"Gimana kalo gue hamil, Vin?"
Jeany, gadis yang baru saja bicara itu, tampak sangat kacau. Rambut panjang yang biasanya ia kuncir dibiarkannya tergerai kusut. Gadis itu menatap Kevin dengan sepasang matanya yang basah. Ia tidak ingin menangis, tetapi apa yang baru saja terjadi benar-benar membuatnya merasa terpukul.
Kevin pun tak kalah terpukulnya. Ia mengusap wajahnya berkali-kali dengan gerakan frustrasi. "Kalo sampe lo hamil gue pasti bertanggung jawab. Tapi sekarang gak usah mikirin hal yang belum pasti." Pemuda itu berkata sambil menyembunyikan kekalutan dalam hatinya. Ia berharap kejadian tadi malam tidak memberi dampak buruk pada masa depannya dan Jeany.
Gadis itu tidak menjawab. Ia duduk diam dengan pandangan menerawang jauh, terlihat begitu hancur. Kevin sungguh berharap waktu dapat diputar kembali agar ia tidak perlu melakukan kesalahan yang akan disesalinya seumur hidup.
Tadi malam di kelab, ia yang datang bersama Randy enggan mengikuti sahabatnya itu turun ke lantai dansa. Kevin lebih memilih menunggu di kafe sembari menghabiskan makanan dan minuman yang telah dipesan. Karena bosan menunggu Randy, ia memutuskan untuk pergi karaoke seorang diri.
Tatkala sedang menyusuri salah satu sudut kelab malam untuk mencari ruangan karaoke, Kevin melihat Jeany yang mabuk sedang ditarik paksa oleh seorang laki-laki paruh baya menuju sebuah ruangan. Tanpa pikir panjang ia mendorong laki-laki itu hingga terjungkal dan pegangannya pada tangan Jeany terlepas.
Dengan panik Kevin menarik Jeany agar cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Mereka menumpang taksi yang sedang mangkal tidak jauh dari kelab malam. Karena tidak tahu di mana Jeany tinggal, ia terpaksa membawa gadis itu ke apartemennya.
Kevin tidak menyesal telah menolong Jeany. Bagaimanapun ia tidak mungkin diam saja melihat orang yang dikenalnya berada dalam bahaya. Namun yang disesalinya adalah ia yang tak mampu mengendalikan diri.
Kulit putih Jeany terasa halus dalam sentuhan Kevin saat ia memapah gadis itu. Parasnya ketika mabuk sangat menggoda. Kevin ingat ia sempat menatap lekat-lekat belah bibir gadis itu, merasakan dorongan teramat kuat untuk mel*matnya.
Ibaratnya ia berniat menyelamatkan kelinci dari terkaman harimau, tetapi dirinya justru menjadi buaya yang menelan kelinci itu. Sepertinya saat itu ia juga dalam pengaruh obat karena akal sehat tidak mampu menahannya dari naluri primitif seorang laki-laki. Ia mulai mencium Jeany, mencumbuinya hingga terjadi hal terlarang itu.
Nasi telah menjadi bubur. Tidak ada lagi hal yang bisa dilakukan oleh Kevin selain meminta maaf dengan sepenuh hati. "Gue bener-bener minta maaf buat tadi malam. Gue juga gak tahu kenapa bisa ngelakuin hal itu."
"Apa gunanya lo minta maaf? Keadaan tetap gak akan berubah!" jawab Jeany putus asa. Ia tidak tahu apakah harus marah atau justru berterima kasih pada pemuda di hadapannya.
Namun dalam hati kecilnya ia mengakui, lebih baik tidur dengan Kevin daripada dengan laki-laki paruh baya itu. Pemikiran tersebut membuat Jeany ingin menampar dirinya sendiri.
"Sudahlah lupain aja," ucap gadis itu pada akhirnya. Apa lagi yang bisa dilakukan selain melupakannya dan melanjutkan hidup mereka? Dengan punggung tangannya ia menghapus air mata dan mencoba untuk kuat.
Kevin tertunduk menunjukkan penyesalan. "Gue gak bisa kasih status. Tapi gue pasti jagain lo," janjinya pada gadis itu.
