NovelToon NovelToon

AMEEZA

1. SMA Antares

Malam ini di meja makan keluarga Bahar hanya terdengar suara denting sendok yang beradu dengan piring. Ameeza diam-diam melirik ke arah Bahar-ayahnya dan Eliska-mamanya. Ia penasaran dengan satu hal. Tapi, Ameeza enggan mengungkapkan maksudnya.

"Lo kenapa, sih," sewot Izzi diiringi dengan sendok yang sengaja dihentak ke piring. Matanya menatap Ameeza tajam. Dari dulu Izzi sangat tak suka dengan sikap Ameeza yang sok dingin, dan sok tidak peduli.

Bahar sejenak berhenti makan. Tatapannya menghunus ke arah Izzi sampai cewek itu tertunduk dan kembali melanjutkan makannya. Seakan hanya dengan tatapan saja Izzi tahu bahwa Bahar sedang memperingati tindakannya yang mengacau acara makan malam hari ini.

Usai menghabiskan makan malamnya, Bahar berdehem membuat semua mata tertuju padanya. "Ayah sudah mendaftarkan kamu ke SMA Antares," tegas Bahar.

Ameeza yang masih belum selesai makan mendadak menghentikan aktivitasnya. Sorot matanya yang sarat akan protesan mengarah pada Bahar yang dibalas sang ayah dengan menatap balik anak bungsunya.

"Bukan tanpa sebab ayah mendaftarkan kamu ke SMA Antares." Bahar menatap Ameeza yang sibuk mencabik-cabik telur rebus dipiringnya. "Supaya ayah bisa memantau kamu. Dari dulu kamu gak pernah patuh dengan aturan sekolah. Kamu ingat, dulu ayah pernah menuruti semua keinginan kamu. Tapi, kenyataannya kamu justru menghancurkan harapan ayah. Kamu tahu, saat itu ayah merasa jadi orang tua yang gagal."

"Kali ini saja, tolong jangan bertindak macam-macam. Kamu mengerti 'kan, Sayang," kata Eliska dengan tatapan lembutnya berharap sang anak mengerti.

Ameeza mendorong kursinya ke belakang menimbulkan suara derit yang cukup nyaring ditengah situasi yang sepi di ruang makan. Tindakan tersebut tak luput dari pandangan Bahar, Eliska dan Angga-kakak pertama Ameeza. Lain halnya dengan Izzi-kakak kedua Ameeza, dia satu-satunya orang yang tidak peduli dengan tindakan Ameeza.

Ameeza berlalu pergi menuju kamarnya. Begitu sampai, perempuan itu merebahkan dirinya di kasur. Menatap langit-langit kamar. Kemudian bangkit dari tidur dan memilih duduk di tengah-tengah kasur. Matanya menjelajahi tiap-tiap detail dari kamarnya.

Tidak ada yang spesial dari kamar Ameeza. Kamar dengan cat putih abu tanpa hiasan apapun. Di kamarnya hanya ada meja belajar, lemari baju, lemari khusus cat, kasur, nakas dan TV.

Tidak seperti kebanyakan anak perempuan yang suka dengan warna merah muda atau ungu. Atau lebih suka menghias kamar dengan segala macam pernak-pernik. Ameeza justru orang yang tidak suka warna feminim dan dekorasi yang ribet.

Ameeza menghela napas panjang. Memilih merebahkan diri daripada memikirkan di mana ia bersekolah besok. Namun, Ameeza berharap semoga saja bukan SMA Antares milik ayahnya. Ameeza berharap keputusan ayahnya akan berubah.

Perlahan kedua mata Ameeza terpejam. Entah sudah berapa lama ia tertidur. Yang pasti ia merasa baru saja tidur sekejap saat ada sebuah tangan yang membangunkannya.

"HAPPY BIRTHDAY!!" teriakan bervolume tidak kecil itu sukses membuat mata Ameeza melek sepenuhnya.

Tatapan Ameeza datar. Kian dingin pula ketika melihat hanya Izin satu-satunya orang yang tampak ogah-ogahan. Atau lebih tepatnya seperti tak sudi merayakan hari ulang tahun Ameeza.

Lo gak pernah berubah, ya, Kak.

...-oOo-...

Dari semenjak Ameeza menaiki mobil sampai ketika mobilnya melewati bagunan sekolah SMA Antariksa ia sudah curiga. Jangan-jangan apa yang menjadi ketidakinginannya terwujud.

