saja."
"Aira, kamu sendiri kan yang bilang kalau kita tidak menyayangi kamu seperti anak kandung sendiri. Kamu anak kandung Ibu, jangan pernah memiliki pikiran seperti itu." Rika membuka lemari putrinya lalu memilih gaun berwarna biru muda. "Kamu pakai ini. Kita tunggu di bawah." Setelah meletakkan gaun itu di atas ranjang, Rika keluar dari kamar putrinya.
Aira berdiri dan mengambil gaun itu. Dia semakin curiga pada ibunya. "Kalau nanti terbukti ada maksud yang tersembunyi, aku akan kabur," gumam Aira.
Akhirnya dia mengganti pakaiannya dengan gaun itu dan memoles wajahnya dengan make up natural. Setelah selesai, dia memasukkan ponsel, dompet, dan botol obat yang selalu dia bawa kemanapun dia pergi. Dia melangkah keluar dari kamarnya dan melihat kedua orang tuanya yang sudah bersiap di ruang tamu.
"Ayo, keburu malam." Fadil keluar dari rumah lalu membuka pintu mobil untuk anak dan istrinya.
Setelah mereka semua masuk ke dalam mobil, Fadil segera melajukan mobilnya menuju sebuah restoran. Beberapa saat kemudian, mobil itu berhenti di tempat parkir sebuah restoran yang cukup mewah. Mereka segera turun dari mobil dan masuk ke dalam restoran mewah itu.
Perasaan Aira semakin tidak enak. Dia bersiap kabur jika memang dugaannya benar.
Banar saja, seorang pria sedang menunggu kedatangan mereka di meja yang sudah dipesan.
"Sudah menunggu lama?" tanya Fadil basa-basi.
"Belum, silakan duduk."
Rika menahan tangan Aira dan menyuruhnya duduk di dekatnya.
Aira terus meremat tangannya sendiri. Dia berusaha menenangkan dirinya agar tidak sampai sesak napas karena dia harus kabur dari tempat itu.
"Aira, semakin cantik," kata Toni dengan tatapan yang membuat Aira ngeri. "Jadi bagaimana kalau kita percepat saja rencana pernikahan aku dan Aira. Aku akan berikan modal besar untuk usaha kamu."
Aira melebarkan kedua matanya. Dia menatap kesal mereka semua. "Bang Toni kan sudah punya istri dan anak!"
"Meskipun kamu jadi yang kedua, tapi kamu akan aku utamakan. Kamu tidak perlu bekerja, semua keinginan kamu akan aku turuti."
"Tidak! Sampai kapanpun aku tidak mau menikah sama pria tua dan beristri!" kata Aira dengan keras yang memancing perhatian pelanggan lain di restoran itu.
"Aira, kamu sudah 27 tahun dan sekarang kamu sudah tidak bekerja. Hanya ini satu-satunya yang bisa Ibu harapkan dari kamu. Ibu sudah mengandung kamu selama sembilan bulan dan melahirkan kamu, kamu harus membalas semua itu."
Aira menatap nanar ibunya. Air mata itu sudah terbendung di pelupuk matanya. Dia menarik tangannya dengan kuat hingga terlepas lalu berlari keluar dari restoran itu.
"Aira!" Toni dan Fadil segera mengejar Aira.
Aira terus berlari tanpa menoleh ke belakang. Dia melewati jalan sempit lalu menuju jalan yang gelap. Dia tidak tahu harus berlari kemana. Hingga akhirnya dia melihat segerombolan anak motor. Dia menghentikan langkah kakinya.
"Aira!"
Tapi panggilan itu semakin mendekat. Akhirnya Aira mendekati salah satu dari mereka yang sedang duduk di atas motor. Dia memeluk pria itu. "Tolong aku," bisik Aira dengan suara yang bergetar, sebelum akhirnya dia mencium bibir pria itu.
"Aira, apa yang kamu lakukan!"
"Butuh tantangan agar hidup ini tidak membosankan." Antares memakai celana sobek-sobeknya dan jaket kulit berwarna hitam lalu keluar kamarnya sambil membawa helm full face.
"Ares, umur kamu sudah hampir 30 tahun. Kamu mulai keluyuran malam lagi?" Shena menghentikan langkah putranya.
