KOTA MILAN, REGIONE LOMBARDIA. ITALIA.
Ditengah malam nya kota Italia yang begitu luas ada
Seorang perempuan muda yang masih mengenakan pakaian sekolah lengkap dengan Hoodie hitam yang menutupi seluruh wajah dengan tudungnya dan mengamalkan rok nya dengan rok lapisan hitam juga, remaja itu menyusuri lorong rumah sakit memperhatikan setiap pria yang memakai jaz putih berlogo rumah sakit.
Sudah hampir 1 jam setengah dirinya berdiri dan menyusuri setiap lorong dan koridor rumah sakit belum juga menemukan seseorang yang dicari sejak tadi, wanita muda itu hampir menyerah dan akan mencari kembali di ke esok kan harinya, walaupun dirinya harus membolos lagi demi bisa bertemu dengan orang yang dicarinya.
Wanita muda itu terus melangkahkan kaki nya berkeliling rumah sakit besar tersebut, kalau memang tidak ketemu dalam 2 jam terakhir sebelum pukul 23.00 wanita muda itu akan menyerah.
Wanita bernama Jillian Amberly seorang gadis-ah ralat wanita berusia 18 tahun yang masih duduk dibangku kelas 12 Sekolah Tingkat Akhir yang sebentar lagi akan melaksanakan ujian terakhir dalam 4 bulan kedepan.
Kakinya kembali menyusuri tanpa henti walaupun mulai terasa pegal matanya tanpa sengaja menangkap sosok laki-laki yang dicari nya sejak tadi, tak mau kehilangan jejak. wanita itu berlari menghiraukan orang-orang yang tidak sengaja ditabraknya.
Sedangkan lelaki itu, menghadap kearah sebaliknya membuatnya tidak mampu melihat seorang wanita muda yang mengejar langkahnya yang tegap.
" DOKTER!!!" sekali dokter itu tidak mendengar.
" OM DOKTER!!! " teriak lagi Jillian tidak mampu terdengar oleh dokter itu.
" DOKTER MATA EMPAT!!! " teriak Jillian menaikan oktaf suaranya dan semakin melajukan langkah besarnya.
Tak sia-sia, yang dipanggil akhirnya menolehkan kepalanya yang tampak bingung sampailah ia paham ada seorang wanita muda berhoddie hitam dan bertudung kepala menghampirinya lelaki itu mengerutkan keningnya bingung menatap tampilan wanita dihadapan nya yang cukup pendek dari nya, kira-kira sejajar dengan dada bidangnya saja.
Nafas Jillian tersengal-sengal di seka nya keringat yang berada diwajahnya sesaat matanya tertuju pada Name Tag Alfred Dario Garfield, di jas putih yang dikenakan pria profesi dokter itu.
" Om Dokter kenal aku? " tanya Jillian menunjuk dirinya sendiri.
" Sepertinya saya pernah melihat kamu tapi dimana? " pikir Dokter itu mengingat kembali.
" Yang di Clubbing Malam. " jawab Jillian membantu pria itu mengingat lagi.
" Ah ya! kamu wanita waktu itu! " ucap Dokter pria itu berhasil mengingat kejadian satu bulan yang lalu.
" Ada yang mau aku sampaikan Dok. " ucap JIllian mempersiapkan dirinya.
Entah kenapa perasaan Lelaki yang biasa dipanggil Dario itu tampak kacau dan resah, seperti akan ada bencana besar yang disampaikan wanita dihadapannya yang mampu merubah kehidupannya dalam sekejap mata.
" Ada apa? bukannya urusan diantara kita sudah selesai satu bulan lalu? " ucap Dario.
" Emm... say- ham- " ucap Jillian cepat tanpa jeda.
" Hah? kamu bicara apa? saya tidak mengerti? " ucap Dario kesal.
" Aku hamil. " ucap Jillian pada akhirnya.
" Hamil? oh keluarga kamu ada yang hamil, bagus kalau begitu selamat ya. " ucap Dario manggut-manggut.
" Bukan Dok. " jawab Jillian menggelengkan kepalanya.
" Lalu siapa yang hamil? Ibu kamu? " tanya Dario tidak sabaran.
