NovelToon NovelToon

If Only

permulaan

Hai semua! Aku Sofia Hanlim. Biasa aku di panggil Sofia. Aku tinggal di sebuah apartemen milik ayahku, sedangkan beliau memilih tinggal sendiri dengan beberapa pelayan dirumah. Ibuku sudah meninggal sekitar setahun yang lalu. Aku sempat terpuruk dan jatuh sakit, lalu aku menyadari ini bukan akhir dari segalanya. Aku mulai bangkit dengan bantuan orang orang di sekitarku. Aku berfikir aku pasti bisa hidup dengan baik tanpa harus menghapusnya. Aku punya pacar bernama Randu Winaja. Kami sudah menjalin hubungan sejak lulus SMA sampai kami sama sama menyelesaikan kuliah dan akhirnya bekerja. Meskipun terkadang sibuk, tapi kami selalu meluangkan waktu untuk sama sama melepas rindu.

Malam ini cuaca cukup bagus. Aku duduk di balkon yang kebetulan langsung menghadap ke pemandangan kota. Aku tersenyum saat melihat lampu yang berkedip-kedip di atas salah satu gedung apartemen. Di sana lah Randu tinggal, meskipun jauh aku bisa tau letak gedungnya bahkan saat malam hari. Tiba tiba ponselku berdering. Dia meneleponku.

"Halo"

"Kau pasti sedang duduk di balkon"

"Jangan sok tau"

"Wah, apa kali ini tebakanku salah?"

"Tidak. Kau tidak pernah salah"

"Masuklah sebentar lagi, kau bisa masuk angin nanti"

"Eung. Kau dimana?"

"Sedang di ruang kerja. Pekerjaanku menumpuk dan sepertinya aku harus lembur"

"Tidak apa apa. Kau selesaikan dulu pekerjaanmu"

"Kau tidak merindukan ku?"

"Tidak ... Sudah sana"

"Aku di usir?"

"Aku mengantuk kau tau"

"Baiklah. Sekarang pergi tidur atau aku yang akan menidurimu"

"Aisssh ... Dasar otak mesum!"

"Tidak ada yang mempermasalahkan hal itu. Sekarang pergilah tidur"

"Oke ... Selamat malam"

Aku langsung mematikan teleponnya karena kalau dibiarkan malah semakin panjang dan pekerjaannya akan terabaikan. Aku menghela nafas, aku benar benar bahagia bisa memilikinya. Dia yang tak pernah tampak lemah di hadapanku dan berusaha menjadi penguatku.

Aku merebahkan tubuhku. Mulai menghitung hari karena seminggu lagi aku dan Randu akan bertemu dan kami sudah berencana untuk pergi berlibur ke suatu pulau yang katanya cantik seperti aku. Aku selalu ingin tertawa ketika dia bicara seperti itu. Aku memejamkan mataku yang sudah cukup lelah dan mengistirahatkan tubuhku.

__________________________________________

Aku tidak tahu, tapi waktu sepertinya begitu cepat berputar. Aku sudah bangun sejak pagi tadi dan sudah bersiap siap sejak beberapa jam yang lalu. Aku tidak ingin menunggu karena aku tau Randu pasti akan terlambat.

Setelah hampir satu jam menunggu, pintu apartemen ku berbunyi menandakan ada seseorang yang berhasil membukanya dan itu adalah Randu. Aku langsung berdiri dan memeluknya.

"Aku rindu" ucapku.

"Baru juga sebulan yang lalu bertemu" Randu mengelus rambutku.

"Sebulan kau bilang, kau tak mengerti bagaimana rasanya menahan rindu" ucap ku kesal. aku melepaskan pelukannya lalu berjalan mengambil tas ransel yang berisi beberapa pasang baju dan make up. Setelah berdebat cukup lama kami turun menuju basemant dan langsung melaju dengan mobil kesayangannya.

Sepanjang jalan aku hanya bernyanyi dengan suara yang bisa merusak gendang telinga. Namun Randu malah terlihat menikmati dengan kepala yang bergerak kesana kemari.

"Suaraku bagus kan?" Tanyaku dengan percaya diri.

