Langit tampak kelabu saat Han Zekki melangkah memasuki wilayah sekte-sekte besar. Gerimis tipis menyentuh kulitnya yang dingin, tapi dia tidak memedulikan itu. Sudah terlalu sering dia menyaksikan kekerasan dan keserakahan di dunia kultivasi. Bukan hal yang mengejutkan, namun tetap saja membuatnya merasa muak. Sambil mengenakan jubah lusuh berwarna cokelat gelap, Zekki mesnyembunyikan auranya dengan rapat, hanya tampak seperti kultivator tingkat Penempaan Dasar—kultivasi paling rendah di dunia ini.
"Entahlah… rasanya aneh," pikirnya dalam hati. Sudah lama dia tak menginjakkan kakinya di tempat ramai. Sejak mencapai tingkatan Supreme Surgawi, ia menghabiskan sebagian besar waktunya dalam pengasingan, merenungi arti kekuatan dan apa yang akan dia lakukan dengan kemampuan yang diberikan padanya.
Namun kali ini, ada tujuan yang berbeda. Ia datang untuk mengamati, mengukur kekuatan sekte-sekte besar yang telah lama menindas yang lemah, dan mungkin... menyusun rencana. Rencana untuk menciptakan dunia baru, sekte baru, tempat di mana mereka yang terbuang bisa belajar tanpa tekanan.
Saat melangkah lebih jauh, tiba-tiba telinganya menangkap suara keributan dari arah pasar desa. Dia berhenti sejenak, menghela napas. "Kita mulai lagi..." gumamnya, dengan nada lesu. Meski sudah sering ia temui, adegan seperti ini tetap membuatnya tak nyaman. Dengan langkah tenang, ia menghampiri kerumunan.
Di tengah-tengah pasar, tampak seorang pria paruh baya terjatuh, tubuhnya gemetar sambil memohon pada seorang kultivator berpakaian jubah biru dengan lambang Sekte Langit Timur. Pria itu tampak lemah, wajahnya penuh luka lebam.
"Aku mohon... jangan ambil semuanya. Ini... ini satu-satunya yang tersisa untuk keluargaku," pinta pria itu dengan suara parau.
Kultivator muda dari Sekte Langit Timur itu tersenyum sinis, tatapannya merendahkan. "Heh, kau pikir aku peduli pada keluarga rendahan sepertimu? Kau harusnya merasa beruntung aku hanya mengambil ini. Kalau bukan karena belas kasihanku, nyawamu mungkin sudah melayang!"
Zekki mengerutkan kening, dadanya bergejolak. Ketidakadilan ini begitu nyata di depan matanya, namun tak ada satu pun dari orang-orang di sekitar yang berani melawan. Mereka semua hanya menunduk, takut pada kekuatan dan status sekte besar itu.
"Tsk… sama saja di mana-mana," batinnya dengan kecewa. Meski enggan terlibat, ada sesuatu dalam dirinya yang mendesak untuk bertindak. Akhirnya, ia maju mendekat dengan langkah santai, memasang wajah tak peduli.
Kultivator dari Sekte Langit Timur itu menyadari kehadirannya dan melirik dengan tatapan penuh kecurigaan. "Hei! Kau... siapa kau berani mendekat seperti itu?"
Han Zekki tidak langsung menjawab. Dia hanya tersenyum tipis, dengan mata yang tampak tenang namun tajam. "Hm... kau terlalu bising untuk seseorang yang menyebut dirinya kultivator. Kau membuat telingaku sakit," jawabnya datar, nyaris seperti gumaman, namun cukup keras untuk didengar oleh semua orang di sekitarnya.
Kerumunan yang awalnya diam sontak menahan napas. Mereka tak menyangka ada seseorang yang berani berbicara begitu santai pada kultivator Sekte Langit Timur. Kultivator muda itu terlihat marah. Dia menghentakkan kakinya dan menghunus pedangnya.
"Kau mencari mati, bocah rendahan!"
Zekki hanya mendesah pelan, seolah tak terkesan sama sekali. "Aku? Mencari mati? Entahlah... rasanya sih kau yang datang dengan niat buruk," katanya sambil tersenyum kecil.
Mata kultivator itu menyipit, lalu ia menerjang dengan serangan penuh amarah. "Mampus kau!"