" S-saya hamil. " cicit Jillian menunjuk dirinya sendiri pelan.
" Kamu! " respon Dario membuat dirinya sendiri terdiam beberapa saat mencerna 8 huruf kata yang terucap di bibir wanita dihadapannya.
Raut wajah lelaki itu berubah setelah berhasil menguasai dirinya dan keadaan sekitarnya.
" Kamu! kamu hamil!!! " tanya Dario wajah nya sudah pias tidak karuan jantungnya seakan copot dati tempatnya tanpa terkendali.
Dia menatap tampilan wanita muda yang tidak dia ketahui namanya ama sekali dihadapannya dari atas sampai bawah fokusnya hanya tertuju pada perut wanita itu.
" Jangan bilang kalau itu... " tanya Dario tergagu.
" Iya, ini anaknya Om Dokter. "
Jawaban Jillian membuat Dario ingin pingsan ditempatnya, tidak ada angin atau hujan tiba-tiba petir menyambar seperti pohon tumbang yang menimpanya. sekarang apa yang harus dilakukannya saat ini, kalau memang benar-benar yang dikandung nya adalah anaknya.
" Om mau tanggung jawabkan? ini anaknya Om dokter! sekarang aku sudah ham- " ucapan Jillian terhenti saat lelaki itu membekap mulutnya mengisyaratkan untuk diam.
Dilihatnya sekelilingnya helaan nafas terdengar dari bibir lelaki itu, untung saja keadaan rumah sakit sudah mulai sepi tidak begitu banyak orang dan kawan sekerja berlalu lalang untuk sekarang.
Kalau sampai ada yang mendengar berita tentang ini, bisa gawat! karirnya yang dibangun selama 12 tahun ini akan hancur berantakan hanya karena satu kesalahan yang tidak sebanding dengan predikat kebaikan dan prestasinya.
" Kita bicarakan di luar saja. " ucap Dario memegang pergelangan tangan Jillian menuju parkiran rumah sakit yang tampak sepi.
Suara seruan seseorang menyadarkan Dario dan juga Jillian, Dario melepaskan tangan Jillian dari genggaman nya saat rekan kerja nya berjalan menghampiri nya.
" Kau mau kemana? bukan nya ini belum jam pulang kerja mu? " tanya dokter lelaki itu bernama Hadwin.
" Oh! dan siapa gadis kecil ini? kau lucu sekali Dek, siapa namamu? " tanya Dokter Hadwin menyadari keberadaan JIllian dibalik punggung tegap Dario.
" Aku JIli-"
" Kenapa kau tanya namanya? " potong Dario cepat.
" Ck, kau posesif amat! dia adek mu ya? " tanya dokter Hadwin menaik turunkan alisnya berniat menggoda sahabat nya yang sudah memasang wajah bete dan kesal.
" Bukan urusan mu, intinya dia kerabat keluargaku. " ucap Dario melanjutkan langkahnya.
" Tapi kau mau kemana? dan dia ada urusan apa? " tanya Dokter Hadwin mencegat langkah Dario.
" Dia hanya mengantar kan dokumen yang ku minta dari Mama. " ucap Dario mencari alasan yang masuk akal untung saja Hadwin tidak curiga.
" Oh, lalu sekarang kau mau mengantarnya gitu? " tanya dokter Hadwin menatap mreka bergantian.
" Iya, sudah malam tidak baik anak gadis pulang sendirian kan. " ucap Dario lagi membuat Jillian menatap lelaki itu sesaat.
" Oh ya sudah, jangan lama-lama takutnya ada pasien darurat. rumah mu dari sini kesana kan butuh waktu setengah jam. " ucap Dokter Hadwin seger pergi meninggalkan mereka.
Dario melepaskan genggaman tangan nya dari tangan Jillian sambil menghela nafas lelah, dilihatnya wanita di belakangnya masih menundukkan wajahnya.
" Kita bicarakan disini saja, dan sepertinya saya tidak bisa berlama-lama membahasnya saya masih dalam jam kerja, jadi berikan saja nomor ponselmu. " ucap Dario mengambil ponselnya dari saku jasnya.