"Bagus sekali" jawabnya sambil mengacak rambutku. "Dimana kau les menyanyi?" Tanyanya.

"Di kamar mandi" jawabku sambil tertawa.

"Oh pantas saja waktu itu shower di kamar mandimu rusak. Rupanya karena mendengar suaramu yang bagus ini" ucapnya.

"Kau mengejekku" aku mencubit pipinya dan membuatnya mengaduh kesakitan.

"Sakit ... Aku akan menciummu lihat saja nanti" celetuknya kesal. Aku hanya tertawa karena ekspresi nya yang begitu manis. Aku memeluk lengannya dan menyandarkan kepalaku di pundaknya. Setiap hari aku hanya semakin menyayanginya. Bukan apa apa, dia menjadi salah satu alasan aku masih bertahan sampai saat ini.

"Aku sayang padamu, sangat" ucapku.

"Aku juga sangat sangat menyayangimu" Randu mencium pucuk kepalaku. Aku semakin memeluk lengannya erat. "Apa kau sudah memberi kabar pada ayahmu?" Tanyanya.

"Sudah. Ayah juga pergi kemarin ... Aku baru tau" jawabku.

"Pergi kemana?" Tanya Randu.

"Biasa ... Pergi memancing ke laut bersama teman temannya" jawabku singkat. Aku dan ayah memang jarang berkomunikasi.

"Kenapa kau tidak ikut dengan ayahmu saja?" Tanyanya. Aku melepas pelukanku.

"Aku tidak suka memancing ikan ... Aku lebih suka memancing keributan denganmu" jawabku sambil tertawa.

"Kalau begitu ayo membuat keributan" ucapnya yang kemudian ikut tertawa.

Setelah beberapa jam, akhirnya kami sampai di sebuah pulau yang luar biasa cantiknya. Kami berjalan bergandengan tangan, angin yang nakal merubah tatanan rambutnya. Sial, membuatnya semakin seksi.

"Jangan melihatku begitu" tukas Randu. Aku yang terciduk langsung pura pura batuk.

"Siapa juga yang melihatmu" ucapku mengelak.

"Sudah ketahuan tapi tidak mau mengaku" ujarnya sewot. Aku hanya tertawa lalu kami kembali berjalan jalan menikmati pantai.

____________________________________

Aku baru keluar dari kamar mandi. Randu yang sedari tadi hanya bermain dengan ponsel langsung meletakkannya dan bergegas masuk ke kamar mandi. Aku melangkah ke atas tempat tidur lalu meraih tas ku untuk mengambil make up. Tiba tiba ponsel Randu berdering, aku hendak mengangkatnya tapi telponnya sudah mati. Aku kembali meletakkan ponselnya, tapi tidak jadi karena ada sebuah notifikasi pesan. Tanpa pikir panjang aku langsung membukanya. Aku mengerutkan keningku.

"Ji Han?" Aku langsung mengenali seseorang yang mengirimi pesan kepada Randu. "Untuk apa dia mengirim pesan pada Randu?" Tanyaku dalam hati. Aku langsung membaca pesannya dari awal.

"Kau sedang di pulau XX ?"

"Darimana kau tau?"

"Kebetulan aku juga berada disini karena ada urusan bisnis"

"Oh ya? Kebetulan sekali"

"Ayo bertemu"

"Untuk apa?"

"Aku tidak bisa. Maaf"

"kenapa?"

"Sekali saja"

"Aku besok sudah kembali ke rumah"

"Baiklah"

"Sebentar saja"

"Oke"

"Aku tunggu di restoran XX"

"Oke"

Aku mengeratkan genggamanku pada ponsel milik Randu. Tiba tiba emosiku ingin meledak. Aku tidak pernah mencurigainya. Aku selalu percaya, dan bodohnya detik ini juga aku masih percaya. Aku langsung meletakkan ponselnya saat kulihat pintu terbuka. Randu keluar dengan celana jeans hitam dan kaos putih. Dia berjalan ke arah cermin.

"Aku akan keluar untuk membeli makanan" ucap Randu. "Apa kau mau ikut?" Tanyanya. Aku sedikit mempertimbangkan.

"Bisa bisanya dia beralasan ingin membeli makanan" ucapku dalam hati.