Dalam sepersekian detik, Zekki mengangkat tangannya perlahan, dan seberkas cahaya gelap samar muncul di ujung jarinya. Dia menggunakan Void Slash, meskipun hanya sebagian kecil kekuatannya, cukup untuk membuat sang kultivator terkejut.
Tiba-tiba, ruang di antara mereka seperti terkoyak, dan dalam sekejap, serangan pedang dari kultivator Sekte Langit Timur itu terhenti. Tanpa disadari, bilah pedangnya telah terpotong rapi di tengah-tengah, dan sisa tebasannya menghilang seolah ditelan oleh kehampaan.
"Apa... apa yang terjadi?!" Kultivator itu mundur beberapa langkah, wajahnya berubah pucat.
Zekki menatapnya dengan tatapan dingin. "Seranganmu terlalu kasar. Kau takkan bisa menyentuhku dengan keahlian setingkat itu," katanya ringan, seolah-olah baru saja mengomentari cuaca.
Di sekeliling mereka, orang-orang mulai berbisik-bisik. Mereka bingung, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan. Seorang pria berpenampilan sederhana, yang terlihat seperti kultivator kelas rendah, berhasil menaklukkan anggota Sekte Langit Timur tanpa berkeringat.
Kultivator muda itu, masih terkejut, berusaha menyusun kembali keberaniannya. "Kau... kau pikir bisa lolos setelah mempermalukan Sekte Langit Timur?! Akan kubuat kau menyesal!"
Zekki mengangkat bahu, tampak tidak peduli. Namun di dalam hatinya, ia tahu bahwa tindakannya ini mungkin akan menarik perhatian yang tidak diinginkan. "Ya, ya. Kau bisa mencoba," jawabnya dingin.
Kultivator itu kembali menyerang, namun kali ini, Zekki memutuskan untuk tidak membiarkan lawannya bergerak lebih jauh. Dengan gerakan tangan yang nyaris tak terlihat, ia membuka celah kecil di ruang di sebelahnya, memanggil bayangan hitam yang tiba-tiba muncul dari kehampaan.
Sebuah monster tingkat Soldier, dengan tubuh besar dan berwujud menyeramkan, muncul di hadapan kultivator Sekte Langit Timur. Matanya berkilat merah, siap menghancurkan apapun yang ada di hadapannya.
"W-waa... apa ini?!" Kultivator itu mundur ketakutan, wajahnya pucat pasi.
Monster itu menggeram pelan, mengeluarkan suara rendah yang membuat tanah di sekitarnya bergetar. Zekki memberi perintah hanya dengan tatapan matanya, dan monster itu maju mendekati kultivator yang sekarang gemetar ketakutan.
"Aku... aku mohon... ampun!" pria itu akhirnya jatuh berlutut, kehilangan semua keberaniannya. "Tolong... aku hanya mengikuti perintah!"
Han Zekki menatapnya tanpa ekspresi. "Kau tahu... kadang aku merasa orang seperti kau inilah yang paling merusak dunia ini. Kalian seenaknya menindas yang lemah, dan begitu merasa terancam, langsung memohon ampun."
Pria itu hanya bisa menunduk, gemetar ketakutan.
Akhirnya, Zekki menarik kembali monster itu ke dalam celah dimensi. Kerumunan yang menyaksikan adegan tersebut mulai bergemuruh, ada yang tampak kagum, ada pula yang tampak ketakutan. Mereka tahu bahwa pria sederhana di depan mereka ini bukanlah kultivator biasa.
Sebelum pergi, Zekki menatap pria paruh baya yang tadi ditindas. "Ambil kembali barang-barangmu, Pak Tua. Dan lain kali, jangan terlalu mudah menyerah."
Pria tua itu tampak terkejut. Namun, ia hanya bisa menunduk dalam rasa terima kasih, tidak tahu harus berkata apa. "T-terima kasih... terima kasih, Tuan," ujarnya terbata-bata.
Zekki mengangguk kecil, lalu berbalik meninggalkan kerumunan. "Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan hanya dengan menindas sesama," gumamnya pelan, lebih untuk dirinya sendiri.