Mobil hitam yang mengangkut Ameeza, Angga dan Izzi itu berhenti di depan gerbang. Kepala Ameeza sedikit mendongak guna melihat tugu besar bertuliskan nama SMA. Namun, kepala Angga justru menghalangi.

Izzi menarik paksa Ameeza keluar dari mobil. Meski pada akhirnya Ameeza menepis tangan kakak keduanya kasar. Ia bersandar di badan mobil, dengan tangan bersidekap. Sehingga posisinya sekarang membelakangi.

"Lo ngapain masih di situ?" tanya Izzi dengan wajah marah dan setengah kesal.

Menetralkan sedikit suasana hati. Ameeza akhirnya mau membalikkan badan. Dan bom! Rasanya sendi-sendi Ameeza lemas mendadak. Di depannya sudah jelas terpampang nama 'SMA Antares.'

Ameeza tak mau dianggap membantah. Meskipun dalam hati kesal tapi Ameeza berusaha cuek. Ia berjalan memasuki gerbang SMA Antares lebih dulu dari kedua kakaknya.

Begitu sampai di pertengahan jalan menuju kelas. Angga menahan tangan adiknya. "Mau keliling dulu gak? Lo 'kan gak ikut MOS."

Ameeza melirik sebentar jam tangannya yang masih menunjukkan pukul enam pagi. Ameeza mengangguk setuju.

Setelah memperkenalkan beberapa ruang kelas, dan beberapa lab. Angga memberhentikan langkahnya di depan ruang OSIS.

Melihat itu Ameeza berusaha tetap cuek dengan apa yang sedang dilakukan Angga. Ia memilih menyender di tembok dekat pintu ruang OSIS dari pada melihat tindakan kakaknya.

"Mau masuk?" tanya Angga.

Ameeza menggeleng. Ia memilih untuk segera kembali ke kelasnya. Mengingat sekarang sudah pukul tujuh kurang.

Bukannya Ameeza kembali ke kelas, ia justru tersesat di lingkungan SMA Antares. Terlebih lagi seluruh mata murid SMA Antares mengarah kepadanya. Ameeza risih.

Meski samar Ameeza masih bisa mendengar beberapa ucapan orang-orang disekitar mengenai dirinya.

"Itu adiknya Angga sama Izzi 'kan?"

"Iya-iya, sepupunya juga sekolah di sini."

"Hebat. Kesempatan baru nih buat deketin Angga."

"Ide cemerlang."

"Wah, itu adeknya Angga cakep juga. Gue mau gebet, ah."

"Enak aja gue juga pengen."

"Ayo saingan."

"Ayo."

Irama kaki Ameeza semakin cepat. Anak-anak SMA Antares yang bergosip tentangnya membuat telinga Ameeza panas. Meskipun itu bukan ejekan. Tetap saja Ameeza risih dengan kehebohan murid SMA Antares saat mengetahui kehadirannya. Seolah dirinya adalah seorang artis.

Bahkan Ameeza melupakan niatnya untuk kembali ke kelas. Ia sudah tidak peduli lagi dengan keadaannya yang tengah tersesat. Ameeza berbelok asal ke lorong sepi.

"Sial," umpat Ameeza pelan.

Sebuah tangan menepuk bahu Ameeza. "Lo ngapain di sini?" tanya Shaula-sepupu Ameeza.

Ameeza menggeleng.

"Yuk ke lapang. Udah mau upacara, nih."

Tanpa penolakan Ameeza mengangguk. Walau dengan kondisi semangatnya yang sudah menurun semenjak ia memasuki gerbang SMA Antares. Dan sekarang semuanya jelas. Ia di sekolahkan di SMA milik ayahnya ditambah dengan kedua kakak dan sepupunya bersekolah di sini.

Sebelum Ameeza memasuki kelas X MIPA 2 untuk menyimpan tas, ia sempat melihat seorang cowok yang sibuk membaca buku tebal di kursi yang ada di koridor.

Namun, Ameeza tak peduli. Ia memilih meneruskan langkahnya memasuki kelas. Lalu, mengikuti upacara bendera.

Meski pada akhirnya banyak pasang mata melihatnya dengan tatapan dan tanggapan yang berbeda-beda. Bahkan sepanjang upacara ia benar-benar dibuat dongkol. Ameeza ingin cepat pulang.