" Aku tidak ingat. " jawab Jillian jujur.
" Yang benar saja! apa kau tidak membawa ponselmu? " tanya Dario tidak habis pikir.
" Tidak, ponsel ku tertinggal dirumah. " jawab Jillian jujur.
" Lalu kau disini sama siapa dan bagaimana kau bisa pulang dan datang? " tanya Dario beruntun.
" Aku menggunakan telepon umum, berikan saja nomor Om aku akan menghubungimu. " ucap Jillian menyodorkan tangan nya meminta secarik kertas nomor ponsel.
" Hal begini saja kau bisa lupa heh? bagaimana kau bisa ingat kalau kita pernah tidur bersama? " sindir Dario yang tidak bermaksud menyinggung perasaan wanita hamil didepannya.
Hanya saja Dario belum menyadari ucapan nya barusan yang bisa saja membuat perasaan Jillian terluka, Jillian tampak menghela nafas tidak ingin memancing keributan ditengah malam.
" Ini nomor ponsel saya, kau bisa menghubungi kesini. " ucap Dario memberikan kertas nama berisikan nomor ponselnya.
" Terimakasih. " jawab Jillian akan menerimanya tapi keburu kertasnya dilepas Dario dan berujung terjatuh ke paping tanah.
Jillian ingin mengambilnya tapi dicegah Dario, jadilah lelaki itu yang mengambilnya. saat lelaki itu berjongkok pandangan nya tanpa sengaja mengarah pada sepatu sekolah yang dikenakan Jillian.
DEG...
Dario kembali menenggapkan badanya menatap Jillian penuh arti.
" Kamu.... masih sekolah? " tanya Dario terkunci pada sepatu yang dikenakan JIllian.
" IYa Om. " jawab Jillian mengangguk.
" SHIT!!! SIALAN!!! " umpat Dario membalikan badannya tidak ingin menatap wanita dihadapannya.
Ini tidak hanya bencana melainkan mala petaka, apa yang harus dilakukannya sekarang pada anak dibawah umur yang sedang hamil dan masih status pelajar. jika seandainya dirinya tidak bertanggung jawab Dario akan terkena pasal hukuman berlapis-lapis menelantarkan anak, dianggap memperkosa anak dibawah umur, dan tidak bertanggung jawab.
" Om dokter!" panggil Jillian keheranan melihat lelaki dihadapannya emosi meledak-ledak.
" Berikan nomor ponselnya. " ucap Jillian lagi.
" Ini ambilah, pergilah. anak gadis tidak boleh keliaran ditengah malam. " ucap Dario terkesan dingin.
Namun belum juga Jillian melangkah pergi, lelaki itu terlebih dahulu meninggalkannya disana dengan langkah yang lunglai kembali masuk kedalam rumah sakit.
Sekarang tinggallah Jillian yang memikirkan nasib kedepannya bagaimana dia harus memberitahu Daddy dan Mommy nya mengenai hal ini? lalu bagaimana dengan sekolah dan mas depannya nanti?
Begitu juga dengan Dario yang masih memikirkan bagaimana dirinya harus memberitahu kebenaran tentang hal ini pada orang tuanya? dirinya masih ingin menikmati masa muda dan bekerja mengumpulkan pundi-pundi uang untuk masa depannya menata karir lebih baik lagi, tapi kalau Dario tidak bertanggung jawab dengan kehamilan JIllian, tega kah dia menyuruh anak SMA itu menggugurkan kandungan nya.
...✿ ✿ ✿ ✿...
KE ESOKKAN HARINYA PUKUL 07.30 PAGI.
Jillian duduk di kantin sembari memesan sebuah makanan karena sejak semalam wanita itu tidak berselera makan apapun jadilah ia memesan makan di kantin saja sembari menatap layar ponselnya menampilkan nomor kontak Dokter Dario.
Dalam hati Jillian berdoa dan berharap, semoga lelaki itu bertanggung jawab dan percaya dengan anak yang dikandungnya adalah anak pria itu. kalau pria itu sampai tidak mau bertanggung jawab tamatlah riwayatnya, Mama nya sudah membencinya pasti dirinya akan langsung di depak keluar rumah tanpa pengampunan lagi menganggap mencoreng nama keluarga.