Saat berjalan menjauh dari keramaian, bayangan masa lalu melintas di benaknya. Saat itu, ketika ia masih muda dan lemah, ia pun pernah berada di posisi pria tua tadi—dilecehkan, dipandang rendah, dan ditindas tanpa daya. Tapi sekarang, semua itu sudah berbeda. Sekarang ia memiliki kekuatan, dan ia tahu bahwa kekuatan ini harus digunakan untuk sesuatu yang lebih besar.
"Mungkin... sudah waktunya untuk mulai," pikirnya, dengan tekad yang semakin kuat di dalam hati. Tujuannya jelas: membangun sekte yang tidak terjebak oleh keegoisan dan politik busuk. Dan ini hanyalah awal dari perjalanan panjang yang akan ia tempuh.
Langkah Han Zekki perlahan meninggalkan pasar setelah kejadian barusan. Pikirannya masih bergelut dengan rasa tidak puas. Bukan pada kultivator yang sudah ia kalahkan, tetapi pada sistem sekte-sekte besar yang terasa begitu… merusak.
Ia menarik napas panjang, memperhatikan sekitar sambil berjalan menyusuri jalanan berdebu desa kecil ini. Desa Qing, begitu tertulis di papan kayu yang sudah kusam. Suasana desa begitu sunyi, hanya terdengar beberapa suara tawa anak-anak di kejauhan. "Entahlah," gumamnya dalam hati, "mungkin ada harapan juga di dunia ini, kalau anak-anak kecil itu bisa tertawa di tengah kekacauan."
Namun, lamunannya segera buyar ketika terdengar suara gaduh tak jauh dari sana.
Di depan sana, di bawah pohon besar yang sudah mulai menggugurkan daunnya, seorang gadis muda tengah dikelilingi oleh tiga pria. Mereka semua mengenakan jubah khas Sekte Langit Timur. Wajah mereka penuh kesombongan dan mata mereka menatap gadis itu dengan pandangan yang... entah, Zekki benci melihatnya.
"Hei, kau pikir bisa menolak kami begitu saja?" Salah satu dari pria itu menatap gadis muda itu dengan seringai licik. Gadis itu—yang kemudian Zekki tahu bernama Yuna—mengerutkan alisnya, tetapi tidak mundur sedikit pun.
"Aku sudah bilang, aku tidak akan ikut campur urusan kotor kalian," jawab Yuna, suaranya dingin tapi tegas.
Zekki mengangkat sebelah alis. Keberanian gadis itu sedikit menarik perhatiannya. "Huh... mungkin dia bukan kultivator biasa," pikirnya, sambil berdiri di balik pohon dan mengamati dari kejauhan. Ia ingin tahu bagaimana situasinya akan berkembang. Terkadang, ada baiknya untuk menahan diri dan melihat bagaimana orang lain menyelesaikan masalah mereka.
Namun, pria yang berdiri paling depan semakin marah. Ia melangkah maju, menghunus pedangnya dengan gerakan yang serampangan. "Jangan sok kuat, Yuna. Kami bisa membawamu sekarang kalau kami mau!"
Zekki mendengus kecil, hampir tidak terdengar. "Ini lagi. Selalu pakai kekuatan untuk memaksa kehendak mereka," gumamnya. Mungkin ini saatnya untuk campur tangan, pikirnya. Lagipula, siapa tahu, mungkin gadis ini bisa jadi sekutu yang berguna. Tapi sebelum bergerak, ia melihat ekspresi Yuna yang tiba-tiba berubah tajam. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat tangannya ke arah pria-pria itu.
Seketika, sebuah cahaya lembut berwarna hijau muncul di telapak tangannya. Itu bukan serangan, tetapi lebih seperti... perlindungan. Cahaya itu melingkupi tubuhnya, seperti perisai tipis yang memancarkan aura damai. Melihat itu, pria-pria dari Sekte Langit Timur justru tertawa.
"Heh, kau pikir cahaya itu bisa melindungimu?" salah satu dari mereka mengejek sambil melangkah maju. "Jangan harap!"
Zekki hampir tertawa. "Konyol. Mereka bahkan tidak tahu apa yang sedang dihadapi," pikirnya sambil menggelengkan kepala. Setelah beberapa detik mempertimbangkan, akhirnya ia memutuskan untuk turun tangan. Langkahnya pelan, tapi sorot matanya tajam mengarah pada pria-pria itu.