"Ikut tidak?" Tanyanya lagi. Aku menggeleng.

"Aku disini saja. Cepatlah kembali" ujarku. Tiba tiba keinginanku untuk mengikutinya sedikit menghilang. Aku seperti merasa bersalah untuk tidak percaya dengan manusia polos seperti Randu.

"Iya. Sebentar saja" Randu mengambil dompet, jaket dan ponselnya. Randu mencium keningku tiga kali dan setelahnya pergi. Aku menghela nafas.

"Semoga aku tidak salah mempercayainya" gumamku. Aku merebahkan tubuhku, rasanya aku sedikit tak enak badan. Maka dari itu aku mengurungkan niatku untuk mengikuti Randu.

[23:05]

Aku tiba tiba terbangun dari tidurku. Aku langsung mengecek jam.

"Randu belum pulang juga?" Tanyaku pada diri sendiri. "Apa ini yang dia maksud sebentar?" aku sudah berfikir buruk. Aku langsung turun dari kasur dan langsung berganti baju. Aku memakai jaket couple yang dibelikan Randu bulan lalu. Rencana kami akan memakainya saat bertemu lagi. Tapi malam ini dia benar benar asik sendiri. Aku langsung memanggil taksi dan pergi ke restoran XX.

Sesampainya disana, aku tak menemukan Randu maupun Ji Han. Aku malah bertemu kak Zoya dan suaminya kak Raksa. Mereka berdua adalah kakak kelasku dulu yang memutuskan untuk menikah muda.

"Sofia!" Panggil kak Zoya. Aku langsung menoleh. "Kau mau kemana? Mencari siapa?" Tanyanya.

"Kak Zoya ... Tidak aku tidak mencari siapa siapa" jawabku gugup. "Kalian berdua saja?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Iya ... Ibu mertua ku terus menyuruh kami berbulan madu" jawabnya dengan sedikit kesal.

"Kenapa kau kesal begitu? Kalau kau tidak mau ya tinggal bilang saja" celetuk kak Raksa.

"Aku kan menantu yang baik" ucap kak Zoya. Aku hanya memutar bola mataku malas.

"Oh iya ... Bukannya tadi kau di pantai bersama Randu?" Tanyanya lalu menunjuk ke pantai. Aku mengerutkan keningku.

"Pantai?" Tanyaku. "Ah iya tadi aku ke toilet sebentar" aku mencoba untuk tetap tenang.

"Oh gitu" kak Zoya mengangguk-anggukan kepalanya. "Kalau begitu kami pergi duluan ya" kak Zoya dan kak Raksa pun berlalu pergi. Aku menghela nafas. Aku langsung berlari ke tempat yang di tunjuk kak Zoya tadi. Firasat ku buruk. Benar saja, aku melihat sesuatu yang tidak mengenakkan mata. Aku langsung berlari mendekat.

"RANDU!!"

BERSAMBUNG......

patah dua kali

  Aku langsung berlari mendekat. Rasanya aku benar benar ingin menenggelamkan keduanya.

"RANDU!!" Aku memanggil namanya dengan suara lantang yang langsung membuatnya menoleh dan sedikit terkejut.

"Kau disini?" Tanyanya gugup. Aku semakin mendekat. Aku menatap keduanya bergantian.

"Apa ini? Kau menggendongnya?" Tanyaku. Aku langsung mengalihkan pandanganku pada Ji Han. "Kau lupa cara berjalan?" Tanyaku ketus. Randu langsung menurunkannya namun tangannya masih memapah bahu Ji Han.

"Sofi" Randu mencoba menenangkan ku. "Biar aku jelaskan" ujarnya.

"Apa?" Tanyaku. "Kalian berdua kebetulan berada di pulau ini dan akhirnya bertemu?" Tanyaku lagi.

"K-kau tau?" Tanya Randu. Aku mengangguk.

"Aku tau sekali" jawabku dengan sesak. "Kau pergi dengan alasan ingin membeli makanan untukku padahal kau pergi untuk menemui wanita ini" ucapku.

"Dengarkan aku dulu" ujar Randu. Aku menghela nafas berkali kali.