Dan jalan satu-satunya hanyalah menggugurkan kandungan saja, ya walaupun resiko nya besar mau bagaimana lagi? demi pendidikan yang harus diselesaikan mungkin Jillian akan menempuh jalur kedua jika pria itu tidak mau bertanggung jawab.
Pikiran Jillian terputar ke 3 Bulan yang lalu, andai saja dirinya tidak ceroboh, andai saja dirinya tidak berbuat ulah, andai saja.... ia tidak bekerja saat itu semua ini tidak akan terjadi mungkin sat ini dirinya akan baik-baik saja menjalani kehidupan anak sekolah sampai lulus sekolah tidak menanggung beban seberat ini.
Dan semua ini adalah salahnya, ya memang salahnya bukan salah Dokter Dario. pria itu hanyalah korban dalam permainan tidak disengaja saat itu, tapi nasi sudah jadi bubur tidak akan bisa diulang kembali.
Jillian menatap segerombolan anak-anak sebayanya yang duduk tidak jauh dari hadapannya tampak tertawa riang, bercanda dan saling bercerita. Jillian tersenyum getir mungkin jika saat ini dia tidak hamil diapun akan sebahagia mereka.
...✿ ✿ ✿ ✿...
Dering ponsel menyadarkan Jillian dari lamunan nya, saat dilihat ternyata hanya pesan iklan saja ada raut kecewa dalam hatinya. dia lupa mengirimkan pesan singkat pada lelaki itu membuat Jillian terkekeh pelan mengingatnya.
Saat seriusnya memainkan ponsel seorang lelaki menghampiri Jillian tanpa wanita itu sadari.
DARR....
" ARGHH!!! " teriak Jillian kaget hampir menjatuhkan benda pipih berharga nya.
" Ihhh!!! Geb!! " marah Jillian mengelus dadanya kaget.
" hehe sorry! kau serius banget lihat ponselnya, kenapa? " tanya Gebrian mengambil tempat duduk di depan Jillian.
" Mak lampir Chat lagi? " tanya Gebrian lagi.
" Em, ya biasalah. " jawab Jillian.
" Kamu kenapa bolos kemarin? dimarahi emak lampir lagi? " tanya Gebrian menyomot camilan dihadapannya.
" Ya gak apa-apa. " jawab Jillian tenang menyeruput jus alpukat yang dipesan nya.
" Gak mungkin! pasti ada apa-apa nya kan? habis di hukum nenek sihir kan kau ? " desak Gebrian.
" Enggak Gebrian. " ucap Jillian mulai kesal.
" Lalu kenapa? " tanya Gebrian sewot.
" Karena Gue hamil dan gue cari si orang itu ampai ketemu puas!! "
Jillian hanya mampu mengatakan dalam hati saja sambil menikmati sarapan dihadapannya. tak ingin Gebrian mendengar suara isakan nya setiap kali mengingat moment kehamilannya.
" Kok kau diam aja? kamu baik-baik aja kan? " tanya Gebrian heran.
" Gak! aku gak apa-apa kok cuman sedikit lelah aja banyak kerjaan akhir-akhir ini di Cafe. " jawab Jillian bohong.
" Lo gak ada niatan berhenti kerja disana? Om Bob kan kaya. " ucap Gebrian.
" Yang kaya Papa ku, otomatis uang nya buat Nenek sihir itu lah , bukan buat ku. " ucap JIllian tersenyum getir.
" Tapi kan kau anaknya juga. " jawab Gebrian kurang puas.
" Otak Papa ku sudah di cuci sama dia, mau bagaimana lagi? aku gak bisa berbuat apa-apa selain diam saja. " jawaban Jillian membuat hati Gebrian terenyuh ingin niat membatu dirinya tidak berkuasa seperti Kakanya.
Jillian, seorang anak perempuan yang dibesarkan oleh ayahnya seorang diri. sejak usia 5 tahun Jillian tidak pernah mendapatkan kasih sayang layaknya seorang figur oran tua yang dari ayahnya.
