NovelToon NovelToon

Forget Me, Please!

Kebencian

"Aku mencintainya." Gumam Oliver menatap foto masa kecil mereka. Foto kala remaja, hingga foto pertunangannya.

Bahkan dirinya masih mengingat malam yang dilaluinya dengan Chery beberapa hari lalu. Malam dimana Oliver untuk pertama kalinya, berbuat melewati batas. Berharap ini akan berakhir dengan pernikahan.

Pemuda yang terkenal rupawan, cerdas, dingin, licik, begitu kejam di dunia bisnis, kini menitikkan air matanya. Meminum segelas wine, tapi tidak dapat menghapus bayangan kekasihnya.

Prang!

Pecahan kaca dari gelas wine berhamburan. Wajahnya tersenyum, membelai foto Chery.

"Aku pantas mati bukan?" Tanyanya pada foto yang tidak dapat menjawab. Sebuah foto yang hanya dapat tersenyum.

Begitu banyak darah berlumuran hari itu. Berusaha meraihnya, tapi tidak bisa. Ingin mengatakan mencintainya, berteriak pun tidak ada gunanya. Chery yang dimasukkan ke dalam ambulance tidak dapat tersenyum lagi karena dirinya.

Memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Apa yang dapat dilakukan olehnya? Apa Chery sudah meninggal? Bahkan dirinya dihalangi untuk bertemu dengannya.

Mencoba untuk menghubungi Mahardika (ayah Chery). Panggilannya dimatikan, pertanda dirinya tidak diberikan lagi kesempatan.

Sebuah pesan masuk di handphonenya. Pesan dari Mahardika.

'Putriku sudah meninggal, jadi lupakan dia. Biarkan Chery tenang.'

Sebuah pesan yang membuat pemuda itu terdiam tanpa ekspresi. Chery pada akhirnya menyerah akan hidupnya? Chery, pengantin kecil yang berjanji menikah dengannya telah tiada?

Bulan yang begitu indah, sinarnya menebus celah tirai balkon.

"Chery, pasti kesepian. Mulai saat ini, akan lebih banyak waktu untukmu. Aku tidak akan bekerja, tidak akan memuji orang lain. Hanya akan bersama denganmu dalam kegelapan." Gumamnya tersenyum, meraih senjata api kecil yang berada di atas meja sebelah tempat tidur.

Kakinya melangkah, memijak pecahan kaca gelas wine. Darah dari kakinya, mungkin bercampur dengan merahnya tumpahan red wine.

Tidak ada kalimat yang terucap, meletakkan ujung senjata api di pelipisnya sendiri.

Fatamorgana itu terlihat di balkon apartemen, tersenyum padanya."Oliver, mari bermain." Bayangan Chery tersenyum, hal yang tidak nyata, begitu merindukannya.

"Ayo kita bermain..." Jawab Oliver menarik pelatuk, jemarinya hendak menyentuh pemicu.

Sebuah penyesalan terbesar dalam hidupnya. Jika dirinya mengerti tentang perasaan Chery. Jika dirinya menjadi tunangan yang baik.

*

Darimana segalanya berasal? Sudah sejak lama, namun puncak segalanya tiga bulan yang lalu. Kala segalanya dianggap masih baik-baik saja oleh seorang Oliver.

Kala hati polos itu masih begitu mencintainya. Tiga bulan lalu, tepatnya di lobby kantor perusahaan E.R Green Company.

"Aku membuatnya sendiri." Chery tersenyum pada pemuda di hadapannya. Pemuda yang berstatus sebagai tunangannya. Menyodorkan paperbag berisikan kotak bekal yang sudah dipersiapkannya sejak pagi hari.

Tapi.

Prak!

Semua isi dalam paperbag berhamburan dilemparkan ke lantai oleh Oliver. Matanya masih tetap menatap dingin pada gadis si hadapannya."Sudah aku bilang! Jangan habiskan waktumu untuk membuat sampah! Belajar dan konsentrasi pada kariermu saja!"

