"Ah .. iya terus Mas, lebih kenceng lagi dorongnya, puasin aku Mas."
"Iya sayang, kamu juga goyang dong biar lebih nikmat."
"Iya Mas .. ahh enak banget Mas, punyamu besar banget."
"Punyamu juga enak sayang masih sempit, ahh enak banget sayang, aku udah gak tahan, sebentar lagi aku keluar nih."
"Ah.. ah.. ah.. enak banget Sayang, lebih cepet lagi dorongnya Sayang."
Braakkk!!!!
Suara pintu hotel itu dibuka secara paksa membuat mereka berdua gagal mencapai puncak.
"Bagus ya, jadi ini yang kalian lakuin dibelakangku selama ini." Rama masuk sambil bertepuk tangan.
"Rama? Lancang sekali kamu masuk kekamar orang sembarangan." jawab David yang masih diatas ranjang.
"Apa kamu bilang? Aku lancang? Terus kamu yang bersetubuh dengan tunangan orang lain kamu sebut apa hahh?" Rama berkata dengan dada yang bergemuruh.
"Udah .. udah cukup, ini semua kemauan aku, aku yang sengaja deketin sekretaris kamu karena dia lebih terlihat gagah dibanding kamu, dia bisa muasin aku kapanpun aku mau, gak kaya kamu yang bahkan belum pernah menyentuhku sama sekali. " ucap Vika menunjuk wajah Rama.
"Ohh jadi cuma itu alasan kamu lebih memilih pria ini dibanding aku, jadi semua yang aku berikan sama kamu selama ini gak ada artinya sama sekali? Asal kamu tau Vika, selama ini aku gak pernah menyentuhmu karena aku menghargai kamu sebagai perempuan, aku akan menyentuhmu saat kamu sudah benar-benar jadi miliku." Jawab rama dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu emang selalu ngasih apa yang aku mau Rama, tapi kamu gak ngerti mau aku sebenernya apa, aku wanita normal Rama, aku juga butuh disentuh untuk memuasakan hasratku." jawab Vika tak mau kalah.
"Baiklah kalau emang kamu lebih milih David, kalian memang terlihat cocok, sama-sama pencinta zina. Aku juga gak sudi menikah dengan perempuan yang sudah kotor. Aku gak mau menikah sama perempuan yang bahkan gak bisa menjaga harga dirinya."
"Dan kamu David, mulai hari ini kamu saya pecat, silahkan kamu cari kerja ditempat lain, itupun kalau kamu bisa." Rama tersenyum miring berlalu pergi meninggalkan mereka berdua yang masih diatas ranjang tanpa busana.
"Sekarang hubungan kita gimana Mas, kamu udah gak punya pekerjaan sekarang." tanya Vika cemas.
"Kamu tenang ya Sayang, aku akan berusaha untuk terus bahagiain kamu." David memeluk Vika dan membelai lembut rambutnya.
"Makasih ya Sayang, kamu emang yang terbaik, gak salah aku milih kamu." Vika mencubit pipi David gemas.
"Mending kita lanjutin yang tadi yuk, nanggung nih."
David kembali mengungkung tubuh Vika dibawah tubuhnya dan kembali bercinta dengan begitu ganasnya seakan lupa dengan apa yang mereka perbuat terhadap Rama.
****
Disisi lain Rama melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, seakan meluapkan semua emosinya.
Vika, seorang perempuan yang 10 tahun lamanya dia jaga ternyata bisa berpaling begitu saja, mencampakan dirinya hanya dengan alasan yang klise, hingga tanpa sengaja mobilnya menabrak seseorang.
"Ahh sial!!"
Saat Rama turun dari mobilnya nampak seorang perempuan tergeletak bersimbah darah disana.
Mungkin karena mobilnya melaju dengan cepat hingga yang ditabrak mendapat benturan yang sangat keras.
Gegas Rama meminta tolong warga memasukan wanita itu kedalam mobilnya untuk diantar kerumah sakit.
Rama tak ingin lepas tanggung jawab begitu saja karena itu akan mencoreng nama baiknya.