"Katakan. Aku mendengar mu" ucapku mencoba tenang.

"Kami hanya pergi makan dan mencari angin sebentar" Randu menjelaskan dengan pasti. Tapi lagi lagi tanganku hanya fokus pada tangan Randu yang berada di pundak Ji Han.

"Kau makan bersamanya padahal aku tidak makan apapun selama menunggumu" ucapku.

"Itu sebabnya aku mengajakmu tadi ... Tapi kau tidak ingin ikut" Randu masih membela diri sendiri.

"Kenapa kau tetap pergi? Bukannya hotel itu juga menyediakan makanan untuk tamu?" Tanyaku. "Kenapa kau menggendongnya?" Tanyaku lagi.

"Tadi ... Kaki Ji Han terluka karena terkena ranting kayu, aku hanya mencoba membantunya" jawab Randu.

"Begitu? Sekarang ayo kita kembali ke hotel" ajak ku.

"Tapi aku harus mengantarkan Ji Han" aku terkejut saat Randu menolak.

"Dia bisa saja menelepon teman temannya" ujarku.

"Tidak ada yang bisa di hubungi, aku sudah mencobanya" Ji Han dengan beraninya menjawab.

"Itu jelas bukan urusanku" aku benar benar tidak ingin berurusan dengan wanita gila harta itu. Aku kembali menatap Randu. "Sekarang ayo kita pulang" ajak ku lagi.

"Aku tidak mungkin meninggalkannya seperti ini Sofia" ucap Randu. Aku benar benar emosi sekarang. Hak ku adalah hak ku, aku tidak akan membiarkannya begitu saja. Aku melepas tangan Randu yang ada di pundak Ji Han dan mendorongnya sampai terjatuh.

"Sekarang ayo kita pulang" aku menarik tangan Randu tapi tertahan.

"Kau lihat, dia tidak bisa berjalan sendiri!" Randu mulai menaikkan intonasinya.

"Dan aku tidak peduli dengan itu!" Aku kembali menarik tangannya.

"Sofia!" Aku tersentak saat Randu membentak ku. Aku langsung berbalik.

"Apa kau terlahir dengan tidak mempunyai hati?" Tanya Randu. "Dia sakit, apa kau tidak bisa melihatnya?!" Tanya Randu.

"Jadi kau lebih memilih dia?" Tanyaku dengan mata yang berkaca kaca.

"Ini bukan soal memilih siapa, tapi aku hanya mencoba membantunya" jawabnya.

"Kau pilih siapa?" Tanyaku lagi. Randu terdiam dan itu cukup menjadi jawaban. Aku melepaskan genggamanku. "Ini sangat mengecewakan" aku langsung pergi dengan hati yang paling hancur. Aku mendengar randu memanggil namaku berkali kali, tapi aku benar benar tidak mau berhenti.

  Aku menangis di pinggir jalan yang sepi. Aku benar benar bodoh. Seharusnya aku tidak mengizinkannya bertemu dengan Ji Han. Seharusnya aku tetap memaksa Randu supaya meninggalkan wanita matre itu. Aku mengusap air mataku, namun nyatanya aku masih juga senggugukan. Entah kenapa tiba tiba aku ingin kembali ke penginapan.

[Penginapan]

 

   Aku langsung masuk kedalam kamar. Randu belum juga pulang, aku lalu berjalan mengambil ponselku yang tertinggal. Firasat buruk ku muncul kembali, lima puluh panggilan tak terjawab dari Om Haris, sekretaris ayahku. Saat aku hendak menelepon, Om Haris Lebih dulu menelepon ku. Aku dengan sigap langsung mengangkatnya.

"Halo om" sapaku.

"Sofi kau dimana?"

"Sofi sedang di pulau XX"

"Sofi ayahmu..."

"Ayah kenapa om?" Tanyaku panik. Firasat ku benar benar buruk. "Om, ayah kenapa?" Tanyaku lagi.

"Ayah ... Mobil ayah dan rekan rekannya mengalami kecelakaan"

"Lalu bagaimana dengan ayah?" Tanyaku panik. Aku mencoba tenang tapi air mataku lagi lagi terjatuh.