"Ta... tapi." Chery tertunduk menatap ke arah isi dalam kotak bekalnya yang berhamburan di lantai. Jemari tangannya mengepal berusaha tersenyum, menyakini Oliver akan kembali seperti dulu."Aku ingin berkencan denganmu malam ini saja, aku sudah membeli tiket bioskop. A...atau kalau tidak, satu jam saja, hanya makan malam."

"Chery, kamu tidak mengerti juga!? Aku sibuk." Oliver menghela napas kasar terlihat jenuh.

"A...aku mengerti." Chery masih tetap tersenyum, memungut paperbag serta taper were. Isi di dalamnya terlihat, potongan wortel kecil berbentuk hati. Bahkan sosis berbentuk bunga, hanya berharap Oliver bersedia makan siang bersamanya.

"Belajarlah lebih dewasa. Kamu tidak bisa terus bergantung padaku." Kalimat yang membuat Chery tertunduk.

"Tuan muda, kita harus mengikuti rapat setelah ini." Ucap Mitha, sang sekretaris.

Oliver menghela napas kasar."Kamu membawa mobil?" tanyanya pada kekasihnya, dijawab dengan anggukan kepala oleh Chery.

"Pulanglah, ikuti kursus etika, kamu juga harus meniti karir. Jangan hanya bermain-main." Oliver melangkah meninggalkan Chery yang hanya menunduk.

Wanita yang berusaha keras untuk tersenyum. Anak laki-laki yang dulu dicintai olehnya. Bagaimana Oliver menghiburnya setelah kematian ibunya, hanya dengan membawakan seikat bunga liar.

Sementara Mahardika yang melangkah menuju lobby diikuti oleh beberapa petinggi perusahaan, menghentikan langkahnya, menatap ke arah putrinya yang tertunduk.

Jemari tangannya mengepal. Dirinya bersumpah untuk membahagiakan Chery, satu-satunya keluarganya. Sekaligus putri berharga yang ditinggalkan mendiang istrinya.

"Tuan Mahardika..." Kalimat dari pria yang ada dibelakangnya terhenti. Kala terdengar helaan napas dari sang pria paruh baya.

"Aku ingin Chery melupakan baj*ngan itu." Geram Mahardika membenahi letak kacamatanya. Dirinya membenci ini, mengapa putrinya yang imut, cantik, sempurna harus jatuh cinta pada cumi-cumi?

"Pak Mahardika, kita harus---" Kalimat dari asistennya terhenti kala Mahardika, meninggalkan orang-orang yang mengikutinya. Melangkah mendekati putrinya.

"Chery sayang! Kamu datang membawakan bekal untuk ayah?" Tanya Mahardika pada putrinya, merebut paperbag yang berisikan dua kotak bekal tersebut. Walaupun salah satunya sempat terbuka dan berhamburan ke lantai.

"Ayah! Itu jelek! Berantakan! Salah satunya bahkan kotor!" Ucap Chery merebut paperbag dari ayahnya.

"Tidak peduli!" Mahardika kembali merebutnya."Ini sudah menjadi milik ayah! Jadi ayah akan memakannya."

"Yang kotaknya rusak jangan dimakan. Tidak bersih! Nanti ayah sakit perut." Chery menghela napas kasar. Tidak dapat berkata-kata menatap tingkah lucu ayahnya yang penuh senyuman.

"Chery, apa kamu tidak ingin berselingkuh dari Oliver? Ada pria yang kamu sukai selain Oliver, misalnya." Tanya sang ayah penuh harap. Menelan ludahnya, dirinya benar-benar ingin putrinya berhenti menyukai b*jingan itu.

"Ayah! Aku tipikal orang setia seperti ayah pada ibu. Ayah aneh, anaknya malah didukung menjadi playgirl." Chery menggelengkan kepalanya heran.

