NovelToon NovelToon

DEVANNA

PROLOG (Cinta Yang Sempurna)

1). DEVAN ARTYOM.

Aku tiada pernah dikaruniai perjumpaan yang lebih mulia, selain saat takdir mempertautkan aku dengan dirimu. Kala kusangka langit raya adalah singgasana keagungan yang tak tertandingi, ternyata segala keindahan itu tersimpan di sorot matamu yang kelam sekaligus bercahaya.

Betapa mungkin segenap ciptaan semesta berlutut di dalam tatapanmu, hingga aku pun tanpa sadar berlari menujumu, menyirnakan diriku dalam pelukan jiwamu, dan rela terpenjara selamanya di kedalamanmu.

Kupinjam ragamu bagai pinjam nadi kehidupan, sebab dari matamu kulihat jagat, dari bibirmu kulafazkan cinta, dari helamu kuhirup napas segar, dari telingamu kudengar musik alam, dan dari jantungmu kutemukan detak yang membuatku ada.

Lalu kuantar langkahmu ke tepian telaga suci, kusuruh wajahmu bercermin di riaknya yang bening, agar kau tahu, elokmu melampaui cahaya bintang di angkasa, bahkan menaklukkan surya yang tegak di singgasana langit biru.

Dan tatkala kulihat kau terdiam, merasakan ruh yang sejak mula bersemayam di tubuhmu, aku pun bergembira. Karena kau akhirnya mengenal diriku yang tersembunyi, seraya menghadiahkan senyum, yang menjadikanku lelaki paling berbahagia di bawah naungan semesta.

...__________...

2). ANNA ISADORA B.

Aku pernah memohon kepada Tuhan, satu keajaiban di tengah robohnya duniaku. Tak kusangka, aku menjumpaimu di antara serpih waktu yang hampir menelanku dalam kelam.

Lalu aku pun bersujud, penuh syukur, atas segala derita yang menuntun jiwaku merintih pasrah kepada Ilahi, hingga akhirnya Ia anugerahkan dirimu.

Oh, betapa anehnya, air mataku menjadi manis, luka di dadaku kehilangan perih, tatkala pandangan matamu menetap padaku, dan bibirmu berucap kasih dengan lembut.

Seolah Tuhan sendiri berbisik kepadaku, “kau pun layak menerima cinta, meski dunia ini bengis dan kejam.”

Namun, keserakahan pun menyelindap di hatiku, aku bertanya pada angin malam, pada bintang yang redup, adakah rasa ini akan kekal bersemayam di dadamu? Akankah kau tetap menjadi milikku, meski semesta hancur, dan duri-duri dunia mencabik tanpa belas kasih?

Dan sekali lagi, keyakinan itu lahir darimu, wahai keajaiban yang menjelma nyata. Aku pun mengerti kini, jika kau bukan ditakdirkan untukku, maka semesta pun takkan pernah menciptakanmu.

Maka biarlah bumi merekah dan bintang-bintang luruh dari singgasananya, asal cintamu tetap menyala, laksana pelita abadi di samudra gulita, dan melalui sinarnya, kuhirup kasih Tuhan yang tiada berkesudahan.

..._____________...

💌

Halo semuanya!

Salam kenal, aku Evrensya.

Ini adalah versi revisi besar-besaran dari novel lamaku. Setelah membaca ulang dari awal hingga akhir—puluhan, mungkin ratusan kali, sampai aku merasa beberapa bagian alurnya bisa lebih kuat, konflik lebih menegangkan, dan karakternya lebih hidup.

Jadi, aku memutuskan untuk menyusun ulang seluruh cerita agar pengalaman membacanya lebih seru, emosional, dan memikat.

Untuk kalian yang sudah familiar atau baru pertama kali mengenal cerita ini, intinya: ini adalah kisah cinta yang menembus jarak sosial, antara rakyat jelata dan elite konglomerat.

Aku ingin mengeksplorasi bagaimana cinta bisa bertahan di tengah kesenjangan status, perjuangan apa saja yang harus dilalui, dan bagaimana nilai seorang manusia muncul tanpa embel-embel takhta atau gelar.