Bobby Albern, ayah Jillian. Jillian hanya anak satu-satunya dalam keluarga mereka setelah Audrey Jennifer meninggal, ibu kandung Jillian. Jillian hanya dibesarkan dari kasih sayang para ART rumah.
Bobby, hanya memberikan materi, materi dan materi tanpa ada nya kasih sayang . tapi Jillian mampu tumbuh dalam lingkungan yang amat baik walaupun dirinya tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari figur orang tua.
Terkadang Jillian bertanya-tanya, seperti apa rasanya kasih sayang dan mendapatkan figur dari orang tua? Jillian cukup iri di usia nya yang masih muda harus dituntut keras tanpa bisa bermanja-manja sampai dimana puncaknya.
Bobby kembali menikahi seorang wanita bernama Eleanor Marigold dengan status janda anak satu, Cloe Linsen, anak perempuan usianya lebih tua 5 tahun otomatis menjadi kakak tiri Jillian.
Tapi tidak menampik bahwa kebahagiaan nya tidak kunjung datang, Eleanor menguasai setiap barang yang ada dirumah termasuk harta milik Bobby. semenjak Bobby menikahi Eleanor semua uang akan diberikan pada Eleanor setelah berhasil merayu Bobby dan akan memberikan nya pada Jillian tapi apa?
Tidak sepeserpun uang yang Jillian terima sejak hari itu hingga 3 tahun berjalan dan sekarang. sebentar lagi ia akan lulus sekolah, Jillian bekerja banting tulang demi biaya sekolah nya dan kebutuhan lainnya.
Jangankan Uang saku, uang transportasi pun Jillian tanggung sendiri terkadang Jillian memilih naik angkutan umum karena lebih murah. sudah hampir 3 tahun Jillian bekerja paruh waktu di cafe dan di sebuah Clubbing malam, seandainya tidak ada insiden 3 bulan lalu mungkin sekarang ini Jillian akan masih bekerja disana.
Karena uang gaji yang diterima bekerja di Club dan Cafe sangat berbeda, Di Club malam Jillian bisa membayar lunas uang sekolahnya selama 3 tahun tanpa tagihan sedangkan untuk kebutuhan lainnya uang gaji dari Cafe. Dan sebagian nya akan di tabung.
" Kau tidak bekerja di Clubbing lagi? " tanya Gebrian.
" Aku sudah berhenti dari sana. " jawab Jillian tampak gelisah jika membahas mengenai Clubbing lagi.
" BAguslah, sejak tahu kau bekerja disana. aku tidak pernah setuju. " jawab Gebrian.
" Tapi, kau tidak kekurangan uang sekolah kan? kalau butuh, aku akan membantumu. " ucap Gebrian.
" Tidak! aku sudah membayar lunas sampai lulusan, dan uang ku cukup kok. " jawab Jillian cepat.
" Syukurlah kalau gitu. " jawab Gebrian.
Bertepatan dengan bunyi bel pertanda jam pelajaran pertama dimulai, waktu bergulir begitu cepat jam pelajaran telah berakhir Jillian segera menuju tempat kerja nya kurang lebih sekitaran pukul 23.30 Cafe sudah tutup.
Jillian turun di depan rumahnya setelah memesan taksi, Jillian membuka pintu rumah perlahan tanpa menimbulkan bunyi suara dan semua lampu dalam keadaan mati pertanda semua penghuni rumah sudah tertidur.
BLAM...
TEK...
" Hah! " kaget Jillian.
BUGH..
" Awww!!! " pekik Jillian saat bantal sofa melayang mengenai punggung belakang nya teramat cukup kuat.
" Apa-apaan si Tante! " ucap Jillian malas mengusap punggung belakang nya yang tidak terasa sakit saking keseringan nya.
Ya, pemandangan ini sudah biasa Jillian rasakan jadi ia cukup santai dan hadapi seperti biasa tanpa ada air mata.
" Apa-apan kamu bilang? dari mana kamu anak sialan! " bentak Eleanor mendekati jillian dan menjambak rambutnya.
" ADuh! bisa lepaskan gak! " pekik Jillian menepis tangan Eleanor yang menjambak rambutnya tanpa perasaan.