"Siapa tau saja. Kamu menyukai... menyukai... siapa namanya. Artis yang disukai anak rekan bisnis ayah. Jung...Jung...ah lupa. Yang jelas kalau kamu mau, tinggal tunjuk ayah akan mengerahkan koneksi ayah agar kamu bisa mendekati pria yang kamu sukai." Kalimat dari sang ayah membuat putrinya mengangkat salah satu alisnya.

"Jangan bilang anak rekan bisnis ayah menyukai Jungkook, lalu ayah mengira putri ayah juga mungkin menyukai artis yang jauh di sana. Lalu ayah bermaksud menculik atau memaksa artis itu bertemu atau menikahi putri ayah. Agar putri ayah yang setia ini putus dengan Oliver?" Kalimat dengan imajinasi tingkat tinggi dari Chery.

"Tentu saja." Sang ayah tertawa, memukul bahu putrinya pelan.

"Mana mungkin, aku juga bukan penggemar idol. Tetap saja aku tipikal wanita cantik dan setia." Chery mengibaskan rambutnya, mengedip-ngedipkan matanya.

"Anak ayah memang yang paling cantik!" Mahardika memuji putrinya.

"Aku harus pergi dulu. Mulai sekarang aku akan membuatkan bekal untuk ayah dan Oliver. Jadi jangan khawatir." Ucap putrinya tersenyum ceria.

"Kamu mau pergi kemana?" Tanya ayahnya.

"Membeli peralatan melukis. Aku mengikuti pameran yang diadakan temanku. Ayah datang ya?" Teriak putrinya berlalu pergi.

"Iya!" Sang ayah tersenyum membalas lambaian tangan putrinya.

Tapi hanya sejenak senyuman menghilang dari bibirnya. Masih membawa paperbag milik putrinya.

*

Wakil CEO, itulah posisi yang dipegang Mahardika saat ini. Memakan kedua kotak bekal yang dibawa putrinya dalam ruangannya.

"Dasar! Pria kurang ajar! Setan! Astaga..." Mahardika memijit pelipisnya sendiri, mengingat bagaimana sikap Oliver pada putrinya.

"Tuan, kenapa tidak keluar dari perusahaan saja. Dirikan perusahaan sendiri, aset dan relasi yang tuan miliki sudah cukup." Ucap Yura (asisten Mahardika).

"Tidak bisa, putriku yang paling manis, imut, cantik, pintar menyukai Oliver. Jika aku keluar dari perusahaan, kemudian Chery menikah dengan Oliver. Maka aku tidak dapat menjaga dan berada dekat dengan putriku." Gumam sang pria paruh baya, menghela napas kasar.

"Lalu?" Tanya Yura. Membuat sang majikan dan asisten sama-sama menghela napas mereka.

CEO, itulah jabatan Oliver saat ini. Selaku pewaris tunggal perusahaan milik keluarganya. Sedangkan Mahardika telah bekerja sebagai wakil CEO dari kepemimpinan mendiang ayah Oliver.

Tapi, jangan ditanya jika soal kekayaan. Mahardika memiliki banyak saham di perusahaan ternama di luar negeri. Lalu, mengapa masih bekerja di tempat ini? Tentu saja karena putrinya tercinta.

"Oliver, aku membencinya..." gumam Mahardika menancapkan pena ke meja kerjanya."Jika saja putriku mencintai pria lain selain Oliver!" Teriak ayah bucin anak murka.

Don't Hate Me

Tangannya bergerak benar-benar lihai di atas kanvas. Senyuman terlihat di wajah Chery, dirinya tidak begitu pintar. Mungkin karena itulah Oliver berharap terlalu lebih padanya.

Sejenak senyuman redup dari wajahnya. Bukankah ada yang namanya vase lelah? Mengirimkan pesan pada Oliver.

'Jangan lupa makan.'

'Aku mencintaimu.'

Tapi hanya tanda centang dua, tidak ada balasan sama sekali dari tunangan sekaligus kekasihnya. Sejak tiga tahun lalu Oliver menjauhinya. Lebih tepatnya setelah kematian kedua orang tua Oliver.

