NovelToon NovelToon

Kisah Anak-anak 17

Nesya

Sore yang suram. Dan itu terlihat dari kedua wajah yang saling berhadapan. Yang satu adalah seorang pria bertubuh tinggi besar dengan penampilan bagaikan seorang preman, sementara yang lainnya adalah seorang gadis bertubuh kecil dengan wajah terlihat pucat dan lelah.

“Bukannya aku ingin berlaku kejam kepadamu, Nesya. Jujur saja aku sudah berusaha membantumu dengan meminta pengunduran waktu yang memang kau butuhkan. Namun kau tahu sendiri gimana Pak Roland. Dia sama sekali tak bisa berkutik terhadap istrinya,” gerutu Hendro dengan suara parau.

Nesya mengangguk. Dia menarik nafas panjang dan lemah. “Jadi waktuku hanya tinggal dua hari lagi?”

“Maafkan aku, Nes. Seandainya saja aku bisa bantu…”

“Gak masalah, bang. Mungkin sudah saatnya aku melepaskan semua ini.” Ucap Nesya berusaha tegar dengan menampilkan senyum yang amat terpaksa.

“Kasihan, kau, Nes. Semenjak orang tuamu meninggal…”

“Sudahlah, bang. Tak ada hubungannya dengan hal itu. Aku telah berusaha semampuku. Jika memang aku harus pergi dari sini, itu pasti memang sudah jalannya.”

“Kau akan pindah, Nes?” tanya Hendro meminta kepastian.

“Melihat dari setuasi yang kuhadapi saat ini… iya.”

“Kemana?”

“Aku belum tahu, bang.”

“Begini saja, Nes. Aku akan membantumu mencarikan tempat yang sesuai dengan anggaranmu, oke?”

Nesya tersenyum. “Aku tidak ingin merepotkanmu, bang. Biarlah aku sendiri yang mencarinya. Lagian abang kan pasti gak tahu seleraku seperti apa.”

“Okelah. Tapi kau jangan lupa beritahu aku jika kau benar-benar akan pindah dari sini.”

“Iya. Pasti, bang.”

Hendro tersenyum. Setelah memberikan surat yang dikirim oleh bossnya, pria yang pekerjaan sebagai ‘tukang pukul’ itupun berlalu. Meninggalkan Nesya yang segera menyandar ke dinding. Kepalanya terasa amat pusing, dan dia hampir saja tersungkur jatuh kalau saja seseorang tidak segera menangkap tubuhnya.

“Hei…anda tidak apa-apa, nona?” tanya orang itu berusaha membantu Nesya berdiri dengan sempurna.

Nesya segera membuka matanya, dan menormalkan jalan pikirannya. “I..iya.aku baik-baik saja. Terima kasih.”

“Ya, sama-sama.” Orang tersebut menatap Nesya dengan seksama. “Anda yakin baik-baik saja? Anda pucat sekali, saya lihat.”

Nesya yakin sekali apa yang diucapkan oleh pria di hadapannya memang benar. Saat itu dia pasti tampak sangat pucat. Bukan saja karena memang warna kulitnya sejak lahir, tetapi ditambah belakangan ini da memang sulit untuk makan. Tenaga dan pikirannya terfokus pada butiknya saja.

“Saya baik-baik saja, kok,” ucap Nesya tersenyum.

Pria berstelan rapi dihadapannya tersenyum. “Baiklah. Boleh saya masuk?”

“Masuk?” tanya Nesya begong.

“Iya. Masuk. Atau butik ini sudah tutup?”

Nesya baru tersadar. Tentu saja! Bagaimana mungkin dia bisa lupa kalau dia berada di butiknya sekarang. Ya, ampun!

“Oh…i… iya. Silahkan masuk.” Katanya cepat sambil menyeringai.

Pria itu, yang berusia sekita tiga puluhan tersebut segera mengikuti Nesya masuk ke dalam butiknya. Sebagaiamana layaknya sebuah toko pakaian, butik Nesya menjual pakaian wanita dengan beragam mode dan ukuran. Hanya beberapa menit saja, pria yang lama-kelamaan terlihat sangat tampan di mata Nesya, telah memilih beberapa gaun wanita yang berharga mahal, yang membuat Nesya tidak percaya.