" KAMU MAU JADI WANITA MURAHAN! PULANG MALAM, SERING BOLOS SEKOLAH! KAMU JADI LONTE MENGANGKANG DI LUARAN SANA! " bentak Eleanor.
Eleanor mendapat telepon dari pihak sekolah, kalau Jillian beberapa kali sering bolos di mata pelajaran yang sialnya selalu sama.
" Kau pikir saja sendiri ! aku ngapain! " balas Jillian tidak ada rasa takut dalam hatinya.
" KAU DI DIDIK DI SEKOLAH, TAPI CARA BICARA MU KAYAK BINATANG DENGAN ORANG TUAMU! "
" Aku tidak pernah menganggap kau orang tua ku! orang tua ku sudah mati! " ucap Jillian tegas menatap dingin wanita tua dihadapannya.
Jillian melenggang pergi dari sana, air matanya sudah tidak mampu menampung setiap kali mengingat Mama nya yang sudah tiada.
" KALAU KAU MEMANG TIDAK SUKA PADAKU, SETIDAKNYA JADILAH SEPERTI PANUTAN KAKAK MU, YANG BISA MEMBANGGAKAN PAPA MU! " teriak Eleanor membuat langkah kaki Jillian terhenti.
" MAU JADI APA KAMU SETELAH INI? MAU JADI LONTE? SEPERTI MAMA MU JUGA HEH! " sambung Eleanor mengejek.
Jillian mengeratkan buku-buku tangan nya mengepal perkataan itu sudah tidak bisa diterimanya lagi,
" Sial! tante bangsat tidak ada akhlak! " umpat Jillian dalam hati meneruskan langkahnya menaiki anak tangga ia pura-pura tuli tidak mendengar ucapan Eleanor yang semakin memojokkan harga dirinya.
" ASALKAN KAMU TAHU! MAMA MU DULU JUGA MELAKUKAN HAL YANG SAMA UNTUK MENDAPATKAN PAPAMU, SEPERTINYA SIFAT JALANG NYA MENURUN PADA ANAK NYA HAHAHAHA!!!! "
" Memang kalau dasarnya sudah murahan pasti anaknya juga akan bernasib sama mengikuti jejak alur ibunya, kesian sekali nasib mu anak jalang! " ejek Eleanor.
BLAM...
Jillian menyandarkan tubuhnya dibelakang pintu menutup telinga nya agar tidak mendengar ocehan yang semakin panas di pendengaran nya.
Lebih baik Jillian tetap diam, jika ia melawan sama saja gilanya dengan nenek lampir berwujud manusia itu.
" Ak-aku bukan anak jalang! Mama ku tidak seperti itu, Mama orang baik. " gumam Jillian memeluk tubuhnya erat.
" Aku akan buktikan aku bukan anak jalang. " tekad Jillian kuat.
...✿ ✿ ✿ ✿...
Dario melangkahkan kaki nya memasuki kamarnya sudah hampir 1 minggu ia bekerja lembur tanpa pulang kerumah dan baru hari ini ia bisa merasakan empuknya kasur.
Setelah membersihkan diri, Dario mengambil ponselnya yang sudah di geletakan nya tanpa disentuh selama 1 minggu dirumah sakit. saat dibukan nya ada begitu banyak panggilan tak terjawab dalam satu nomor yang di kenalnya.
Dario mengerutkan keningnya, melihat nomor yang sangat asing.
TING...
Sebuah pesan masuk dalam ponselnya, Dario menyadari siapa pengirim pesan barusan. hanya wanita itu saja yang berani memanggilnya dengan sebutan aneh.
Dario tidak berniat membalas nya, karena sudah cukup malam lelaki itu memilih untuk memejamkan mata saja biarlah besok ia membalas pesan itu dan melanjutkan perbincangan mereka yang tertunda 1 minggu.
DRRT...
DRRT...
DRRT...
Sepertinya, wanita itu sangat tidak sabaran terbukti ponsel Dario kembali berdering. Dario mengabaikan nya ia ingin istirahat dengan tenang semakin diabaikan nya semakin menjadi pula seperti dering lagu yang tidak hentinya berhenti.