Antares mantan idola terkenal yang kini menjabat CEO, merasa hidupnya sangat membosankan setelah mengalami patah hati berulang pada orang yang sama. Sejak dia bergabung dengan anak motor lagi, hidupnya sudah tidak membosankan. Apalagi saat dia menguasai jalanan dan beradu balap dengan anak motor yang lebih muda darinya. Energi darah muda dan semangat itu seolah ikut mengalir di dirinya. "Mama tenang saja, aku akan jaga diri. Aku bosan kalau setiap hari harus mengurus pekerjaan."
"Makanya cari istri biar tidak bosan. Jangan main-main begini, nanti siapa yang mau sama kamu."
Antares memegang bahu mamanya. Dia menatap kedua mata itu untuk mengurangi rasa khawatir yang tersirat. "Mama, kalau sudah waktunya nanti, aku pasti akan menemukan jodoh. Siapa tahu, aku menemukan jodohku di jalan." Antares tertawa lalu berjalan meninggalkan mamanya keluar dari rumah. Dia memakai helmnya, lalu menaiki motor sport berwarna hitam. Beberapa saat kemudian motor itu segera melaju meninggalkan halaman rumahnya.
Antares semakin menambah kecepatan laju motornya. Meskipun teman-temannya saat SMA dulu sudah tidak ada di geng motornya kali ini, dia cukup bergabung dengan geng motor yang sering menjaga keamanan di jalan. Mereka dari berbagai kalangan dan latar yang berbeda.
Antares menghentikan motornya di dekat pertigaan, dimana ada pohon besar yang cukup sepi. Di kawasan itu rawan begal sehingga mereka berjaga di tempat itu. Dia melepas helmnya dan menatap teman-temannya.
"Pak Ares, sudah datang," kata Miko yang masih berstatus mahasiswa itu.
Antares menepuk bahu Miko. "Jangan panggil, Pak." Antares menjagrak motornya lalu duduk miring sambil menatap teman-temannya. "Minggu depan kita adakan balapan. Hadiahnya lebih besar dari kemarin."
"Siap bos!"
Antares mengambil sebatang rokok lalu melempar sisanya pada teman-temannya. Dia menyulut rokok itu sambil membayangkan masa depan yang entah seperti apa. Hidupnya sangat sukses sejak SMA, mantan atlet renang, mantan idol, dan sekarang seorang CEO tapi dia tidak beruntung soal wanita. Dia belum juga menemukan wanita yang benar-benar membuatnya jatuh cinta sedalam-dalamnya lagi setelah kehilangan Adara.
Tiba-tiba ada suara langkah kaki yang begitu cepat mendekat. Antares melihat seorang wanita yang berlari ke arahnya dan tiba-tiba memeluknya hingga membuat rokok itu terjatuh dari tangannya dan buru-buru diinjak oleh Miko.
"Tolong aku," bisik wanita itu dengan suara yang bergetar.
Belum juga menjawab, tiba-tiba wanita itu menempelkan bibirnya. Antares melebarkan kedua matanya saat bibir itu saling bersentuhan.
"Aira, apa yang kamu lakukan!" teriak Fadil sambil menarik Aira agar melepas pelukannya pada pria yang dia anggap berandal itu.
Antares turun dari motornya. Dia merasa wanita itu sedang dalam bahaya. "Ada apa?"
"Ayah, aku tidak mau dijodohkan. Aku sudah punya pacar." Aira menarik lengan Antares. "Dia pacarku, jauh lebih macho dan keren daripada pria tua itu."
"Apa kamu bilang?" Toni mendekat dan menarik tangan Aira dengan paksa. "Apa yang kamu harapkan sama pria berandal seperti dia! Aku bisa memberi kamu segalanya! Bahkan usaha Ayah kamu akan aman."
"Setidaknya dia bukan pria beristri seperti kamu!"
"Aira, jangan macam-macam! Pulang sekarang!" bentak Fadil.
Aira semakin mencengkeram lengan Antares pertanda dia sangat ketakutan.
Antares memberi kode pada teman-temannya agar berdiri. Mereka mendekati Fadil dan Toni.
"Mau macam-macam dengan pacar bos kita? Kita tidak akan tinggal diam." Miko dan teman lainnya mengepalkan tangannya.