Saat mobilnya tiba dihalaman rumah sakit, Rama segera mengangkat tubuh wanita itu, memasuki ruang UGD dan memanggil dokter untuk membantunya.
Tabuh wanita itu segera dibaringkan diatas ranjang sakit untuk diperiksa dan ternyata dia harus dioperasi secepatnya karena mendapatkan cedera yang cukup serius diarea kepala.
Rama menunggu dengan cemas didepan ruang operasi, berharap gadis yang dia tabrak bisa bertahan dari operasinya.
Setelah menunggu satu jam lamanya akhirnya pintu ruang operasi terbuka, Rama segera menghampiri para dokter yang keluar dari ruangan itu.
"Gimana keadaanya Dok?" Raut wajah Rama tampak cemas.
"Syukurlah operasinya berjalan lancar Pak, pasien akan segera di pindahkan ke ruangan untuk proses pemulihan." Dokter menjawab dengan tersenyum ramah.
"Terima kasih banyak Dokter, tolong berikan perawatan terbaik dirumah sakit ini untuk pasien itu."
"Baik Pak, silahkan Papak ikut bersama para perawat untuk mengantar pasien keruangannya."
Rama mengikuti langkah para perawat yang mendorong ranjang pasien menuju ruangannya, dia sengaja memesan ruangan VIP agar perempuan itu cepat membaik.
Setelah sampai diruangan, seorang perawat menyimpan barang pribadi milik pasien, disana terdapat sebuah tas kecil dan satu stel pakaian.
Setelah perawat itu selesai dengan urusannya, hanya tinggal Rama bersama wanita yang dia tabrak dan belum dia ketahui indentitasnya itu.
Rama memberanikan diri membuka isi tas wanita itu dan terdapat sebuah dompet juga sebuah ponsel jadul.
"Kok bisa sih nih cewek masih pake hp yang seharusnya udah ada dimuseum." Rama mengerutkan dahinya.
Rama membuka dompet kecilnya berharap ada kartu identitas disana, dan benar saja didalamnya terdapat sebuah KTP dengan dua lembar uang pecahan 10ribu dan 5ribu.
Rama hampir saja kehilangan akal sehatnya, fokusnya teralihkan pada dua lembar uang yang sudah nampak lusuh itu.
Matanya menatap uang itu bergantian dengan menatap wanita yang terbaring dihadapannya.
"Miris banget nasib nih cewek, hpnya hp purba, uangnya cuma segini, cukup buat beli apa uang segini?" Rama meras iba dengan gadis ini.
Rama kembali meletakan kembali uang itu dan kini beralih pada sebuah KTP yang tertera nama Syarin Anatasya disana lengkap dengan alamat dan tanggal lahir.
"Hmm nama yang bagus, berbeda sama isi dompetnya, rupanya gadis ini lebih muda dari aku."
Saat Rama tengah asik keppo dengan isi tas orang, terlihat gadis itu mulai membuka matanya.
Dia mengerjapkan matanya beberapa kali mencoba untuk menatap sekeliling, dia menatap heran pria yang berada disampingnya.
"Siapa kamu? Berani sekali buka-buka tas orang sembarangan." Syarin mencoba bangkit dari tidurnya tapi urun saat kepalanya terasa berdenyut.
"Kamu udah sadar? Sebentar ya, aku panggilin dokter dulu." Rama menekan tombol merah disamping ranjang beberapa kali.
Karena merasa tak sabar menunggu, akhirnya Rama memilih keluar untuk mencari keberadaan dokter, beruntung mereka berpapasan didepan lorong.
"Pasiennya udah sadar Dok." Rama berkata saat berhadapan dengan dokter.
"Ya sudah mari saya periksa dulu."
Mereka berjalan berdua menuju ruangan, saat tiba diruangan nampak Syarin sedang memijat pelipisnya dan mereka segera menghampiri.
"Gimana keadanya Bu" dokter itu bertanya lalu memeriksa detak jantung dan denyut nadinya.
"Kepala saya terasa berat dan berdenyut Dok."
"Apa Ibu ingat nama Ibu dan dimana Ibu tinggal?" Dokter itu kembali bertanya untuk memeriksa apakah operasinya mempengaruhi ingatannya.
