"Akhirnya sampai juga di tanah air, gak sabar pengen lihat ekspresi wajah umi. Pasti senang liat gue pulang, pasti dia heboh."
Seorang pria muda bernama Hanzel Faihan Awal baru saja pulang dari luar negeri dan tiba di bandara, dia baru saja menyelesaikan kuliahnya.
Dia sengaja pulang tanpa memberitahukan ibunya, hal itu dia lakukan untuk memberikan kejutan kepada ibunya.
Pria itu begitu niat untuk memberikan kejutan kepada ibunya, bahkan pulang saja tidak membawa banyak barang. Hanya satu tas ransel yang dia bawa.
"Jam 4 sore, lagi macet-macetnya. Mending naik ojek aja," ujarnya sambil keluar dari dalam bandara dan mencari kang ojek.
Walaupun dia adalah turunan dari keluarga Pramudya, walaupun dia kaya sejak lahir karena diberikan warisan oleh almarhum ayahnya, walaupun dia memiliki beberapa resto warisan dari kakeknya, tetapi pria itu tidak pernah bersikap sombong.
Justru, Hanzel selalu sederhana dalam berpenampilan. Dia tidak pernah memperlihatkan identitasnya, karena dia ingin bebas bergaul dengan siapa pun.
"Jangan ngebut, Pak. Yang penting datang dengan selamat," ujar Hanzel ketika dia sudah naik motor kang ojek dan memberitahukan alamat tempat tinggal uminya.
Khadijah merupakan wanita yang ditinggal meninggal oleh suaminya setelah sepuluh hari melahirkan putranya, ketika pulang dari luar negeri setelah melahirkan, pesawat yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan.
Ustadz Arfan meninggal, sedangkan Khadijah dan juga Hanzel harus meneruskan hidupnya tanpa sang ayah.
Khadijah yang begitu mencintai suaminya tak menikah lagi, dia memutuskan untuk membesarkan putranya sendirian.
Dia bahkan seperti Hanzel, walaupun terlahir dari turunan kaya, tetapi wanita itu tidak pernah sombong. Khadijah selalu rendah hati.
Khadijah kini menempati toko kue milik ibunya, toko kue yang awalnya hanya dua lantai itu kini menjadi 4 lantai. Lantai 1, 2 dan 3 dipakai untuk toko kue. Sedangkan lantai 4 digunakan untuk wanita itu tinggal.
Aksa sempat mengajak putrinya itu untuk tinggal bersama, karena pria itu sudah berusia enam puluh lima tahun. Dia sudah sepuh, dia ingin berkumpul dengan putrinya.
Namun, Khadijah selalu berkata begitu nyaman tinggal di toko kue sambil bekerja. Selain itu, toko kue itu dekat dengan pemakaman suaminya. Sehingga hal itu memudahkan dirinya untuk sering-sering datang ke makam suaminya itu.
"Pak, berhenti di depan."
Sebentar lagi Hanzel akan tiba di toko kue milik ibunya, tetapi di pinggir jalan dia melihat ada toko coklat kesukaan ibunya. Dia lupa membelikan oleh-oleh untuk ibunya tersebut, makanya dia memutuskan untuk membeli coklat yang banyak untuk ibundanya.
"Sepertinya ini cukup," ujar Hanzel setelah membeli sekotak coklat kesukaan Ibundanya.
Di saat Hanzel ingin naik motor kang ojek, Hanzel melihat ada anak dan juga ibunya di pinggir jalan. Yang menjadi perhatiannya adalah anak itu sedang menangis, ibunya bukannya menenangkan tetapi malah ikut menangis.
Hanzel yang merasa penasaran akhirnya menghampiri keduanya, dia ingin tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"Bu, Cia udah tiga bulan gak bayaran. Kata pak guru, Cia akan dikeluarkan dari sekolah."
Anak perempuan itu terlihat cantik sekali, jika diperkirakan usianya baru saja 7 tahun. Namun, penampilannya terlihat lusuh, wajahnya juga pucat.