Kevin memang merasa bersalah. Namun bagaimana mungkin ia memberi Jeany status jika ia sendiri telah menjadi kekasih perempuan lain? Pemuda itu tidak rela berpisah dengan kekasihnya. Lagi pula, tidak ada perasaan cinta antara dirinya dengan Jeany.
Mereka hanya teman SMA dan teman kuliah yang sedikit pun tidak ada kedekatan karena lingkungan pertemanan mereka sangat bertolak belakang. Kendati demikian, tidak ada permusuhan di antara mereka. Keduanya hanya saling merasa asing saja, hingga tiba malam naas itu.
Kevin mengangkat wajahnya untuk melihat Jeany. Gadis itu mengangguk samar dengan pandangan kosong, sepertinya tidak benar-benar mendengarkan. Diam-diam Kevin berterima kasih pada Jeany karena gadis itu tidak mempersulitnya. Sayang sekali gadis sebaik itu harus bekerja di tempat yang tidak tepat.
"Jean, menurut gue lebih baik lo gak kerja lagi di situ," saran Kevin memecah lamunan gadis itu.
"Gajinya lumayan. Dua bulan gue kerja di situ gak ada masalah, tiba-tiba aja tadi malam—"
Jeany tidak melanjutkan kata-katanya. Ia menunduk dengan pipi memerah. Hal intens yang terjadi tadi malam di antara mereka terlintas di pikirannya. Kevin yang menyadari bahwa Jeany sedang malu tidak mendesaknya untuk berbicara lebih lanjut. Sebenarnya ia juga merasakan hal yang sama. Namun sekarang yang terpenting adalah mencegah situasi bertambah buruk.
"Maafin kalo gue egois. Tapi gue minta tolong jangan cerita ke siapa pun soal kejadian tadi malam," pinta Kevin.
Jeany menghela napas sebelum menjawab, "gue juga gak mau ada yang tahu."
Kevin menunjukkan lagi wajah penuh sesalnya. "Tadi malam itu pertama kalinya gue menginjakkan kaki di club. Tau begini gue tolak ajakan Randy."
Kata-kata Kevin membuat Jeany terkejut. Ia menimbang antara harus percaya atau tidak pada ucapan pemuda itu. Mungkin saja benar, pikirnya, karena selama dua bulan bekerja sebagai pramusaji di kelab malam ia tidak pernah berjumpa dengan Kevin.
Kevin lalu melihat jam yang terpasang di dinding. Sudah pukul 11.10, artinya kurang dari dua jam lagi ia harus masuk kuliah. Pemuda itu membuang napas dengan kasar, merasa malas masuk kuliah dalam kondisi seperti itu. Akan tetapi ia sudah berjanji akan menjemput Stevi, sang kekasih untuk berangkat kuliah bersama.
Semester ini kelas mata kuliah mereka tidak banyak yang sama sehingga Kevin tidak ingin melewatkan kesempatan yang ada. Karena itu ia harus segera bergegas. Tiba-tiba ia teringat bahwa Jeany juga mengikuti mata kuliah di kelas yang sama dengannya.
"Jean, kita jam satu ada kuliah Statistika Bisnis kan? Gue siap-siap dulu habis itu gue antar lo pulang."
Kevin hendak masuk ke kamarnya untuk mandi sebelum dicegah oleh Jeany. "Gue pulang sendiri aja. Tapi gue minta tolong, titip tanda tangan ya," kata gadis itu dengan wajah memelas.
"Lo mau bolos? Lo tau kan hari ini dosen bakal kasih kisi-kisi buat UAS?" Kevin menatapnya ragu. Betapa tidak, di matanya Jeany adalah murid yang rajin sejak SMA. Rajin dan tidak pernah membuat masalah.
"Gue gak ada mood kuliah, kepala gue masih pening. Bantu gue, please," jawab gadis itu memohon.
"Ya udah kalo itu mau lo," kata Kevin mengiakan.
Ia hendak beranjak tetapi lagi-lagi Jeany mencegahnya. Kali ini gadis itu berjalan cepat ke arah pintu apartemen Kevin dan membukanya. "Gue pulang dulu, jangan lupa titipan gue," katanya sebelum kemudian keluar dan menutup pintu, meninggalkan Kevin yang masih berdiri mematung di tempatnya.