"Ingat Dok, nama saya Syarin Anatasya, saya tinggal dijalan mawar no.10, Ayah saya juga dirawat disini dok, Ayah saya bernama Pak Burhan Sudrajat." Jawab Syarin saat melihat logo rumah sakit yang tertera pada almamater dokter itu.
"Oh Ibu anaknya Pak Burhan, kebetulan beliau pasien saya juga." dokter itu tersenyum, ternyata operasinya berjalan dengan baik.
"Gimana kondisi Ayah saya sekarang Dok? Tolong jangan kasih tau Ayah saya tentang kondisi saya sekarang, saya takut kondisinya akan kembali drop." Syarin merasa cemas dengan kondisi Ayahnya.
"Kondisi beliau sudah cukup membaik, tapi operasinya tetap harus segera dilakukan." dokter itu menjelaskan.
"Tolong beritahu Ayah saya kalau saya sedang mengunjungi sodara untuk mencari biaya operasi Ayah." Syarin berkata dengan sedikit memohon.
"Baik Bu, semoga kondisi Ibu juga cepat membaik, dan ini Pak Rama, beliau lah yang membawa anda kesini dan menanggung semua biaya rumah sakit, saya permisi dulu karena masih ada beberapa pasien yang harus saya tangani." dokter itu menjelaskan lalu berjalan keluar ruangan meninggalkan mereka berdua.
"Jadi kamu yang udah nambrak saya?" Tanya Syarin ketus.
"Iya, aku minta maaf, aku gak sengaja nambrak kamu, aku salah karena berkendara dalam keadaan emosi." Rama menarik nafas lalu menghembuskannya kasar.
"Makannya kalau emosi itu lampiasin dirumah bukan dijalanan, orang yang gak tau apa-apa jadi kena imbasnya kan?" Syarin memalingkan wajahnya dari Rama.
"Kan aku udah minta maaf, aku juga udah tanggung jawab bawa kamu kesini, biayain semua pengobatan kamu juga, kalau orang lain yang nabrak mungkin kamu udah menghadap Tuhan sekarang." Rama merasa tak terima dengan ucapan Syarin.
"Dih.. kok jadi kamu yang emosi sih, yang korban disini itu aku hey, liat seluruh badan aku sampe dipenuhi perban gini, kalau aku cacat mental seumur hidup emangnya kamu mau tanggung jawab?" Syarin menunjuk-nunjuk kepalanya.
"Udahlah aku males berdebat sama perempuan, perempuan emang gak pernah salah, mending kamu sekarang istirahat, simpan tenaga kamu buat nemuin Ayah kamu, aku mau cari makan sebentar." Rama meraih jaketnya dan berlalu meninggalkan Syarin.
"Cihh, dasar cowok gak punya hati." Syarin mengumpat sambil bergumam.
"Apa kamu bilang?" Rama kembali menoleh saat mendengar umpatan Syarin.
"Gak ada.. gak ada.. udah pergi aja sana." Syarin mengibas-ngibaskan tangannya.
"Dasar cewek aneh." Rama tersenyum miring.
Tanpa ia sadari, wanita itu sudah sedikit menarik perhatiannya.
************
************
Rama kembali keruangan Syarin dengan membawa beberapa makanan karena dia lupa menanyakan Syarin mau makan apa.
"Nih kamu pilih sendiri mau makan apa." Rama menyodorkan beberapa kantong makanan.
Syarin segera bangkit dari tidurnya, mengubahnya keposisi bersandar dan meraih beberapa kantong makanan itu lalu membukanya.
"Aku mau semuanya." Syarin membuka satu persatu bungkusan itu.
"Kamu mau menghabiskan semua?" Rama membulatkan matanya.
"Tentu saja, gak baik buang-buang makanan, aku juga perlu makan banyak biar cepet sembuh" Syarin tersenyum menatap makanan dihadapannya.
Rama hanya bisa menelan ludah saat melihat Syarin makan dengan begitu lahapnya seperti orang yang tak makan selama berhari-hari.