Dalam versi ini, aku jamin konflik terasa lebih keras, kompleks, dan realistis, sementara dunia yang dibangun akan membawa kalian ke ranah yang lebih luas dan dramatis. Bersiaplah untuk menyelami intrik, pengkhianatan, dan romansa yang lebih intens dari sebelumnya.

..._________...

Cerita ini sepenuhnya hasil imajinasi penulis dan bersifat fiktif. Segala tokoh, perusahaan, institusi, dan peristiwa yang ada di novel ini tidak merujuk pada individu atau kejadian nyata. Jika ada kemiripan, itu semata-mata kebetulan.

Dalam cerita ini, kamu akan menemukan drama yang lebih dramatis dari kenyataan:

Konflik keluarga, pengkhianatan, kekerasan verbal maupun psikologis, intrik bisnis, skandal politik, manipulasi media, dan sistem peradilan yang penuh ketegangan. Semua itu dibuat untuk kepentingan fiksi, agar pembaca dapat merasakan intensitas dan kompleksitas dunia yang aku ciptakan.

Aku berharap kalian bisa menikmati cerita ini dengan mata imajinasi terbuka, dan menyelami setiap konflik dan emosi tanpa mengaitkannya dengan realitas atau tokoh nyata.

❤️❤️❤️

Liburan? Aku Dijual Ibu

Langit pagi di pelabuhan itu tampak lebih muram dari biasanya, meski matahari menanjak dengan gagah di ufuk timur.

Udara asin laut, bercampur dengan deru mesin kapal pesiar yang sedang bersiap meninggalkan dermaga. Dress putih yang dikenakan Anna, jatuh ringan tertiup angin laut, rambut keemasannya berkilau disinari mentari pagi, membuat semua mata tertuju padanya.

Aneh, kali ini sang Ibu membiarkannya tampil tanpa penyamaran, padahal biasanya wajah itu dikaburkan make up tebal atau kacamata besar. Anna semakin heran, mengapa Ibunya tiba-tiba bersikap manis dengan mengajaknya berlayar? Setelah sekian tahun lamanya dikurung. Kebebasan mendadak ini terasa janggal. Namun ia tak berani menolak, sebab penolakan berarti mengundang murka Ibunya yang bisa melumat seluruh sisa hidupnya.

Anna berdiri kaku di samping ibunya, Alia, yang tampak begitu tenang dengan balutan gaun hijau zamrud. Ada semacam keangkuhan pada wajah wanita tua itu, seolah seluruh dunia tunduk pada setiap geraknya.

Anna memandang lautan yang luas, mencoba mengusir keresahan yang menumpuk di dadanya. Baginya, laut selalu seperti cermin yang memantulkan wajah kebebasan, sesuatu yang selama ini tak pernah ia miliki.

“Ikutlah dengan baik, Anna. Jangan menanyakan sesuatu yang akan membuat Ibu kecewa, nikmati saja setiap detik kebebasan yang Ibu berikan. Ini adalah hal yang paling kau dambakan, bukan?” ujar Alia datar, suaranya dingin, tak berbeda dengan perintah-perintah yang selalu memenjarakan putrinya. "Ibu harap, kamu benar-benar menikmati moment ini dengan perasaan merdeka."

Anna hanya mengangguk meskipun ia ragu dengan kata 'merdeka' yang diberikan Ibu untuknya. Mulutnya pun terlalu malas hanya sekedar mengucapkan kata 'iya'. Sebab hubungan mereka memang tidak pernah hangat. Sosok seorang ‘Ibu’ seharusnya melambangkan kasih sayang yang tak terhingga, tapi bagi Anna, kata itu identik dengan kegelapan, siksaan, dan penjara yang membatasi seluruh hidupnya.

Mereka pun menaiki kapal megah itu, salah satu kapal pesiar yang biasa berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Kilauan cat putihnya, lantai kayu yang dipoles mewah, serta pramugara berseragam membuat Anna serasa memasuki dunia yang asing.

Alia berbicara dengan seorang pria berjas hitam di lobi kapal. Senyum yang terukir di bibirnya membuat Anna merinding, karena ia tidak pernah sama sekali melihat ibunya tersenyum, apalagi pada orang lain. Tak lama, seorang pramugara mengantar mereka menuju sebuah kamar mewah, dengan pintu kayu berukir dan gagang emas berkilau.