“Hm… benarkah yang ini juga?” tanyanya menelan ludah.

“Iya.”

“Ini adalah gaun ke delapan, Mas.” Ujar Nesya mengingatkan. Dia masih belum yakin apakah benar pria yang sedang melihat-lihat isi tokonya tersebut benar-benar ingin membeli pakaiannya.

“Iya. Apakah terima pembayaran lewat kartu kredit?”

“Iya, terima.”

Si pria tersenyum. “Baiklah. Saya bayar sekarang. Dan seluruh pakaiannya bisa di antar pake jasa kurir, kan?”

“I…iya.” Jawab Nesya masih tak percaya. Bahkan setelah tangannya benar-benar menggesek kartu kredit pria itu di mesin otoritasnya, lalu mencetak angka digital yang tidak sedikit, Nesya masih saja merasa bagaikan mimpi.

“Anda baik-baik saja?” tanya si pria menjentikkan jemarinya di depan wajah Nesya. Gadis itu terkejut dan tertenyum.

“Iya, aku tidak apa-apa.” Jawab Nesya cepat. Di dalam hati dia berteriak bahwa baru saja dia memutuskan untuk pindah dan mencari toko yang lebih murah, dikarenakan pakaian-pakaiannya yang bisa dikatakan tidak laku terjual. Lalu tiba-tiba saja datanglah orang ini… siapa ya namanya?

“Boleh saya tulis nama dan alamatnya?” tanya Nesya cepat.

“Ini kartu nama saya.” Jawab pria itu seraya memberikan kartu namanya. Nesya segera menulis nama pria itu. Nathan Wolf. Nama yang luar biasa, menurut Nesya. Dan pria ini telah membeli pakaiannya dengan total jumlah hampir dua puluh lima juta. Itu artinya, dia akan mampu membayar tunggakan sewa tokonya sehingga dia tidak perlu pindah ke tempat lain.

“Baiklah.” Ucap Nesya tersenyum bahagia. “Barang akan segera dikirim besok, pagi-pagi sekali.”

Pria bernama Nathan itu tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih banyak. Boleh saya tahu nama anda?”

“Nesya. Nesya Arsinta.”

“Nama yang bagus. Baiklah. Saya permisi pulang.”

Belum lima menit pria bernama Nathan itu keluar dari tokonya, Nesya kembali berlonjak gembira. Dia langsung menatap photo ayah dan ibunya yang menempel di dinding. “Ayah! Ibu! Ini pasti berkat restu kalian juga. Akhirnya aku bisa bertahan disini, seperti yang selama ini telah kalian lakukan. Terima kasih!” ucapnya tertawa..

*

Satu minggu terlah berlalu. Kepercayaan diri Nesya kembali melambung seiring dia mampu membayar tunggakan kredit toko yang mesti dilunasinya kepada si pemilik toko sebelumnya. Saat toko tersebut masih dikelola oleh ibunya, mereka masih berstatus penyewa. Namun saat kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan yang tragis, toko itu jatuh ke tangan Nesya dan ternyata si pemilik toko menginginkan toko tersebut dibeli dengan cara kredit. Hal itu yang mebuat Nesya harus jungkir balik memutar otak agar pakaian-pakaiannya yang kebanyakan dia impor dari luar negeri bisa terjual habis sehingga dia bisa melunasi toko tersebut sesuai waktunya. Makanya ketika seorang pria bernama Nathan datang dan memborong begitu banyak gaun wanita di tokonya, harapannya kembali mekar untuk tetap mendapatkan toko yang memiliki banyak kenangan bersama orang tuanya tersebut.

“Halo, Nesya.” Sapa sebuah suara, ketika gadis itu sedang mengatur beberapa manekin yang telah dipakaikannya pakaian-pakaian yang baru datang.

“Oh, halo, Mas Nathan. Silahkan masuk,” sambut Nesya tersenyum lebar. Ini adalah kunjungan Nathan yang kelima, dalam lima bulan terakhir ini. Pria itu, selalu datang setiap tanggal muda,setiap bulannya. Dan setiap kunjungannya, dia akan membeli sekitar tujuh sampai sepuluh gaun-gaun terbaru milik Nesya dan dibayar dengan menggunakan kartu kredit. Nathan adalah pria yang tidak banyak bicara. Sikapnya sangat tenang, berwibawa sebagaimana seorang eksekutif muda, penampilan selalu rapi, dan wajahnya semakin lama semakin terlihat amat menarik. Nesya sampai harus sering mengalihkan pandangannya, demi tidak menatap langsung ke arah pria itu.