Hingga terdengar Syarin bersendawa begitu keras saat selesai menyantap makannya dan menjilati jari jemarinya.
"Kamu lagi kesurupan ya? Kok bisa-bisanya sih cewek makan sebanyak itu." Rama menatap heran saat makanan yang dibawanya tadi habis tak bersisa.
"Enak aja kamu ngatain aku kesurupan, kan aku udah bilang tadi kalau aku perlu makan banyak biar cepet sembuh." Syarin menatap tajam Rama.
"Ya gak sebanyak itu juga." Rama melengos saat dirinya ditatap tajam Syarin.
"Kenapa? Kamu gak ikhlas makannya habis?" Kali ini Syarin menatapnya lebih tajam.
"Ikhlas kok ikhlas, syukurlah kamu makan banyak biar aku bisa segera lepas dari perempuan mengerikan seperti kamu." jawab Rama gelagapan.
"Apa kamu bilang, aku mengerikan?" Kali ini Syarin menarik rambut Rama.
"Ampun.. ampun.. nggak kok kamu nggak mengerikan, kamu cantik.. kamu cantik." Rama memohon ampun.
Syarin melepaskan cengkramannya lalu merengut dan melipat kedua tangannya didada.
"Kayanya ni cewek bener-bener kesurupan." Rama berguman lalu bergidik ngeri.
Rama membereskan bekas makan Syarin yang masih berserakan, baru kali ini dia diperlakukan seperti babu.
Setelah beres Rama kembali duduk disamping Syarin.
"Aku denger kamu lagi butuh uang buat biaya operasi Ayah kamu." Rama kali ini mulai bicara serius dengan Syarin.
"Kenapa? Kamu mau bayarin juga?" Jawab Syarin sinis.
"Boleh, asal kamu mau kerja ditempatku."
"Kerja apa?" Syarin mengerutkan dahinya.
"Menikah kontrak sama aku selama satu tahun dan aku akan menanggung semua biaya pengobatan Ayah kamu sampai dia sembuh total." Rama tersenyum menatap Syarin menunggu jawaban darinya.
"Kamu emang udah gila, menikah itu bukan suatu hal yang bisa permainkan, lebih baik aku kerja jadi babu dari pada harus menipu Ayahku dengan pernikahan palsu." Syarin mendengus kesal.
"Emang kalau kamu kerja jadi babu mau sampai kapan kamu ngumpulin uang buat operasi Ayahmu, aku dengar dia harus segera dioperasi, pikirkan baik-baik tawaranku, aku beri waktu kamu sampai besok." Rama tersenyum penuh arti.
Syarin hanya bisa menghela nafas saat menyadari kalau ucapan Rama ada benarnya.
Mungkin dengan kehadiran Rama, Ayahnya tak akan terlalu mengkhawatirkannya.
"Baiklah, aku setuju tapi jangan sampai Ayahku tau kalau kita hanya menikah kontrak, kamu harus bisa meyakinkan Ayahku kalau kamu benar-benar mencintaiku." Syarin berkata dengan wajah sendu.
"Kalau soal itu aku bisa melakukannya dengan baik, kamu tenang saja, aku juga akan tetap membiayai hidup kalian walaupun pernikahan kita berakhir nanti." Rama tersenyum yakin.
"Aku juga gak mau kita tidur satu kamar."
"Kalau soal itu, aku pikirkan dulu, aku juga gak mau kalau sampai orang-orang dirumah ku tau kalau kita hanya nikah kontrak, kamu juga harus bisa meyakinkan keluargaku."
"Baiklah, ayo kita berakting setotal mungkin." Syarin mengepalkan tangannya.
"Setelah kamu lebih baik, ayo kita temui Ayahmu untuk meminta restu, aku mau membayar semua biaya rumah sakit Ayahmu dulu biar Ayahmu bisa segera dioperasi"
Rama bangun dari duduknya akan tapi Syarin menarik lengannya yang membuatnya seketika menoleh.
"Terima kasih, terima kasih banyak." Syarin menundukan kepalanya dan menitikan air mata.
Rama hanya tersenyum dan berlalu meninggalkan Syarin.