"Maaf ya, Nak. Untuk saat ini ibu belum punya uang, dagangannya lagi sepi. Doakan biar dagangan Ibu laris, biar Ibu bisa bayar biaya sekolah kamu."
Hanzel memerhatikan wanita itu, isinya terlihat lebih tua darinya. Cantik, tapi baju yang dipakai juga terlihat kurang layak. Di wajahnya terlihat kesedihan yang mendalam, sepertinya mereka adalah anak dan ibu yang begitu kesusahan.
Hanzel juga melihat ada keranjang kue di samping wanita itu, kue kukus yang dijual terlihat masih banyak. Masih sepertiganya, Hanzel menjadi iba dibuatnya.
"Ehm! Maaf, Mbak. Kuenya berapaan ya?" tanya Hanzel.
Wanita itu langsung menolehkan wajahnya ke arah Hanzel, dia begitu senang karena ada yang menanyakan kue miliknya.
"Satunya lima ribuan, mau beli berapa?"
"Kalau saya borong semuanya berapa ya?"
Wanita itu semakin senang mendengar Hanzel akan memborong dagangannya, dia langsung menghitung dagangannya yang ada di dalam keranjang itu.
"Semuanya ada lima puluh bungkus, berarti dua ratus lima puluh lima ribu," jawab wanita itu antusias.
"Oke, saya bayar." Hanzel langsung memberikan uang yang disebutkan oleh wanita itu. "Maaf, tadi saya dengar anaknya belum bayar uang bulanan. Memangnya kalau boleh tahu berapa uang bulanannya?"
"Eh? Kenapa memangnya?"
"Hanya ingin tahu saja," jawab Hanzel.
"Tiga ratus tujuh puluh lima ribu, uang dagang sehari-hari kepakai untuk makan dan juga bayar kontrakan."
Hanzel tak banyak bicara, dia langsung mengambil uang sebesar lima ratus ribu dan memberikannya kepada anak dari wanita itu.
"Cia, ini untuk bayar uang sekolah. Jangan lupa belajar yang benar ya," ujar Hanzel.
"Makasih, Om ganteng. Cia pasti tidak akan dimarahi pak guru lagi, pasti Cia gak akan dikeluarkan dari sekolah."
"Ya, Sayang. Om pergi dulu," ujar Hanzel yang langsung pergi menuju motor kang ojek yang sejak tadi sudah menunggu.
"Tunggu! Anda siapa? Rumahnya di mana? Saya memang miskin, tapi saya bukan pengemis. Kalau nanti saya sudah mendapatkan uang, pasti saya akan menggantinya."
"Nama saya Han, sebenarnya saya ikhlas memberikan uang itu kepada putri anda. Tapi, kalau memang anda mau menggantinya, saya akan terima."
Hanzel tahu jika wanita itu merasa senang karena sudah mendapatkan biaya untuk sekolah putrinya, tetapi di satu sisi wanita itu juga pasti merasa sedih karena tiba-tiba saja dia memberikan uang itu tanpa sebab.
Hanzel juga menyadari kalau wanita itu adalah seorang pekerja keras, dia tidak mau menyinggung perasaan dari wanita itu.
"Doakan saya agar jualannya laku, suatu saat jika saya memiliki uang, pasti saya akan menggantinya."
"Iya, Mbak. Semoga dagangannya laris, biar bisa menjalani kehidupan yang lebih baik."
"Terima kasih doanya," ujar wanita itu.
Hanzel menganggukkan kepalanya, lalu pria itu segera pergi dari sana karena sudah merindukan ibunya.
"Umi!" teriak Hanzel ketika dia tiba di depan toko kue dan melihat ibunya sedang melayani pembeli.
"Baby Han!" jerit Khadijah ketika dia melihat putra tampannya sudah datang.
Wanita itu bahkan langsung berlari dan memeluk putranya dengan erat, dia tidak menyangka jika putranya itu akan datang sebelum memberitahukan dirinya.
"Kamu datang, Baby?"
"Umi, aku udah gede. Jangan panggil Baby lagi," protes Hanzel.