Jeany terburu-buru pulang dan menolak tawarannya. Kevin ragu apakah harus menyusul dan memaksa mengantarnya pulang, karena tadi dilihatnya wajah gadis itu agak pucat. Rambutnya bahkan masih berantakan. Namun ia akhirnya memilih mengabaikan rasa khawatirnya. Mungkin Jeany tidak mau diantar karena merasa canggung, pikirnya. Setidaknya ia jadi lebih punya banyak waktu untuk bersiap-siap.
Perasaan Kevin berbunga-bunga karena akan segera bertemu dengan pujaan hati. Ia berjalan ke kamarnya dan mengambil baju dari dalam lemari. Matanya kemudian melihat ranjangnya yang berantakan. Ia yang menyukai kerapian langsung bergerak membereskan ranjang. Namun, apa yang dilihatnya membuatnya membelalakkan mata.
"Ya Tuhan, ini juga pertama kalinya bagi dia," katanya sambil memegang keningnya dengan perasaan frustrasi.
Perasaan bersalahnya semakin berlipat-lipat. Ia melepas seprai dan membuangnya di tempat sampah, tidak ingin menyimpan bukti terjadinya malam kelam itu. Selesai mandi ia menyisir rambut hitamnya, mengambil tas dan bergegas keluar meninggalkan apartemen yang menjadi saksi bisu hubungan terlarangnya dengan Jeany.
Terima kasih untuk Teman-teman yang sudah mampir. Semoga berkenan membaca sampai tamat 🙏
Stevi melihat Kevin tengah membolak-balik daftar presensi kelas seolah-olah sedang mencari sebuah nama. Tidak lama kemudian dilihatnya sang kekasih kembali membubuhkan tanda tangannya. "Vin, kok kamu tanda tangan dua kali?" bisiknya heran.
"Eh iya aku bantuin Jeany, tadi dia titip tanda tangan." Kevin menjawab sambil berbisik juga karena takut ketahuan oleh Pak Darma yang sedang menjelaskan rangkuman soal UAS.
Stevi semakin heran. Pasalnya ia tidak pernah melihat Kevin akrab dengan Jeany. "Kok kamu bisa—"
"Mas sama Mbaknya kalau mau pacaran saya persilakan keluar!"
Belum sempat Stevi menyelesaikan pertanyaannya, suara menggelegar sang dosen terdengar memenuhi ruang kelas. Seisi ruangan menoleh pada mereka.
"Maaf, Pak." Kevin dan Stevi hanya bisa meminta maaf. Sang dosen yang bernama Pak Darma itu melanjutkan kembali penjelasannya.
Satu jam berlalu. Para mahasiswa sedang mencatat materi yang diberikan oleh dosen yang terkenal galak tersebut. Mungkin karena suasana hatinya sedang kurang baik, dosen tersebut mulai memanggil nama-nama di daftar presensi secara acak, membuat Kevin berkeringat dingin di tempat duduknya.
Sama seperti Jeany, Kevin juga bukan tipe mahasiswa yang suka melanggar aturan. Dalam hati ia berdoa agar dosennya itu tidak memanggil nama Jeany. Akan tetapi, sepertinya kali ini Tuhan belum berkenan mengabulkan doanya.
"Jeany Valencia Suwito." Terdengar nama Jeany dipanggil.
DEG!
Kevin hanya bisa mematung dengan wajah tegang. Melihat sang pacar gelisah, Stevi berinisiatif membantu. Ia tidak tega melihat pacarnya kesulitan. Ia pun mengacungkan jarinya. Beruntung setelah itu Pak Darma hanya memanggil beberapa nama lain lalu menyudahi inspeksi dadakannya itu.
Kevin bernapas lega. "Makasih," bisiknya pada Stevi.
Sang pacar hanya mengangguk sambil tersenyum, kemudian melanjutkan mencatat. Usai jam kuliah, Kevin mengajak Stevi ke tempat fotokopi yang berada di lantai bawah gedung fakultas mereka.
"Gak terasa ya, Vin, udah mau UAS aja. Ngomong-ngomong kamu fotokopi apa?" tanya Stevi sembari menunggu abang fotokopi memfotokopi satu bendel kertas milik Kevin.
"Oh ini aku fotokopiin buat Jeany, kan dia gak masuk kelas tadi," jawab Kevin terus terang.