“Ini agak berbeda modelnya.” Gumam Nathan mengomentari sebuah gaun yang manekinnya berdiri agak tersembunyi di pojok toko.

“Oh, itu…aku sendiri yang mendesainnya. Masih coba-coba,” jawab Nesya agak malu.

Nathan mengernyitkan keningnya. “Bukankah modelnya sangat bagus? Kenapa disembunyikan?”

Nesya tersenyum dengan wajah memerah. “Tidak, ah. Modelnya terasa asing dan sangat aneh. Aku malu untuk menyusun manekinnya di depan.”

“Ck!” Nathan mendecak tak setuju. “Artinya kau tidak mengetahui sama sekali kemampuanmu, ya? Kalau menurutku, gaun itu sangat bagus dan aku akan mengambilnya.”

Nesya mangap sesaat. “A..apa?”

“Masukkan ke dalam daftar belajaanku. Berapapun harganya!” ucap Nathan seraya mengeluarkan kartu kreditnya.

“Ta…tapi aku tidak tahu berapa harganya…” ucap Nesya menelan ludah.

“Berapa besar biaya yang kau keluarkan untuk membuatnya?”

“Sekitar dua juta…”

“Kalau begitu, kau bisa memberi harga lima juta.”

“Tidak mungkin!” seru Nesya tak percaya. Baju buatannya yang tampak aneh dengan detail-detail yang mungkin belum pernah dilihat orang, bisa berharga lima juta?

“Terserah. Mungkin kau ingin menghargainya enam atau tujuh juta, bagiku tidak masalah. Aku tetap membelinya,” ucap Nathan tenang.

“Tidak. Maksudku… Gaun ini… Tidak pantas mendapat harga semahal itu.” jelas Nesya cepat.

“Kau jangan membuatku terheran-heran, Nesya. Gaun buatanmu ini sangat menarik, dan kau tidak setuju dengan harga yang sepantas itu? Terserahlah. Tetapi aku ingin kau membuatnya lagi untuk bulan depan.”

Nathan

Nesya hanya mampu terperangah. Di dalam benaknya, dia sudah menyimpan begitu banyak model gaun yang selama ini tersimpan rapi di sudut angannya. Jika seorang Nathan yang selalu membeli gaun-gaun mahal itu benar- benar ingin baju buatannya, itu artinya karyanya memang layak untuk dijual. Dan itu sangat membuatnya gembira.

Begitulah akhirnya. Seiring dengan rasa percaya diri Nesya yang berkembang pesat, pada bulan ke enam kunjungan Nathan, gadis itu sudah berani memperlihatkan beberapa model gaun buatannya. Semuanya terdiri dari gaun pesta, gaun makan malam, dan beberapa model untuk pakaian santai. Semua itu dikerjakan oleh Nesya dengan semangat yang meluap-luap, hingga hasilnya menjadi luar biasa. Hm…luar biasa menurut pelanggan tetapnya, maksudnya.

“Luar biasa!” puji Nathan saat melihat gaun-gaun hasil desain Nesya yang semuanya tampak menakjubkan. “Kau memang berbakat. Aku mengambil semuanya.”

“A…apa?”

Nathan tersenyum. “Kau tidak percaya, ya?”

“Iya.”

“Percayalah. Dan aku ingin kau membuatnya lagi untuk bulan depan. Namun aku ingin kau membuat satu yang paling istimewa dari seluruh ciptaanmu,’ ucap Nathan tersenyum.

“Aku…” Nesya tampak senang namun ragu. “Aku tidak tahu apakah aku mampu.”

“Kau pasti mampu. Aku percaya itu.” Nathan menyentuh pundak Nesya, dan gadis itu bagai merasakan sebuah aliran hangat yang lasung masuk menembus kulitnya. Sungguh mengherankan. Itu adalah sentuhan pertama Nathan terhadap dirinya, setelah pertemuan pertama dahulu, ketika pria itu menangkap tubuhnya yang hampir roboh.