***
Beberapa hari berlalu kondisi Syarin sudah membaik dan kini dia sedang duduk didepan ruang operasi dengan perasaan cemas dan didampingi Rama.
Pak Burhan sempat tak sadarkan diri dan mengharuskannya untuk operasi saat itu juga.
Setelah menunggu hampir 2 jam lamanya operasi Pak Burhan selesai, terlihat beberapa dokter datang menghampiri Syarin dan Rama.
"Gimana operasinya Dok?" Tanya Syarin cemas.
"Operasinya berjalan lancar Bu, tapi kondisi Pak Burhan masih sangat lemah, mungkin perlu beberapa bulan untuk peroses pemulihan."
"Terima kasih banyak Dok, bisa tolong pindahkan Pak Burhan ke ruang VIP saja." Rama kini angkat bicara.
"Baik Pak Rama, silahkan ikuti para perawat untuk mengantar Pak Burhan keruangannya."
Saat sudah diruangan Syarin duduk disamping Ayahnya, menciumi punggung tanggannya berharap Ayahnya akan segera sadar, sedangkan Rama hanya bisa berdiri disamping Syarin.
Akhirnya Pak Burhan tersadar saat merasakan cairan hangat menetes ditangannya.
"Syarin anakku."
"Bapak udah sadar, syukurlah Pak." Syarin tersenyum bahagia.
"Kamu kemana aja Nak beberapa hari ini, Bapak cemas kalau kamu sampai kenapa-napa." Pak Burhan membelai puncak kepala Syarin.
"Saya panggilkan dokter ya, sebentar." Rama membuka suara dan berlalu meninggalkan mereka berdua.
"Dia siapa Nak?" Pak Burhan menatap Syarin lekat karena baru kali ini Syarin dekat dengan seorang pria.
"Nanti aku jelaskan Pak, sekarang Papak istirahat dulu ya, Papak kan baru sadar biar nanti dokter periksa kondisi Bapak dulu " Syarin tak ingin kondisi Ayahnya kembali drop saat mengetahui siapa Rama.
Tak berselang lama Rama kembali masuk bersama seorang dokter.
"Bapak udah sadar, syukurlah operasinya berjalan lancar, mari saya periksa dulu." dokter itu mengencek kondisi Pak Burhan.
"Apa ada keluhan pak?" Dokter itu bertanya ditengah-tengah pemeriksaannya.
"Nggak ada dok, hanya masih terasa sedikit nyeri dibagian dada." Pak Burhan mengusap lembut dadanya.
"Oh itu gejala normal pasca operasi, nanti saya akan berikan obat pereda nyeri, mungkin efek biusnya sudah berkurang." dokter itu menjelaskan.
"Tolong jangan sampai Pak Burhan kembali merokok ya, karena itu akan kembali memperburuk kondisinya." dokter itu kini menatap Syarin.
Pak Burhan memang menjadi pecandu rokok setelah kepergian mendiang istrinya.
"Tuh denger apa kata dokter Pak, Bapak sing suka ngeyel kalau aku kasih tau." Syarin mengomel pada Ayahnya.
Rama hanya tersenyum melihat kedekatan Ayah dan anak itu.
"Kalau begitu saya permisi dulu, tolong jaga pola makan dan tidurnya ya Pak dan tolong jangan kembali merokok lagi." doker itu memberi saran dan berlalu meninggalkan mereka.
Pak Burhan kini menatap Syarin dan Rama secara bergantian.
"Bisa jelaskan sekarang sama Bapak siapa lelaki disampingmu itu?"
"Ini Mas Rama, Pak. Dia temen deketku waktu sekolah dulu." jawab Syarin berbohong.
"Kamu kan gak pernah punya teman dekat waktu sekolah, lagi pula siapa yang mau berteman sama wanita bar-bar kaya kamu." Pak Burhan tahu betul masa lalu anaknya itu.
Rama hanya terkekeh saat mengetahui masa lalu Syarin.
"Ihh kok Bapak ngomongnya gitu sih, ini buktinya Mas Rama mau sama aku, ya kan Mas?" Syarin menyenggol lengan Rama yang masih cekikikan.