Stevi mengernyit mendengarnya. Ia sudah tidak dapat menutupi rasa ingin tahunya lagi. Walaupun belum lama berpacaran dengan Kevin, ia merasa berhak tahu lebih jauh mengenai hubungan Kevin dengan Jeany.
"Sejak kapan kamu berteman dekat sama dia, Vin? Seingatku dulu di SMA kalian gak pernah main bareng. Di kampus juga aku gak pernah lihat kalian saling menyapa."
Kevin yang ditanya jadi gelagapan. Untungnya ia masih bisa memikirkan jawaban yang masuk akal. "Sejak kelas Manajemen Keuangan. Kan aku satu kelompok tugas sama dia. Mungkin karena udah kenal dari SMA jadinya cepat akrab," jawabnya sambil tersenyum.
Stevi ikut tersenyum mendengarnya. Pacarnya memang baik kepada siapa saja. Sifat itu pula yang membuatnya jatuh cinta. Tiga bulan lebih lamanya Kevin melakukan pendekatan hingga akhirnya diterima menjadi pacar Stevi.
Sebenarnya Stevi juga sudah menyukai Kevin sejak awal, hanya saja ia sengaja bersikap jual mahal dengan tujuan membuat Kevin semakin penasaran dan tergila-gila padanya. Sepertinya taktiknya berhasil karena hingga hari ini Kevin memperlakukannya dengan sangat baik.
Selesai fotokopi, Kevin mengantar Stevi pulang ke rumahnya.
"Gak mampir dulu?" Gadis itu mengajak kekasihnya untuk masuk.
"Lain kali aku pasti mampir. Sekarang masih ada urusan. Kamu masuk gih," ujar Kevin.
Stevi berjinjit untuk mengecup pipi Kevin lalu cepat-cepat masuk ke rumahnya. Kevin terdiam sejenak sambil mengelus pipi yang baru saja dikecup oleh Stevi. Ada perasaan bahagia di hatinya karena hubungannya dengan Stevi telah selangkah lebih maju. Stevi sudah berani menciumnya walaupun masih di pipi.
Namun tebersit pula perasaan bersalah manakala ia teringat Jeany. Ia tidak mungkin berpura-pura tidak ada hal yang terjadi antara dirinya dengan gadis itu. Walaupun tidak mencintainya, setidaknya ia harus bertanggung jawab dengan menjaga gadis itu sebagai seorang sahabat. Ya, seorang sahabat. Kevin pun melangkah sambil memantapkan hatinya.
Pemuda itu mengendarai mobilnya hingga berhenti di depan sebuah rumah megah dua lantai. Ia memencet bel. Tidak lama kemudian seorang laki-laki seumuran dirinya keluar dengan wajah terkejut.
"Hai, Bro, ada angin apa nih tiba-tiba muncul di sini? Lo harus ceritain—"
Kalimatnya dipotong oleh Kevin yang langsung masuk ke dalam rumah tanpa dipersilakan. Kevin tidak menjaga sikap karena tahu tidak ada orang selain mereka berdua di rumah itu. Sahabatnya itu tinggal seorang diri di Jakarta, di rumah yang memang dibelikan orang tuanya khusus untuk putra kesayangan mereka.
"Lo kasih minum apa kemarin ke gue, Ran?" Kevin mulai menginterogasi sahabatnya.
"Hah? Mocktail lah sesuai permintaan lo gak mau alkohol. Emang kenapa? Lagian lo kemarin main ngilang aja, gue telpon telpon gak diangkat. Untung ada yang liat lo naik taksi bareng Jeany. Jangan bilang lo semalam ngelepas keperjakaan lo ya?" Randy menyeringai licik di akhir kalimatnya. Ia ingin sekali melihat sahabat alimnya itu menelan ludahnya sendiri.
Selama ini Kevin selalu mengejeknya sebagai laki-laki tidak benar karena doyan ke kelab malam dan bergonta-ganti perempuan, berbanding terbalik dengan Kevin yang bahkan belum pernah berciuman. Apa jadinya bila Kevin yang hidupnya lurus-lurus saja itu melakukan cinta satu malam?
"Gimana rasanya? Enak gak?" tanyanya lagi disertai cengiran lebar. Ia dapat melihat wajah Kevin yang memerah, entah karena malu atau marah.
"Lo ngomong apa sih? Gue gak ngapa-ngapain tadi malam," jawab Kevin berbohong.