"Ayah meninggal di tempat kejadian, jenazahnya besok pagi akan segera dibawa pulang kerumah untuk di makamkan. Kau bisa pulang malam ini?"

   Aku terdiam mencoba mencerna semuanya. Hingga suara om Haris yang terus memanggil namaku membuat ku tersadar. Ponselku terjatuh ke lantai begitupun dengan tubuhku yang luruh. Aku menangis sejadi jadinya, aku memegang dadaku yang teramat sakit.

  Aku langsung mengemasi barang barang ku dan segera pergi. Aku berjalan tanpa henti. Sampai akhirnya orang suruhan om Haris menemukanku. Aku tetap tidak bisa berhenti menangis meski aku mencobanya. Aku kelelahan dan akhirnya tidur, berharap saat bangun ini semua hanya mimpi.

[Pemakaman]

  

Aku masih disini, di antara makam ayah dan bunda. Aku tidak menyangka bahwa akhirnya aku harus sendiri. Aku sudah tidak menangis, rasanya air mataku kering begitupun tenggorokanku. Disini hanya tersisa aku sendiri, sedangkan om Haris memilih menunggu di mobil. Aku sudah menyuruhnya kembali, tapi beliau bilang ia ingin menungguku.

   Saat aku berbalik, aku melihat 3 laki laki dengan jas hitamnya melangkah masuk. Aku bingung saat mereka menghampiriku.

"Kalian siapa?" Tanyaku. Kedua laki laki berbadan tegap itu berhenti tidak jauh dari makam ayahku. Dan yang satunya lagi melewati ku tanpa menjawab. Aku berbalik. "Aku tanya kalian siapa?" Tanyaku lagi. Kesal karena tidak mendapat jawaban, aku mengeluarkan ponselku dan berniat menelpon om Haris.

"Sofia" panggil laki laki yang berada di makam ayahku. Aku menoleh sedikit terkejut.

"Siapa kau?" Tanyaku. Aku benar benar tidak ramah seperti biasanya. Laki laki itu berdiri lalu membuka kaca matanya. Beberapa detik terjadi kontak mata, lalu aku buru buru mengalihkan pandanganku.

"Ayo pulang" aku mengerutkan keningku saat laki laki ini mengajakku pulang.

"Kau bicara padaku?" Tanyaku heran. Yang membuatku semakin heran adalah ketika dia mengangguk. "Kau mengajakku pulang?" Tanyaku lagi.

"Aku sudah menyuruh Om Haris pulang" ucapnya. Aku melongo.

"Kau siapa? Kau apa apaan?" Tanyaku panik sekaligus kesal. Aku kembali menelpon om Haris tapi tidak di angkat. "Om Haris kemana sih?" Tanyaku kesal.

"Ayo pulang" ajaknya lagi. Aku menatapnya sinis.

"Aku bisa pulang sendiri" ucapku ketus. "Oh ya kau tolong pergi dari sini, untuk apa kau ke makam ayahku?" Tanyaku.

"Aku ... Kesini hanya ingin berbelasungkawa atas meninggalnya om wira" jawabnya. Aku sempat bingung. Tapi cepat cepat aku berfikir positif mungkin dia pernah jadi anak magang di kantor ayah. Aku mengangguk sambil memijat kepalaku yang pusing.

"Aku harus pergi duluan" saat aku hendak melangkah, tiba tiba dua laki laki itu menghalangiku. "Sekarang apa?" Tanyaku malas. Aku berpura pura berani, padahal kakiku sudah gemetar.

"Pulanglah bersama tuan muda kami" ucap salah seorang yang berpenampilan seperti pengawal.

"Ck ... Aku bisa pulang sendiri. Sekarang minggir!" Perintahku. Tapi aku rasa telinga mereka berdua sudah buta. Aku berbalik lalu menatap tajam laki laki yang sok tampan itu. "Aku mau pulang ... Lebih baik bawa teman temanmu ini pulang" ujarku ketus. Bukannya menjawab dia malah melangkah mendekatiku lalu menggenggam jemariku. Oh seketika jiwa psikopat ku bergejolak.