Saat menaikan bendera. Ameeza sedikit terganggu dengan bisik-bisik dan kehebohan yang terjadi di belakangnya. Ia berbalik sebentar.

"Tandu mana!"

"Bentar."

Ameeza sedikit terkejut dengan Shaula dan beberapa anak PMR membantu mengangkat salah seorang anak yang pingsan ke tandu.

Matanya sempat menatap seorang cowok yang diangkut dengan tandu. Seketika Ameeza terdiam beberapa saat, matanya mengikuti kemana anggota PMR membawa cowok yang pingsan itu. Sampai akhirnya hilang dari pandangan.

Si kutu buku tadi. Ternyata cowok lemah.

Ameeza kembali mengarahkan pandangannya ke depan. Fokus pada upacara.

"Gue berharap kehidupan masa SMA gue damai," gumam Ameeza pelan.

...-oOo-...

2. Pusat Perhatian

Kantung mata Ameeza terlihat menghitam seperti panda. Ditambah dengan langkah kakinya yang terbilang lesu. Sesekali ia menghela napas panjang begitu beberapa siswi yang ia lewati sibuk bergosip mengenai dirinya.

Baru dua hari Ameeza bersekolah di SMA Antares. Ia sudah jadi pusat perhatian. Kemana pun Ameeza pergi pasti ada saja siswa atau siswi SMA Antares yang menggosipkannya.

Ameeza mendudukkan dirinya di kursi jajaran ke dua pojok. Ia langsung menenggelamkan wajahnya di atas tas. Tak peduli dengan tatapan penasaran dari Melva, teman sebangku Ameeza.

"Lo ada masalah? Kayaknya lelah banget."

Meskipun Ameeza mendengar pertanyaan dari Melva. Ia enggan menjawab, untuk hari ini saja Ameeza sedang malas meladeni siapapun.

Melva yang notebenya baru berteman dengan Ameeza semenjak kemarin pun paham dengan tingkah teman sebangkunya yang tampak lelah.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Dengan sedikit panik Melva menepuk bahu Ameeza. Parahnya Melva salah sasaran, bukannya nepuk pundak tapi nepuk punggung.

Merasa terkejut dengan tepukan kasar itu, Ameeza otomatis langsung menegakkan tubuhnya. Tatapan Ameeza beralih ke depan dimana seorang guru yang baru saja mendudukkan diri di kursi. Padahal Ameeza kira ia dibangunkan oleh guru. Ternyata bukan.

Ameeza menyorot Melva dingin. Tanpa bicara pun Melva tahu apa yang ditanyakan oleh Ameeza lewat sorot matanya.

"Sorry banget, My. Maaf banget gue gak sengaja. Maafkan gue yang ceroboh ini," mohon Melva dengan volume suara yang tidak bisa di katakan kecil.

"Melva! Ada apa ribut-ribut di belakang?"

"Gak ada apa-apa, Bu," jawab Melva dengan senyuman.

Ibu Mila, guru matematika itu sibuk menuliskan materi di papan tulis. Ameeza memperhatikan dengan serius. Walau lama-lama ia merasa kesal juga mendapati gangguan dari Melva. Anak itu sedari tadi berbisik meminta maaf tanpa henti.

"Gue maafin."

"Ameeza."

Panggilan Ibu Mila sontak membuat Ameeza terkejut. Beberapa teman sekelasnya ikutan menatap ke bangkuan Ameeza penasaran.

"Maju ke depan."

Mampus! Ameeza tadi tidak memperhatikan dengan benar penjelasan Ibu Mila. Sebab sejak tadi Melva terus mengganggunya.

Menahan kegondokan. Akhirnya Ameeza memutuskan beranjak dari kursi dengan ekspresi yakin. Walau dalam hati ia ragu.

Begitu sampai di depan, Ibu Mila berkata, "Melihat kedua kakak kamu dan sepupu kamu yang pintar, ibu rasa kamu juga begitu. Jadi, tolong kerjakan soalnya."

Dikira karena kakak dan sepupu gue pinter gue juga pinter.

Ameeza mendekati meja guru. Kemudian mengambil spidol. Ia mendekati papan tulis dengan perasaan was-was. Takut tidak bisa menjawab. Meskipun Ameeza yakin tidak ada yang menyadari wajah gelisahnya. Karena Ameeza memasang topeng dingin.

Mengembuskan napas pelan. Ameeza mulai mengisi soal demi soal yang ada di papan tulis. Selepas mengisi ia menyimpan spidol ke tempatnya. Lalu duduk di kursinya.