Padahal tujuan awalnya datang ke rumah Randy memang ingin menceritakan kejadian yang dialaminya. Namun setelah melihat wajah menyebalkan sahabatnya itu, ia mengurungkan niatnya. Terlebih lagi Randy juga mengenal Jeany karena mereka satu SMA dan satu kampus.
Kevin tidak ingin kejadian antara dirinya dan Jeany tersebar. Bisa saja suatu saat Randy kelepasan bicara. Cukup ia dan Jeany yang mengetahui kejadian malam itu dan menyimpannya rapat-rapat.
"Serius lo gak ngapa-ngapain? Jeany lo anggurin?" Randy seperti tak percaya.
"Gue cuma nolongin dia soalnya kemarin gue lihat dia hampir dilecehin om om, trus gue anterin dia pulang soalnya dia mabuk." Kevin menceritakan separuh kebenaran. Hanya separuh karena ia tidak mengantar Jeany pulang melainkan membawanya ke apartemen miliknya.
"Wah nekat lo, Vin! Kalo itu om cari masalah gimana?" Randy mulai bersikap serius karena ia tahu banyak orang penting yang menjadi pelanggan di kelab malam elite tersebut.
"Mudah-mudahan engga. Kemarin gue langsung lari. Kayaknya dia belum sempat lihat muka gue," jawab Kevin.
"Tenang aja ntar gue bantuin kalo sampe ada masalah. Ngomong-ngomong lo gak kaget cewek alim kayak Jeany bisa kerja di club malam?"
Kevin yang tidak suka mendengar Jeany dibicarakan seperti itu spontan membelanya. "Lo gak boleh menghakimi Jeany. Dia kan cuma waitress. Dia kerja di situ juga karena butuh uang."
"Duh geli gue kalo lo mulai sok bijaksana gini." Sebenarnya Randy tidak bersungguh-sungguh dengan kalimatnya. Ia sangat paham sifat sahabatnya yang tidak pernah membeda-bedakan siapa pun. Mungkin karena itu pulalah Kevin masih mau bersahabat dengan orang bejat seperti dirinya. "Trus lo ke sini ngapain? Jangan bilang cuma mo tanya minuman yang kemarin lo minum. Emang kenapa tuh minuman?"
"Gapapa cuma enak aja jadi penasaran hehe ...." Kalau sudah menjawab sambil terkekeh begini tandanya Kevin sedang menutupi sesuatu. Biarlah penyebab ia lepas kendali menjadi misteri untuk sementara waktu. Ia tidak ingin mengambil risiko ketahuan oleh Randy.
Randy menatap Kevin dengan pandangan menyelidik, mengetahui sahabatnya itu sedang berbohong.
Jaga kesehatan ya, Teman-teman. Jangan baca novel sampai begadang atau sampai lalai pada pekerjaan ya. Novel ini gak ke mana-mana kok, bisa dilanjut bacanya setelah ada kelonggaran waktu 😊😊😊
Jeany berdiri di depan sebuah rumah mungil bergaya minimalis. Walaupun mungil, rumah tersebut berada di kompleks perumahan kelas menengah atas yang sore itu tampak sepi.
Gadis itu sengaja bolos kuliah demi mendapatkan kejelasan atas kejadian yang tadi malam dialaminya. Jika hanya ada satu orang yang mengetahuinya, ia dapat memastikan orang tersebut adalah Rika, teman sekaligus orang yang menawarinya pekerjaan di kelab malam.
Tidak lama kemudian pintu rumah terbuka. Sepertinya sang pemilik rumah telah mengetahui kedatangannya.
"Mau apa lo ke sini?" Rika bertanya dengan ketus setelah Jeany memasuki rumahnya.
Sebelum menjawab, Jeany mengambil tasnya yang tergeletak di sofa ruang tamu rumah Rika. Ternyata Rika membawa pulang tasnya yang tertinggal di kelab malam. Jeany membukanya dan mendapati isinya masih lengkap.
"Lo pikir gue bisa ambil barang berharga apa dari dalam tas lo?" kata Rika sinis.
