DRAP!
DRAP!
DRAP!
HAH! HAH! HAH!
BLAAAAR!
Di bawah derasnya air hujan yang membasahi kota kecil nan terpencil. Suara nafas terengah-engah akibat lelah berlari, nyaris tak terdengar tertutup gemericik hujan dan kilat halilintar.
DRAP!
DRAP!
BRUGH!
Wanita berparas ayu yang sejak tadi berlari tanpa henti, kini jatuh tersungkur pada kubangan lumpur. Gaun merah yang ia kena kan, kini berubah kecoklatan. Rambutnya acak-acakan, kondisi wanita itu benar-benar memprihatinkan.
Dengan lutut yang penuh luka dan bergetar hebat, ia berusaha untuk bangkit berdiri. Namun, selalu berakhir gagal, energinya benar-benar terkuras habis.
TAP!
TAP!
Wanita yang sudah tak jelas bentuknya itu, mendongakkan kepalanya kala seseorang berjalan mendekat.
"Kenapa berhenti? Apa kau sudah lelah berlari?" tanya seorang pria berbalut jas putih, dengan bola mata bagai bongkahan es.
Payung kuning yang sejak tadi melindungi pria itu dari derasnya hujan, kini kuncup ditutup. Gigi-gigi putih nan rapih mulai menyeringai kejam.
"Ini tidak seru, apa kau tidak ingin memohon?!" Desis sang pria, ia merasa bosan.
"Tolong! Jangan bunuh aku! A-ku m-mohon!" Wajah pias wanita itu menggeleng cepat kala pria yang mengenakan sarung tangan itu semakin mendekat.
Pria dengan beberapa tattoo di pergelangan tangannya itu mengeluarkan sebilah pisau lalu bercangkung di hadapan sang wanita. Bola matanya menatap liar, darahnya berdesir saat sang wanita ketakutan dan merangkak mundur. Gesit sang pria ikut merangkak mendekat, hingga akhirnya wanita pias itu berada tepat di hadapannya.
Pria dengan sorot mata bagai elang itu mendongak, menatap langit yang tengah menangis. Ia biarkan tetes per-tetes air membasahi wajahnya yang rupawan. Bibirnya menyunggingkan senyuman sembari menikmati aroma hujan. Sebilah pisau dan juga sebuah payung dalam genggaman nya semakin di cengkram erat.
SLASSH!
Darah mengucur deras dari leher wanita cantik itu ketika pisau yang digenggam sang pria melesat dan menebas kulit sang wanita hingga menganga. Bagai hewan disembelih, wanita itu menggelepar, bibirnya menganga lebar.
Dengan kejam, pria tersebut melesakkan ujung besi payung yang runcing ke dalam rongga mulut wanita malang itu. Jeritan nyaring yang melengking-lengking semakin tenggelam, tertutup oleh derasnya hujan dan suara guntur menyambar-nyambar.
Sang pria tertawa pelan, tubuhnya berguncang saat pisau yang ia genggam mulai menyayat dada sang wanita. Jemarinya menerobos kulit yang sudah terkoyak. Bibir pria itu mengulas seringai saat mencabut jantung sang wanita dengan sangat kejam.
"Dasar ... Jalang murahan! Kau berharap menemukan cinta dari aplikasi sampah seperti itu? Kau rela menjadi Jalang demi berkencan dengan ku? Dating? You're dead ...!" sang pria terkikik meringkik.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Matahari mulai mengintip di balik awan, dedaunan pun menari-nari mengikuti nyanyian dewa angin.
Seorang pemulung tua dengan sekarung barang-barang rongsokan di punggungnya, berjalan tertatih-tatih menelusuri jalan setapak yang masih basah akibat amukan hujan tadi malam.
Didekatinya salah satu dari pepohonan besar yang tinggi menjulang, niat hati ingin meluruskan persendian nya yang berdenyut nyeri. Pria tua yang sudah divonis menderita gout itu, kini duduk bersandar sembari mengedarkan pandangan. Barangkali ada barang rongsokan disekitarnya yang dapat ia pungut.