Suara tepuk tangan dari Ibu Mila sekaligus dari teman sekelasnya mendominasi ruang kelas X MIPA 2.

"Good, Ameeza. Kamu bisa menyelesaikan semua soalnya. Padahal ibu tadinya mau minta jawab soal nomor satu aja. Eh, tahunya kamu jawab semua. Bagus Ameeza. Ibu gak salah prediksi," puji Ibu Mila.

Mendengar pujian dari Ibu Mila, Ameeza hanya mengangguk saja tanpa senyuman.

Ibu Mila menatap papan tulis yang penuh oleh jawaban dari Ameeza. Setelah menatap selama dua menit ia kembali mengedarkan pandangannya ke semua anak di kelas. Sampai tatapannya terhenti pada Ameeza yang tampak sibuk menulis sendiri di buku.

Senyum Ibu Mila terpatri. "Sayangnya, jawaban Ameeza hanya benar satu."

Perkataan Ibu Mila sukses membuat anak-anak sekelas terdiam. Ameeza langsung menatap Ibu Mila. Hatinya mengatakan ia pasti akan dipermalukan. Menyebalkan.

"Ameeza, ibu sarankan untuk banyak-banyak latihan soal, ya. Matematika itu butuh pemahaman, dari segi pengerjaannya dan juga ketelitian dalam menghitung."

Pandangan Ibu Mila mengedar. "Ini gak cuma berlaku buat Ameeza saja, ini juga berlaku untuk kalian semua. Ibu sering mendapati anak-anak yang dasarnya memang sudah faham. Tapi, teledor dalam menghitung. Ada juga yang tidak faham sama sekali sampai menjawab soal asal-asalan."

"Ibu cukup bangga dengan kepintaran Angga, Izzi dan sepupu Ameeza yang lainnya. Kalian harus meniru kerajinan mereka. Tapi, jangan berkecil hati. Kalian juga pasti bisa asal punya niat dan ada usaha."

...-oOo-...

"Tolong, yah, Ameeza," pinta seorang guru berkaca mata kotak. Entah siapa namanya bahkan Ameeza tidak kenal.

Ameeza mengambil setumpuk buku yang diangsurkan guru tersebut. Ia hanya mengangguk sebagai bentuk rohmatnya kepada guru. Lalu pergi sendirian ke kelas XII MIPA 1.

Jika ditanya kemana Melva. Tentu dia sudah lebih dulu pergi ke kantin. Meski tadi Melva sempat mengajak Ameeza untuk ikut pergi ke kantin. Namun, Ameeza justru menolak dengan jelas tanpa basa-basi.

Kaki Ameeza berhenti di depan kelas. Ia meneliti kembali papan kayu bertuliskan XII MIPA 1 yang terpampang di kusen pintu atas. Sesudah memastikan ia tidak salah kelas Ameeza mengetuk pintu kelas tersebut.

Kegaduhan di dalam kelas XII MIPA 1 seketika terhenti. Tatapan seluruh anak kelas berpusat pada Ameeza yang berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan yang menahan berat tumpukan buku tulis.

"Kenapa lo yang ke sini?" tanya Shaula segera mengambil alih tumpukan buku yang di bawa Ameeza.

Tanpa menjawab Ameeza segera meninggalkan kelas itu. Ia hendak menuruni anak tangga untuk pergi ke kantin bawah, kantin khusus kelas X. Tapi, tiba-tiba ia di kejutkan dengan sekumpulan cewek yang heboh saat melihatnya.

Sekumpulan cewek itu mengerumuni Ameeza hingga nyaris saja ia sesak napas karena beberapa diantaranya menarik tangan dan memeluk paksa Ameeza. Tangannya menyentak kasar salah satunya.

"Gue nitip ini buat Angga."

"Gue juga!"

"Gue juga!"

Seterusnya gendang telinga Ameeza seakan mau pecah mendengar ocehan sekumpulan cewek itu yang saling bersahut-sahutan. Melihat mereka lengah, Ameeza segera menuruni tangga dengan kecepatan tinggi.

Raib sudah waktu istirahatnya. Semua itu gara-gara fans gila Angga. Tambah lagi semua guru sepanjang hari ini selalu saja menunjuknya. Baik itu untuk sekedar menjelaskan kembali materi yang sudah di sampaikan maupun untuk menjawab pertanyaan atau soal-soal susah.