Nesya kini mendapati dirinya yang berbeda dari sebelumnya. Saat dia kembali mengayunkan pinsil di antara jari jemarinya di atas kertas, mencoba menciptakan sebuah model gaun pesta yang istimewa, dia merasakan sebuah sensasi yang aneh. Hatinya begitu gembira. Jiwanya terasa riang dan seluruhnya terlihat indah di matanya. Berkali-kali dia mencoba memikirkan hal lain, namun semakin dalam pula dia membayangkan wajah Nathan. Wajah yang sangat menarik. Dengan garis-garis wajah yang bagaikan diukir. Matanya yang tajam dan bersinar teduh. Hidungnya yang tinggi. Mulutya yang tampak selalu tersenum, membuat Nesya tak mampu menyingkirkannya dari ingatannya. Setiap saat, bayangan Nathan selalu menghampirinya, dan menguasai jiwanya.

“Kau sedang jatuh cinta, Nes?” tegur Hendro pada suatu saat. Dia sengaja datang untuk melihat keadaan gadis itu. Namun sepanjang dua puluh menit ini, Nesya selalu membicarakan seorang pelanggannya yang bernama Nathan.

“Apa? Aku jatuh cinta?” tanya Nesya kaget.

“Iya. Dari tadi kau hanya membicarakan laki-laki bernama Nathan. Yang telah menjadi pelanggan tetapmu. Kau tidak tertarik membicarakan hal lain lagi.”

Nesya tersenyum. “Aku hanya merasa belakangan ini seperti hidup kembali, bang. Berkat dia aku bisa membayar cicilan tokoku.”

“Hm! Matamu pasti tertutup oleh wajahnya yang tampan itu. Tetapi apa pernah terpikir olehmu kenapa dia selalu membeli gaun-gaunmu?” gerutu Hendro cemburu. Sebenarnya dia sudah lama menyukai Nesya, gadis berambut ikal yang selalu tampak manis walau dalam keadaan bagaimanapun. Makanya saat ini dia mulai gerah melihat Nesya mulai memperhatikan orang lain.

“Maksudnya?” tanya Nesya tak mengerti. “Apakah aku harus tahu untuk apa dia membeli semua gaun-gaunku? Apa aku harus menanyakannya? Sebenarnya aku ini apa? Si usil?”

Hendro menggeleng. “Maksudku bukan seperti itu. Setidaknya, kau berbasa-basi mempertanyakan untuk apa dia membeli begitu banyak gaun setiap bulannya. Dan semuanya berharga mahal. Apakah untuk dijualnya kembali? Atau untuk apa?”

Nesya menggeleng. “Maaf, bang. Aku tidak ingin tahu urusan pelangganku sendiri.”

“aku heran melihatmu, Nesya. Bukankah kau suka dengannya? Kenapa kau tidak penasaran?” gerutu Hendro menggeleng-gelengkan kepalanya. “Hati-hati saja, Nes. Aku takut pelangganmu yang tampan ini seorang yang…”

Nesya menatap Hendro dengan sorot mata mengancam, “Seorang yang apa?”

Hendro angkat bahu. Sambil berlalu dia menjawab seenaknya. “Sakit jiwa!”

Nesya mendengarnya dan merasa amat berang. Hendro sudah di anggapnya sebagai abangnya sendiri. dan dia tahu kalau sebenarnya Hendro ingin lebih dari itu. Makanya dia cemburu melihat Nesya memperhatikan pria lain dan bukan dirinya. Sampai-sampai Hendro mampu berpikir sejauh dan semiring itu terhadap Nathan.

“Sakit jiwa gimana?” runtuk Nesya kesal.

“Halo, Nesya!” tiba-tiba sebuah yang mulai dirindukannya, terdengar dari arah pintu tokonya. Nesya langsung tersenyum lebar, ketika Nathan masuk dan mulai memilih gaun-gaun yang ingin dibelinya.

Lalu entah kenapa, perkataan Hendro, samar-samar mulai mengganggu benaknya. Lama-kelamaan dia mulai mengakui kata-kata Hendro yang masuk akal. Selama ini tujuh bulan ini, Nathan selalu datang seorang diri, membeli gaun-gaun wanita, dan tidak pernah mengatakan alasannya. Hendro benar. Dia harus bertanya, walaupun tidak harus mendapatkan jawaban secara mendetail. Setidaknya, dia tahu sedikit saja alasan Nathan membeli pakaian-pakaiannya tersebut.