"Hei ... Kau penculik ya?" Pekik ku keras. Aku memberontak namun hatiku seperti tak rela melepaskan tangannya. Dia berhenti tiba tiba sehingga membuatku menabrak punggungnya.

"Bisa diam tidak?" Tanyanya datar. "Kalau kau memberontak aku bisa benar benar menculik mu" imbuhnya. Aku langsung menciut dan pasrah. Kalaupun mati di tangannya aku sudah siap.

...[Di dalam mobil, perjalanan pulang]...

 

   Sedari tadi aku hanya diam. Aku sama sekali tak berniat berbicara. Aku kembali teringat pada ayah dan bunda. Ini seperti mimpi, aku menjadi yatim piatu sekarang. Aku kembali menangis setelah mencoba tegar untuk beberapa saat. Tiba tiba ia menyodorkan sapu tangan, aku hanya melirik sebentar lalu kembali menatap keluar. Bagaimana jika itu ada biusnya? Fikir ku.

"Ini tidak ada biusnya" ucapnya. Aku tertegun, apa dia bisa membaca fikiran? Tanyaku dalam hati. Dia mengambil tanganku lalu meletakkan sapu tangannya. Aku menghapus air mataku berkali kali, namun tetap saja ia tak ingin berhenti. Aku semakin terisak, apalagi aroma dari dalam mobil ini mengingatkanku pada seseorang dan masa masa kecilku.

"Aku Abian ... Abian Saguna"

Bersambung..........

permintaan maaf

Aku masih terdiam di depan komputer ku. Semenjak pertemuan terakhirku dengan Abian, aku jadi sering melamun. Nama itu benar benar tidak asing di telingaku, tapi aku jugak tidak bisa menolak kenyataan bahwa aku masih memikirkan Randu. Dia meneleponku berkali kali tapi aku sama sekali tidak berniat untuk mengangkat telponnya. Aku yakin kabar meninggalnya ayahku pasti sudah sampai di telinganya. Aku juga belum pernah kembali ke apartemen semenjak meninggalnya ayah. Aku jarang dirumah karena harus ikut om Haris untuk belajar mengurus bisnis ayah. Aku menghela nafas, aku kemudian melihat jam yang ada di komputer. Tiba tiba HP ku berdering lagi. Kali ini aku mengangkatnya.

"Sofi"

"Eung" jawabku. Suara Randu terdengar lirih.

"Aku minta maaf"

"Untuk apa?" Tanyaku.

"Aku tidak berniat menyakitimu, aku dan Ji Han tidak ada hubungan apa apa ... Aku sudah mencarimu, tapi kamu entah kemana perginya"

"Begitu?" Tanyaku. Tiba tiba air mataku turun perlahan. Aku terisak kecil.

"Jangan menangis ... Aku minta maaf"

"Apa kau sudah selesai? Aku ingin tidur sekarang" aku menghapus jejak air mataku.

"Aku akan menjemputmu"

"Untuk apa lagi?" Tanyaku panik.

"Kau tau aku sama sekali tidak ingin berpisah denganmu"

Sambungan langsung terputus saat aku ingin menolak. Aku menghela nafas, ini pasti menjadi sangat sulit.

Setelah hampir setengah jam, Randu benar benar menjemput ku. Seperti biasa, dia selalu keliatan tampan. Kami sama sama canggung, bahkan saat di dalam mobil. Kami makan di restoran yang biasa kami datangi. Aku tidak bertanya apapun, sedari tadi cuma dia yang bicara panjang lebar. Dia bahkan dengan mudah melupakan pertengkaran kemarin.

Aku menoleh keluar, seketika tubuhku menegang kala menyadari sedari tadi Abian terus memandangiku dari luar. Padahal dia bukan siapa siapa tapi tatapannya seperti hendak membunuh. Aku tersentak saat Randu mengambil tanganku. Aku memberanikan diri menatapnya.

"Ayo berbaikan, aku minta maaf" ucapnya.

"Kau fikir dengan meminta maaf semuanya kembali seperti semula?" Tanyaku.

"Biarkan aku yang berusaha mengembalikannya seperti semula" ucap Randu.

"Termasuk kepergian ayahku?" Tanyaku lagi. Randu terdiam dan menatapku sendu.