"Iya Pak, maaf saya terlambat menyapa Bapak, karena dulu Syarin menentang saya habis-habisan saat ingin bertemu Bapak." jawab Rama mengikuti alur sandiwara Syarin.
"Ohh.. pantas saja saya belum pernah lihat kamu."
"Kamu itu ya, punya teman cakep kaya gini bukannya dikenalin sama Bapak, malah kamu simpan sendiri, kan kalau kamu kenalin sama Bapak, Bapak jadi ada teman curhat." Pak Burhan kembali mencecar Syarin.
"Terus aku yang selama ini ada disamping Bapak, Bapak anggap apa." Syarin merasa dirinya terabaikan.
"Kalau Bapak curhatnya sama kamu yang ada kamu malah marah-marah sama Bapak, bilang lebay lah, bilang lemah lah." Pak Burhan mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil.
Rama tertawa kecil melihat kedekatan mereka, ternyata masih ada keluarga sehangat ini meski tanpa kehadiran seorang ibu, berbanding terbalik dengan keluarganya.
"Tapi walaupun Syarin galak dan suka marah-marah, dia tetap cantik kok." kali ini Rama menimpali mengakui kecantikan Syarin.
"Nah cuma itu satu-satunya kelebihan anak Bapak ini." Pak Burhan setuju dengan ucapan Rama.
"Huuhh semua cowok emang sama ya, bisanya cuma mandang fisik." Syarin berdecih mendengar ucapan dua pria dihadapannya.
"Oh iya Pak, sebenarnya saya memberanikan diri datang kesini berniat untuk meminta restu Bapak, saya harap bapak mau merestui pernikahan kami."
"Apa!!! Kalian mau menikah?" Pak Burhan berkata dengan mata yang hampir keluar seluruhnya lalu menggenggam dadanya.
************
************
Rama dan Syarin merasa cemas saat melihat ekspresi syok Ayahnya, takut kalau penyakit jantung yang diderita Ayahnya akan kambuh kembali.
Tapi kecemasan itu seketika berubah menjadi rasa heran saat terlihat senyum mengembang dibibir Pak Burhan.
"Syukurlah kalau Nak Rama berniat menikahi Syarin, jujur Bapak sempat cemas kalau sampai gak ada pria yang mau menikahi Syarin karena tingkahnya yang urakan."
Rama tertawa kecil saat mendengar ucapan Pak Burhan yang mengkhawatirkan anaknya.
"Saya juga merasa heran Pak, kenapa saya mau menikahi Syarin yang galaknya minta ampun ini, tapi jujur saja, dimata saya Syarin kelihatan manis saat sedang marah-marah." Rama mengulas senyum menatap Syarin.
Pak Burhan bernafas lega saat melihat Rama yang nampaknya benar-benar mencintai Syarin.
Sementara Syarin hanya bisa tersipu malu mendengar percakapan dua pria dihadapannya.
*****
Kondisi Pak Burhan semakin membaik karena mendapat perawatan ekstra, kini giliran Syarin yang bertemu keluarga Rama.
Syarin meremas jari jemarinya, tampak gugup didepan sepasang suami istri yang menatapnya tajam.
"Kamu serius mau menikahi wanita kampungan seperti ini?" Bu Windy menatap Syarin dari atas sampai bawah.
"Aku lebih baik menikahi wanita kampungan dari pada harus menikahi wanita murahan Mam." Rama kini menggenggam tangan Syarin.
"Ya sudah kalau kamu mau menikahi dia, padahal Mami lebih suka kamu menikah sama Vika." Bu Windy mendelikan matanya.
"Mami kan tau sendiri kelakuan Vika dibelakangku seperti apa, dia tega selingkuh sama sekertaris aku sendiri padahal aku udah jaga dia baik-baik selama ini, emang Mami mau punya menantu bekas orang lain?" Jawab Rama tak mau kalah.
"Sudah.. sudah mau kamu menikah dengan siapa pun Papi gak peduli, yang penting kamu bisa punya keturunan buat nerusin perusahan nanti." kali ini Pak Bram angkat bicara.