Dario berdecak kesal, kalau dirinya angkat apa yang akan dia katakana pada wanita itu? ia belum menemukan solusi yang tepat untuk sekarang, karena solusinya pastinya hanya ada stu saja tidak ada pilihan lagi yaitu ' Menikah'.
Karena tidak mungkin menyuruh anak dibawah umur masih status pelajar menggugurkan nya dan Dario saja tidak tahu sudah berapa bulan kandungan wanita itu. tak sampai hati Dario menyuruh wanita itu menggugurkan kandungan nya.
TING...
Kembali Jillian mengirimkan pesan entah sudah spam pesan keberapa kalinya wanita itu kirim tidak ada satupun yang dibalas Dario hanya dibacanya saja.
Sedangkan disisi lain, Jillian menatap layar ponselnya ia mengigit buku-buku jarinya berharap lelaki itu akan membalas pesan nya.
" Apa dia tidak akan membalasnya? " gumam Jillian sendu.
Jillian kembali mengirim pesan dengan menambahkan sedikit ancaman, ah bukan mungkin lebih tepatnya kalau memang lelaki bernama Dario tidak berniat bertanggung jawab jalur satu-satunya yang ditempuh Jillian adalah menggugurkan kandungan nya dia akan siap menanggung resikonya.
TING...
Di kamar pria itu, memutuskan membaca pesan yang dikirimkan Jillian barusan. kurang lebih perkataan nya seperti ini.
" Om Dokter, kenapa tidak membalas pesan ku dan tidak menjawab panggilan ku selama 1 Minggu terakhir? kenapa hanya dibaca saja? kalau Om Dokter gak mau tanggung jawab, gak masalah aku bisa melakukan aborsi. aku tunggu jawaban nya Om jangan lama-lama aku butuh kepastian nya. "
Seperti itulah isi pesan nya, Dario semakin stress lagi setelah membaca isi pesannya, dia kembali memejamkan matanya ujian yang lebih berat dari pada ujian akhir semester kuliah.
Ponsel ditangan nya kembali berdering, sepertinya Jillian tidak akan berhenti menghubungi Dario sampai lelaki itu muak dan menyerah memilih menjawab panggilan nya.
" Halo Om? "
" Kenapa panggilan ku gak pernah diangkat? pesan ku gak pernah Om Dok balas? " tanya Jillian diseberang sana.
" Saya sibuk bekerja. " jawab Dario singkat.
" Jadi bagaimana Om Dok? Om mau tanggung jawab atau tidak? " tanya Jillian to the point.
" Saya belum terpikirkan sama sekali. " Jawab Dario.
" Lalu bagaimana sekarang? aku butuh kepastian, kalau Om memang gak mau aku aborsi aja? Om pasti punya banyak kenalan kan, apalagi Om seorang dokter gak mungkin gak ada., atau Om carikan saja Aborsi ilegal. " ucap Jillian.
Dario meraup wajahnya kasar menghembuskan nafasnya gusar, definisi wanita bodoh, tolol, otaknya sangat tumpul dan dangkal.
" Bagaimana bisa anak seumur segitu sudah kepikiran melakukan aborsi? ilegal pula? percuma sekolah tinggi otaknya ditanam di tanah. " batin Dario tidak habis pikir.
Dario saja tidak sampai kepikiran kesana....
Oke fine! dia memang kepikiran tapi ia tidak sampai hati dan tidak setega itu menyuruh anak dibawah umur melakukan aborsi ilegal!
Apa perempuan itu tidak berpikir, resiko setelah melakukan aborsi seperti apa? bisa saja dia langsung merenggang nyawa karena usia nya cukup muda melakukan aborsi, rasanya seperti mati sia-sia kalau sampai itu terjadi.
Sepertinya mereka memang perlu bicara langsung membahas masalah mengenai hal ini.
" Besok hari Minggu, kita bisa ketemuan kan? " tanya Dario.
" Em, ya tapi aku yang akan menentukan tempatnya bisa kan? " tanya Jillian ragu mengingat besok jadwalnya bekerja full Time dari pagi sampai Malam.
" Terserah mu saja, kirim padaku lokasinya. " ucap Dario segera mematikan sambungan teleponnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!