"Kau ingin aku menggantikan ayahmu?" Tanya Randu. "Akan kulakukan jika itu maumu, aku tau rasanya berada diposisi mu sekarang ini. Aku tau sampai kapanpun aku tidak akan bisa mengembalikan ayahmu, tapi biarkan aku tetap bersamamu menggantikan tugas ayahmu" tambahnya. Aku memandangnya lekat. Aku tau dia tidak berbohong dengan ucapannya, aku bisa melihat itu di matanya. Tiba tiba aku menangis dan Randu langsung memelukku. Aku merasa aku yang paling bersalah disini, aku bahkan tidak membiarkan ia menjelaskan apapun. Aku meremas bajunya erat dan membiarkan sesak di hatiku berangsur menghilang.

Setelah cukup lama aku merasa baik baik saja. Kami pun sudah mulai seperti biasanya. Aku tidak mau bersikap munafik, aku benar benar mencintainya. Saat kami sedang bercanda, om Haris tiba tiba meneleponku.

"Halo om?" Sapaku.

"Halo Sofi ... Kau dimana?"

"Aku sedang makan diluar ... Ada apa om?" Tanyaku.

"Nanti akan ada yang jemputmu disana"

Aku mengerutkan keningku. "Siapa? Mau kemana om?" Tanya ku bingung.

"Tunggu saja, sebentar lagi dia akan sampai"

"Tapi om ..." Sial, sambungan terputus. dengan kesal aku meletakkan ponselku.

"Ada apa?" Tanya Randu bingung.

"Bukan apa apa ... Sepertinya kau pulang sendiri saja ya ... Suruhan om Haris akan menjemputku" jawabku. Aku sudah yakin Randu pasti akan kebingungan.

"Mau kemana?" Tanyanya heran.

"Tidak tau ... Mungkin ada undangan bisnis" jawabku asal. Randu mengangguk mencoba mengerti. "Tidak apa apa kan?" Tanyaku.

"Tidak apa apa kok" jawabnya sambil tersenyum. "Susah ya jadi orang sibuk" ucapnya sambil tertawa. Aku mencubit lengannya sehingga membuatnya mengaduh.

"Aku pasti sering sering datang ke kantormu" ujarku sumringah. "Sekarang ayo keluar" ucapku.

Aku dan Randu keluar dengan bergandengan tangan. Aku memeluk lengannya, aku rindu parfumnya. Randu yang gemas hanya mengacak rambutku. Tiba tiba langkah kami terhenti, aku terkejut saat tau bahwa Abian masih menunggu diluar. Tiba tiba dia melangkah menghampiriku.

"Ayo naik" ajak Abian. Aku mengerutkan keningku. "Bukannya om Haris sudah menelepon mu?" Tanyanya. Aku kembali di buat bingung. Tapi akhirnya aku ikut dengan Abian setelah berpamitan dengan Randu.

Di dalam mobil aku hanya terdiam, antara kesal dan heran. Bagaimana bisa om Haris mengirimkan pria itu untukku.

"Jangan terlalu memikirkanku" celetuk Abian yang langsung membuat ku melirik kesal.

"Terlalu percaya diri itu tidak baik untuk kesehatan mental" ucapku ketus.

"Memang kenyataannya kau sedang memikirkanku kan?" Tanya Bian. Aku tertawa sinis.

"Kau bukan sesuatu yang penting ... Untuk apa aku memikirkanmu" jawabku masih ketus. Bian malah tertawa kecil.

"Apa dia pacarmu? Yang bersamamu tadi?" Tanyanya.

"Itu bukan urusanmu" jawabku singkat.

"Jangan dekat dengannya lagi" aku langsung menoleh saat mendengar ucapannya.

"Kau siapa? Kau bukan siapa siapa!" Aku benar benar dibuat kesal setengah mati.

"Aku tidak menyukainya" Jawab Bian. Astaga, aku benar benar akan meledakkan emosiku di wajahnya.

"Berhenti ... Aku bilang berhenti!" Teriakku kesal. Benar saja mobil langsung berhenti.

"Sudah ... Kau mau apa?" Tanya Bian.

