Sebuah bus memasuki terminal pedesaan. Setelah bus berhenti, seseorang turun dari sana, ia adalah Ardi, seorang pemuda dengan tas di bahunya yang turun dari bus asal kota. Ardi tampak sangat kelelahan walaupun waktu masih menunjukan sekitar pukul delapan pagi. Sebab ia telah melewati perjalanan jauh semalaman menuju tempat itu. Tiba-tiba ponsel dari sakunya, berbunyi, yaitu sebuah smartphone yang sudah mulai tampak ketinggalan jaman. Ardi mengangkatnya.
“Ya pak, saya baru saja sampai pak. Saya tahu.. saya akan dapatkan beritanya. Sebenarnya ongkos ini sangat pas-pasan pak..”
“Eh ini tahun 2006 ya! Bahkan sebenarnya untuk wartawan magang seperti kamu, saya seharusnya tidak memberi kamu ongkos sepeserpun. Karena saya tertarik dengan cerita kamu tentang pastor itu makanya saya kasih kamu kesempatan untuk jadi penulis utama di bagaian softnews majalah kita minggu ini. Ingat, kalau kamu tidak berhasil mendapatkan profil pastor itu, saya tidak bisa menjamin kamu terlalu lama di perusahaan ini. ini adalah tulisan pertama kamu. Seharusnya ini bisa menentukan karir kamu selanjutnya.” Ancam bosnya, Pak Hanif.
Ardi menghelah nafasnya. Ia mengurut dadanya sambil mulutnya tampak komat-kamit beristigfar.
“Baik pak, saya mengerti..” ujar Ardi kemudian menutup teleponnya.
Ardi adalah seorang wartawan magang disalah satu perusahaan media di Ibu kota. Masih muda dan wajahnya cukup tampan. Walaupun saat itu wajahnya juga berkeringat dan tampak kelelahan. Ia sejenak tampak terdiam diantara keramaian terminal itu. Ardi kemudian merogoh sakunya, mengambil sebuah catatan kertas berisi sebuah alamat. Setelah melihatnya, ia membawa pergi catatan tersebut ditangannya. Orang-orang lalu lalang didekatnya. Ardi mencegat seorang pedagang asongan pria yang lewat didepannya.
“Permisi, kalo mau ke alamat ini saya harus naik apa ya mas?”
Pria itu melihat ke catatan yang ditunjukan oleh Ardi,
“Akh.. kalau mau kesini cukup jauh mas. Mendingan mas rental mobil sama supirnya aja kesana. Dipertigaan ini ada rental mobil, mas kesana aja dan liatin alamat ini.” ujar si pedagang asongan.
“Wah, terima kasih mas. Mari…” Balas Ardi kemudian menuju ke pertigaan.
***
Sampai dipertigaan, Ardi memang menemukan sebuah rental mobil. Tepatnya sebuah rental mobil tua, Dan semua mobilnya tampak tua. Ardi kemudian mulai memilih mobil mana yang akan digunakannya. Pemilik rental melihati Ardi dengan seksama.
“Yang ini aja mas.” Ujar Ardi
“Yang itu Rp 700.000,- saja”
“Mahal sekali..” protes Ardi.
“Saya tidak bisa kasih murah mas. Ke desa hulu itu jauh, jalannya juga jelek. Lagian kalo mas mau yang murah, pake yang ini saja.” Tunjuk pemilik rental pada sebuah mobil berwarna coklat tua dan jelek. Dipandangnya mobil jelek itu oleh Ardi, wajahnya tampak berpikir.
“Kalo pakai mobil itu biayanya berapa?"
“Rp500.000 saja, sudah dengan sopirnya”
Ardi merogoh dompetnya. Didalam dompetnya masih tersisa beberapa lembar lagi dan memberikan sejumlah uang yang diminta pemilik rental.
***
Mobil tua melaju walaupun tidak kencang. Ardi berada di dalam mobil kapsul tua sewaannya, menuju ke sebuah desa kecil yang bernama desa hulu. Perjalanan jauh, matahari terik, dan jalanan yang gersang, serta mobil tua yang panas membuat Ardi semakin gerah dan kepanasan untuk bertahan berada didalam mobil sewaannya. Ardi mengeluarkan sapu tangan, mengelap leher dan wajahnya. Tiba-tiba mobil mendadak jalan tersendat-sendat lama-kelamaan mobil berhenti berjalan.
“Ada apa mas?” Tanya Ardi pada sopirnya.
“Biasa mas mobil tua. Sebentar ya mas..” ujar sopir kemudian segera keluar memeriksa mesin. Ardi menunggu di dalam. Wajahnya tampak semakin lelah, ia merebahkan kepalanya ke jok mobil. Setelah cukup lama dalam perbaikannya, mobil itu dapat berjalan lagi, lalu mereka melanjutkan perjalanan dengan mobil tua itu.
***
Akhirnya sampai juga Ardi di desa hulu. Ardi melihat jam di tangannya dan ia tersenyum. Ia tetap datang tepat waktu walaupun mengalami banyak hambatan. Ardi keluar dari mobil jelek itu dan melihat sebuah gereja tua di depannya. Dengan langkah yang pelan ia berjalan menuju gereja. Di depan gereja terdapat patung-patung menghiasi halaman gereja. Ardi melihatinya dengan seksama sambil terus melewatinya perlahan.
***
Sesaat saja Ardi telah tiba di depan pintu gereja.
Matanya melihati sekeliling isinya. Gereja itu cukup besar ternyata.
“Permisi? permisi? Ada orang disini?”Ardi mencoba memanggil-manggil seseorang dari pintu gereja, namun tidak ada yang menjawab. Ardi melihat ke sekeliling gereja yang sepi. Ardi berjalan pelan ke tengah. Namun tak ada seorangpun ada di sana yang muncul. Karena keadaan yang tampak sepi, Ardi membalikkan tubuhnya untuk segera keluar, Ardi kemudian segera berjalan menuju pintu keluar, ia tahu sedang tidak ada siapa-siapa disana. Ketika Ardi keluar terburu-buru, seorang suster paruh baya hampir saja menabrak Ardi di pintu gereja. Melihat Ardi yang asing dan terburu-buru, suster itu mengetahui Ardi tampaknya adalah orang yang datang dari luar. Suster itu melihati Ardi, kemudian bertanya,
“Ada yang bisa saya bantu?” Tanya suster itu ramah.