"Aira! Kalau kamu lebih memilih dia, lebih baik kamu tidak usah pulang! Pantas kamu jadi pembangkang, pergaulan kamu sudah bebas." Kemudian Fadil dan Toni pergi dari tempat itu karena mereka merasa takut dengan ancaman mereka.
Aira melepas tangan Antares dan bernapas lega. "Terima kasih sudah menolong," kata Aira. Dia akan pergi tapi Antares menahannya.
"Terima kasih? Sebenarnya aku tidak tahu yang salah siapa? Kedua orang itu atau kamu."
Aira menatap kesal Antares. "Jelas mereka yang salah. Tapi kalau kamu tidak percaya, tidak apa-apa."
"Kamu juga salah! Kenapa kamu tiba-tiba menciumku?"
Aira menggaruk tengkuk lehernya. Dia juga tidak mengeti mengapa gerak reflek itu justru mencium bibirnya. Sepertinya dia terpengaruh adegan di beberapa drama yang pernah dia lihat. "Cuma reflek aja. Biar lebih meyakinkan. Lagian, bibir kamu juga bau rokok!"
Kemudian Aira pergi meninggalkan Antares begitu saja.
Antares hanya berdengus kesal. Dia melihat Aira yang berjalan pelan menuju taman.
"Ngapain dia malam-malam ke tempat itu?" gumam Antares.
"Susulin aja. Lumayan cewek cantik bro. Daripada nanti jadi perjaka tua."
"Sial lo! Di sana gelap, gue cuma mau mastiin dia aman." Kemudian Antares berjalan masuk ke taman itu. Dia hanya melihat wanita itu dari kejauhan.
Aira duduk di tepi kolam sambil memandang ikan koi yang berenang dan sesekali terlihat bersinar karena cahaya bulan.
"Kamu jangan pulang ke rumah!"
"Apa Ayah mengusirku? Ibu dan Ayah baik padaku saat aku punya banyak uang tapi saat aku tidak punya apa-apa, mereka justru akan menjualku. Rasanya sakit sekali." Perlahan air mata itu menetes. Dia semakin menundukkan kepalanya. Lagi-lagi rasa sesak itu seperti mencekiknya.
Aira segera mengambil botol obatnya tapi saat dia membuka botol itu, obat yang hanya tinggal tiga biji itu jatuh ke kolam. "Yah, jatuh!" Aira mengulurkan tangannya ke kolam untuk meraih obat yang belum tenggelam sepenuhnya itu. Dia hampir saja terjatuh jika Antares tidak menahannya tepat waktu.
"Kolam itu dalam! Kamu mau ambil apa?"
Aira mendorong Antares dengan keras. Dia kini terduduk di rerumputan sambil menekan dadanya..
"Kamu kenapa? Kamu sakit? Aku antar ke rumah sakit," kata Antares dengan khawatir karena melihat wanita itu yang kesulitan untuk bernapas.
Aira menggelengkan kepalanya. Keringat dingin semakin membasahi pelipisnya. Tubuhnya terasa lemas karena dadanya terasa sesak.
"Obat itu," kata Aira pelan.
Antares segera mengambil botol obat yang tergeletak di pinggir kolam. "Ini ada, obatnya tinggal satu." Dia mengulurkan obat itu pada Aira.
Aira segera mengambilnya dan menelannya. Bahkan dia sudah ahli menelan obat tanpa air putih.
"Sebentar aku belikan air."
"Tidak perlu." Aira menangkup kakinya sendiri dan menatap kosong.
Antares hanya berdiri di belakangnya. Dia membaca label yang tertera pada botol obat itu. Seberat apa masalah yang dia hadapi sampai dia butuh obat penenang seperti ini?
💗💗💗
Komen dong. 😌
Antares masih duduk diam-diam di belakang Aira. Dia hanya ingin memastikan wanita itu baik-baik saja karena sepertinya mentalnya sedang terguncang.
Aira menarik napas panjang dan membuangnya. Dia berdiri dan menoleh ke belakang. Dia terkejut melihat Antares yang masih duduk dengan santai menatapnya. "Kenapa kamu ada di sini? Jangan-jangan kamu juga orang jahat! Kamu mau apa?"