“Hm…Mas Nathan tidak berkeberatan kan kalau aku bertanya sesuatu?” tanya Nesya sedikit berdebar. Entah mengapa, jantungnya terasa aneh, saat keinginannya untuk bertanya semakin kuat.

“Tentu saja. Apa yang ingin kau ketahui?” sambut Nathan tenang.

Nesya menelan ludah, mencoba untuk tenang. “Hm… boleh aku tahu untuk siapa sebenarnya gaun-gaun yang Mas Nathan beli selama ini?”

Nathan tersenyum. “Akhirnya kau bertanya juga,” ucap Nathan ringan.

“Hah?” Nesya merasa heran dengan tanggapan Nathan terhadap pertanyaannya. Setengah mati dia berusaha menentramkan debaran jantungnya demi dapat bertanya dalam keadaan tenang. Namun ternyata Nathan hanya menjawab dengan amat ringan dan santai.

“Iya, Mas. Maaf bila aku terkesan usil. Aku hanya…hm, ingin tahu aja. Bukan bermaksud lain, kok.” Jelas Nesya cepat.

“Baiklah kalau kau ingin tahu. Gaun-gaun itu kubeli untuk istriku!” jawab Nathan.

Degh!

Rasanya bagai dipukul palu, jantung Nesya sempat berhenti berdegub, sesaat. Nathan membeli gaun-gaunnya untuk istrinya. Nathan ternyata sudah punya istri! Seketika, sedikit perasaan nyeri mengalir di aliran darah Nesya. Namun gadis itu segera menyingkirkan perasaan tak patut tersebut, dan mencoba tersenyum.

“Oh, begitu. Tetapi mengapa istri Mas Nathan tidak pernah ikut datang kemari untuk memilih sendiri gaunnya?” tanya Nesya berusaha tegar, berusaha berbesar hati, bahwa apapun yang dirasakannya saat ini adalah hal lumrah. Seorang gadis jatuh cinta pada seorang pria, itu adalah biasa. Dan tentunya apa bila pria itu sudah memiliki pasangan, si gadispun dengan rela memendam perasaannya, dan mundur tanpa harus diketahui oleh pria tersebut. Dan inilah yang sedang dilakukan oleh Nesya. Memendam perasaan dengan senyuman.

Nathan tersenyum tipis sambil menarik nafas berat. “Dia sakit.”

Dan Nesya tidak perlu bertanya lebih banyak lagi. Dari jawaban singkat itu saja, dia sudah bisa meyakinkan dirinya kalau istri Nathan pastilah sedang sakit parah sehingga tidak mampu untuk ikut membeli pakaiannya sendiri. Makanya Nesya tidak meneruskan pertanyaannya.

“Hm, aku minta maaf jika pertanyaanku…”

“Tidak apa-apa, Nesya. Kau pantas menanyakannya. Mengingat aku sudah tujuh bulan membeli begitu banyak gaun wanita, sendirian saja. Siapapun pasti akan penasaran. Dan setidaknya,pasti akan betanya apakah aku akan menjualnya kembali, atau untuk diberikan kepada seseorang. Aku malah heran, karena kau bisa bertahan selama ini tidak bertanya padaku. Ternyata kau bukan seorang yang gampang penasaran, ya?”

Cristal

“Oh, begitu. Tetapi mengapa istri Mas Nathan tidak pernah ikut datang kemari untuk memilih sendiri gaunnya?” tanya Nesya berusaha tegar, berusaha berbesar hati, bahwa apapun yang dirasakannya saat ini adalah hal lumrah. Seorang gadis jatuh cinta pada seorang pria, itu adalah biasa. Dan tentunya apa bila pria itu sudah memiliki pasangan, si gadispun dengan rela memendam perasaannya, dan mundur tanpa harus diketahui oleh pria tersebut. Dan inilah yang sedang dilakukan oleh Nesya. Memendam perasaan dengan senyuman.

Nathan tersenyum tipis sambil menarik nafas berat. “Dia sakit.”