“Ah.. saya.. saya Ardi” Ujar Ardi menunjukkan kartu pengenalnya, suster tersebut segera mengambil dan melihat kartu pengenal di tangan Ardi. Ardi melanjutkan pembicaraannya.
“Saya wartawan dari majalah Dulisudan. Saya ada janji dengan pastor Romi. Saya bermaksud untuk mewawancarai beliau untuk...”
“Oh.. iya iya.. pastor Romi sudah memberi tahu saya. Dia sudah menunggu anda. Mari ikuti saya..” ujar suster itu tersenyum, dan segera berjalan keluar gereja. Ardi kemudian mengikuti suster itu berjalan ke belakang gereja.
***
Ternyata jalan yang mereka lewati itu menuju sebuah sekolah yang ada dibelakang gereja dan asrama serta beberapa rumah kecil untuk petinggi atau pemuka agama di sana. Terlihat beberapa anak bermain di sekitar lapangan itu. Suster itu kemudian berhenti berjalan sehingga Ardi pun berhenti berjalan. Suster itu menunjuk kesebuah rumah kecil.
“Itu… itu rumah Pastor Romi. Pastor Romi sudah menunggu anda. langsung saja kesana, saya akan terus ke sekolah ya mas” ujar suster itu.
“Terimakasih Suster..“ Ujar Ardi, suster tersebut tersenyum kemudian meninggalkan Ardi.
***
Seketika Ardi telah berada didepan rumah itu. Ia berjalan mendekati pintu dan melihat sekeliling rumah. Kecil namun cukup rimbun dengan tanaman pot dan bunga. Ardi kemudian mendekati rumah itu dan mengetuk pintu rumahnya.
“Permisi? permisi?” ujar Ardi sambil terus mengetuk pintu rumah.
Suara dari dalam menyahuti panggilan Ardi, kemudian terdengar suara langkah pelan mendekati pintu, orang itu membukakan pintu dan Ardi menanti kedatangan orang itu dengan matanya yang semakin membesar, ia terlihat sedikit gugup, ia berusaha melihatnya. Saat pintu itu terbuka perlahan, muncul seorang pria yang tampak sangat tua, tampak sangat tenang. Ia berpakaian panjang dengan warna hitam seperti seorang pastor pada umumnya, hanya saja ia lebih tua renta dari perkiraan Ardi. Tidak salah lagi itulah pastor Romi.
Terdiam sejenak melihat Ardi. Kemudian tersenyum Pastor Romi bertanya,
“Apakah mas ini adalah wartawan yang saya tunggu?”
“Ya Pastor. Saya Ardi, wartawan yang waktu itu menelepon dari kota..”
“Ah,.. Silahkan masuk Ardi…” Ujar Pastor Romi tersenyum dan memperbolehkan Ardi masuk. Ardi kemudian masuk kedalam rumah.
"Wajahmu terlihat familiar Ardi.. Seperti diriku dimasa lalu yang aku tunggu.." ujar Pastor Romi tersenyum.
"Ah.. Pastor bisa saja.." ujar Ardi tersenyum. Ardi bingung harus menjawab apa, mereka baru saja bertemu untuk pertama kali. Ardi adalah anak yang tidak banyak bicara, dia tidak terlalu bisa basa-basi.
“Sebentar ya, aku akan buatkan teh hangat..”
“Tidak usah repot-repot Pastor Romi..”
“Tidak apa-apa. aku masih kuat kalau hanya untuk menyeduh teh..” ujar Pastor tersebut.
Pastor Romi berjalan pelan menuju dapurnya meninggalkan Ardi diruang tamu. Ardi melihat sekeliling ruang tamu kecil itu. Perabotannya tampak tua namun bersih. Ada banyak foto-foto tua dan using, menghiasi dinding dan bufet tua di ruang tamu. Ardi duduk di sofa menaruh tasnya. Ia kemudian berdiri dan mulai melihati foto-foto tersebut. Ia melihati banyak foto muda pastor Romi dengan para jemaatnya, dengan teman-teman, dan keluarga. Tiba-tiba mata Ardi tertuju pada sebuah yang berada diatas bufet, ia menyentuh foto tersebut dan memegangnya, foto muda Pastor Romi dengan tiga orang muda lainnya, seorang gadis muda berambut panjang duduk di kursi di tengah-tengah tiga pria yang sedang berdiri. Ardi tampak terpana melihat gadis muda itu, ia lalu tersenyum dan bergumam. “Cantik…”
Ardi berbalik, seketika ia melihat Pastor Romi sudah berdiri dibelakangnya sehingga membuat Ardi tampak kaget. Pastor Romi mendekat dengan membawa dua gelas teh di tadah bawaannya.
"Cantik? Gadis itu cantik ya.." ujar Pastor Romi tersenyum.
"Ah iya.." ujar Ardi tersenyum segan, kemudian menaruh kembali foto tersebut dengan cepat diatas bufet ruang tamu.
"Berarti selera kita sama menilai orang cantik.." ujar Pastor Romi menaruh tehnya diatas meja. Suara geretakan gelas teh terdengar dari getaran tubuh Pastor Romi yang telah tua.
“Ini silahkan diminum Ardi..” lanjutnya.
“Oh terimakasih pastor Romi..” ujar Ardi segera duduk ke ke kursi.
"Kau tidak mau bertanya itu siapa?" tanya Pastor Romi.
"Ah.. Hehe" ujar Ardi tampak malu, dia takut menanyakan hal pribadi pada Pastor Romi. "Gadis cantik pasti mengenai hal yang pribadi" pikir Ardi. Kemudian mengambil gelas teh dan meneguknya.
"Dia adalah Abidah Cinta pertamaku, sahabat baik ku, teman sekolah.." ujar Pastor Romi terus terang. Ardi tampak tersedak.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Pastor Romi memberikan tisu.
"Ohok.. Ohok.. Maaf tersedak pastor.." ujar Ardi. Tampak mengetahui sesuatu.
"Apakah aku terlalu blak-blakan..? Hahaha.. Masa muda akan dikenang, jangan pernah melewatkannya.." ujar Pastor Romi tertawa.
Ardi tersenyum kaget, ia segera mengeluarkan dan mempersiapkan tape recorder untuk merekam pembicaraan mereka.
“Pastor, pikir nak Ardi akan datang terlambat. Karena tempat ini sulit sekali dijangkau. Biasanya beberapa orang akan tersesat dulu sebelum sampai kemari.”