“Kau masuklah dan beristirahat dulu. Ibu akan keluar sebentar. Perjalanan ini akan panjang, jadi nikmatilah waktumu. Tak lama lagi, pramugara kapal akan datang membawakan hidangan lezat. Makanlah sepuasnya,” ucap Alia dengan nada yang cukup ramah, ketika kaki mereka menapaki ambang pintu.

Anna mengangguk. Ia ingin bertanya dari mana ibunya memperoleh kesempatan sebesar ini, tapi lidahnya kelu. Ia hanya sedikit tahu kalau akhir-akhir ini bisnis ibunya tampak membaik. Namun, ia juga tahu betul, setiap kebaikan yang datang dari Alia selalu berbalut duri yang siap melukainya kapan saja.

Begitu pintu kamar itu terbuka, Anna tertegun. Ruangan itu luas dan berkelas. Fokusnya tertuju pada ranjang besar berlapis seprai putih terhampar di tengah, sementara sofa biru beludru terletak anggun di sudutnya. Jendela kaca lebar menyingkap hamparan laut yang berkilau, seakan membiarkan cahaya matahari menari di permukaan karpet yang lembut. Lampu kristal di langit-langit memantulkan sinar yang begitu hangat, membuat segalanya tampak seperti istana kecil di tengah samudra.

Anna melangkah masuk dengan ragu, sedang Ibunya berbalik arah dan pergi. Pandangan mata Anna masih tertuju pada ranjang yang dipenuhi wangi bunga mawar segar dan tirai tipis berwarna gading yang mengelilinginya. Sekilas, itu lebih mirip ranjang pengantin daripada kamar biasa.

Jantung Anna seketika berdebar. Ia menelan ludah, lalu perlahan mendekat, jemarinya gemetar menyentuh ujung sprei, kemudian duduk di tepi ranjang itu, firasatnya menyatakan seolah dirinya sedang dijebak dalam permainan yang tak asing baginya.

Tiba-tiba seorang Pramugara mengetuk pintu dengan sopan sebelum mendorong troli masuk. “Selamat pagi, Nona. Kapten kami mengirimkan hidangan spesial untuk Anda dan Nyonya di kabin ini. Semoga sesuai selera.”

Anna menatap troli berisi hidangan lengkap dan minuman segar di depannya dengan ragu. Aroma masakan yang hangat memenuhi ruangan. “Untukku? Bukankah terlalu mewah hanya untuk sarapan biasa?” tanyanya polos.

Pramugara itu tersenyum ramah, meletakkan sebuah piring di meja kecil dekat ranjang. “Di kapal ini, setiap tamu istimewa diperlakukan dengan cara terbaik, Nona.”

Anna menghela napas pelan. “Kalau begitu, terima kasih," ucapnya. "Tapi apakah semua ini aman? Maksudku, tidak ada yang aneh, kan?” selidik Anna sembari memperhatikan gerak-gerik sang Pramugara.

Pramugara itu menundukkan kepala sedikit, menahan senyum tipis. “Tidak perlu khawatir, Nona. Semua hidangan dimasak langsung oleh chef profesional kapal kami. Jika ada yang tidak cocok dengan selera Anda, kami bisa segera menggantinya.”

Anna menunduk, agak malu karena pertanyaannya terdengar terlalu mencurigai. “Baiklah, maaf. Aku hanya tidak terbiasa dengan semua ini," tukasnya, sekedar alasan.

Pramugara itu menatapnya dengan ramah, lalu merapikan serbet di samping piring. “Hal-hal baru seperti ini justru yang membuat pagi Anda menjadi lebih istimewa, Nona. Selamat menikmati sarapan Anda.” Ia membungkuk sopan, kemudian berjalan keluar, meninggalkan Anna seorang diri bersama hidangan yang berjejer memenuhi meja bundar itu.