Bola mata sayu itu mengernyit ketika menangkap sesuatu yang janggal pada hamparan ilalang. Di tambah lagi, bau anyir darah yang menyeruak masuk ke indera penciuman nya. Bersusah payah pria tua itu berdiri dan mendekat pada sekumpulan ilalang basah yang bersusah-payah menari-nari kala di tiup angin.
Sang pria tua membeliak, jantungnya lemas terperanjat. Kakinya mundur beberapa langkah, dengan bibir bergetar pak tua itu berteriak.
"TOLOOOOONG! ADA MAYAAAT ...!"
Tak perlu memakan waktu lama, area penemuan mayat tersebut sudah disambangi beberapa petugas kepolisian. Tak hanya polisi, puluhan warga pun ikut berkerumun di area TKP.
"Tolong bubar Bapak Ibu sekalian, ini bukan tontonan! Jangan ada satupun yang berani merekam ataupun mengambil gambar dari kejadian ini, harap semuanya bubar!" usir Abirama, seorang petugas tampan rupawan bertubuh proporsional.
Beberapa warga yang diusir, mundur beberapa langkah. Namun, tak satupun dari mereka untuk berniat pergi.
"Hey Pak Polisi, kerja yang benar dong! Ini sudah ketiga kalinya kan, ada penemuan mayat di kota kecil ini? Kali ini apa lagi yang akan kalian jadikan alasan? Begal lagi? Jambret lagi? Hah?!" sembur ibu-ibu ber-daster merah dengan dua koyok di ujung pelipisnya.
"Tau tuh! Sudah tiga korban berjatuhan, belum lagi ditambah dengan jumlah orang-orang hilang di kota ini. Namun, tak ada tindakan dari kalian sebagai aparat penegak hukum. Alasan kalian selalu saja sama, korban begal lah, kabur dari rumah lah! Bisa becus gak sih kerja nya?! Kalian ini sengaja melindungi penjahat ya?" tuduh teman dari ibu ber-daster merah.
Abirama yang tengah merentangkan kedua tangannya di hadapan para ibu-ibu tersebut, terdiam dengan wajah ditekuk.
Ingin rasanya ia menyangkal, tapi, apa yang dikatakan kedua wanita baya itu nyaris semuanya benar.
Kepolisian sedikitpun tidak menyelidiki kasus pembunuhan keji yang terjadi di kota tersebut, seolah melindungi pelaku.
Tentu saja sebagai aparat penegak hukum, Abirama ingin menguak kebenaran dari kasus-kasus tersebut. Namun, tak ada yang dapat diperbuat. Ia terpaksa tunduk dan bungkam semenjak nyaris dipecat, saat ketahuan lancang diam-diam menyelidiki kasus sadis di kota kecil itu.
Tak jauh dari kerumunan warga dan petugas, seorang pria berpakaian serba hitam mendekati salah satu warga yang mengamati TKP dari kejauhan.
"Ada apaan, Pak? Ramai-ramai begini?" Tanya Edwin, seorang pelukis berusia kepala tiga pada seorang pria baya yang tengah menenteng dua buah kelapa muda.
Pria baya itu sedikit terperanjat kala tiba-tiba saja ada suara yang berbisik di telinganya.
"Eh, Mas Edwin ... ngagetin aja! Itu ... ada penemuan mayat lagi," jawab pria baya itu pelan.
"Lagi? Berarti ini sudah yang ke ...." Edwin mencoba mengingat-ingat.
"Tiga kali, cara meninggal nya juga sama!" gumam pria baya tersebut.
"Tiga?" Edwin menganga lebar, "wah, ini bisa di sebut pembunuhan berantai gak sih, Pak Yono?"
Pria bernama Yono itu mengangguk. "Tentu saja, apalagi namanya jika bukan pembunuhan berantai, Mas Edwin? Duh, serem banget! Jadi takut saya mau keluar malam-malam!"
Edwin manggut-manggut seraya menatap Yono yang mengusap-usap kedua lengannya, pria baya itu tampak merinding.
"Omon-omon, tumben nih Mas Edwin keluar goa? Biasanya semedi mulu, melukis tiada henti ...," goda Yono.