“Saya sempat mikir begitu juga, Pastor, tapi karena saya berangkat lebih awal, jadi tidak telat. Padahal tadi dijalan mobil yang saya tumpangi sempat mogok..”
Pastor romi tersenyum mendengar cerita Ardi.
“Bagaimana bisa kita mulai Pastor Romi?”
“Ya, bisa. Silahkan…”
“Ok.. Tes-tes..” Ardi mulai menghidupkan tape recorder nya.
“Ok, kita mulai Pastor Romi. Kita telah mengetahui sejak lama, Pastor Romi sejak mudanya dikenal sebagai mediator konflik agama perwakilan Katolik. Setiap ada konflik agama yang menghubungkan agama nasrani, Pastor Romi pasti membantu mendamaikan. Tidak semua orang mau melakukan hal itu. Boleh Pastor Romi berbagi pengalaman-pengalaman Pastor.”
“Manusia terlalu banyak memikirkan perbedaan sementara sebenarnya mereka mengabaikan banyak persamaan.. Saya mencintai perdamaian. Perbedaan buat saya bukan sebuah halangan untuk saling menyayangi dan saling menghargai sesama manusia. Saya menyadari hal itu sejak masih remaja. Saya ikut mendamaikan beberapa peristiwa kecil dikota ini dan beberapa peristiwa nasional yang berhubungan dengan konflik agama, suku dan antar wilayah.”
“Baiklah, maukah Pastor Romi ceritakan awal mula, kenapa Pastor Romi mau untuk menjadi salah satu mediator dan ceritakan satu persatu peran dan..” pembicaraan Ardi disela oleh pertanyaan Pastor Romi yang tiba-tiba menatap Ardi dengan tatapan penuh tanya.
“Sebelum masuk ke pembicaraan kita, di telepon nak Ardi sempat menyinggung peristiwa 18 Juni 1937 di desa ini kan. Dari mana nak Ardi tahu tentang kejadian hari itu?” Tanya Pastor Romi menatap Ardi penuh rasa ingin tahu.
Ardi berhenti bicara. Ia terlihat kaget dan bingung untuk menjelaskan pertanyaan Pastor Romi.
“Saya mengetahui dari sumber kami Pastor..”
“Tapi pada saat itu daerah kami masih cukup terisolir. tidak banyak dari warga desa maupun warga kota yang mengetahui peristiwa 18 juni itu…”
Lagi-lagi Ardi tampak terdiam. Ia menghirup nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan sambil terus diam menatap Pastor Romi. Ardi takut Pastor Romi ragu padanya kemudian mengurungkan niatnya untuk memberikan berita. Menyadari keadaan mereka yang telah hening, Pastor Romi mengabaikan keingintahuannya dan akhirnya mulai bercerita.
“Baiklah… Aku akan ceritakan awal mula keputusan ku untuk mau ikut serta menjadi mediator konflik agama dan antar suku. Ini ceritanya panjang sekali. Ku harap kamu mau mendengarkan dari awal hingga akhir ceritanya…”
“Saya akan mendengarkannya Pastor, ceritakan lah dengan senyaman mungkin yang Pastor inginkan.”
“Baiklah, aku akan mulai dari masa kecil ku…” ujar Pastor Romi tampak mengenang sesuatu dalam ingatannya. Ia kemudian melanjutkan cerita nya.
***
Ada tiga desa yang berdekatan di daerah kami yaitu desa hulu, tengah dan desa hilir. Ketiga desa ini sebenarnya berada dalam satu ruang lingkup, hanya saja dipisahkan dalam hutan-hutan dan rerimbunan. Dipisahkan pula dengan perbedaan. Perbedaan adat, budaya, dan agama. Sejak awal hubungan antara ketiga desa tidak begitu baik. Desa hulu merupakan tempat tinggal dari penduduk asli. Desa tengah sebenarnya bersifat lebih netral karena karena pasar dan sekolah berada di desa tengah dan penduduknya juga merupakan campuran penduduk asli dan pendatang. Sementara Desa hilir ditempati oleh para pendatang dari berbagai budaya yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Namun sebenarnya selain berada dalam satu daratan, desa-desa ini juga dihubungkan dengan satu aliran sungai.
Aku lahir di desa hulu. Aku tidak pernah meninggalkan desa kelahiranku. Desa hulu ini cukup jauh dari kota, namun merupakan jalan yang harus dilewati orang-orang dari desa-desa lain jika ingin menuju ke kota. Kenang pastor Romi, ia merasa kembali ke masa lalu...
***
.
.
.
NEXT
Ada tiga desa yang berdekatan di daerah kami yaitu desa hulu, tengah dan desa hilir. Ketiga desa ini sebenarnya berada dalam satu ruang lingkup, hanya saja dipisahkan dalam hutan-hutan dan rerimbunan. Dipisahkan pula dengan perbedaan. Perbedaan adat, budaya, dan agama. Tetapi disatukan oleh satu sungai yang panjang. Sejak awal hubungan antara ketiga desa tidak begitu baik. Desa hulu merupakan tempat tinggal dari penduduk asli. Desa tengah sebenarnya bersifat lebih netral karena karena pasar dan sekolah berada di desa tengah dan penduduknya juga merupakan campuran penduduk asli dan pendatang. Sementara Desa hilir ditempati oleh para pendatang dari berbagai budaya yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Namun sebenarnya selain berada dalam satu daratan, desa-desa ini juga dihubungkan dengan satu aliran sungai.
Aku lahir di desa hulu. Aku tidak pernah meninggalkan desa kelahiranku. Desa hulu ini cukup jauh dari kota, namun merupakan jalan yang harus dilewati orang-orang dari desa-desa lain jika ingin menuju ke kota. Kenang pastor Romi, ia merasa kembali ke masa lalu...
***
Sejak kecil aku bermain dan belajar di sini. Ibuku seorang ibu rumah tangga biasa yang sesekali membantu suaminya mencari nafkah dengan berternak babi di belakang rumahnya. Ayahku adalah seorang pedagang sayur dan daging borongan untuk di jual lagi ke pasar-pasar di kota. Saat itu keluarga kami dianggap sebagai keluarga pedagang berpunya dan dianggap memiliki penghasilan di atas rata-rata dari penduduk desa lainnya. Karena pada saat itu, hanya anak-anak dari keluarga terpandang atau keluarga mampu yang dapat bersekolah didesa tengah bersama anak-anak keturunan Belanda. Dan karena penghasilan orang tua ku itu juga aku bisa bersekolah di desa tengah.