Anna menatap mangkuk di depannya dengan ragu. Rasa curiga pada ibunya masih mengganjal, tapi tubuhnya yang lapar mendesak lebih keras. Ia akhirnya mencicipi sedikit saja, berniat menyisakan untuk ibunya bila datang. Namun suapan pertama yang hangat dan gurih segera meruntuhkan pertahanannya, tangannya terus bergerak, nyaris lupa pada kecurigaan yang sempat mengikatnya.

Namun, setelah beberapa saat, rasa kenyang datang lebih cepat dari biasanya. Setelah mencicipi beberapa sendok makanan, tubuhnya mulai diliputi kehangatan aneh, seperti angin panas yang menyusup halus dari dalam. Kepalanya terasa ringan sekaligus berat, pandangannya sedikit berkunang. Nafasnya melambat, seolah dunia sedang menekan tombol 'tenang' yang tak pernah ia kenal sebelumnya.

Anna mencoba menegakkan punggung, tapi tubuhnya justru semakin tenggelam dalam ranjang yang meninabobokan. Kelopak matanya berat, seakan ada tangan tak kasat mata yang menariknya ke bawah. Rasa pusing menyergap dari pelipis, kemudian ke tengkuk, bercampur dengan kantuk yang sudah tak bisa ditahan lagi.

Detik terakhir sebelum kesadarannya padam, ia sempat merasakan ketakutan kecil. Apakah rasa ngantuk ini wajar? Apakah ia sudah terlalu lengah? Namun sebelum sempat ia menemukan jawaban, tubuhnya sudah menyerah. Perlahan, obat itu bekerja lembut tapi pasti, menenggelamkan Anna ke dalam tidur yang panjang.

..._________...

Anna terbangun, ia mendapati dirinya tak lagi mengenakan pakaian yang sama. Dadanya berdegup kencang ketika menyadari tubuhnya kini dibalut gaun malam berwarna merah, tipis, dan terlalu terbuka untuk dirinya.

Di sekeliling ranjang, taburan kelopak mawar merah semakin banyak hingga menutupi seprai putih itu sepenuhnya tanpa space, seolah-olah kamar itu disulap menjadi altar untuk sebuah ritual yang mengerikan.

Anna terperanjat, nafasnya tercekat, jantungnya berdegup liar. Instingnya segera bekerja. Ia tahu betul apa maksud dari semua ini. Kejadian ini bukanlah pertama kali ibunya mencoba menjualnya. Bedanya, kali ini Anna benar-benar lengah.

“Ibu…” lirihnya dengan suara tertekan, tenggelam dalam rasa sesal yang menyedihkan. “Mengapa Ibu melakukannya lagi?”

❤️❤️❤️

Melarikan Diri Atau Mati

Anna bangkit dari ranjang, tubuhnya limbung, kepalanya berat, kemungkinan karena obat yang dicampurkan dalam makanan tadi.

“Makanan yang kumakan tadi jelas sudah dicampuri sesuatu hingga membuatku tak sadarkan diri,” sesalnya lirih.

Namun tekadnya melampaui kelemahan fisiknya, meski dengan langkah goyah, ia menelusuri ruangan, matanya mencari sesuatu untuk menutupi tubuhnya. Pandangannya jatuh pada sebuah handuk yang terlipat rapi di atas kursi dekat meja. Segera diraihnya, lalu dililitkan ke tubuhnya.

Anna lalu berlari menuju pintu, menggenggam gagangnya dengan penuh harap. Diputar sekuat tenaga, namun terkunci rapat dari luar. Ia terhuyung karena masih pusing, punggungnya bersandar pada pintu yang dingin. Panik sempat menelannya, namun ia memaksa diri untuk tenang. Ia menyadari bahwa senjata terbaik yang ia miliki dalam kondisi seperti hanyalah kewaspadaan dan keberanian.

Anna menatap ke arah cermin di kamar itu. Bayangan dirinya memantul, wajahnya pucat, matanya memerah menahan tangis, tubuh yang terbungkus kain seadanya itu nampak bergetar.

Bayangan masa lalu menyeruak di kepala Anna. Ia masih ingat ketika berusia tujuh belas tahun, Alia mencoba mengikat janji dengan seorang pengusaha kaya. Namun malam itu ia berhasil melarikan diri dari sebuah pesta, berlari dengan kaki berdarah karena sepatu hak tinggi yang dipaksakan padanya.