"Sorry, tapi sebesar apa pun kamu, tetap saja bagi Umi kamu adalah Baby Han. Bayi kecilnya Umi," ujar Khadijah.
"Umi, malu ih. Aku ngambek ih," ujar Hanzel yang langsung mengurai pelukannya. Lalu, Dia memberikan kotak coklat yang sudah dia beli dan segera masuk ke dalam toko kue.
Khadijah hanya terkekeh sambil menggelengkan kepalanya, karena setiap kali dia memanggil putranya dengan sebutan 'baby Han', pasti dia akan marah.
Di satu sisi dia juga merasa senang karena melihat putranya, putranya itu terlihat begitu sehat dan juga tampan.
"Anak ini, sekarang sudah mulai bisa bikin kejutan." Khadijah lalu melangkahkan kakinya untuk menemui putranya.
Hanzel yang marah karena dipanggil 'baby Han' oleh ibunya nampak berjalan dengan tergesa, hingga tanpa sengaja pria itu menabrak seorang pria berjas yang sedang berjalan berlawanan arah dengan dirinya.
Karena ulahnya, kue yang dibawa oleh pria itu sampai terjatuh. Baju pria itu juga sampai kotor, karena ada potongan kue yang mengenai jas yang dia pakai.
"Ya ampun, baju gue!" keluh pria itu.
"Sorry, Kak. Gue gak sengaja, kuenya gue ganti. Untuk jasnya cuma kotor dikit, bisa dibersihkan di toilet."
"Ck! Padahal gue lagi buru-buru, istri gue minta kue ini."
"Santai, Kak. Kuenya gue ganti, kalau buru-buru jasnya juga bisa saya ganti. Sebentar," ujar Han yang langsung meminta pelayan yang ada di sana untuk mengganti kuenya.
Hanzel juga meminta pelayan untuk mengambilkan jas miliknya di dalam kamarnya, karena dia tidak mungkin meninggalkan pria itu sendirian di sana.
Tak enak rasanya sudah berbuat salah tapi ditinggalkan, aku takutnya dia akan disangka lari dari pertanggungjawaban.
"Sekali lagi sorry, Kak." Hanzel membungkuk beberapa kali.
"Tak apa, lain kali lebih hati-hati anak muda."
"Iya," jawab Hanzel.
Pria itu pergi setelah mendapatkan ganti kuenya dan juga ganti jasnya, selepas kepergian pria itu Hanzel nampak mengerutkan dahinya.
"Pria itu kenapa mirip banget sama anak yang tadi aku temui, ya. Dia mirip Cia, sangat mirip. Cuma beda jenis kelamin aja," ujar Hanzel.
"Ada apa, Nak?"
"Tadi gak sengaja aku nabrak orang, kuenya tumpah. Aku udah ganti sih, tapi duitnya ke Umi belum aku kasih."
"Udah gak apa-apa, sekarang mending kita makan malam aja. Abis itu kita kangen-kangenan, Umi pengen denger kamu cerita."
"Iya, Umi. Kalau gitu kita makan, kebetulan Han lapar dan ingin mencicipi masakan Umi."
"Iya, Sayang. Sepertinya benar apa yang dikatakan orang tua dulu, kalau ikatan anak dan juga orang tua itu sangatlah kuat. Tadi tiba-tiba Umi pengen banget masak makanan kesukaan kamu," ujar Khadijah.
"Oiya?"
"He'em, yuk ah makan."
Keduanya akhirnya makan malam bersama, makan malam kali ini terlihat begitu istimewa bagi keduanya, karena bisa bersama setelah sekian lama berpisah.
Keesokan harinya Hanzel membantu ibunya di toko kue, ramai sekali pengunjung yang datang. Bahkan, yang minta diantarkan pun pesanannya begitu banyak.
"Umi, apa ada yang bisa Han bantu?"
"Loh, kok anak Umi gak pergi ke resto? Bukannya udah janjian sama kakek buat ketemuan di resto?"
Hanzel diminta untuk mengelola resto yang sudah diwariskan oleh kakeknya, karena selama ini kakeknya itu meminta orang kepercayaannya untuk mengelolanya.