Sekitar Tahun 1935, Disaat pagi-pagi buta, Ibuku Dena sudah memanggil-manggil anak semata wayangnya, sambil sibuk di belakang rumahnya melemparkan beberapa sayuran untuk ternak babi. Ia tampak sibuk namun terus memanggil ku untuk datang padanya.
“Romiiii Romiiiii!!”
Usiaku saat itu kira-kira 16 tahun, di zaman ku ini adalah usia yang sudah matang untuk menikah. Banyak teman-temanku menikah diusia 15 tahun. Beberapa diantaranya lebih cepat lagi. Namun banyak juga yang menikah diatas 18 tahun. Walaupun sudah 16 tahun, aku masih dimanja seperti anak 6 tahun. Mungkin karena saat itu aku adalah anak satu-satunya di keluarga kami. Adikku muncul ke dunia setelah 5 tahun kemudian. Karena itu juga sifatku walaupun tenang tapi sedikit kekanak-kanakan.
Ku pikir wajahku cukup tampan untuk pemuda seusiaku. Tubuhku cukup tinggi, dan badanku berisi. Aku percaya diri dan aku tahu ada banyak gadis yang menyukaiku.
Malas sekali rasanya mendengar teriakan Ibuku. Suaranya terdengar nyaring juga, mendengung di telinga. Saat itu aku tengah membantu Ayahku,
Teo ayahku, mengangkut sayuran keatas mobil bak buka belakang di halaman rumah. Ayah tengah menghitung ada berapa ikat karung sayur yang telah ia beli dari beberapa petani didekatnya. Petani-petani itu membantu Ayah memasukkan sayur-sayur mereka keatas mobil. Ayah dan Aku masih mendengar suara teriakan Ibu yang nyaring, dari kejauhan.
“Rom, temuilah ibumu dibelakang, sudah mau putus pita suaranya..” ujar ayahku sambil terus menghitung.
Aku mengangguk pada ayah ku, aku lalu segera membantu menaikkan satu karung lagi barang dagangan yang akan dijual kepasar dibantu oleh seorang petani. Seusai itu aku segera menuju kebelakang rumah.
Aku datang dan mendekati Ibu ku yang baru saja masuk ke dapur dari pekarangan belakang rumah kami.
“Ibu kan tahu aku sedang bantu Ayah di depan. Kenapa teriak-teriak begitu..”
“Ibu tahu kamu mau bantu Ayah mu, tapi ini sudah waktunya kamu untuk segera berangkat ke sekolah. Karena kamu akan mampir dulu kerumah kepala desa. Ini Ibu mau titip lauk untuk kepala desa, kemarin pak Ruri dia bantu ayahmu mengurus tanah kita.. setidaknya Ibu harus kasih sedikit tanda terimakasih kan. Berangkatlah sekarang nanti telat, sini peluk Ibu dulu” ujar Dena merangkul anaknya yang kemudian anaknya itu berusaha melepaskan rangkulan Ibunya. Tapi Ina berhasil memeluk anaknya ini dari belakang.
“Akhh Ibu..” ujar ku setelah terlepas dari rangkulan Ibuku. Aku tidak tahu kenapa ibuku memperlakukanku seperti anak kecil, padahal pemuda-pemuda seusiaku yang tidak sekolah rata-rata sudah punya seorang istri dan dua anak kecil. Aku sudah bukan anak kecil lagi yang harus dimanja. Ibu kemudian menyerahkan mangkuk kayu yang ditutup dan diikat dengan kain, kepada anaknya ini. Aku mengambilnya kemudian mencium tangan Ibu dan segera masuk kerumah.
“Aku berangkat dulu..” ujar ku.
“hati-hati dijalan!” ujar Ibu melambaikan tangan.
Sejak pertama masuk sekolah, prestasiku cukup baik, aku selalu mendapatkan peringkat tiga besar di kelas. Oleh karena itu Ayah dan Ibu mempertahankan ku untuk bersekolah, karena mereka merasa bangga. Walaupun tidak tahu nanti setelah tamat mau bekerja di pemerintahan atau tidak. Keluargaku tidak terlalu berharap aku untuk bekerja di pemerintahan karena gaji pegawai pemerintahan pribumi saat itu sangat kecil. Masih jauh lebih besar pendapatan meneruskan usaha keluarga ini.
Aku masuk kerumah, lalu mengambil kantong kain yang ku jadikan tas sekolah milikku. Di depan Rumah aku bertemu lagi dengan Ayah dan mencium tangan Ayahku kemudian segera beranjak pergi ke sekolah setelah menggandeng tas kainku.
“Hati-hati dijalan, belajar yang rajin!” ujar Ayah.
Itulah Romi muda, Romi muda tidak lagi melihat-lihat kebelakang, bukan karena tidak ingin membalas pesan orang tua yang sangat menyayanginya, namun ia tidak ingin terlihat oleh orang-orang seperti anak manja yang ada di bawah ketiak orang tuanya.
Romi muda berjalan menyusuri jalanan, melewati pinggiran sungai di pagi hari yang biasa ia lewati untuk sampai ke sekolahnya. Ia dilihatin gadis-gadis yang sedang mencuci pakaian. Beberapa gadis berhenti memukulkan pakaian nya ke batu, saat mencuci karena melihat Romi lewat dari atas jalanan. Mereka terlihat berbisik-bisik dengan sesamanya kemudian tersenyum-senyum pada Romi muda. Romi muda melihat sekilas, walaupun ia tetap pura-pura tidak melihat. Salah seorang gadis setelah bicara dengan temannya tampak menggila kemudian berteriak,
“Romi!!” Panggilnya. Seketika teman bicara itu kaget, sehingga karena kesal segera tenggelamkan gadis yang memanggil Romi ke dalam sungai. Romi muda menoleh kearah gadis-gadis itu, dan tidak melihat gadis yang memanggilnya karena semuanya tampak diam terpaku. Dengan tenang Romi kemudian segera melanjutkan perjalanannya. Suasana sungai menjadi ricuh dengan suara gadis-gadis yang berteriak kegirangan karena Romi sempat menoleh.