Segalanya benar-benar tanpa alasan, bahkan setahun ini setelah kehadiran Mitha sebagai sekretaris kekasihnya, dirinya bagaikan tunangan di atas kertas.

Mengusap cincin berlian di jemarinya. Cincin pertunangan yang telah dipakainya lebih dari 4 tahun.

Menghela napas kasar berusaha tersenyum, walaupun setetes air mata masih mengalir. Kembali melanjutkan lukisannya.

Sebuah sungai yang indah dekat dengan sekolah menengah pertama mereka dulu. Lukisan yang benar-benar indah, terlihat sosok remaja berseragam sekolah menengah pertama disana. Memainkan harmonika, kala senja menyingsing.

Lukisan dimana hanya ada Oliver seorang disana, tanpa kehadiran Chery. Mungkin karena hanya Oliver yang berada dalam hatinya.

"Sebentar lagi selesai..." gumamnya.

Tapi terkadang ada hal yang seharusnya tidak dilakukan olehnya. Mengapa dalam lukisan hanya Oliver yang ada? Entahlah, mungkin karena Chery hanya menginginkan kebahagiaan Oliver.

Jika Oliver memang bahagia tanpanya...

Ada banyak lukisan di tempat ini, ruangan yang dibuatkan khusus oleh Mahardika untuk putrinya tercinta.

Bahkan salah satunya lukisan Mahardika, Dina (ibu Chery), dan Chery ketika kecil. Dibuat oleh gadis itu.

Hidup yang benar-benar indah bagi putri seorang Mahardika.

"Oliver..." gumamnya membelai gambar remaja laki-laki yang terlihat dari jarak yang jauh."Aku merindukanmu..."

*

"Tuan muda, ini hasil penyelidikannya. Tuan Mahardika memang memiliki kemungkinan sebagai orang yang bertanggung jawab atas kematian kedua orang tua mu." Ucap Mitha memberikan tiga buah map pada Oliver.

"Seperti dugaan paman Reza." Gumam Oliver, mengingat Reza (paman Oliver) memperingatkannya tentang Mahardika.

Perasaan bimbang itu masih ada hingga kini. 18 tahun dirinya mengenal Chery, tumbuh besar bersamanya, bahkan jatuh cinta padanya, saat masa remaja mereka.

Tapi Mahardika merupakan orang yang bertanggung jawab atas kematian kedua orang tuanya?

Oliver menghela napas kasar, air matanya mengalir. Jemari tangannya gemetar, kala membaca hasil penyelidikan detektif yang disewa Mitha, atas nama Oliver.

"Tuan, apa tidak sebaiknya memutuskan pertunanganmu, cepat atau lambat Mahardika akan menjadikan Chery sebagai bidak caturnya. Mahardika berniat merebut perusahaan ini. Mungkin Tuan Mahardika juga ingin menyingkirkanmu." Ucap sang kuntilanak. Eh salah, asisten cantik jelita, wanita karier super cerdas, secerdas Adolf Hitler.

Oliver mengepalkan tangannya. Karena inilah dirinya tidak pernah bersedia menerima makanan dari Chery. Racun mungkin saja ada di dalamnya bukan?

Hampir setiap hari Reza menghubungi Oliver, dari hari kematian kedua orang tuanya. Mengatakan Mahardika dan Chery terlibat dengan semua ini. Chery hanya boneka Mahardika untuk mendapatkan semua milik Oliver. Bagaikan sugesti? Entahlah, dirinya selalu mencurigai semua tindakan Mahardika dan Chery.

"Ti... tidak, keluar." Perintah Oliver pada sekretarisnya.

Pemuda itu terdiam di ruang kerjanya. Hanya cahaya bulan yang kini bagaikan menjadi teman untuknya. Janji yang dulu selalu dirinya dan Chery pegang. Sebuah pernikahan yang indah kala mereka dewasa nanti.