Tadi malam Khadijah sudah memberitahukan ayahnya kalau putranya itu sudah tiba di tanah air, tentu saja Aksa begitu antusias ingin langsung menyerahkan beberapa resto yang sudah diwariskan itu kepada cucunya.
"Han sebenarnya belum pengen mimpin resto, Umi. Masih pengen kangen-kangenan sama Umi, boleh gak sebulan aja bantu Umi dulu? Nanti baru urus resto," pinta Hanzel.
Hanzel saat ini hanya memakai kaos pendek dipadupadankan dengan celana pendek selutut, tetapi tetap saja pria itu terlihat tampan sekali.
"Kamu ini, tapi kakek setuju gak, kalau kamu bantu Umi dulu?"
"Setuju dong, Umi. Apa perlu aku telpon kakek?"
"Gak usah, ya udah bantu umi dulu. Anterin kue pesanan pelanggan, mau?"
"Mau, Umi."
"Tapi anternya pake motorloh!"
"Gak apa-apa, Han bisa."
"Jangan lupa pakai helm sama jaket," ujar Khadijah.
"Siap, Umi!"
Akhirnya Hanzel pergi menggunakan motor menuju tempat pengiriman, setelah mengantarkan pesanan pembeli, tentunya pria itu berniat untuk kembali ke toko kue.
Namun, saat perjalanan pulang dia melihat anak kecil yang sedang berjalan sambil meringis kesakitan. Anak itu tak memakai sepatu, saat Hanzel perhatikan, jempol kaki anak itu nampak berdarah.
"Eh? Bukannya itu Cia?"
Hanzel dengan cepat menghampiri anak itu, dia mematikan mesin motornya dan langsung menegur anak cantik itu.
"Hay, Cantik. Kok kakinya berdarah? Kenapa?"
"Hai, Om ganteng. Sepatu Cia udah kekecilan, tadi ada lomba lari. Jadinya kaki aku lecet sampai berdarah," jawab Cia.
"Kenapa gak beli sepatu baru?"
"Kata Ibu belum punya uang, yang yang dari Om kemarin dibayarin ke sekolah. Sisanya dipake bayar utang," ujar Cia.
Walaupun anak itu baru berusia 7 tahun, tetapi kehidupan yang sulit membuat dirinya begitu paham akan kehidupan ibunya yang begitu sulit.
"Kasihan sekali, Om obati luka kamu mau?"
"Cuma luka kecil, Om. Dibasuh terus dikasih Betadine juga pasti sembuh," jawab Cia.
"Nggak sakit emang?"
"Sakit, Om. Tapi, akan lebih sakit liat ibu nangis kalau aku cengeng karena luka sedikit seperti ini. Cia gak mau bikin ibu nangis, Cia gak mau bikin ibu sedih."
Hanzel merasa iba sekali terhadap gadis kecil itu, dia menjadi merasa kalau dirinya harus terus bersyukur karena dilahirkan dari keluarga berkecukupan.
"Kalau gitu Om anter pulang mau?"
"Boleh, Om."
"Sekalian dibeliin sepatu mau?"
"Jangan, Om. Nanti utang Ibu sama Om tambah banyak," jawab Cia.
"Ini Om kasih spesial karena Cia anak pinter, gak utang."
"Tapi, kata Ibu Cia nggak boleh nerima uang ataupun pemberian barang dari orang lain secara cuma-cuma. Karena walaupun kita miskin, tetapi kami bukan pengemis. Kami harus bekerja keras untuk mendapatkan apa yang kami mau, bukan dengan cara meminta apalagi mengemis."
Oh! Hati Hanzel semakin tersentuh mendengar apa yang dikatakan oleh anak itu, anak sekecil itu sudah dirasa begitu dewasa sekali.
"Dengarkan Om, Cia. Kamu harus tetap sekolah, sekarang Om akan belikan keperluan untuk sekolah. Nanti kalau Cia udah gede, udah kerja, Cia bisa bayar utangnya sama Om. Mau?"