Edwin tidak menjawab, ia hanya mengangkat sekantong sayuran segar. Pertanda ia baru saja pulang dari pasar.
Edwin dan Yono kini memilih diam, pun para warga. Suasana begitu hening, mereka bergidik ngeri saat menyaksikan proses evakuasi mayat wanita malang itu.
CEKREK!
Dalam keadaan hening, suara kamera membuat para aparat yang bertugas di area tersebut menoleh.
"Hey! Siapa itu yang memotret?!" Petugas dengan perut buncit menatap garang pada para warga.
Beberapa warga menggeleng, tak ada satupun yang mengaku. Membuat para petugas menatap berang dan memeriksa ponsel orang-orang yang berada di area tersebut.
Selagi para aparat memeriksa ponsel para warga, seorang pria dengan jas putih yang membalut tubuhnya, tengah menatap lurus pada satu titik. Ekspresi wajahnya tak dapat dijelaskan, bibirnya tampak menyunggingkan senyuman gelisah. Ia begitu fokus dengan apa yang ia tatap, sampai-sampai ia tak menyadari seorang wanita tua sudah berdiri di belakangnya.
"Dokter Tommy? Ngapain sendirian di sini?"
*
*
*
Sebuah mobil jeep hitam metalik berhenti tepat di depan toko yang banyak menyajikan aneka sayur-sayuran segar dalam beberapa keranjang.
Bella, wanita cantik dengan rambut sebahu dan berperawakan tegas itu, turun dari mobil tersebut dan menghampiri seorang wanita tua yang sedang bersiap-siap hendak menyambut nya.
"Permisi Ibu ...," sapa Bella sopan.
"Iya, Mbak, mau cari sayur apa? Pada segar-segar ini, mari dipilih," sambut wanita pemilik toko sayur dengan sopan pula.
Bella tersenyum canggung, ia merasa tak enak dengan sambutan penuh harap dari wanita tua di hadapan nya kini. Padahal tujuan Bella berhenti di toko tersebut hanyalah sekedar ingin menanyakan tempat yang akan ia datangi.
Merasa tak enak, Bella akhirnya memilih beberapa sayuran segar, meskipun ia sendiri tidak menyukai menu sayur-sayuran.
Selagi memilih, bola mata Bella beralih pada seorang pria yang baru saja datang dan langsung berdiri di sampingnya. Ternyata sang pria hendak membeli sayur.
Setelah memilih dan membayar, barulah Bella memberanikan diri untuk bertanya pada sang pemilik toko.
"Maaf Ibu sebelumnya, apa Ibu tau kantor polisi di daerah ini? Kebetulan tujuan saya menuju ke sana, tapi, ponsel saya habis baterai. Jadi GPS tidak berfungsi ...," tanya Bella sopan.
Mendengar pertanyaan Bella, air muka wanita pemilik toko sayur tersebut berubah drastis. Wajahnya mendadak ketus dan tidak bersahabat.
"Mau ngapain anda ke tempat itu?!" sinis si pemilik toko.
Bella sedikit bingung melihat perubahan nada bicara, ekspresi wajah dan juga gestur tubuh wanita tua di hadapannya. Benaknya bertanya-tanya, apa ia sudah salah bicara?
Bella mengigit ujung bibirnya, sembari menebak apakah jawabannya kali ini akan mendapatkan respon yang berbeda. "Saya baru saja dipindahtugaskan ke tempat tersebut, Bu. Apa tempatnya masih jauh dari sini?"
PLEK!
Bukan jawaban yang Bella dapat, melainkan setumpuk air ludah melesat pada sepatu hitam pekat miliknya.
Bella terperanjat melihat reaksi sang pemilik toko, ia juga tertegun kala wanita tua itu melemparkan sejumlah uang yang tadi ia berikan untuk membayar dagangan yang Bella beli.
Wanita itu merampas sekantong sayuran yang digenggam Bella. "Ambil uang mu, aku tidak butuh! Jangan berani-berani membeli dagangan ku, aku tak sudi menjualnya pada sampah masyarakat seperti mu!"