Bahkan pernah membeli cincin perak ketika remaja. Menyematkan di jari manis masing-masing. Tersenyum kembali bermain di sungai yang berada dekat dengan gedung sekolah menengah pertama.

"Ternyata hanya pion?" Gumam Oliver tertawa dalam air mata yang mengalir merindukan kekasihnya. Chery hanya pion yang digerakkan Mahardika, hanya untuk mendapatkan perusahaan.

Tangannya gemetar, ingin memiliki Chery. Tapi tidak dapat memaafkan apa yang Mahardika lakukan pada kedua orang tuanya.

*

"Minggir!" Teriak seseorang di luar sana. Sudah pasti sebuah keributan lagi."Aku tunangannya, apa hakmu melarangku menemui tunanganku!?"

"Nona Chery, tuan muda sedang sibuk." Ucap Mitha terdengar menghentikan Chery.

"Sibuk! Sibuk! Sibuk! Lembur terus setiap hari. Ayah mengatakan pekerjaan Oliver untuk hari ini seharusnya sudah selesai. Apa jangan-jangan kamu berusaha memisahkan kami!?" Geram Chery yang kini berada di depan ruangan CEO.

"Bukan begitu---" Kala pintu hendak terbuka. Dengan cepat Mitha menjatuhkan dirinya di lantai. Bertindak seakan-akan Chery mendorongnya. Tujuannya? Tentu saja agar Oliver menyadari betapa tidak beradab nya wanita gila (Chery) ini.

"Agh! Nona kenapa kamu mendorongku?" Mitha tertunduk menangis terisak duduk di lantai menunjukkan air mata buayanya.

"Chery! Apa yang kamu lakukan!?" Bentak Oliver pada tunangannya, membantu Mitha bangkit di lantai.

Hal yang membuat Chery menghela napas kasar. Sudah berapa kali drama seperti ini terjadi.

"Yang aku lakukan? Tentu saja memberi pelajaran pada wanita murahan ini." Dari pad dituduh tanpa alasan, lebih baik sekalian saja lakukan. Mungkin itulah yang ada di benak Chery.

Bug!

Tulang kering Mitha yang pura-pura menangis ditendang dengan kencang olehnya.

"Agghhh! Sakit!" Pekik Mitha, memegang betisnya.

"Chery!" Bentak Oliver memegang pergelangan tangan Chery.

"Apa!? Satu tahun ini, kamu menghabiskan waktu hampir 24 jam bersama sekretarismu. Aku yakin dalam lima tahun dia akan hamil, kemudian kalian menikah. Lebih baik mencegah kan daripada mengobati. Makanya aku memberinya pelajaran." Chery menatap tajam ke arah Oliver.

Awalnya terlihat serius, benar-benar serius. Tapi bagi Oliver ekspresi marah dan cemburunya benar-benar lucu dan manis.

Oliver menghela napas berkali-kali, kali ini Chery benar-benar keterlaluan. Mengepalkan tangannya, harus tega! Itulah yang ada di otaknya.

"Chery! Yang kamu lakukan pada Mitha itu keterlaluan!" Bentak Oliver.

"Yang kalian lakukan itu keterlaluan!" Chery meletakkan kedua tangannya di pinggang, seperti marah. Sedikit berjinjit bagaikan menantang. Membuatnya terlihat bertambah manis?

"Apa yang kami lakukan?" Tanya Oliver menyilangkan kedua lengannya di dadanya sendiri.

"Ka...kalian menghabiskan waktu bersama. Seperti orang pacaran, sedangkan aku diam di rumah seperti jomblo sejati." Gerutu Chery, benar-benar kesal, menghentakkan kakinya.

"Chery! Bersikaplah lebih dewasa!" Kali ini Oliver membentak dengan nada yang sedikit lebih keras.

"Aku sudah dewasa!" Jawab Chery.

"Kamu bahkan tidak seperti Mitha yang menghasilkan uang sendiri. Mitha lebih mandiri dan dewasa dari padamu!" Tegas Oliver.