"Hei," panggil Zekki, suaranya tidak keras, tapi penuh penekanan. "Kalian sepertinya tidak bisa membedakan mana urusan kalian, mana yang bukan."
Pria-pria itu menoleh, terkejut. Mereka melihat sosok Han Zekki yang sederhana, dengan pakaian lusuh dan tanpa aura kultivasi yang mencolok. Salah satu dari mereka, yang tampaknya paling tinggi di antara yang lain, mendengus. "Siapa kau, pengemis rendahan? Berani-beraninya bicara begitu pada kami!"
Zekki menatap mereka tanpa ekspresi. "Oh, pengemis, ya?" Dia nyaris tertawa mendengar ejekan itu. "Kalau begitu, anggap saja aku pengemis yang bosan melihat kalian pamer kekuatan di depan orang yang tidak berminat."
Pria itu tampak tersinggung, wajahnya memerah. Ia mengangkat pedangnya, mengarahkannya pada Zekki. "Kau mencari mati, ya?"
Zekki hanya mengangkat bahu. "Boleh saja kau coba, tapi aku rasa... kau mungkin akan menyesal."
Pria itu menerjang dengan cepat, mengayunkan pedangnya langsung ke arah Zekki. Dalam sekejap, Zekki menggerakkan jarinya, dan membuka celah kecil di udara—Void Slash dalam skala mini.
Dengan cepat, pedang pria itu terbelah dua tanpa ia sadari. Pria itu terkejut, melihat setengah pedangnya jatuh ke tanah, hancur berkeping-keping.
"Apa... apa yang kau lakukan?" Pria itu mundur beberapa langkah, wajahnya mulai pucat.
Zekki menghela napas, menatapnya dingin. "Aku? Tidak banyak. Hanya memberi sedikit pelajaran."
Melihat rekannya kalah, dua pria lainnya segera mundur, tatapan mereka ketakutan. Salah satu dari mereka berbisik, "Kita harus pergi dari sini. Orang ini... dia bukan kultivator biasa!"
Akhirnya, ketiganya melarikan diri tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan Zekki dan Yuna di tengah jalan yang sekarang sepi.
Yuna, yang sedari tadi berdiri di belakang, menatap Zekki dengan tatapan ingin tahu. "Terima kasih," katanya, suaranya pelan tapi penuh rasa terima kasih. Namun, ada sedikit keraguan di matanya. "Aku belum pernah melihatmu di sekitar sini. Kau... bukan dari sekte besar, kan?"
Zekki hanya tersenyum kecil. "Bukan. Sekte besar bukan tempatku, kurasa."
Yuna mengangguk, seolah-olah mengerti. Ada rasa penasaran yang muncul di wajahnya, tapi ia menahannya. Sebagai gantinya, ia bertanya, "Kenapa kau membantu? Maksudku, tidak ada yang biasanya peduli di tempat ini."
Zekki menghela napas, lalu mengangkat bahu. "Entahlah, mungkin aku hanya bosan melihat ketidakadilan. Atau mungkin karena aku memang tidak suka melihat orang sok kuat menindas yang lemah."
Mendengar itu, Yuna tersenyum kecil. Ada secercah kehangatan dalam senyumannya yang sederhana. "Aku juga berpikir begitu," katanya pelan, nyaris seperti gumaman.
Beberapa saat mereka hanya berdiri di sana, dalam keheningan. Zekki sempat berpikir untuk pergi begitu saja, tapi sebelum ia sempat melangkah, Yuna berbicara lagi.
"Namaku Yuna," katanya dengan suara yang lebih ceria. "Aku... murid dari Sekte Langit Timur, meski kurasa mereka lebih banyak bikin masalah daripada membantu."
Zekki sedikit terkejut mendengar itu. Murid dari Sekte Langit Timur? Lalu kenapa dia bisa begitu berbeda dari murid-murid lain yang ia temui? "Namaku Han Zekki," jawabnya singkat, sambil mengangguk.
Mata Yuna sedikit membesar mendengar namanya. "Zekki... nama yang cukup unik."
Zekki hanya tertawa kecil. "Ya, mungkin begitu."