"Pergilah, jangan pernah muncul lagi" ucapku ketus. Aku hendak membuka pintu.

"Jika aku tidak muncul lagi, laki laki itu juga tidak akan pernah muncul lagi" ucapnya dengan tenang. aku menoleh dengan ekspresi terkejut dan marah.

"Jangan macam macam" ucapku. "Kau bukan siapa siapa, kau tidak berhak atas hidupku!" Aku kembali berteriak. Aku terkejut saat ia menghubungi seseorang.

"Hancurkan mobil dengan plat DC 231 ..." Aku langsung menutup mulutnya sebelum dia selesai bicara.

"Apa kau sudah gila?" Tanyaku marah.

"Aku sudah memberi peringatan untukmu" jawabnya santai tapi tatapannya tajam. "Aku bisa habisi dia sekarang juga" imbuhnya.

"Kau ini apa apaan?" Tanyaku kesal.

"sudah sekarang ayo kita pulang" bukannya menjawab, dia malah melajukan mobilnya. Sumpah demi apapun aku sangat membencinya.

Setelah sampai di rumah, aku langsung masuk tanpa mengucapkan apapun. Aku langsung masuk ke kamar dan merebahkan tubuhku.

"Dia fikir dia siapa? gila" Aku mengumpat di kamarku. "Dasar laki laki gila!!" Aku menjerit kesal. Aku ingin cepat cepat istirahat dan melupakan laki laki gila itu.

[Kantor ayah]

Hari ini lagi lagi aku harus ke kantor. Oh iya, ngomong ngomong aku sudah resign dari tempat kerjaku yang lama dan sekarang aku harus fokus pada perusahaan milik ayahku. aku mengikuti kemanapun om Haris pergi, rasanya melelahkan tapi semua demi ayah.

Aku sedang duduk di restoran yang ada di depan kantor ayah tepatnya sekarang adalah kantor ku. Aku sedang enak enaknya menikmati ice coffee kesukaanku. Tapi tiba tiba mood ku hancur seketika saat aku melihat Abian duduk di kursi yang ada di depanku. Aku sempat melayangkan tatapan tidak suka, tapi sepertinya dia bukan makhluk yang peka.

"Kenapa duduk disini?" Tanyaku kesal.

"Kenapa tanya begitu?" Oh tuhan, dia bertanya balik. Aku hendak menyuruhnya pergi, tapi ponsel ku lebih dulu berbunyi. Randu, aku cepat cepat mengangkatnya.

"Halo sayang" sapaku dengan suara lantang, untung saja restoran ini sedang sepi.

"kenapa kau memanggilku begitu?" Tanya Randu heran lalu tertawa kecil.

"tidak apa apa, hanya ingin saja" jawabku sambil tertawa.

"Kau dimana?" Tanya Randu. "Aku di depan kantormu sekarang" ucapnya. Aku langsung menoleh ke luar dan benar dia baru keluar dari mobil.

"Oke ... Tunggu disitu, aku keluar" aku langsung mengambil tas ku dan cepat cepat pergi. Aku melirik ke Abian sebentar, Aku sempat melihat raut wajah kesalnya, tapi apa peduliku.

Aku melambaikan tanganku dan berteriak memanggil namanya. Randu sontak menoleh dan tersenyum sampai matanya tidak kelihatan. Dia merenggangkan tangannya dan aku langsung masuk dalam pelukannya.

"Kau disini?" Tanyaku manja.

"Aku mengambil cuti" jawabnya sambil mengacak rambutku. "Ayo kita jalan jalan" ajaknya. Aku dan dia masuk ke dalam mobil.

Di dalam mobil, kami hanya bercanda dan bernyanyi sembarangan.

"Yang menjemput mu kemarin siapa?" Tanya Randu.

"Itu ... Suruhan om Haris" jawabku gugup.

"benarkah? aku lihat tatapan berbeda padamu" ucap Randu.

"berbeda?" Tanyaku. "itu hanya perasaanmu saja" imbuhku.

"eum, mungkin" jawabnya sambil mengacak rambutku lagi. Aku memandangi wajahnya, sekeras apapun aku berusaha aku tetap ingin terus mencintainya.

Bersambung.....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!