Chery mengepalkan tangannya."Aku menghasilkan uang sendiri. Aku memang tidak begitu pintar. Walaupun sedikit, aku punya tabungan dari jeri payahku. Apa aku harus bekerja di perusahaan agar disebut sebagai wanita berguna?" Tanya gadis itu tertunduk, air matanya mengalir.

Hal yang membuat tangan Oliver gemetar, hendak memeluknya. Tapi diurungkan olehnya. Dirinya harus menyingkirkan Mahardika terlebih dahulu. Selain itu dapatkah dirinya mencintai anak dari pembunuh kedua orang tuanya?

"Benar! Kamu harus menjadi wanita berguna yang patut untuk dibanggakan. Tidak terus bergantung padaku dan ayahmu. Kamu sudah berusia 28 tahun, tapi masih hidup seperti benalu. Sampah tidak berguna." Kalimat yang keluar dari mulut Oliver menbuat Chery tertunduk.

"O...O...Oliver, maaf mengganggumu yang sedang sibuk. A...A... anggap aku tidak pernah datang kemari. A...aku juga tidak mendengar apa-apa..." Tiba-tiba Chery terlihat gugup, mundur beberapa langkah. Bagaikan takut untuk dibenci oleh ayahnya dan Oliver.

Brother

Chery tertunduk, terlihat gugup.

"Chery?" panggil Oliver. Tapi anehnya Chery kembali melangkah mundur.

Hingga.

Seorang pria merangkulnya."Chery, kamu kemari untuk bertemu dengan ayah?" Tanya Mahardika, merangkul bahu putrinya.

"I...iya, untuk menemui ayah." Ucap Chery menggenggam jemari tangan ayahnya, gadis yang benar-benar gugup, bagaikan menemukan tempat untuknya berlindung.

"Tuan muda, aku dan putriku harus pulang, ini sudah hampir melewati waktu makan malam. Chery memiliki masalah pencernaan, jadi harus makan tepat waktu." Ucap Mahardika tersenyum, tidak membiarkan malaikatnya terluka sedikitpun.

"Pergilah..." Hanya itulah yang diucapkan Oliver.

Pria paruh baya itu masih tersenyum. Tapi hanya sejenak, senyuman di wajahnya menghilang beberapa detik. Kemudian kembali tersenyum menatap ke arah putrinya.

"Ayo kita pulang! Ayah salah, Oliver sedang sibuk. Lain kali jangan kemari tanpa membuat janji." Mahardika merangkul bahu putrinya, berjalan menelusuri lorong sembari tertawa."Maklum ayah sudah tua! Omong ngomong, ayah dengar-dengar kamu memasak sea food."

"Iya! Aku sendiri yang membeli bahannya di pasar." Chery kembali tersenyum seperti biasanya.

"Perut ayah bisa bertambah besar dan meledak!" Ucap Mahardika berfikir.

"Otot-otot ayah sudah banyak! Korbankan satu untuk makan, tidak apa-apa kan?" Chery terkekeh.

Sedangkan Oliver hanya menatap kepergian mereka. Ingin bersama dengan Chery, tapi kematian itu benar-benar terasa nyata. Mobil dan supir yang saat itu mengantar kedua orang tuanya, direkrut oleh Mahardika.

Mobil yang tidak menyisakan apapun, selain puing-puing kebahagiaannya. Haruskah dirinya membunuh Chery agar Mahardika merasakan kehilangan sepertinya?

"Tidak...aku mencintainya (Chery)." Batin Oliver, tidak tahu harus bagaimana lagi. Mencintai wanita yang tidak seharusnya.

Mendorong Chery menjauh, menyakitinya, menatap kepergiannya dengan kekecewaan. Namun, setiap pagi Chery selalu kembali padanya. Terlihat tersenyum, bagaimana dirinya dapat membalaskan dendamnya?

"Hah..." Rasa sesak bagaikan menghujam dadanya.