Romi muda melewati jalanan hutan dan pedesaan yang sangat rimbun, namun terlihat indah untuk dipandang mata. Ia melewati persawahan dan perbukitan. Akan ada banyak hal yang kita lihat dalam perjalanan ke sekolah, misalnya kau bisa menemukan ular lewat di depanmu. Atau gadis-gadis yang sengaja menunggu mu di sebuah simpang jalan hanya untuk melihatmu. Kadang-kadang gadis-gadis itu berani memberimu sesuatu, misalnya bungkusan bekal makanan, bungkusan ubi rebus dan makanan lainnya untuk bekal makan siangmu di sekolah. Kadang Romi muda enggan menerimanya jika sudah terlalu sering. Lebih baik ia berlari hingga dapat menghindari mereka. Sebuah mitos yang sering terdengar di desa-desa setempat pada masa kawin, siluman-siluman ular akan menjelma menjadi manusia untuk mendapatkan suami manusia, karena mereka juga menyukai pria-pria manusia. walaupun beberapa diantara yang sering memberikan Romi makanan adalah gadis-gadis yang Romi kenal dari desanya, tapi ia tetap takut dengan mereka saat mereka mencegat Romi yang sedang berjalan menuju sekolah. Barangkali siluman ular menjelma menjadi gadis-gadis brutal untuk mencari suami.
Romi terus berlari saat melihat seorang gadis di pinggir jalan.
“Romi!” panggilnya. Ia mengejar Romi kemudian menarik tas kain Romi. Romi terpaksa berhenti. Gadis itu memberikan Romi sebuah bungkusan.
“Makanlah di sekolah.. Aku Narti dari desa tengah..” Ujarnya meletakkan bungkusan daun berisi beberapa lepat ubi di tangan ku sembari memperkenalkan diri sambil tersenyum malu-malu dan segera pergi. Aku cukup popular ternyata. Bahkan gadis dari desa tengah datang ke sini pagi-pagi untuk menghampiriku.
Aku senang karena gadis itu segera pergi. Sehingga aku bisa melanjutkan perjalananku ke rumah pak Ruri sebelum ke sekolah.
Romi muda mulai melihat sebuah rumah dari kejauhan, yang tampak rimbun dihiasi oleh tanama-tanaman pot disekelilingnya. Ia mendekati rumah tujuannya tersebut, tiba-tiba seorang pemuda seusia dengannya berlari keluar dari rumah itu dengan terpingkal-pingkal menuju salah satu sudut pekarangan rumah, pemuda itu berlari sambil berteriak-teriak, tidak lama kemudian diikuti oleh ayahnya yang mengejarnya dengan sebuah balok kayu. pemuda itu terus berlari mengelilingi pekarangan rumahnya, Kemudian melihat kearah Romi.
“Romiiiii!!” Panggilnya berlari menuju Romi muda. Nah pemuda ini namanya Ramori. Teman ku sejak kecil yang paling pengecut tapi baik hati.
“Jangan lari kau Ramori! Dasar anak nakal! Tidak pernah mau dengar perkataan orang tua! Sudah di kasih tau jangan main kearah utara tempat markas para koloni Belanda, atau ke desa hilir yang banyak pendatang muslim, masih saja kesana!” teriak Pak Ruri, kepala desa hulu yang juga ayah Ramori. Ramori kemudian berlari dan bersembunyi dibalik tubuh ku. Ramori memegang lenganku. Sampai merembes air keringat tangannya di baju ku.
“Ahk.. Ramorr.. tangan mu basah lagii..” Ujar ku, Aku tak tahu apakah kali ini karena ia sedang takut hingga tangannya berkeringat banyak sekali. Namun kesehariannya tangan Ramori memang sering mengeluarkan keringat hingga tangannya sering basah. Jika ia punya kekasih, kekasihnya pasti tidak mau memegang tangannya.
Sebenarnya aku dan seorang temanku lah yang mengajak Ramori memancing ikan di desa tengah disungai dekat sekolah beberapa waktu lalu, karena di sana sepi dan lebih banyak ikannya. Sifat aslinya Ramori adalah anak yang sangat patuh pada orang tuanya.
“Akhh Akkhh aku tidak pernah pergi ke desa hilir. Aku ke desa tengah beberapa hari lalu untuk main..” ujar si Ramori tampak sedikit histeris melihat balok kayu Ayahnya.
“Benar itu pak, Ramori selalu main dengan Romi dan Chris. kami tidak pernah mendekati desa hilir..” ujar ku membela Ramori didepan Ayahnya.
Ayah Ramori tampak menenangkan dirinya. Ia mengatur nafasnya dan mulai menurunkan balok kayunya saat akan bicara pada ku. Wajar Ramori lari berteriak-teriak seperti seorang gadis, ia dikejar dengan balok kayu yang cukup besar.
“Romi dan Ramori, kalian juga tidak boleh mendekati desa tengah kecuali hanya untuk bersekolah. Berbahaya nak.. berbahaya.. kalian tahukan desa itu perbatasan antara desa hulu dan hilir yang hubungannya sudah lama tidak baik.. Selama desa tengah diapit oleh desa hulu dan hilir, kalian tidak boleh main ke sana.”
Aku dan Ramori hanya mengangguk-angguk saja, karena takut juga melihat balok kayu Pak Ruri.
“Pak, ini… makanan dari ibu..” kuserahkan makanan yang Ibuku siapkan dan makanan yang diberikan dari gadis yang kucurigai siluman ular di tengah hutan. Pak Ruri mengambilnya, tampaknya kemarahan dan emosinya pada anaknya sedikit surut dengan makanan-makanan yang akan menjadi sarapannya pagi ini.
Wajar saja Pak Ruri melarang kami mendekati desa tengah dan hilir. Bahkan semua orang tua dari desa hulu melarang anak-anaknya untuk mendekati tempat tertentu, misalnya kampung sebelah utara yang merupakan markasnya para kolonial Belanda, atau saat libur kami akan dilarang ke desa tengah yang merupakan perbatasan daerah nasrani dan muslim. Begitupula yang terjadi pada pendatang muslim dari desa hilir, mereka melarang anak-anak mereka untuk tidak datang ke desa hulu.
Desa hulu tempat kami tinggal ini dihuni oleh para nasrani, sementara desa hilir dihuni oleh para pendatang muslim. Sejak lama hubungan kedua desa tidaklah begitu baik. Sementara di desa tengah, desa yang berada diantara desa hulu dan hilir, merupakan desa kecil yang maju karena terdapat sekolah dan pasar mingguan yang besar. Desa ini merupakan desa kecil yang menjadi tempat perdagangan dan pusat pendidikan. Penghuninya adalah campuran dari penduduk pendatang maupun penduduk asli. Sekolah yang ada hanya di desa tengah, membuat para orang tua elit pribumi maupun para orang tua kaum Indo, menyekolahkan anak-anaknya di desa tengah, termasuk juga ayahku yang menginginkan pendidikan yang layak untukku. Karena itu pula aku akhirnya dapat berinteraksi dengan banyak orang diluar desaku.