"Ya udah kalau Papi udah setuju. Mami masih ada acara arisan yang harus Mami hadiri, kamu urus aja pesta pernikahan kalian. Mami terima duduk aja dipelaminan nanti, Mami pergi dulu." Bu Windy berlalu begitu saja meninggalkan mereka.
"Papi juga masih ada meeting, ini kartu Papi, pakai buat semua keperluan pernikahan kalian." Pak Bram menyodorkan sebuah kartu black card dan ikut berlalu meninggalkan mereka berdua.
Syarin diam seribu bahasa melihat tingkah kedua orang tua Rama, dia bahkan belum mengucapkan satu patah katapun tapi mereka sudah berlalu begitu saja.
"Kamu hidup dengan kedua orang tua yang seperti itu?" Syarin berkata sambil menatap kepergian kedua orang tua Rama.
"Yah mau gimana lagi, kita gak bisa minta mau dilahirkan dari orang tua yang seperti apa, kita manfaatin saja yang ada." Rama kini berdiri lalu mengambil black card milik Papinya dan mengajak Syarin juga pergi dari tempat itu.
Syarin merasa kasihan pada Rama, membayangkan betapa kesepiannya Rama hidup dalam keluarga yang seperti itu.
"Udah gak usah melow gitu, aku udah biasa kok hidup kaya gini, Tuhan itu selalu adil terhadap semua umatnya, kamu terlahir dari keluarga yang hangat tapi serba kekurangan, sedangkan aku yang hidup serba ada tapi dengan keluarga yang begitu dingin." Rama berkata seolah tau apa yang kini dipikirkan Syarin saat melihat kedua orang tuanya.
"Bisa bijak juga ternyata kamu." Syarin tersenyum kecil.
"Terus kita mau kemana sekarang?" Sambungnya lagi.
"Kemana lagi kalau bukan mempersiapkan pernikahan kita." Rama berkata sambil melajukan mobilnya.
"Secepat ini?" Syarin membelalak seolah tak percaya.
"Kita udah dapet restu dan orang yang mendanai kita, mau nunggu apalagi." Rama mengangkat kedua bahunya.
"Ciihh bilang aja kamu pengen cepet-cepet balas dendam sama si Vika itu." Syarin memalingkan wajahnya kearah jendela.
"Ternyata kamu cepat tanggap juga." Rama menarik sudut bibirnya.
Mobil yang mereka tumpangi kini berhenti didepan sebuah gedung wedding organizer.
Saat mereka masuk mereka disambut ramah oleh beberapa pelayan.
Gedung itu sengaja dikosongkan hanya untuk mereka berdua, itulah salah satu keunggulan kartu black card yang diberikan Papinya Rama.
Rama sedikit terpesona saat melihat Syarin mencoba beberapa gaun, begitu juga Syarin saat melihat Rama mencoba beberapa jas.
Selesai fitting baju, mereka memilih dekorasi dan make up artis yang masih disediakan ditempat itu.
Hanya tinggal booking tempat untuk acaranya nanti, untuk seserahan Rama punya seorang kenalan yang bisa mengurusnya.
Sekarang mereka menuju kesebuah toko perhiasan, disana juga nampak sama hanya mereka berdua pelanggan saat itu.
Rama membeli sebuah cincin dan kalung berlian sebagai mas kawin, tak lupa sepasang cincin nikah.
Mobil mereka kembali melaju menuju kesebuah pusat perbelanjaan yang kini nampak kosong melompong.
Hanya mereka berdua yang berjalan menyusuri toko demi toko untuk membeli keperluan pernikahan. Yap.. Sultan mah memang bebas.
"Gila ya, ternyata secape ini nyiapin pernikahan, pantesan aja Mami kamu mau terima duduk aja." Syarin menghela napas panjang saat kembali duduk dijok mobil.
"Kita masih belum selesai, kita masih belum pesan undangan." Rama tersenyum merasa puas bisa mengerjai Syarin seharian ini.
Padahal dia bisa saja menyuruh seseorang untuk mempersiapkan semuanya.
"Lagi?" Tanya Syarin yang kini kembali membulatkan matanya.