"Tuan," Mitha menggenggam tangan Oliver. Pemuda yang menepisnya dengan kasar."Aku peringatan padamu, jangan pernah mencoba mendekatiku! Jadilah sekretaris profesional, jika tidak, aku pastikan kamu tidak akan diterima di perusahaan manapun di negara ini."

"Ba..Baik tuan..." Mitha menunduk, mengepalkan tangannya. Menatap Oliver kembali memasuki ruangan CEO.

Mengambil tas kerjanya, melangkah kesal menelusuri lorong."Memang apa kelebihan nona muda manja itu? Dia cuma bisa melukis. Aku wanita karier cerdas. Hanya aku yang cocok untuk mendampingi Oliver!" Geramnya kesal setengah mati.

Hingga suara notifikasi terdengar, uang dengan nominal yang cukup besar masuk ke rekeningnya. Beserta sebuah pesan dari Reza.

'Uangnya sudah aku kirim. Pastikan Oliver tetap menjauh dari Mahardika dan Chery.'

Senyuman menyungging di wajah Mitha. Oliver baru lima tahun lalu memasuki perusahaan keluarganya. Pria yang baru satu tahun terjun dalam bisnis, apa yang diketahui oleh Oliver?

Mahardika yang selama ini melindungi perusahaan, selaku calon mertua Oliver, sekaligus wakil CEO yang telah menjabat belasan tahun. Karena itulah Reza tidak dapat dengan mudah mengambil alih perusahaan atau mengambil keuntungan.

Jika saja, Chery tidak ada, maka Mahardika akan berhenti melindungi posisi Oliver. Reza juga akan dengan mudah mengambil keuntungan dari perusahaan mendiang kakaknya.

Tentang kecelakaan? Segalanya perbuatan Reza. Dapat menyingkirkan kakak dan iparnya, tapi benar-benar sulit mencelakai Oliver yang selalu ada di bawah perlindungan Mahardika.

Karena itu, cara satu-satunya mengendalikan Oliver. Agar menjauhi satu-satunya sayap pelindungnya.

"Hah...jika saja Oliver menjadi milikku. Tapi cepat atau lambat, Oliver akan menyadari siapa yang terbaik bukan?" Gumam Mitha tersenyum.

*

"Rasanya seperti kurang sedikit garam." Ucap Rien, seorang pemuda berkacamata, rambutnya panjang terikat. Anak angkat, sekaligus pengelola bisnis Mahardika.

Plak!

"Benar-benar kejam! Dasar dingin! Makanan buatan Chery yang terbaik!" Geram Aldiano, pemuda berambut hitam pendek, wajahnya begitu manis, dengan salah satu telinga ditindik, seorang white hacker yang baru saja merintis perusahaan cyber. Anak angkat, Mahardika.

"Chery, suapi kakak." Pinta Leo, seorang pemuda yang terlihat begitu gagah. Sayangnya pemuda ini, merupakan kebalikan dari Rien. Jika Rien mengelola bisnis milik Mahardika dengan memimpinnya secara langsung. Maka Leo yang mengeksekusi nya di belakang. Memiliki jaringan anak buah bersenjata, jangan ditanyakan untuk apa. Tentu saja untuk mengawasi lawan bisnis mereka.

Tiga orang anak berbakat yang diadopsi Mahardika untuk melindungi putrinya. Ayah gila yang benar-benar menjadi budak anak, memikirkan masa depan Chery jika dirinya tidak ada nanti. Setidaknya akan ada tiga orang anak yang benar-benar menyayangi adik mereka ini. Mengingat ketiganya memiliki latar belakang menyedihkan tanpa kehadiran keluarga.

"Makanya minta disuapi pacar kakak lain kali." Komat-kamit mulut Chery mengomel, meletakkan makanan di piring Leo.

"Bagaimana ya? Aku tidak ingin punya pacar." Leo menghela napas kasar.