Di sekolah ku inilah juga aku belajar dan menemukan banyak hal tentang kehidupan, Banyak hal yang membuatku mengerti bahwa perbedaan seharusnya tidak menjadi alasan untuk tidak saling menghormati dan menyayangi sesama manusia, tidak menjadi pembatas untuk pertemanan. Kita bisa berteman dengan siapa saja walaupun memiliki perbedaan. Aku tidak hanya belajar tentang pelajaran sekolah tetapi juga belajar tentang budaya orang lain, belajar tentang kehidupan orang lain, dengan cara berinteraksi dengan mereka. Dengan begitu aku tidak hanya melihat sesuatu dari sudut pandang ku sendiri tetapi juga dari sudut pandang orang lain. Ada segelintir dari sebagian kelompok dengan kepentingan di dunia ini yang kadang merusak pemikiran kita untuk menerima perbedaan. Namun itu seharusnya tidak membuat kita mengabaikan orang-orang disekitar kita. Bersekolah disana membuka pemikiranku untuk bergaul dengan orang-orang yang berada diluar desaku. di sanalah aku bertemu sahabat-sahabat terbaikku yang aku sayangi dan aku cintai.
***
Pastor Romi berhenti bercerita, ia terdiam sejenak seolah memikirkan sesuatu. Ardi mendengarkannya dengan sedikit uring-uringan sebab ia belum bisa menemukan titik dari pembicaraan pastor Romi yang mulai terdengar panjang dan membosankan.
"Ahaha apakah ceritaku membosankan?"
"Tidak Pastor Romi.." ujar Ardi tersenyum menghela nafas.
"Ah, Aku bisa mengenali kedatangan seseorang dengan hanya mendengar langkah kakinya.. Tap.. Tap.. tapp.." ujar Pastor Romi menirukan suara langkah kaki, mengenang langkah kaki seseorang. Langkah kaki seorang gadis yang lari terburu-buru.
Gadis berambut panjang, dengan ikatan separuh rambutnya, menggunakan baju kurung dan rok panjang, ia juga membawa tas kain, mengangkat sedikit roknya sambil berlari menggunakan sepatu wangyu sedang berlari terburu-buru mengejar waktu menuju ke sekolah.
***
.
.
.
NEXT
"Ahaha apakah ceritaku membosankan?"
"Tidak Pastor Romi.." ujar Ardi tersenyum menghelah nafas.
"Ah, Aku bisa mengenali kedatangan seseorang dengan hanya mendengar langkah kakinya.. Tap.. Tap.. tapp.." ujar Pastor Romi menirukan suara langkah kaki, mengenang langkah kaki seseorang. Langkah kaki seorang gadis yang lari terburu-buru.
Gadis berambut panjang, dengan ikatan separuh rambutnya, menggunakan baju kurung dan rok panjang, ia juga membawa tas kain, mengangkat sedikit roknya sambil berlari menggunakan sepatu wangyu sedang berlari terburu-buru mengejar waktu menuju ke sekolah.
***
Pastor Romi melihat ke atas meja. Ia melihat teh di atas mejanya. Ardi kemudian memperhatikan Pastor Romi yang istirahat sejenak dari ceritanya. Pastor Romi kemudian mengambil gelas teh di atas meja. Gerakan tangannya mengangkat gelas tampak sangat pelan dan lamban, tangannya juga tampak gemetaran, semua itu seolah memperlihatkan, telah lama perjalanan hidupnya hingga akhirnya tubuhnya mencapai tubuh renta itu. Sejenak pria tua itu memberhentikan kata-katanya dan meneguk teh hangatnya. Setelah menaruh gelasnya diatas meja, ia mulai bercerita lagi.
“Saat itu sekolah hanya berada di desa tengah… anak-anak yang bersekolah di sana pun memiliki latar belakang yang berbeda.” Ujar pastor Romi sambil tampak mengenang.
***
Ramori berlari meninggalkan ku. Wajahnya tampak sangat kesal.
“Hei Ramori” panggilku memegang bahunya, namun ia mengelakkan bahunya hingga tanganku terlepas dari bahunya. Ia terus berjalan, susah juga mengejarnya untuk beriringan. Kami terus berjalan menuju sekolah yang telah dekat jaraknya. Ramori terus mengelak dari ku setiap aku mengejarnya.
Dengan wajah kesal Ramori masuk ke kelas dan aku mengikutinya dari belakang. Karena sekolah hanya ada di desa tengah, anak-anak yang bersekolah pun memiliki latar belakang yang berbeda. Didalam satu kelas itu, mereka membentuk kelompok bermain yang sesuai dengan latar belakang mereka. Ada kumpulan anak-anak nasrani, kumpulan anak-anak muslim, dan kumpulan anak-anak Indo Belanda, duduk berdekatan berdasarkan kumpulan mereka. Tidak dikumpulkan secara sengaja, namun begitulah keadaannya. Mereka berkumpul duduk berdekatan berdasarkan pengelompokan mereka dengan sendirinya.
Seorang anak laki-laki berwajah Indo, dari kursinya di sudut bagian depan kelas, sedang dikelilingi oleh beberapa gadis pribumi dan gadis indo di kelas kami. Gadis-gadis itu tampak duduk di kursi, mengelilinginya dan mengajak anak laki-laki tampan tersebut bercanda. Ketika kami masuk ke kelas anak laki-laki itu langsung melihat kearah kami, tersenyum sambil melambaikan tangannya pada kami. Melihat kami mendekati kursi kami, gadis-gadis itu segera meninggalkan bangku yang mereka duduki dan mengucapkan salam perpisahan pada pemuda itu. Aku membalas sapaannya dengan mengangkat tangan kanan ku. Ramori diam saja melihat kami, masih dengan wajah kesal di mukanya. Anak laki-laki itu tampak heran melihat Ramori yang sedang tampak kesal.
“Hei Chris!” panggil ku pada pemuda yang melambaikan tangan itu. Ia tersenyum lagi. Dari wajahnya yang indo itu, semua orang tahu bahwa ia masih keturunan Belanda.