Dan Nesya tidak perlu bertanya lebih banyak lagi. Dari jawaban singkat itu saja, dia sudah bisa meyakinkan dirinya kalau istri Nathan pastilah sedang sakit parah sehingga tidak mampu untuk ikut membeli pakaiannya sendiri. Makanya Nesya tidak meneruskan pertanyaannya.

“Hm, aku minta maaf jika pertanyaanku…”

“Tidak apa-apa, Nesya. Kau pantas menanyakannya. Mengingat aku sudah tujuh bulan membeli begitu banyak gaun wanita, sendirian saja. Siapapun pasti akan penasaran. Dan setidaknya,pasti akan betanya apakah aku akan menjualnya kembali, atau untuk diberikan kepada seseorang. Aku malah heran, karena kau bisa bertahan selama ini tidak bertanya padaku. Ternyata kau bukan seorang yang gampang penasaran, ya?”

Nesya tersenyum. “Aku berusaha untuk tidak menyinggung perasaan pembeliku, Mas. Itu saja.”

“Bagus. Kau adalah penjual yang hebat.” Nathan menyudahi pilihannya. Namun dia teringat dengan gaun pesananya. “Sudah selesai?”

“Oh, iya. Manekinnya masih di dalam. Sebentar.” Nesya segera masuk, dan tak berapa lama dia keluar dengan mendorong patung wanita yang telah mengenakan gaun berwarna merah, yang tampak sangat indah.

Nathan menatap gaun ciptaan Nesya dari tempatnya berdiri. Matanya tampak tidak berkedip. Beberapa saat kemudian dia berdehem. “Ini gaun sutra yang paling indah yang pernah kusaksikan. Aku yakin sakali, kau memang seorang yang berbakat. Kalau aku jadi kau, aku akan mulai mengembangkan bakatku dan bukannya terpenjara di toko kecil ini,” gumam Nathan memuji.

Nesya hanya tersenyum. Satu sisi, dia merasa amat marah karena telah berani menyukai sorang pria yang ternyata sudah beristri. Namun disisi lain, dia juga merasa apa yang dirasakannya adalah hal yang wajar, karena selama ini dia tidak tahu status Nathan sbenarnya. Dengan selalu berpergian seorang diri, pria setampa Nathan tidak akan mungkin tidak memikat gadis yang memandangnya. Terlebih Nesya yang setiap bulan bertemua dengannya. Namun perasaan Nesya kini merambat menuju simpati. Nathan pasti sangat menyayangi istrinya. Hal itu bisa dilihat dari cara pria itu memilihkan gaun-gaun yang bagus dan berharga mahal untuk istrinya. Dan hanya Tuhanlah yang tahu, apakah istrinya bisa memakai seluruh gaun-gaun itu, saat ini. Atau mungkin, menunggu istrinya sembuh, entahlah. Nesya tidak ingin memikirkan sejauh itu.

*

“Mas Nathan!” sapa Nesya sedikit terkejut, saat melihat pria itu memasuki apotik, dimana dia berada.

“Nesya?” sambut Nathan yang tampak sediit terkejut. “Kenapa kau ada disini? Kau baik-baik saja, kan?”

“Aku baik-baik saja, Mas. Aku baru mengantarkan gaun pesanan pemilik apotik ini.” Jawab Nesya cepat. “Mas sendiri?”

“Aku menebus obat untuk istriku.” Jawabya tersenyum. “Nesya, apa kau akan kembali ke tokomu?”

“Iya. Mas.”

“Kalau begitu aku akan mengantarkanmu. Apotik ini terlalu jauh dari tokomu.” Ucap Nathan tegas. Namun terdengar lembut di telinga Nesya. Memang tadi dia harus dua kali ganti kendaraan untuk bisa sampai ke apotik tersebut. Makanya, tawaran Nathan untuk mengantarkannya ke toko, tidak akan ditolaknya.

“Rumah Mas Nathan tidak jauh dari sini, kan?” tanya Nesya setelah mereka berada di dalam mobil Nathan. Pria itu mengangguk.

“Dekat sekali.”

“Hm…Mas, apakah..aku…hm…” Nesya ingin sekali mengutarakan isi hatinya. Namun dia takut Nathan akan menolaknya.

“Apa, Nes? Tanya saja, jangan ragu.”

Nesya tersenyum, “apakah aku boleh berkenalan dengan istrimu?” tanya nya akhirnya. Dan dia merasa lega setelahnya.