"Rik, tolong jawab sejujurnya ke aku. Apa kamu masukin sesuatu ke minuman yang kamu kasih tadi malam?" Jeany tidak menghiraukan pertanyaan sinis Rika. Ia langsung menuju inti permasalahan. Gadis itu tidak menggunakan panggilan lo-gue khas ibu kota bila berbicara dengan Rika karena keduanya berasal dari luar Jakarta.
Rika tersenyum licik sebelum menjawab, "Kalo iya kenapa?"
Jeany mundur selangkah. Otaknya masih mencerna kalimat yang baru saja diucapkan temannya itu. "Rika! Kenapa kamu ngelakuin hal itu? Apa kamu tahu aku hampir aja diperkosa!"
Jeany berusaha menahan amarahnya. Ia masih ingin mendengarkan penjelasan dari Rika.
"Udahlah gak usah sok suci! Kalo lo uda tau nikmatnya berhubungan, lo juga bakal ketagihan. Apalagi kalo dapet duit. Kalo mau, gue bisa cariin lo banyak klien," tukas Rika tanpa malu-malu.
PLAK!
Jeany menampar Rika, cukup keras karena ia sudah sangat emosi.
"Buat apa lo pertahanin keperawanan lo? Semua cowok tuh berengsek! Habis dipake, lo bakal dibuang dan dia cari cewek lain! Mending manfaatin aset lo buat cari duit. Lo lihat rumah ini? Ini hasil kerja keras gue ngelayanin laki-laki hidung belang ha ... ha ... ha ...." Rika tidak memedulikan tamparan dari Jeany. Bicaranya semakin ngawur dan kelewatan.
Jeany terperangah menatapnya, tidak mengerti kenapa Rika yang ia kenal bisa berubah seperti itu. Rika yang dulu polos dan lemah lembut berubah menjadi sosok penuh kepahitan. "Rika, kenapa kamu berubah kayak gini? Ini gak bener, Rik, ini dosa!"
"Gak usah munafik pake bawa-bawa dosa! Lo semalam tidur ama cowok yang pulang bareng lo itu kan?! Bentar lagi juga dia bakal campakin lo. Kalo waktu itu tiba, gue masih bersedia kok bantuin lo."
Kata-kata Rika membuat Jeany terperanjat. Wajahnya memucat. Dari mana Rika tahu? Apa dia membuntuti kami?
"Heh .... Gak perlu dibilang juga gue bisa lihat dari bekas c*pang di leher lo!"
Sepertinya Rika benar-benar berpengalaman. Bahkan Jeany tidak sadar bila aktivitas semalam menyisakan tanda kemerahan di lehernya. Air matanya kini menetes karena rasa malu dan kecewa yang menderanya.
"Aku salah apa sama kamu? Kenapa kamu tega?" Jeany bertanya di sela-sela isakannya.
"Salah lo karena terlalu polos! Ha ... ha ... ha ...."
Jeany terdiam memandang Rika yang sama sekali tidak terlihat menyesal dengan kejahatan yang telah dilakukannya. Ia merasa tidak ada lagi yang perlu dikatakan. Tidak ada gunanya berbicara dengan Rika yang telah tertutup mata hatinya.
"Ini aku kembalikan," kata Jeany sambil meletakkan kunci dan STNK sepeda motor yang dipinjamkan Rika padanya di atas meja ruang tamu. Apakah sepeda motornya masih berada di tempat parkir kelab malam atau tidak, ia sudah tidak mau memikirkannya.
Ia lalu melangkahkan kakinya ke pintu, tetapi masih sempat didengarnya Rika berteriak, "Jangan lupa uang yang lo pinjam dari gue juga dari hasil bikin dosa ha ... ha ... ha ...!"
Jeany berpura-pura tidak mendengarnya. Namun dalam hati ia bertekad akan mengembalikan uang itu. Tidak peduli dari mana asal uang tersebut, baginya hutang tetap harus dilunasi. Ia melangkah gontai selama beberapa waktu.
Walaupun tidak bisa memaafkan perbuatan Rika, Jeany tidak sampai hati melaporkannya ke polisi. Di sisi lain ia juga malu bila harus menceritakan kejadian malam itu, malam ketika ia kehilangan keperawanannya.