Kini, bertahun-tahun kemudian, ibunya melancarkan rencana serupa. Bedanya, kali ini Anna terperangkap di tengah samudra, tanpa ada jalan keluar. Sial! Wanita tua itu harusnya tak diberi kepercayaan.

Malam semakin pekat. Lampu kamar memang sudah redup sejak Anna terbangun. Sementara di luar, suara musik dari pesta kapal terdengar samar, seperti ejekan bagi kesengsaraannya.

“Ibu, mengapa tubuhku selalu menjadi harga yang kau tawarkan pada dunia? Seandainya aku sudah tak layak hidup, bukankah lebih baik kau bunuh saja aku, atau membuangku jadi makanan ikan ditengah lautan,” bisiknya pada bayangan sendiri.

Anna tahu, waktu semakin singkat. Laki-laki itu, entah siapa, mungkin saja akan segera datang. Saat ini ia harus membuat pilihan penting, antara menyerah pada nasib yang digariskan ibunya, atau berjuang mempertahankan kehormatannya, meski harus melompat ke dalam laut yang gelap.

Kepala Anna masih berkunang-kunang. Pandangannya bergetar, seolah ruangan itu berputar tanpa henti. Namun di tengah kepayahan tubuhnya, telinganya menangkap derap langkah berat dari luar kamar, juga suara samar seorang laki-laki dari balik pintu. Suaranya rendah, dengan aksen asing yang tebal, berbincang dengan seseorang di luar.

Mendengar itu, seketika membuat jantung Anna seolah melompat ke kerongkongan. Tangannya menggenggam handuk erat-erat, sementara matanya mencari-cari benda apa saja yang bisa dijadikan senjata. Kesempatan ini hanya datang sekali, dan ia harus siap menebusnya dengan apa pun, bahkan meskipun yang mati adalah dirinya atau predator pemangsa itu.

Di sebuah meja kecil dekat kaca, ia melihat sebuah gelas kaca bening. Tangannya terulur, meraihnya dengan cepat. Gelas itu dingin, namun kini menjadi senjata satu-satunya. Anna berdiri di balik pintu, menahan napas, menunggu detik yang menentukan hidup atau matinya.

Engsel pintu berdecit. Pintu perlahan terbuka, dan masuklah seorang pria asing dengan tubuh tegap. Rambutnya hitam pekat, ikal sebahu, wajahnya kasar dengan janggut tebal menutupi seluruh rahangnya. Kulitnya sawo matang cenderung cerah, hidung bengkok khas Timur Tengah. Jubah mahal warna krem terbalut di tubuhnya, jemari gemuknya berhias cincin-cincin berlian besar.

Anna tak menunggu lebih lama lagi. Dengan sekuat tenaga, ia maju seraya mengayunkan gelas itu tepat ke belakang kepala si pria. "Matilah kau!!!" erangnya beringas.

Praaak!

“Aarrghhhh!” jerit pria itu, raungannya memecah keheningan kamar. Ia langsung terhuyung, terjatuh ke lantai. Darah segar mengalir dari belakang kepalanya, membasahi kerah jubah. Meski ia tidak langsung pingsan, pandangan matanya nanar, mulutnya terus meraung histeris mendamba pertolongan.

Dua pengawal bersetelan hitam menerobos masuk tergesa. Wajah mereka membeku melihat Tuannya terkapar, bersimbah darah di lantai kamar mewah itu.

“Tuan—!” salah satunya memekik panik.

Kekacauan itu menjadi celah bagi Anna untuk melarikan diri. Dengan naluri bertahan hidup, ia menubruk tubuh salah satu penjaga hingga pria itu terhuyung menabrak dinding. Tanpa menoleh lagi, Anna melesat keluar kamar dan berlari pergi.

“Panggil Dokter! Cepat! Dan suruh beberapa orang mengejar gadis itu!” suara yang lain meledak, penuh kepanikan.

Namun pilihan mereka terbatas. Darah yang terus mengalir dari tubuh sang Tuan menuntut pertolongan segera, membuat keduanya lebih sibuk menolong daripada mengejar. Seorang segera lari mencari bantuan, meninggalkan ruang yang bergemuruh oleh kepanikan.