"Orang jahat? Aku cuma mastiin, kamu gak bunuh diri di sini. Takutnya tempat ini jadi angker. Tempat nongkrong aku ada di sini, jangan sampai diganggu arwah gentayangan," kata Antares sambil tersenyum kecil. Dia sengaja menggoda Aira agar perasaan Aira lega setelah marah-marah padanya.
Aira menggembungkan pipinya. Dia mengambil tasnya yang jatuh di tanah. "Bunuh diri? Aku gak mungkin bunuh diri di sini."
Antares tersenyum miring. Dia berdiri dan mendekati Aira. "Terus kamu mau bunuh diri dimana? Kabari aku kalau butuh bantuan. Aku bisa mempercepat prosesnya." Antares menunjuk botol obat yang sedari tadi dia genggam. "Obat penenang yang digunakan untuk orang gangguan mental."
"Kamu pikir, aku gila!"
"Orang waras, gak mungkin kecanduan dengan obat ini."
Aira mengambil botol itu dengan paksa. Dia berjalan jenjang meninggalkan Antares. "Kalau aku gila, gak mungkin aku dapat beasiswa sampai S2 dan bekerja di perusahaan besar di Jepang," gumam Aira yang bisa didengar oleh Antares.
"Wow, mengejutkan sekali prestasi kamu." Antares masih saja mengikuti Aira.
Aira menghentikan langkah kakinya. Baru kali ini dia bertemu dengan pria menyebalkan. "Kenapa kamu ngikutin aku?"
"Kami mau kemana? Kan tadi kamu sudah tidak boleh pulang sama ayah kamu."
"Terserah aku mau kemana!"
"Tidak tahu terima kasih." Antares memakai helmnya lalu menaiki motornya. "Ayo, aku antar."
Aira tidak mengiyakannya. Dia justru berjalan di pinggir jalan yang sepi.
"Dia keras kepala sekali. Ini sudah malam, bahaya jalan sendiri seperti itu." Antares meminjam helm pada temannya lalu melajukan motornya pelan di samping Aira "Ayo! Di depan sana ada anak motor dari geng lain. Nanti kamu diculik!"
"Biar sekalian aku dibunuh."
"Ya udah, ayo, aku bunuh sekalian."
Aira menghentikan langkah kakinya dan semakin menatap kesal Antares. "Bukan kamu!"
Beberapa saat kemudian ponsel Aira berbunyi. Dia mengambil ponsel itu di tasnya. Dia menatap panggilan dari ibunya. Rasanya malas sekali dia mengangkatnya.
"Ibu kamu pasti khawatir. Angkat saja," kata Antares. Dia sengaja melihat nama yang tertera di layar ponsel Aira.
Aira akhirnya mengangkat panggilan itu.
"Aira, dimana kamu? Kenapa sampai sekarang belum pulang?"
"Ayah tidak bolehin aku pulang."
"Cepat pulang dan bawa pacar kamu yang katanya anak berandal itu. Ibu tahu, pasti itu akal-akalan kamu saja kan. Mana mungkin kamu kenal anak geng motor."
"Iya, aku akan pulang sendiri. Ngapain aku bawa pacarku ke rumah. Aku tidak mau Ibu bicara yang tidak-tidak. Apalagi membahas pekerjaan atau kekayaannya. Sudah cukup Ibu ikut campur dengan hubunganku dan Rizal dulu hingga akhirnya kita putus."
"Kamu saja yang bodoh tidak mempertahankan pria royal kayak Rizal."
Aira menutup panggilan itu lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas. Kemudian dia menatap Antares yang masih setia menunggunya di atas motor.
"Aku butuh bantuan kamu. Nanti kalau aku sudah dapat pekerjaan dan gajian, aku akan bayar kamu."
Antares tersenyum miring. "Apa?"
"Kamu pura-pura jadi pacarku, lalu nanti kamu bilang kalau kamu ketua geng motor dan siapapun yang berani merebut aku dari kamu akan berurusan dengan geng motor kamu."
Antares tertawa cukup keras. "Aku? Menjatuhkan harga diriku hanya demi kamu! Asal kamu tahu, aku bergabung dengan geng motor bukan untuk menakuti orang. Kamu pulang saja! Ibu kamu pasti menunggu kamu dan lebih baik kamu jadi istri kedua saja lalu kuras habis seluruh hartanya. Ide yang bagus bukan? Kamu tenang, orang tua kamu senang."