Nathan tersenyum, “Kenapa tidak boleh? Istriku pasti sangat senang karena dikunjungi oleh desainer kesukaannya.”

“Desainer kesukaannya?”

Nathan mengangguk. “Kau sudah menjadi desainer kesukaannya. Sebenarnya dia juga sangat ingin bertemu denganmu. Aku saja yang tidak berani menyampaikan permintaannya kepadamu.”

“Wah, ternyata…siapa sangka kami mempunyai keinginan yang sama, ya?”

“Iya. Sekarang?”

“Iya, sekarang saja, Mas. Mumpung kita berada dekat dengan rumah Mas.”

“Baiklah.” Nathan memutar arah mobilnya, memasuki sebuah kompleks perumahan merah yang tampak sepi. Lalu mereka berhenti di sebuah rumah besar yang letaknya paling ujung jalan. Setelah turun, Nathan membawa Nesya langsung masuk ke dalam rumahnya.

“Istriku ada di atas.” Katanya seraya mempersilahka Nesya mengikutinya. Setelah menaiki anak tangga yang lumayan banyak,akhirnya mereka sampai ke sebuah kamar yang amat luas, yang di dalamnya terdapat sebuah tempat tidur mewah. Sepanjang mata Nesya memandang, seluruh perabotan di rumah itu tampak amat mewah. Nathan dan Istrinya ternyata amat sangat berada. Pantas saja Nathan tidak pernah pusing mengeluarkan uang sebanyak apapun untuk membeli gaun-gaun istrinya.

“Nesya, masuklah. Pekenalkan, ini Christal, istriku.” Ucap Nathan seraya membantu istrinya duduk di sisi ranjang. Seorang wanita cantik yang tampak sangat kurus dan lemah. Nesya langsung jatuh iba melihatnya, dan ia segera melangkah mendekat. “Christal, inilah Nesya, desainer kesukaanmu itu.”

Christal memutar bola matanya, mencoba melihat ke arah Nesya. Tampaknya wanita itu sangat susah melakukannya. Namun begitu mampu melihat Nesya, senyumnya langsung mengembang, sementara tangannya terulur mengajak Nesya mendekat.

“Apa khabar, Nesya?” terdengar suara parau, yang hampir merupakan bisikan, keluar dari mulut Christal. Nesya segera mendekati wanita malang tersebut, dan menyambut tangannya.

“Aku baik-baik saja, Kak.” Jawab Nesya tersenyum lembut.

Christal menggenggam erat tangan Nesya. Lalu tangannya menyentuh pipi gadis itu, “Kau cantik sekali, Nesya. Sama seperti gaun-gaun ciptaanmu.”

“Terima kasih, Kak. Kakak juga cantik.” Jawab Nesya bersungguh-sungguh.

“Benarkah? Tengkorak ini kau bilang cantik?” tanya Christal terkekeh. “Kau memang gadis menyenangkan ya? Persis seperti yang diceritakan suamiku.” Katanya melirik Nathan. Lalu tangannya segera menarik tubuh Nesya kedalam pelukannya. Sentakan tangannya begitu kuat, membuat Nesya terkejut. Detik berikutnya, Nesya merasakan sesuatu menancap di lehernya. Tajam, panas membara, dan menyakitkan. Nesya mencoba meronta, namun semakin lama tenaganya semakin terkuras habis. Ia mencoba menatap Nathan, mencari penjelasan akan apa yang telah terjadi. Namun wajah pria itu tampak sangat dingin dan penuh misteri. Sampai akhirnya pandangannya menggelap.

Semenit berlalu. Sebuah tubuh yang hanya tinggal tulang berlapiskan kulit dan pakaian, jatuh terkulai di lantai. Bersamaan dengan itu, seorang wanita yang sangat cantik, turun dari tempat tidur seraya membersihkan mulutnya dari sisa-sisa darah yang menempel di sekitar mulutnya.

“Sayang, apakah aku sudah cantik kembali?” tanyanya menatap Nathan. Pria itu segera menghampiri istrinya dan mengecup bibirnya dengan mesra.

“Kau adalah wanita paling cantik yang pernah kumiliki selama beberapa abad ini, Christal.” Jawab Nathan tersenyum manis.

-\=Tamat\=

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!