Mereka berdua terdiam lagi. Yuna tampak ingin bertanya sesuatu, tapi ragu. Sementara itu, Zekki melihat ekspresinya yang penuh kebingungan dan akhirnya memutuskan untuk memecah keheningan.
"Kenapa? Kau tampaknya ingin mengatakan sesuatu?" tanyanya sambil menatap Yuna dengan sedikit senyum.
Yuna akhirnya menghela napas, lalu berkata, "Aku hanya... penasaran. Kau punya kekuatan yang cukup besar, tapi kenapa berpakaian seperti itu dan tidak menunjukkan auramu? Kau bisa saja menjadi bagian dari sekte besar kalau mau, tapi..."
Zekki menatap langit sejenak, seolah mencari jawaban yang sulit dijelaskan. "Sekte besar bukanlah tujuan hidupku. Lagipula, kekuatan tanpa tujuan hanya akan menimbulkan masalah."
Yuna terdiam, mengangguk setuju. "Aku rasa kau benar." Pandangannya melembut, dan ada sedikit ketenangan dalam tatapan matanya. "Kau tahu, aku sering bertanya-tanya hal yang sama. Apa sebenarnya tujuan dari semua ini… kultivasi, kekuatan, dan... semua persaingan ini. Kadang, rasanya semua hanya membuang-buang waktu."
Zekki tersenyum tipis. "Aku juga pernah berpikir begitu. Tapi sekarang, aku tahu. Ada sesuatu yang lebih besar yang perlu kulakukan."
Yuna menatapnya, seolah ingin tahu lebih jauh, tapi ia tahu percuma bertanya. Ada sesuatu yang misterius dari pria ini, dan dia tidak akan membuka dirinya dengan mudah.
Setelah beberapa saat, Zekki melangkah pergi, tapi sebelum ia terlalu jauh, Yuna berseru, "Kalau suatu saat aku membutuhkan bantuanmu lagi... apakah kau akan ada di sini?"
Zekki berhenti, menoleh sedikit, senyum tipis di bibirnya. "Siapa tahu? Mungkin aku ada, mungkin juga tidak. Tapi kurasa, kau tidak butuh bantuan, Yuna. Kau cukup kuat untuk melindungi dirimu sendiri."
Dan dengan itu, Zekki melangkah pergi, meninggalkan Yuna yang masih berdiri, menatap punggungnya yang semakin jauh.
Sore itu, matahari sudah hampir tenggelam, menyisakan warna keemasan yang menghangatkan langit. Han Zekki berjalan pelan di jalan setapak menuju pinggiran desa. Langkahnya terasa ringan, tapi pikirannya masih bergemuruh. Entah kenapa, pertemuannya dengan Yuna tadi… meninggalkan kesan yang aneh di hatinya. Ada rasa kagum terhadap keberanian gadis itu, tapi juga sedikit kekhawatiran. Kenapa seorang murid Sekte Langit Timur bisa punya pikiran begitu bebas dan tidak terpengaruh oleh ambisi sekitarnya?
Zekki menghela napas pelan, lalu tertawa kecil. "Aneh, ya," gumamnya sambil menendang kerikil di depannya. "Aku bahkan tidak kenal dekat dengannya, tapi sudah mikir sejauh ini, huft...."
Ia tidak sadar, dari balik pohon besar, ada sekelompok pria memperhatikannya dengan sorot mata tajam. Wajah-wajah yang dikenalnya: para murid Sekte Langit Timur yang sebelumnya ia hadapi di desa. Namun kali ini, mereka tidak datang sendiri. Bersama mereka, berdiri seorang pria yang lebih tua dengan tatapan dingin, mengenakan jubah biru dengan lambang Sekte Langit Timur di dada.
Zhao Feng, salah satu pengawal tingkat tinggi sekte, berdiri dengan tangan bersilang di dada, menatap Zekki seolah-olah dia adalah serangga yang siap diinjak. "Jadi, ini bocah yang membuat masalah tadi?" tanyanya dengan nada meremehkan.
Salah satu murid yang tadi kalah dari Zekki mengangguk cepat. "Iya, Tuan Zhao! Dia… dia mempermalukan kami! Memotong pedang kami dengan teknik aneh yang… yang bahkan tidak bisa kami lihat!"