Lorong kapal pesiar menyambut pelarian dengan cahaya lampu redup yang berpendar muram, menambah rasa gentar di dadanya. Pekikan dan hiruk-pikuk di belakang seolah mengejarnya, tapi tak lagi ia pedulikan. Napasnya memburu, dadanya terbakar. Rambut emasnya terurai liar, membingkai wajah pucat yang basah oleh keringat dingin. Handuk yang melilit tubuhnya kian longgar, hampir melorot, namun tangannya sibuk menahan sambil terus berlari.

Detik-detik itu terasa panjang. Lorong kapal menjelma labirin, setiap pintu dan bayangan-bayangan asing menegakkan bulu kuduknya. Ia berlari seolah dikejar malaikat maut.

Anna terus berlari hingga kakinya menapak dek utama. Suara musik jazz dari pesta malam itu menyambutnya, musik yang seharusnya menghibur, namun baginya terdengar seperti pengantar ke alam baka. Kerumunan tamu berpakaian glamor tertawa, menenggak anggur, berdansa di bawah lampu temaram dan bintang-bintang yang bertaburan di langit samudra.

Anna berlari melewati mereka, menuju ujung kapal, ke arah pagar besi yang membatasi lautan gelap di bawah sana.

Dari dek atas kapal pesiar, meja-meja bundar berjajar rapi di bawah payung besar, disinari cahaya lampu temaram. Di sebuah meja panjang yang dipenuhi tawa dan gelas kaca berembun, seorang pria muda berdiri santai di pagar pembatas.

Aroma wiski tajam bercampur dengan asap rokok tipis melayang di udara, sementara teman-temannya menenggak minuman keras dengan riang, wajah memerah, suara meninggi. Pria itu lebih memilih menyendiri menikmati angin malam yang membelai wajah tampannya.

Di tengah riuh itu, ia hanya menggenggam segelas jus jeruk dingin. Warna kuningnya tampak kontras di antara cairan keemasan dalam gelas kristal orang-orang di sekelilingnya. Bibirnya sekadar menyentuh tepi gelas sebelum kembali menggenggamnya erat. Auranya tenang, sama sekali tak tergoda arus pesta.

Lalu matanya menangkap sesuatu di bawah sana. Di geladak yang lebih rendah, dekat kolam renang, seorang gadis berlari tergesa dengan langkah panik. Rambut emasnya terurai berantakan, berkilau memantul cahaya lampu malam—warna rambut yang sangat dikenalnya. Selembar kain putih membalut tubuh mungil itu, membuat sosoknya tak asing sekaligus tak mungkin salah ia kenali.

Dada pria muda itu bergetar, antara terkejut dan tak percaya. Seluruh riuh pesta lenyap seketika, berganti hanya dengan bayangan gadis berambut emas itu di pelupuk matanya.

Tatapannya mengeras. Tanpa sepatah kata pun, ia menghantamkan gelas jus ke meja. Bunyi pecahannya memutus tawa kawan-temannya yang terperanjat. Ia beranjak dengan cepat, lalu melompat turun, berlari mengejar gadis itu.

Anna kini berdiri di tepian kapal, dadanya naik-turun, matanya mulai basah. Angin laut malam mencambuk wajahnya, dingin menusuk ke tulang. Ia menatap ke bawah, ombak hitam berdebur keras, seakan memanggilnya, menawarkan kebebasan dalam kematian.

“Baiklah, lebih baik mati daripada menjadi budak nafsu mereka.” Bisiknya meyakinkan diri.

Tangannya meraih pagar besi. Satu kakinya mulai menapak. Tubuhnya condong ke depan. Air matanya tiba-tiba jatuh, bercampur dengan garam lautan.

Namun sebelum ia sempat melemparkan dirinya ke samudra, sebuah tangan kuat mencengkeram lengannya dari belakang. Sentuhan itu kasar, namun penuh tenaga. Dalam sekejap, tubuhnya terangkat, digendong tanpa ampun.

“Lepaskan! Lepaskan aku!” jerit Anna, meronta dengan sia-sia.

❤️❤️❤️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!