Chris duduk di pojok depan sendirian. Sejak awal ia tidak ingin duduk dengan orang lain dan memilih kami sebagai teman bermainnya. Aku ingat saat pertama kali masuk sekolah Chris datang terlambat sehingga ia tidak dapat memilih tempat duduk karena sudah penuh. Hanya kursi didepan kami yang kosong. Tapi ia tidak segan-segan mendatangi setelah menyapa kami, untuk duduk didekat ku dan Ramori. Aku sendiri dan Ramori tidak duduk di deretan anak-anak nasrani, tapi kami cukup berdekatan dengan anak-anak nasrani yang berkumpul duduk di tengah, anak-anak muslim duduk di deretan belakang dari setiap deret kursi, dan anak-anak Indo duduk di deretan depan pojokan lainnya.
Aku akui sejak kecil, selain tampan dari wajah-wajah indo lainnya, Chris sudah tampak penuh pesona. Pesona yang ada pada pria-pria hidung belang. Di sekitar desaku Aku cukup popular, tapi Chris, ia dikenal semua orang karena ketampanannya yang setengah indo Belanda itu. Apa lagi di sekolah. Ia disukai banyak gadis di kelasku, beberapa mata gadis selalu memperhatikannya. Entah mata-mata dari kelompok gadis-gadis Belanda, para mata dari kelompok gadis pribumi nasrani, ataupun mata-mata dari kelompok gadis pribumi muslim. Tetapi ada satu gadis yang sangat konsisten hanya mengganggu ku, ia dapat memandangiku seharian, gadis itu adalah Subesi. Ia adalah seorang gadis terpintar di kelas kami dari kalangan anak-anak nasrani. Ia selalu mendapatkan peringkat ke tiga dikelas. Ia memiliki seorang sahabat namanya Tatik, dan Tatik adalah pengagumnya Chris.
Masih ada lagi seorang anak yang paling aku ingat di kelas ku, namanya Damar. Ia adalah seorang muslim dan duduk di deretan belakang. Ia ketua kelas kami. Dia adalah jenis anak-anak pendiam yang sangat tenang, dapat dipercaya dan dapat diandalkan sehingga dapat mengendalikan kelas. Guru-guru senang padanya dan sebenarnya dia bukan tipe penjilat seperti beberapa anak-anak berprestasi lainnya. Dia selalu juara satu dikelas dan dia adalah ketua kelas. Itu tidak masalah bagiku, sialnya adalah aku adalah juara dua, dan aku adalah wakil ketua kelas. Aku seperti bayang-bayang darinya.
Aku dan Ramori duduk di kursi kami. Ramori duduk tepat dibelakang Chris, dan aku duduk disebelah Ramori. Sudah sejak lama Chris duduk sendirian tidak berpasangan walaupun ia memiliki meja yang panjang untuk belajar jatah dua orang.
Chris melihat wajah Ramori yang tampak kesal. Ramori kemudian duduk di kursinya setelah menaruh tasnya. Aku mengikuti kemudian duduk disebelah Ramori.
“Ada apa dengannya?” Tanya Chris padaku.
“Dia habis kena marah pak Ruri. Sepertinya ada yang mengadu pada ayahnya kalau kita bermain di desa tengah minggu lalu” jawabku.
“Ada yang habis cari gara-gara dengan kepala desa sepertinya.. sebentar lagi akan diusir dari desa hulu..” goda Chris kemudian tertawa cekikikan.
“Pokoknya setelah ini aku tidak mau diajak main ke desa tengah ini lagi. Ini semua gara-gara ide mu Chris! Kenapa kalian kalau main, maunya kemari.. coba lihat-lihat keadaanku.. kau enak, di rumah hanya dengan ajudan, tidak ada yang berani melarang mu, ayah mu juga jarang di rumah karena ia kerja ke kota. Nah aku, ayah ku selalu mengawasi ku, dia bisa membunuh ku dengan balok kayunya itu!” ujar Ramori tampak kesal.
“Ayah yang jarang di rumah itu bukan hal yang menyenangkan.. memang tidak ada yang mengawasi hidupku! Lagi pula aku juga tidak mengajak mu, kau saja yang mau ikut!” ujar Chris keras, tiba-tiba moodnya ikut berubah jelek.
Aku kemudian menepuk bahu Ramori untuk menegurnya.
Ramori hanya melihatiku masih dengan wajahnya yang kesal, namun ia tampak menyadari kesalahannya.
Aku berbisik, cepat tanpa suara, “Jangan menyinggung tentang keluarganya”. Ramori mengetahui maksud perkataanku dan menggaruk kepalanya. Ia tampak bingung menyadari ia telah seenaknya bicara, walaupun semuanya diawali dari gurauan Chris yang keterlaluan. Ramori ini kadang memang kurang perasaan.
Wajar saja Chris tersinggung dengan perkataan Ramori. Untuk berharap diperhatikan orang tuanya, Chris bahkan jarang bertemu Ayahnya yang bekerja di kantor pemerintahan Belanda di kota. Ayah Chris merupakan warga asli Belanda. Sewaktu muda Ayah Chris bertugas di desa hulu, kemudian jatuh cinta dan memutuskan menikah dengan seorang kembang desa hulu. Bisa dibayangkan wajah Chris seperti apa? Dia lahir seperti malaikat. Wajahnya terlalu indah untuk orang biasa. Oleh karena itu Chris lahir dan tinggal di desa hulu.
Namun saat Chris masih kecil, Ibunya meninggalkan Chris dengan ayahnya dan lari dengan lelaki lain. Ayah Chris masih sangat mencintai Ibunya dan memutuskan untuk tidak pindah rumah ke kota ketika ia dipindah tugaskan di kota. Ayahnya masih berharap agar Ibu Chris pulang kerumah dan tidak kehilangan jejak mereka. Sejak kepergian Ibunya, Chris tidak pernah bertemu dengan Ibunya lagi. Ayah Chris tinggal di rumah dinas di kota, dan pulang ke desa itu setiap sebulan sekali. Chris sebenarnya adalah anak yang kesepian, walaupun ia hidup dengan berkecukupan, tapi haus kasih sayang ayah dan ibunya.
Bel berbunyi, dibunyikan oleh seorang guru. Anak-anak masuk ke kelas mereka masing-masing. Pak guru lalu masuk ke kelas kami, ia masuk bersama seorang gadis. Seorang gadis yang setengah rambut panjangnya diikat dengan pita coklat muda. Gadis itu segera menjadi pusat perhatian kelas.