Mendengar suara ribut-ribut, seorang pria tua keluar dari toko tersebut. Ia menenangkan sang istri yang tengah mencak-mencak.
"Ibu, tenang, Bu. Ada apa sih marah-marah begini? Nanti darah tingginya kumat lho."
"Ada sampah masyarakat, Pak! Sumpah, Ibu jijik lihatnya!" umpat sang istri.
Pria tua itu menoleh pada dua orang yang berada di hadapannya, ia menatap pria yang sudah sering menjadi langganan nya. Tentu saja ia lekas tau, bukan pria itu yang dimaksud sang istri. Lalu pria tua itu menoleh pada Bella.
"Mbak ini siapa? Mau apa? -- Mbak polisi?" tanya pak tua jauh dari kata ramah.
Bella mengangguk ragu-ragu. "Saya baru saja dipindahkan kemari, saya tidak tau jalan, kebetulan ponsel saya mati. Tadi saya juga sudah bertanya pada beberapa penduduk sekitar, tapi, mereka enggan menjawab."
Wanita tua itu terkekeh dengan senyuman mengejek.
"Tentu saja kau tidak akan mendapatkan jawaban, siapa juga yang sudi memberi jawaban?! Cih!" wanita yang kepalanya nyaris tertutup uban itu berdecih.
Bella menarik napas panjang sembari membatin. 'Baru nanya lokasi saja sudah selelah ini, apalagi menjalankan tugas. Bakal selelah apa aku nanti?'
Berat Bella menghembuskan napasnya. "Saya tidak tau apa yang sudah kalian alami di tempat ini, saya juga tidak tau bagaimana para petugas menanggapi permasalahan yang kalian hadapi. Tapi, bukannya ini termasuk diskriminasi kepada saya yang baru saja tiba dan tidak tau menau tentang apa yang terjadi di sini?"
"Halah, semua polisi sama saja tuh!" ketus si ibu tua.
"Tidak semua polisi seperti itu, Bu Noni," pria di samping Bella ikut bicara.
"Memang tidak semua polisi seperti itu, Mas Edwin. Tapi, yang seperti itu sudah pasti polisi ...!" Bu Noni selaku pemilik toko semakin meninggikan suaranya.
Melihat situasi semakin tak kondusif, Bella akhirnya pamit undur diri. Tak ada manfaat nya juga ia berlama-lama di sana.
Di belakangnya, Edwin membuntuti. "Maaf, permisi!"
Langkah kaki Bella terhenti. Pintu mobil yang baru saja ia buka, kini ia tutup kembali. Ditatapnya Edwin dengan senyuman getir.
"Ada apa, Mas?" tanya Bella.
"Kalau tidak keberatan, boleh saya bantu menunjukkan jalan?" jawab Edwin dengan senyuman ramah.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Anak mereka menghilang tanpa jejak, sudah tiga bulan. Dan ... tanggapan dari polisi dianggap meremehkan, oleh para korban. Alih-alih menyelidiki, para aparat penegak hukum malah enteng mengatakan anak dari pasangan toko sayur itu hanya kabur dari rumah bersama pacarnya," papar Edwin pada Bella.
Kedua alis Bella bertaut. "Para korban? Maksudnya? Orang hilang di kota ini tak hanya anak dari kedua pasangan tadi?"
Edwin mengangguk, pria itu membenarkan.
"Jika dihitung, kemungkinan sudah sebelas gadis muda hilang di kota ini," ungkap Edwin.
Bola mata hitam pekat milik Bella membeliak.
"Se-sebelas?!" Bella nyaris berteriak.
Edwin tersenyum miring sembari melempar jauh pandangannya pada hamparan ilalang yang dilalui oleh mobil yang membawanya.
"Kenapa anda tersenyum seperti itu? Ada yang aneh?" kening Bella berkerut.
Edwin menggeleng, bibirnya terkatup rapat menahan tawa.
"Hey, kenapa?" Bella gusar.
"Tidak, ekspresi anda sangat lucu. Mulut anda menganga lebar seperti ikan kekurangan oksigen!" olok Edwin.