Ia mengingat teman yang baru saja mengkhianatinya. Kisah awal pertemanannya dengan Rika di SMP yang kemudian sempat putus kontak karena Rika pindah ke Jakarta, pertemuan mereka kembali setelah Rika menyapanya di media sosial, berlanjut dengan Rika menolongnya yang sedang kesulitan keuangan, membantunya mendapatkan pekerjaan di kelab malam, hingga kejadian yang baru saja dialaminya, berputar di otak Jeany bagaikan sebuah film.
Tiba-tiba ia merasa hidup ini sangat menakutkan. Ternyata semua kebaikan Rika selama ini palsu. Orang yang ia anggap teman justru berniat menjerumuskannya. Untung saja malam itu Kevin menolongnya.
DEG!
Hatinya berdegup kencang saat mengingat Kevin karena ia jadi teringat malam kelam itu. Kalau semesta mengijinkan, lebih baik ia tidak bertemu lagi dengan pemuda itu. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana di depan Kevin kelak.
Namun ia tahu hal tersebut mustahil karena ia dan Kevin kuliah di jurusan yang sama, bahkan semester ini mereka banyak mengambil mata kuliah dengan kelas yang sama. Mau tidak mau ia harus sering bertemu dengan pemuda yang telah merenggut malam pertamanya itu.
Sekonyong-konyong ia teringat hal penting. Ia menyesal karena tidak terpikir untuk melakukannya sebelum mendatangi rumah Rika. Gadis itu berharap saat ini belum terlambat untuk melakukan pencegahan kehamilan.
Sambil duduk di taman perumahan yang kebetulan dilewatinya, ia membuka ponselnya dan melakukan penelusuran di internet mengenai cara mencegah kehamilan setelah berhubungan intim. Ternyata ada yang disebut dengan pil kontrasepsi darurat alias morning-after pill. Sayangnya, pil tersebut tidak dijual bebas.
Setelah membaca beberapa artikel lain, Jeany bergegas pergi ke apotek terdekat. Untunglah di perumahan tempat Rika tinggal tersedia apotek. Ia tadi melewatinya karena apotek tersebut berada di kompleks rumah toko yang berlokasi di bagian depan perumahan.
Di apotek, Jeany membeli pil KB yang dijual tanpa resep dokter. Ia bersyukur harganya tidak mahal. Gadis itu tidak menunggu sampai di kos untuk meminumnya. Begitu keluar apotek, ia mencari tempat agak sepi dan meminum pil KB itu dengan air minum yang memang selalu dibawanya ke mana pun ia pergi agar tidak perlu membeli air minum di luar. Ia lalu memasang alarm di ponselnya untuk mengingatkannya meminum ulang pil KB 12 jam dari sekarang.
Seperti itulah cara pencegahan kehamilan yang ia baca dan ia sungguh berharap penulis artikel tersebut tidak membohonginya. Jeany sangat takut karena setelah membaca ulasan di internet, ia mengetahui bahwa tadi malam ia sedang berada dalam masa subur.
Kalo sampe lo hamil, gue pasti bertanggung jawab.
Kata-kata Kevin terus terngiang di pikirannya. Ia menggeleng cepat-cepat. Tidak boleh. Ia tidak boleh sampai hamil. Hal itu hanya akan merusak masa depannya dan Kevin. Pemuda itu juga sudah memiliki kekasih yang sangat cantik, sudah pasti tidak akan ada yang merasa bahagia bila mereka sampai menikah karena kehamilan yang tidak diinginkan.
Ia memejamkan matanya sembari berdoa dalam hati. "Tuhan, aku mohon jangan biarkan aku hamil," pintanya sungguh-sungguh.
Setelah itu Jeany memutuskan untuk pulang ke kosnya. Di dalam kamar, ia memandangi bayangan dirinya di cermin. Tampak bekas kemerahan di lehernya. Setelah ia perhatikan, bekas kemerahan tersebut tidak hanya berada di leher, tetapi merambat hingga ke bagian dadanya. Bahkan kini ia dapat jelas merasakan sakit di bagian bawah tubuhnya, rasa sakit yang sedari tadi ia coba abaikan.
Jeany memutuskan mengurung diri di kamar, tidak ingin ada yang melihat keadaan dirinya yang menyedihkan. Tak lama kemudian ia kembali menumpahkan air matanya. Ia memang tidak akan membiarkan dirinya terpuruk terlalu lama. Namun untuk kali ini saja ia ingin mengeluarkan seluruh kesedihannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!