Untuk bagian menjelaskan ulang, Ameeza berhasil. Namun, untuk hitungan beberapa diantaranya salah menjawab. Lebih parah di pelajaran fisika. Dipelajarinya tersebut tak satu pun soal dijawab benar oleh Ameeza. Dan Ameeza cukup yakin Pak Moris menunjukkan raut kekecewaan begitu tahu ekspetasinya tidak sesuai.

Bel pulang yang sedari tadi dinanti oleh Ameeza akhirnya berbunyi juga. Tapi, kegiatan beres-beres alat tulis dan buku-bukunya terhenti saat salah seorang teman sekelasnya menghampiri mejanya.

"My, kerja kelompok maunya kapan?" tanya Siska.

"Iyah, lo jadi ketuanya, yah. Gue ngikut aja," tambah Eza.

Bisa gak gue hilang aja dari muka bumi?

Ingin sekali Ameeza menenggelamkan wajahnya ke dasar laut atau menghilang dari bumi ini sekejap saja. Ia sudah lelah dengan kejadian yang menimpanya hari ini. Mana perutnya keroncongan pula minta di isi gara-gara tadi tidak ke kantin.

Dengan ekspresi datar seperti biasanya, Ameeza mengangguk. "Besok, pulang sekolah."

Usai mengatakan itu Ameeza dengan gerakan cepat membenahi alat tulis dan buku-bukunya ke dalam tas. Lantas segera melesat pergi ke luar kelas.

Terik mentari seakan sengaja memancar ke arahnya. Sudah gerah hati sekarang ditambah dengan gerah body. Ameeza masih dengan langkah biasa saat melihat wajah kakak keduanya yang tertekuk masam.

"Lama banget, sih," desis Izzi disertai dengan pukulan di lengan kanan Ameeza.

Ameeza menatap Izzi dingin. Lewat tatapan tersebut Ameeza seolah memberi peringatan pada Izzi untuk tidak macam-macam.

"Kenapa? Gak suka?!" sentak Izzi dengan tatapan sinisnya.

"Ayo masuk," ajak Angga dengan senyum hangatnya.

Setelah memasuki mobil lebih dulu, Ameeza masih mendengar percakapan kedua kakaknya di luar mobil.

"Lo jangan galak-galak gitu sama Ameeza." nasihat Angga dengan nada lembut.

"Gue kesel aja."

"Tetep aja kelakuan lo berlebihan banget."

Izzi melengos tanpa jawaban. Cewek itu duduk di kursi depan dekat dengan supir. Lagi pula mana sudi Izzi duduk satu bangku dan berdekatan dengan Ameeza. Terlalu mustahil. Mengingat seberapa bencinya Izzi pada Ameeza.

Ameeza hanya menatap Izzi sekilas sebelum akhirnya melempar pandangan ke luar jendela. Bersamaan dengan itu, Angga masuk, duduk di kursi tepat di samping Ameeza.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Angga menatap Ameeza yang masih menatap jalanan. Ia menepuk bahu cewek itu, sehingga Ameeza menoleh.

"Maafin Izzi ya. Dia cuma lagi capek aja," kata Angga pelan, agar Izzi yang ada di kursi depan tidak mendengar.

Ameeza tak menjawab.

"Kenapa lo jadi sedingin ini, sih?" gumam Angga kali ini dengan posisi menyender ke kursi dengan mata terpejam.

Harusnya lo tahu penyebab semuanya, Kak. Kalau lo emang peka dan peduli sama gue.

...-oOo-...

3. Hari Menyebalkan

Untuk hari ini Ameeza sedikit bersyukur bisa terbebas dari fans gila kedua kakaknya dan sepupu-sepupunya. Semua itu berkat bantuan dari Melva. Meski awalnya Ameeza tak yakin Melva bisa menyingkirkan fans fanatik saudaranya itu, mengingat yang Ameeza tahu Melva anaknya lebay dan terlihat cengeng. Tapi ternyata dugaannya salah, ternyata Melva bisa juga seperti singa, dengan sekali bentakan fans fanatik kedua kakaknya dan sepupu-sepupunya itu langsung kicep.

"Lo gak sakit gigi? Entar kalau sakit gigi gimana? Kasian, jangan makan makanan manis banyak-banyak, yah," ujar Melva dengan wajah khawatir.

Mendengar itu Ameeza tetap tidak menghentikan kegiatannya menikmati ice cream cokelat. Dan jangan lupakan beberapa permen yang berserakan di atas meja kantin.