Bella memutar matanya jengah, ia kembali fokus menyetir. Sedangkan Edwin, pria itu fokus menunjukkan jalan pada Bella.
"Oh, ya ... apa di daerah sini ada seorang Dokter yang memiliki tatto di pergelangan tangannya?" tanya Bella dengan mimik serius.
Bola mata Edwin mengerjap.
"Dokter?" Edwin balik bertanya.
Bella mengangguk sembari sesekali melirik Edwin yang duduk di kursi samping kemudi. Tak sabar wanita itu menunggu jawaban dari pemandu jalan nya.
Edwin mengedikkan kedua bahu, matanya menatap keluar jendela. "Entahlah. Saya tidak pernah sakit, tidak pernah juga berobat. Jadi, saya tidak tau ada atau tidaknya orang dengan ciri-ciri yang anda pertanyakan. --- Apa anda sedang mencari-cari seseorang?"
Bella menggeleng, senyuman paksa terukir di bibir mungil nya. "Lupakan saja, bukan hal yang penting."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Apa kalian bilang? Kapten baru kita seorang wanita?!" Abirama menggeram di belakang meja kerjanya.
Bola mata pria itu mendelik menunjukkan ketidaksukaannya. Bahkan botol kosong air mineral diremasnya hingga remuk, lalu dilempar kasar ke tong sampah. Pria itu memang anti bekerja di bawah komando seorang wanita.
"Begitulah berita yang kami dengar, Ram," jawab Taufik, rekan kerja Abirama.
"Apa-apaan ini? Kapten kita dipindahtugaskan ke tempat lain, lalu digantikan dengan seorang wanita? Aku kira pengganti nya adalah seorang pria yang akan jauh lebih kompeten dari sebelumnya. Ternyata hanya seorang wanita? -- Sudah pasti dia akan menyusahkan kita. Wah! malang sekali nasib tim ini, sepertinya kita tidak akan pernah bisa naik pangkat! Arrrggghhh! Aku bisa gila ...!" gerutu Rama kesal.
Pria itu kemudian berdiri dan melangkah mendekati Taufik yang tengah berdiri di depan dispenser.
"Hey, Ram, jangan diskriminasi gender seperti itu. Tak baik, lagi pula ... kita belum pernah melihat kinerjanya kan?" nasihat Taufik.
"Cih!" Abirama berdecih, "jika kita para pria saja tak berkutik oleh tekanan para atasan, apalagi dia yang hanya seorang wanita? Memangnya apa yang bisa dilakukan para wanita?"
Pria yang paling anti terhadap wanita itu, kini berkacak pinggang sambil menyugar kasar rambutnya.
"Entahlah ... apa ya, yang bisa aku lakukan sebagai seorang wanita? -- Ah, aku juga penasaran, apakah pria yang tengah menyombongkan diri saat ini, pernah berhasil menyelesaikan satu kasus dengan baik?" Suara wanita menyela dari ambang pintu, membuat semua yang ada di ruangan itu tersentak. "Apa kau berani bertaruh untuk kinerja ku? Jika aku yang hanya seorang wanita ini, bisa mengalahkan kinerja semua orang-orang yang ada di dalam sini ... apa kau berani bertaruh untuk mundur dari jabatan mu saat ini?"
Bella melangkahkan kakinya, mendekati dua orang yang tepergok membicarakan dirinya. Wanita itu merangkul kedua pundak Abirama dan Taufik. "Perkenal kan, aku Bella Kimberly!Aku tidak suka banyak ba bi bu, yang ingin aku sampaikan saat ini adalah ... ayo kita bekerja dengan benar! Apa kalian tidak malu selalu di cap buruk oleh para warga?"
Tubuh kedua pria itu mendadak tegang, terutama Abirama. Entah kenapa feeling nya mengatakan, wanita yang tengah merangkul dirinya kini merupakan iblis gila yang akan membuat hari-harinya menjadi lelah.