"Udah anggap saja ini demi kebahagian Ayah kamu." Rama tersenyum menatap Syarin yang hanya dibalas dengan senyuman getir.
Mobil kembali melaju kesebuah toko percetakan.
Mereka memilih desain undangan yang mereka suka dan menentukan berapa jumlah yang akan dicetak berikut dengan daftar nama tamu yang diundang.
"Sekarang udah bereskan?" Syarin kembali menyandarkan dirinya dijok mobil.
"Iya, sekarang kita cari makan, kamu pasti lapar."
"Ya iyalah aku lapar, dari tadi kamu ajak aku kesana kemari tanpa berhenti." Syarin melipat kedua tangannya didada.
"Kenapa gak bilang dari tadi kalau kamu lapar." Rama menyatukan kedua alisnya.
"Ya gak berani lah, aku gak berani minta kalau gak ditawarin." Syarin mengerucutkan bibirnya.
"Ternyata kamu tau sopan santun juga, kirain taunya cuma marah-marah." Rama tertawa kecil.
"Ya taulah, aku kan dididik kedua orang tuaku gak kaya kamu." Syarin kini memalingkan wajah kearah jendela.
Rama tertegun mendengar perkataan Syarin yang memang ada benarnya.
Rama memang sudah diajari tata krama sejak dini, bahkan Rama dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya.
Tapi bukan kedua orang tuanya yang mengajarinya, melainkan oleh seseorang yang ahli dalam bidangnya.
Mereka akhirnya tiba disebuah restoran, Rama memesan beberapa menu makanan yang sekiranya cocok dengan lidah Syarin.
Syarin akhirnya bisa makan dengan lahapnya.
Banyak para pengunjung yang menatap cara Syarin makan, dia menggangkat sebelah kakinya dan makan menggunakan tangan.
Rama hanya bisa mengelengkan kepala melihat Syarin makan dengan lahapnya tanpa memperdulikan orang-orang yang menatapnya.
"Nih cewek kayanya harus aku masukin ke sekolah kepribadian deh, bisa gawat kalau dia makannya kaya gini pas diacara-acara penting." Rama berkata dalam hati.
Selesai makan Rama mengantar Syarin pulang, kini mobil yang mereka tumpangi berhenti didepan sebuah gang sempit.
"Aku turun disini aja, mobilnya gak bisa masuk ke dalam." Syarin membuka pintu mobil.
"Oke, besok aku jemput lagi buat cek persiapan di gedung." Rama membuka kaca jendela.
"Jangan terlalu pagi jemputnya, aku mau bangun siang. Gila!! Rasanya badanku remuk semua." Syarin menggeliatkan badannya.
"Tingkahnya bar-bar tapi kok fisiknya lemah sih." Rama tertawa kecil.
"Enak aja bilang aku lemah, gini-gini juga dulu mantan kuli panggul tau." Syarin memperlihatkan otot lengannya.
"Ya udah sana istirahat, siapin fisik dan mental kamu buat pernikahan kita." Rama tersenyum manis.
"Okey Tuan Rama Abimana." Syarin berkata lalu melengos pergi dari hadapan Rama.
Syarin melangkah memasuki gang menuju kontrakannya namun saat dia berjalan dia mendengar bisik-bisik tetangga yang julid terhadapnya.
"Ehh Bu, liat tuh Si Syarin anaknya Pak Burhan diantar cowok pake mobil." Ibu itu berkata sambil melambai kearah teman-temannya.
"Wah masa sih Bu, emang ada cowok yang mau sama dia? Atau jangan-jangan sekarang dia Open BO buat bayar biaya rumah sakit Ayahnya." sahut Ibu yang satunya.
"Iya kayanya dia sekarang Open BO deh, habis dari mana dia punya uang banyak kalau bukan hasil dari jual diri, biaya operasi kan gak murah Bu."
Mendengar obrolan julid Ibu-ibu itu tentu saja membuat emosi Syarin seketika memuncak.
Dia melirik ada seember air yang biasa dipakai untuk menadah air hujan dan seketika itu juga.....
************
************
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!