Aira menatap Antares dengan kesal. Dia tak bergerak sama sekali hanya meremat tangannya sendiri.
Melihat ekspresi itu, Antares khawatir anxiety-nya akan kambuh lagi. "Ya udah, ayo! Kamu gak perlu bayar," kata Antares akhirnya mengalah. Dia menarik tangan Aira agar tersadar dari rasa kesalnya. "Kamu jangan terlalu larut dengan emosi kamu sendiri. Kontrol emosi, apa kamu mau bergantung sama obat itu selamanya."
Aira menarik napas panjang dan membuangnya.
"Kamu naik. Aku akan hilangkan stres kamu. Kamu teriak saja sepuasnya." Antares memberikan helm untuk Aira.
Aira memakai helm itu. Kemudian dia naik ke boncengan Antares.
"Nama kamu siapa?" tanya Antares sambil menoleh Aira.
"Aira."
"Oke, aku Ares. Kalau takut jatuh, kamu pegangan, aku ngebut."
Aira memegang jaket Antares. Ini pengalaman pertamanya dibonceng anak motor. Tanpa aba-aba, Antares tancap gas dan melaju dengan kencang.
Angin malam yang menerpa wajahnya membuat Aira merasa segar. Beban pikiran yang menggunung seperti menguar begitu saja. Dia juga berteriak sepuasnya melawan suara angin.
Antares tersenyum kecil mendengar teriakan Aira. Setelah mengajak berputar-putar di jalan yang sepi dan menjadikannya seperti arena balap, Antares memelankan laju motornya. "Rumah kamu dimana?" tanya Antares sambil sesekali menoleh Aira.
"Ke jalan Panjaitan, lurus saja, ada pertigaan belok kanan."
Antares menganggukkan kepalanya. Dia memelankan laju motornya saat berada di jalan raya. Setelah lurus dan belok kanan, dia memasuki kawasan perumahan.
"Blok apa?"
"Blok B, no. 11."
Antares berbelok ke blok B dan mencari rumah nomor 11. Dia kini menghentikan motornya di depan rumah nomor 11 itu.
Kemudian Aira turun dari motor Antares dan melepas helmnya. "Makasih ya."
Antares kini melihat kedua orang tua Aira yang mendekatinya. Dia melepas helmnya dan turun dari motor. Dengan penampilannya yang sekarang, kedua orang tua Aira tidak mungkin mengenali bahwa dia mantan idol dan sekarang seorang CEO di perusahaan besar.
"Aira, kamu masuk!" suruh Rika pada putrinya.
Aira menoleh Antares sesaat dan memberinya kode agar melakukan apa yang dia bilang sebelumnya.
"Kamu masuk, kita mau bicara."
Antares hanya menganggukkan kepalanya. Dia menahan tawanya melihat ekspresi marah kedua orang tua Aira. Dia tidak menyangka, ternyata ada orang tua yang memanfaatkan anaknya hingga anaknya depresi.
Antares duduk dengan santai. Dia tidak akan menunjukkan kesopanannya pada kedua orang tua Aira.
"Apa kamu memang pacarnya Aira?" tanya Rika. Dia duduk berdampingan dengan suaminya.
"Iya. Aira, wanita yang hebat. Pantas menjadi pasangan ketua geng motor." Antares tersenyum miring. Aktingnya sudah pasti meyakinkan sebagai mantan aktor papan atas.
"Ketua geng motor? Apa pekerjaan kamu?"
Antares memajukan dirinya dan menatap orang tua Aira secara bergantian. "Om dan tante tenang saja, Aira tidak akan kelaparan bersamaku dan batin dia juga tidak akan tertekan. Dia akan menikmati kebebasan yang sebenarnya."
"Maksudnya, gaji kamu hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari? Jangan-jangan uang itu hasil dari kamu malak."
Antares tersenyum miring dan tatapannya tajam seperti ingin menerkam kedua orang tua Aira.
Rika menelan salivanya sambil menyenggol suaminya. "Iya, lebih baik kamu pulang saja."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!