Melva meraup permen yang berserakan di atas meja. Lalu ia masukan ke dalam plastik hitam yang kebetulan bekas Ameeza membungkus jajanannya tadi.

Malas mengoceh panjang. Ameeza memilih opsi untuk berdehem. Membuat Melva yang sibuk memasukan setumpuk permen di atas meja terhenti. Ameeza memang diam, tapi Melva mengerti dengan sorot matanya yang seolah berkata 'Lo siapa berani larang-larang gue'

Tatapan Ameeza memang sangat ampuh untuk membuat Melva tidak berkutik. Ia meletakan plastik hitam berisi permen itu ke atas meja. Daripada mengurusi Ameeza, lebih baik Melva melanjutkan makan siomaynya yang masih sisa setengah.

Usai menghabiskan ice cream cokelat dan beberapa permen. Ameeza beranjak dari duduknya. "Thanks."

Melva mengangguk. Ia melirik ke arah plastik hitam yang ada di atas meja. "Amy."

Ameeza berbalik disertai alis kanannya naik, seolah bertanya 'ada apa?'

"Permen lo."

"Buat lo."

Tanpa mendengar lebih dulu respon dari Melva, kaki Ameeza melangkah menjauhi kantin. Walaupun begitu Melva merasa senang. Meski Ameeza berkata dengan wajah cuek.

Masih ada waktu kurang dari lima menit untuk istirahat. Ameeza menyusuri koridor untuk kembali ke kelasnya daripada menonton pertandingan basket di lapangan.

Ameeza cuek saja melewati koridor yang tepat bersebelahan dengan lapangan outdoor basket. Ia mengemut sisa permen yang ada di mulutnya.

Entah dari mana asalnya, tiba-tiba segerombol laki-laki sudah berjejer di tepi koridor. Mereka meneriaki nama Ameeza beberapa kali membuat Ameeza kesal. Walau kesal Ameeza berusaha tidak menunjukan wajah kesalnya. Ia hanya menunjukan wajah datar tanpa ekspresi seperti biasa. Alhasil beberapa anak laki-laki yang berjejer di tepi koridor mendengus kecewa karena tak mendapat respon apapun dari Ameeza.

Ameeza sampai di kelas bertepatan dengan bel masuk berbunyi. Ia berdiri dari duduknya saat Melva ingin duduk dibangkuannya yang kebetulan berada di pojok. Setelah Melva duduk, Ameeza pun ikutan duduk.

Sudah lima belas menit berlalu tak ada tanda-tanda guru yang masuk untuk mengajar. Dan berakhirlah dengan keadaan kelas yang sudah seperti pasar. Bagi Ameeza semua obrolan-obrolan tak berfaedah anak-anak di kelasnya terutama anak perempuan sudah seperti dengungan lebah. Membuat pening kepalanya saja.

Tak berselang lama kegaduhan itu terhenti saat ada seseorang mengetuk pintu di sertai dengan ucapan salam. Pandangan anak kelas X MIPA 2 terpusat ke depan. Lebih tepatnya pada laki-laki berparas tampan yang berdiri di depan yang di dampingi oleh salah seorang perempuan.

"Minta perhatiannya sebentar, yah," kata Angga tak lupa dengan senyuman ramahnya yang justru membuat siswi di kelasnya meleleh. Terkecuali Ameeza.

"Kakak di sini mau mendata siapa saja yang ingin bergabung menjadi anggota OSIS. Sekaligus kakak akan menjelaskan eskul apa saja yang ada di SMA Antares," terang Izzi berusaha bertutur kata ramah. Namun, bagi Ameeza wajah kakak keduanya itu tetap saja judes.

"Di SMA Antares ini semua siswa wajib mengikuti eskul atau club, minimal satu. Maksimal tidak terbatas asalkan bisa bagi waktu," tambah Angga.

...-oOo-...

Semestinya Ameeza sudah keluar dari kelas sejak tadi. Tapi, karena segerombol laki-laki yang menunggu di depan kelasnya membuat Ameeza enggan untuk keluar. Terlebih lagi tadi ia sempat mendengar salah seorang diantara mereka menyebut namanya.

Jangan-jangan mereka punya dendam kesumat sama gue? Tapi apa? Jangan-jangan karena tadi gue cuekin.