Zekki menghentikan langkahnya, lalu mendongak sedikit, tatapannya tetap tenang. "Ah, aku sepertinya punya tamu," gumamnya pelan, tapi cukup keras untuk didengar oleh mereka.
Zhao Feng tersenyum sinis, langkahnya pelan tapi tegas menuju ke arah Zekki. "Kau berani mengganggu urusan Sekte Langit Timur, bocah? Kau tahu konsekuensinya?"
Zekki hanya mengangkat bahu, wajahnya tetap datar. "Konsekuensi, ya? Aku kira kalian yang suka cari-cari masalah, bukannya aku."
Zhao Feng tampak terkejut mendengar jawaban santai itu, tapi ia langsung menyembunyikan keterkejutannya dengan tawa keras yang berlebihan. "Kau sombong sekali bocah! Tingkat kultivasimu bahkan hanya setara Penempaan Dasar, dan kau berani melawan kami? Hahaha..."
Zekki mendengus pelan. Entahlah, tapi situasi ini jadi terasa menggelikan baginya. Tentu saja dia bisa menunjukkan kekuatannya yang sebenarnya, tapi itu akan terlalu mencolok. Bagaimanapun juga, dia masih ingin tetap bersembunyi, menyamar sebagai kultivator biasa.
"Hahh… Percayalah, aku nggak tertarik mencari masalah sama kalian," jawabnya sambil mengangkat kedua tangannya, seolah-olah menunjukkan sikap damai. "Tapi kalau kalian memang mau bertarung, ya… aku rasa kita bisa selesaikan ini di sini."
Mata Zhao Feng menyipit, dan ia menggeram. "Baik, bocah. Kau yang minta ini. Aku akan memberimu pelajaran, supaya kau tahu tempatmu!"
Zekki hanya berdiri di sana, tenang, bahkan sedikit tersenyum kecil. Dalam hatinya, dia sudah memperhitungkan segala kemungkinan. "Entahlah… rasanya mereka akan menyesal," pikirnya.
Tanpa basa-basi lagi, Zhao Feng menerjang ke arahnya, mengerahkan energi angin yang berputar mengelilingi pedangnya. Serangannya cepat, benar-benar cepat—angin di sekitar Zhao Feng berputar begitu deras hingga menimbulkan suara desing yang tajam, siap membelah apapun yang ada di depannya.
Namun, tepat ketika pedang itu hampir menyentuh tubuh Zekki, ia hanya mengangkat tangannya perlahan dan menciptakan celah kecil di udara di depannya—Void Slash.
Waktu terasa seolah berhenti. Cahaya gelap menyebar dari celah itu, memotong udara dan menciptakan retakan kecil dalam dimensi. Dalam sekejap, pedang Zhao Feng terbelah menjadi dua bagian sempurna, sementara energi angin yang ia lepaskan terhisap ke dalam celah tersebut, seolah-olah lenyap begitu saja.
Ekspresi Zhao Feng berubah dari percaya diri menjadi panik. Ia terhuyung mundur, menatap pedangnya yang sekarang tak lagi utuh. "A… apa ini?! Apa yang baru saja kau lakukan?"
Zekki menatapnya, wajahnya tetap tenang. "Itu hanya sedikit trik kecil. Kau terlalu berisik, jadi aku pikir… aku harus memberimu pelajaran soal ketenangan."
Zhao Feng menelan ludah. Tangan yang memegang pedangnya mulai gemetar, dan ia merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Dia berusaha tetap tenang, tapi dalam hatinya dia tahu, orang di depannya ini bukan kultivator biasa. Dia baru saja menggunakan teknik yang bahkan tidak bisa dijelaskan dalam dunia kultivasi yang ia pahami.
"Kau… kau bukan Penempaan Dasar, bukan?" tanyanya dengan nada takut yang tidak bisa ia sembunyikan.
Zekki tersenyum tipis, tapi tidak menjawab. Dalam pikirannya, ia mulai mempertimbangkan, apakah ia perlu membuat pria ini tidak sadarkan diri untuk menjaga rahasianya tetap aman? Namun sebelum ia sempat mengambil keputusan, suara lain tiba-tiba terdengar dari belakang.