"Aku tidak peduli kau menyukai aku atau tidak, yang jelas dan wajib kau sadari ... sekarang aku adalah kapten mu. Perbaiki sikap mu, atau ku rontok kan seluruh gigimu," bisik Bella lembut di daun telinga Abirama.
Bella mengusap lembut kedua bahu Abirama dengan senyuman mengejek. Setelah itu, Bella lekas menuju kursi kerja nya.
"Bawakan padaku berkas-berkas para warga yang melaporkan kehilangan anaknya, sekarang!"
*
*
*
Bertumpuk-tumpuk lembaran kertas-kertas memenuhi meja kerja Bella. Tumpukan kertas yang tak lain tak bukan merupakan laporan tentang para orang-orang yang menghilang secara misterius dari kota tesebut.
"Totalnya ada sebelas orang yang menghilang dalam tujuh bulan terakhir ini," jelas Taufik pada Bella.
Sang kapten hanya manggut-manggut saja, seraya mendengarkan penjelasan dari anggotanya.
"Bagaimana dengan cctv?" tanya Bella sembari menyandarkan tubuhnya yang cukup lelah. Maklum saja, ia baru saja menempuh perjalanan darat selama enam jam.
Taufik yang ditanyai, hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal seraya menatap rekannya, Abirama.
Bella cepat tanggap dan mengacungkan jari telunjuknya pada Abirama, ia menatap tajam pria itu.
"Kemari!" Titah Bella seraya menggerakkan ujung telunjuknya.
Abirama berdiri dan memutar malas bola matanya, ia melangkah lemah. Harga dirinya serasa dipijak-pijak saat menuruti perintah dari seorang yang ber-gender wanita.
"Jelaskan!" titah Bella kala Abirama sudah di hadapan nya.
"Semua cctv lenyap begitu saja saat saya meminta rekaman tersebut," jelas Abirama. "Ada yang menghapus rekaman khusus di tanggal kejadian."
Bella manggut-manggut sembari mengetuk-ngetuk ujung jarinya di atas meja. Kedua matanya terpejam dan fokus berpikir. Namun, konsentrasi nya buyar saat telepon salah satu anggotanya berdering.
Bella menatap lekat sang anggota yang tengah tegang mendengarkan laporan warga.
Sang anggota mendekati Bella begitu menutup telepon kabel di meja kerjanya.
"Ada apa, Rinol?" tanya Bella sembari menatap name-tag yang melekat pada seragam pria yang tengah berdiri di depan mejanya.
"Ada laporan dari warga, Kapt! Seorang warga kembali menemukan mayat!" jelas Rinol.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Kedua tangan Bella sudah terbungkus dengan sarung tangan nitril hitam yang biasanya sering digunakan oleh petugas penegak hukum, pemasyarakatan, dan keamanan. Wanita sedikit menunduk, mengamati kondisi mayat dengan teliti.
Abirama hanya berdiri di belakang sang kapten yang tak disukainya, seraya melipat kedua tangan di dada. Ia memperhatikan apa saja yang Bella lakukan.
Pemilik rambut sebahu itu kini duduk bercangkung di sisi mayat, jemarinya meraba luka sayatan di leher dan juga dada. Kedua alisnya kini bertaut.
"Carving knife?" gumam Bella.
Abirama mengernyit mendengar perkataan sang kapten. Penasaran, ia akhirnya ikut berjongkok di samping Bella.
"Senter police." Bella menadahkan tangannya pada Abirama.
Pria itu memutar bola matanya dengan raut kesal, ia belum sanggup menerima kenyataan. Dengan ogah-ogahan, ia memberikan alat penerang portabel kepada sang kapten.
Bella segera menyambar benda bulat hitam dan panjang itu. Pemilik raut tegas itu lekas mengarahkan cahaya pada bibir mayat yang menganga, seolah memastikan sesuatu.
"Luka apa itu?" tanya Rama yang ikut mengintip.
"Yang jelas itu bukan luka dari sebuah pisau," jelas Bella.
Abirama manggut-manggut.
"Apa kau menciumnya?" tanya Bella tiba-tiba.
"Ha?" Abirama tak mengerti.