Ameeza menghembuskan napasnya panjang. Tangannya memegang tali tas lumayan erat untuk menyamarkan kegelisahannya. Kemudian ia mulai berjalan santai menyibak kerumunan di depan kelasnya.

Ternyata tidak terjadi apa-apa padanya. Ameeza bersyukur dalam hati. Namun, kelegaan itu lenyap seketika saat salah seorang dari mereka mulai mengejarnya. Ameeza yang sedikit panik bukannya jalan lurus ke depan untuk sampai ke gerbang utama. Justru ia berbelok ke koridor lain.

Jantungnya terasa mau copot dari tempatnya. Meskipun ia berusaha cuek. Untuk masalah ini Ameeza tidak bisa tinggal diam dan cuek saja. Bisa bahaya.

"Hoi cari dia ke seluruh penjuru sekolah!"

"Lo ngapain nyari dia?"

"Gue cuma mau ngomong sama Ameeza. Penasaran gue. Dia cuek banget."

"Oke."

Deg!

Tubuh Ameeza terus merapat ke dinding. Kepalanya menoleh ke samping. Ada salah satu ruangan yang masih terbuka ternyata. Ameeza awalnya ragu. Namun, saat mendengar suara langkah kaki mendekat tak perlu banyak berpikir ia segera memasuki ruangan itu. Lalu menutupnya rapat-rapat.

Napas Ameeza memburu. Tatapannya memindai ruangan yang ia masuki dan ternyata ruangan itu adalah perpustakaan sekolahnya. Untunglah di sana tidak ada penjaga perpustakaan. Jadilah ia aman tidak kena omel panjang.

Kakinya yang dibalut sepatu sekolah hendak melangkah melewati keset yang ia injak. Namun, suara deheman cukup keras membuat Ameeza urung melangkahkan kakinya.

Ameeza mengedarkan pandangan berusaha mencari siapa orang yang berdehem. Dan tatapannya terhenti pada seorang laki-laki berseragam sama sepertinya tengah duduk di kursi dekat meja khusus penjaga perpustakaan. Bola mata laki-laki itu tidak terfokus menatap ke arahnya melainkan pada buku setebal kamus yang tengah ia pegang.

"Ekhem!" Suara deheman itu jauh lebih keras dan tegas dari yang pertama tadi.

Lagi-lagi Ameeza urung melangkahkan kakinya. Karena penasaran dan sedikit kesal juga ia menatap laki-laki itu dengan wajah seolah tidak ada kekesalan apapun. "Kenapa?" tanya Ameeza kesal tapi ia berusaha menutupinya dengan wajah datar.

Tanpa mengalihkan pandangannya dari buku. Laki-laki itu menjawab, "Masuk perpustakaan harap lepas sepatu dan kaus kaki." Perkataan itu nampak biasa. Namun, terselip penekanan disetiap katanya.

Kepala Ameeza menunduk. Bodohnya ia sampai lupa melepaskan sepatu. Ameeza segera melepaskan sepatu dan kaus kakinya. Lalu menaruhnya di rak sepatu khusus.

Daripada bosan di dalam Ameeza memilih pura-pura sedang mencari buku. Ia berhenti di salah satu rak buku. Mengeluarkan HP-nya dari  saku rok, lalu mengetikan pesan permintaan maaf pada kedua kakaknya. Juga kepada Siska dan Eza karena batal kerja kelompok.

"Ngapain masih di sini, Amy? Untung saya gak jadi ngunci perpustakaan karena siswa yang saya suruh menjaga perpus memberitahu bahwa ada satu orang yang masuk dan belum keluar dari sini."

"Saya lagi cari buku biologi, Bu." Ameeza mengambil asal buku yang ada di rak tanpa melihat.

Bu Atikah—penjaga perpustakaan mengernyitkan dahi heran. "Kamu nyari novel atau buku pelajaran?"

Ameeza menatap buku yang ia ambil. Baru menyadari kecerobohannya karena salah mengambil buku. "Saya salah ambil, Bu."

Ameeza segera menyimpan kembali buku yang ia ambil asal ke tempatnya.

"Ya sudah."

Sebelum Ameeza dan Bu Atikah keluar dari perpustakaan. Ameeza sempat melirik ke arah kursi dekat meja khusus penjaga perpustakaan.

"Dia sudah pulang," celetuk Bu Atikah.

Sial malah kepergok lagi!

Gue cuma penasaran aja sama tuh orang. Kayak pernah ketemu.

...-oOo-...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!