"Han Zekki!" teriak suara itu.
Zekki menoleh dan melihat Yuna berlari mendekat. Wajahnya terlihat cemas, matanya berkilat penuh emosi. "Kau baik-baik saja?" tanyanya dengan napas yang sedikit terengah.
Zekki mengangguk. "Ya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit… gangguan kecil." Ia melirik sekilas ke arah Zhao Feng yang masih mematung.
Melihat kehadiran Yuna, Zhao Feng tampak sedikit tersadar. Ia menggertakkan giginya, lalu mundur dengan wajah penuh amarah yang ditahan. "Baiklah… kau menang kali ini, bocah. Tapi ingat, ini belum berakhir!"
Zhao Feng berbalik, memberikan isyarat pada anak buahnya untuk pergi. Mereka semua mundur dengan ekspresi ketakutan, tapi Zekki bisa merasakan dendam yang tersisa dalam pandangan mereka. "Biarkan saja," pikirnya. "Mereka tidak tahu apa yang mereka hadapi."
Begitu Zhao Feng dan anak buahnya menghilang dari pandangan, Yuna menghela napas lega, lalu menatap Zekki dengan sorot penuh kekhawatiran.
"Kenapa kau selalu cari masalah, sih?" tanyanya sambil menggelengkan kepala. "Kau tahu, mereka itu bukan tipe orang yang akan melupakan ini begitu saja. Mereka pasti akan kembali dengan lebih banyak orang."
Zekki tertawa kecil, seolah-olah hal itu bukan masalah besar. "Entahlah… mungkin aku memang agak terlalu senang bikin masalah," jawabnya dengan nada bercanda, meski dalam hatinya dia tahu bahwa keputusan untuk berkonfrontasi tadi bukanlah tanpa alasan.
Yuna menatapnya, mencoba mencari jawaban di wajahnya. "Kau ini… aneh sekali. Orang lain pasti akan berusaha menghindar dari masalah, tapi kau malah seolah… menikmati situasi ini."
Zekki menggaruk kepalanya sambil tertawa kecil. "Mungkin. Atau mungkin juga aku hanya tidak suka melihat orang-orang sombong sok berkuasa. Mereka pikir mereka bisa menginjak-injak orang lain hanya karena mereka punya kekuatan sedikit lebih tinggi."
Mata Yuna melembut. Dia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara pandang Zekki. Sebagian besar kultivator yang ia kenal, terutama di Sekte Langit Timur, hanya peduli pada kekuasaan dan keegoisan masing-masing. Tapi pria ini… dia terlihat seperti seseorang yang punya prinsip, meski caranya menyampaikan itu agak tidak biasa.
"Apa kau… pernah mengalami sesuatu yang buruk di masa lalu, sehingga kau punya pemikiran seperti ini?" Yuna bertanya hati-hati, takut menyentuh topik yang mungkin sensitif.
Zekki terdiam sejenak, lalu menatap ke arah langit senja yang semakin gelap. Kilasan kenangan masa lalu berkelebat di benaknya—masa ketika dia masih muda, lemah, dan hanya bisa pasrah ketika dipermainkan oleh orang-orang yang lebih kuat.
"Aku rasa, semua orang punya masa lalu," jawabnya pelan. "Beberapa hal memang mengubah cara kita melihat dunia… dan mungkin, membuat kita ingin mengubah dunia itu sendiri."
Yuna menatapnya, ada kehangatan dalam tatapannya. Ia merasa mengerti, meskipun Zekki tidak mengatakan banyak. "Aku mengerti," katanya, lalu tersenyum kecil. "Kalau begitu, aku harap kau berhasil dengan perubahan yang kau inginkan."
Zekki hanya tersenyum, lalu menepuk bahu Yuna ringan. "Kau juga. Berhati-hatilah. Dunia ini tidak seindah yang kita bayangkan."
Yuna tertawa kecil, meski ada sedikit kepedihan dalam tawa itu. "Ya, aku sudah mulai menyadarinya."
Mereka berdiri di sana, dalam keheningan yang penuh pengertian. Meskipun mereka baru saja bertemu, ada semacam ikatan yang terbentuk di antara mereka, sebuah pemahaman tanpa kata-kata.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!