Subesi dan Tatik, melihat gadis yang ada didepan kami dengan pandangan ingin tahu. Damar, ia tampak senang melihat teman baru kami itu. Sementara aku, Ramori dan Chris mata kami terus tertuju pada gadis muda itu. Gadis yang cantik dan tampak riang. Gadis berambut lurus dan panjang, dengan mata besarnya yang berbinar. Wajar saja menarik perhatian anak-anak yang melihatnya. Dan lagi ia adalah gadis pribumi yang tidak pernah terlihat sebelumya disekolah ini.
“Anak-anak, hari ini kalian kedatangan teman baru dari kota. Namanya Abidah Rahma. Mulai hari ini ia akan belajar bersama-sama kalian.” Ujar pak guru kemudian matanya mencari-cari tempat untuk Abidah duduk.
“hmmm…” Pak guru melihat ke sekelilingnya, ruangan kelas kami memang telah penuh, kecuali di bangku sebelah Chris.
“Duduk sana ya Abi..” tunjuk Pak guru pada bangku kosong disebelah Chris.
“Baik pak!” ujar Abi bersuara keras sambil mengangguk kemudian tanpa ragu ia berjalan mendekati kami. Saat ia melangkah mendekati kami,.. maksudku mendekati kursinya yang berada di depanku, jantung ku tiba-tiba berdegup kencang, karena takut ia akan duduk di depan ku mulai hari itu. Tapi akhirnya kusadari ia mendekati kursi dan duduk di sebelah Chris, pria tertampan di kelas. Entah mengapa aku langsung merasa iri pada Chris. Ku pikir Chris beruntung sekali hari itu, dan keberuntungannya sepertinya akan berlangsung lama. Itulah yang terpikir olehku sejenak.
Sejak awal kedatangan Abi, aku bahkan telah iri pada Chris, begitu juga dengan beberapa gadis-gadis penggemar Chris yang melihati mereka saat itu. Mereka duduk berdampingan, dua orang yang diciptakan Tuhan dengan wajah yang rupawan. Sepertinya bapak guru baru saja memasangkan pangeran dan putri dikelas kami. Saat Abi duduk di sebelah Chris ia meletakkan tas kainnya dan mengeluarkan batu sabak nya. Chris lalu mengajak Abi untuk berbincang-bincang.
“Hallo, aku Chris.” Ujar Chris sambil tersenyum. Aku bingung kenapa cepat sekali Chris menyesuaikan diri dengan gadis-gadis cantik. Prilaku Chris yang seperti inilah yang ku sebut dengan pesona hidung belang. Aku berusaha untuk menguping pembicaraan mereka.
“Aku Abi!” Jawab tubuh kecil bersuara besar itu, suaranya terdengar keras dan riang. Tampaknya aku tidak perlu menguping pembicaraan mereka karena sudah bisa didengar tanpa pasang telinga yang lebar. Chris terus mengajak gadis itu bicara, dan gadis bernama Abi itu terus menjawab pertanyaan basa-basi Chris.
"Kau kesini dengan walimu Abi?"
"Tidak, orang tua ku hanya mengurus sekolahku kemarin. Aku tidak perlu diantar sampai ke kelas kan.."
"Iya betul.. Kau pindah sekeluarga kemari?"
"Iya.."
"Tinggal dimana?"
"Desa hilir.."
"Oh.." Ujar Chris tersenyum.
"Kau sampai keringatan, tadi kesini lari ya..?" tanya Chris.
"Iya Kris, aku takut terlambat dihari pertama.."
"Tentu saja kewalahan, kau lari dengan batu Sabak.."
"ini tidak terlalu berat.. Asal tidak jatuh keatas kaki.." ujar Abi.
"Huehehuehe.." Mendengarnya Chris tertawa aneh bersama Abi. Mungkin karena gaya humor mereka nyambung.
Apalah yang mereka bicarakan sehingga terlihat seru sekali hingga mereka tertawa bersama. Aku juga ingin berkenalan dengan gadis itu, tapi ku pikir aku tidak bisa seperti Chris yang mudah bergaul dengan seseorang dengan sangat cepatnya. Aku juga bukan orang yang tidak pandai bergaul, tapi menjadi sulit untuk berbicara saat itu, menyela pembicaraan mereka yang terdengar sangat menarik. Dari belakang aku hanya bisa melihati gadis itu. Dan memperhatikan mereka diam-diam.
“Hari ini bapak akan mengumumkan hasil ujian matematika kalian. Yang bapak bacakan di depan kelas ini hanya peringkat satu sampai tiga, bapak mulai dari nomor tiga..” ujar pak guru, sementara aku masih melihati Abi dan Chris yang terus bicara.
Semua orang terlihat harap-harap cemas. Terutama Subesi, ia berharap namanya disebutkan lagi bulan ini.
“Urutan tiga, Subesi.. silahkan maju kedepan nak” ujar Pak Guru. Benar saja, Subesi dipanggil lagi bulan ini sebagai peringkat tiga. Dengan sangat senang Subesi segera maju untuk berdiri di depan kelas . Ia kemudian berdiri disebelah Pak Guru.
“Urutan ke dua, Romi…”
Aku saat itu masih melihati Abi dari belakang.
“Romi??” Tanya Pak Guru, membuat teman-teman ku heran kenapa aku belum juga maju. Ramori melihat ke arahku ia kemudian menepuk bahuku hingga menyadarkan ku dari lamunanku. Begitu tersadar aku langsung berdiri dan maju ke depan.
Dari depan kelas aku melihat gerak bibir Abi yang mengeja namaku, “Ro..mi..”
“Iya, dia namanya Romi” ujar Chris menunjukku. Aku tahu Abi baru saja mendengar dan mengeja namaku. Entah mengapa hatiku deg-degan. Senang juga. bukan karena baru saja aku maju ke depan untuk prestasi ku bulan ini. walaupun begitu, aku pura-pura tidak sadar saja apa yang dibicarakan mereka.
Entah kenapa wajahku jadi terlihat sombong didepan Abi. Padahal hatiku sedang berbunga. Mungkin ini adalah mekanisme pertahanan diriku, berapa malu diri ini dilihat oleh gadis yang menurutku cantik.
Wajah Romi memerah didepan kelas, tetapi ekspresinya tampak kesal dan angkuh.
***
.
.
.
NEXT
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!