"Aroma ini." Dengan berbalut masker, Bella mengendus-endus aroma mayat tersebut. Hidungnya menelusuri seluruh lekuk tubuh sang mayat, membuat perut Abirama mual seketika melihatnya.
"Aroma apa ini? Aroma nya sangat familiar!" Gerutu Bella berusaha mengingat aroma yang sangat menyengat tersebut.
Abirama tersenyum miring melihat sang kapten, sebenarnya pria tampan itu sudah tau aroma apa yang dipertanyakan Bella, jelas dia sudah sempat menyelidikinya dari kasus-kasus sebelumnya.
Abirama tak hentinya tersenyum remeh, matanya seolah mencemooh. Tak mungkin Bella langsung bisa menebak hanya dengan sekali endus, begitu pikirnya. Namun, senyuman remeh itu seketika sirna kala sang kapten berkata.
"Isopropil alkohol! C3H8O! -- Benar, ini aromanya!"
Abirama terhenyak. Bagaimana Bella bisa tau? Begitu batinnya. Pria itu mengulas senyuman tipis.
'Sepertinya, dia bukan tipe wanita yang akan menyusahkan!' batin Abirama. Bibirnya tersenyum tipis seraya menatap Bella.
Yang ditatap lekas berdiri, keningnya berkerut dalam. Ia sibuk membatin.
'Isopropil alkohol? Bukankah larutan ini seringkali digunakan sebagai pembersih alat-alat medis?'
Bella menatap para anggota nya yang tengah memungut apa saja yang kemungkinan bisa menjadi bukti.
Bella menatap Abirama, dengan penuh makna.
Pria yang tengah ditatap itu seketika tersentak, ia kelabakan saat tatapan mereka beradu. Jantungnya berdegup kencang kala sang kapten mendekat.
Bella membisikkan sesuatu pada telinga pria itu. Abirama mundur selangkah, menjauhkan telinganya dari bibir sang kapten. Ia menatap serius Bella, lalu mengangguk.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Kamu tunggu di parkiran aja, Fik. Biar aku ke dalam sendirian. Tidak lama kok, aku sudah mendaftar via online tadi." Tukas Rama yang lekas melangkah masuk ke area rumah sakit.
Taufik yang menunggu di parkiran hanya geleng-geleng kepala.
Usia Taufik sepantaran dengan Rama. Selain rekan kerja, Taufik merupakan sahabat baik Rama. Bahkan, bagi Rama, Taufik adalah keluarga nya.
Hubungan mereka tak dapat dideskripsikan dengan kata-kata. Dua pria itu sama-sama tumbuh bersama di sebuah yayasan. Taufik dan Abirama merupakan anak yatim piatu. Taufik layaknya seorang bapak dan juga ibu bagi Abirama.
Setelah mereka dewasa, mereka mencari kerja di bidang yang sama. Beruntung sekali, mereka bisa menjadi satu tim.
Taufik menatap langit yang menggelap pagi itu, rintik-rintik hujan mulai turun.
"Sial!" umpat Taufik, ia lekas berteduh.
Pria itu jadi memikirkan Abirama. Sahabatnya itu sangat membenci hujan.
Di dalam gedung, jari jemari Abirama bergetar hebat. Ia masih dapat mendengar suara hujan di luar sana. Dadanya riuh bergemuruh.
"Pak Abirama?" Seorang suster menatap Rama, pertanda sudah giliran pria itu untuk menjalani pemeriksaan.
Pria yang sedang tidak sakit apa-apa, alias sedang menjalankan tugas itu lekas masuk ke ruangan poli umum.
"Selamat pagi, Pak Abirama. -- Usia 28tahun ya ... Keluhannya apa?" Tanya seorang Dokter berperawakan tampan, dengan sebuah stetoskop yang menggelayut di leher pria itu.
Abirama menatap sang dokter lekat, bola matanya menelisik kedua tangan sang dokter yang cukup banyak tertutup dengan beberapa tattoo.
Sebuah nametag yang melekat di jas sang dokter ditatap lekat oleh Abirama.
'Dokter Tommy?' batin Rama.
*
*
*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!