"Bukannya karena kamu pria tidak berotak, yang hanya pakai otot saja?" Rien makan dengan tenang, meminum sedikit red wine.

"Kamu sendiri terlalu lemah! Pria kuat itu yang utama! Semua wanita menyukai pria macho dibandingkan dengan kutu buku." Leo berusaha keras untuk tersenyum.

"Otot hanya tumpukan daging, apa bedanya dengan lemak? Hanya beda sedikit bentuk dan kepadatan saja kan?" Rien menjawab begitu tajam.

"I...itu...apa bedanya ya?" Gumam Leo berfikir, selalu kalah berdebat melawan Rien.

Sementara Aldiano menghela napas kasar, meletakkan udang ke piring Chery."Kenapa wajahmu seperti orang sembelit? Lain kali kita ke taman hiburan. Aku akan membawamu menaiki roller coaster."

"Benar! Anak ayah! Makan yang banyak. Jangan pedulikan cumi-cumi itu." Sang ayah meletakkan cumi-cumi goreng di piring putrinya.

"Ayah, apa sebaiknya aku menjadi wanita karier saja?" Tanya Chery ragu.

Seketika semua orang yang ada di meja makan tertawa. Benar-benar tertawa lepas.

"Kenapa tertawa? Apa karena aku tidak pintar seperti Mitha? A...aku memang tidak bisa apa-apa." Tanya Chery pada ketiga kakak angkat dan ayahnya. Seketika suasana hening semua terdiam sesaat, mendengar Chery menyebut kata 'Mitha'.

"Siapa bilang kamu bukan wanita karier?" Tanya Rien terlihat tenang berusaha keras untuk tersenyum.

"Aku hanya---" Kalimat Chery terhenti merasa dirinya salah bicara. Tidak ingin mereka membenci Oliver.

"Chery, aku orang yang objektif. Jadi aku akan mengatakannya terus terang." Rien membenahi letak kacamatanya."Kalau tidak salah Mitha adalah sekretaris Oliver bukan? Gaji seorang sekretaris senior hanya mencapai 12 juta perbulan. Sedangkan asisten dapat mencapai 18 juta. Kita anggap saja cacing kurus kering itu adalah sektretaris senior. Dia wanita karier yang memakai pakaian branded, full makeup, hanya berpendapatan 12 juta sebulan. Sedangkan di pameran lalu lukisanmu terjual dengan harga berapa?" Tanya Rien.

"8 juta..." Jawab Chery.

"Itu pameran dalam negeri. Saat aku membawa lima lukisanmu ke Paris. Itu terjual 7500 euro. Artinya, apapun profesimu, asalkan kamu mengerjakannya dengan nyaman. Itu cukup, ada aku, ayah, Leo dan Aldiano akan selalu mendukungmu." Ucap Rien pada adik angkatnya.

"Baik! Kalau begitu aku akan membuat lukisan lebih banyak lagi!" Teriak Chery penuh semangat, melangkah kembali ke ruangan yang ditujukan hanya untuk tempatnya melukis.

Kala pintu itu tertutup, maka suasana berbeda terasa.

"Ayah, aku ingin memotong *****nya. Bolehkah?" Tanya Leo berusaha keras untuk tersenyum.

Rien kembali meminum wine miliknya."Dasar! Seperti biasanya Leo hanya pakai otot saja. Kamu harus belajar mengendalikan emosimu. Aku akan mengirim orang untuk menghabisinya (Oliver) diam-diam. Tinggal sediakan zat kimia untuk menghancurkan daging dan tulang, maka tidak akan ada jejak sama sekali."

"Sumpah! Kalian sadis! Tapi aku suka. Aku ikut!" Aldiano antusias, mengeluarkan senjata api dari balik sweaternya, mulai mengisinya dengan peluru.

"Si br*ngsek (Oliver) dulu bukan orang seperti ini. Kalian fokus saja untuk pengembangan usaha di luar negeri. Masalah Oliver, ayah yang akan mencari tau."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!