Anak kecil itu terlihat begitu berpikir dengan keras, sangat lucu sekali di mata Hanzel. Anak itu nampak mengerutkan keningnya dengan bibir yang mengerucut.
"Jangan terlalu lama berpikir, Om cape nih nunggunya."
"Boleh deh, Om. Tolong belikan sepatu Cia, tapi bayarnya nanti kalau Cia udah gede."
Cia selalu diajarkan oleh ibunya untuk tidak meminta-minta kepada orang lain, walaupun mereka miskin tetapi mereka bukan pengemis. Hidup itu harus bisa berdiri di atas kaki sendiri, selalu itu yang dibilang oleh ibunya, Sahira.
"Siap, Cantik. Yuk berangkat," ajak Hanzel sambil menepuk jok motor yang sedang dia tumpangi.
"Ayo, Om. Tapi beneran ya, nagihnya jangan kecepetan. Tunggu Cia gede dulu," ujar Cia.
"Siap, Sayang," jawab Hanzel.
Jarak rumah Cia dari sekolahan memang tidak jauh, makanya Sahira, ibunya Cia tidak pernah menjemput anak itu ataupun mengantarkannya. Anak itu benar-benar dididik untuk mandiri sejak dini.
Sahira selalu berkata kepada putrinya jika hidup itu sangatlah kejam, jangan cengeng. Karena anak cengeng hanya akan dapat kesedihan dalam hidupnya.
Setiap pagi Sahira akan jualan nasi uduk di depan kontrakan kumuhnya, hanya jualan sedikit karena modalnya tak ada. Selesai jualan nasi uduk., dia akan langsung membuat kue untuk dijual keliling.
"Maaf ya, Nak. Ibu tak bisa mengantarkan atau menjemput kamu sekolah, ibu harus menjemput rezeki."
Selalu kata-kata itu yang keluar dari mulut Sahira, Cia yang memang sudah paham tak pernah banyak bicara. Sahira yakin jika ibunya sangat mencintainya, Sahira mencari uang untuk menghidupi dirinya.
"Kenapa Cia belum pulang?"
Sudah hampir satu jam Cia tak sampai di rumah, padahal anak itu selalu tiba sepuluh menit setelah waktu pulang sekolah selesai.
"Duh! Apa Cia sakit dan masih dia sekolah ya?"
Sahira terlihat begitu khawatir sekali, wanita itu baru saja selesai membuat kue. Dia tak menata kue itu di atas wadah, tetapi dia malah merapikan penampilannya dan bersiap untuk pergi.
Dia ingin pergi ke sekolahan putrinya, tetapi saat dia baru membuka pintu kontraknya, Sahira dikagetkan dengan kedatangan dari Hanzel dan juga Cia.
"Cia? Kenapa pulang telat? Kenapa pulangnya dianterin orang lain? Apa kamu sakit?"
Hanzel baru saja menurunkan Cia dari motornya, pria itu lalu ikut turun dan menggendong Cia. Dia menghampiri Sahira yang kini menatap putrinya dengan wajah cemasnya.
"Maaf karena aku tidak meminta izin terlebih dahulu kepada Mbak, tadi kaki Cia terluka. Sepatunya bolong, jadi aku belikan sepatu baru."
Sahira menolehkan wajahnya ke arah Hanzel, tentu saja dia masih ingat dengan wajah pria itu. Wajah pria yang sudah memberikan dirinya uang untuk membayar sekolah bulanan Cia.
"Kamu bukannya kemarin yang kasih duit buat Cia sekolah ya? Kenapa bisa ketemu Cia?"
"Anu, Mbak. Tadi saya lagi nganter kue, terus ketemu Cia. Jadinya sekalian bawa dia ke toko sepatu, sama beli beberapa baju."
Sahira kembali diam sambil menatap penampilan Hanzel yang nampak biasa saja, tak lama kemudian dia menatap motor milik anak buah ibunya Hanzel.
"Ya ampun! Kerjaan kamu pengirim kue?"
"Aku, aku---"
Belum sempat Hanzel menyelesaikan ucapannya, Sahira sudah terlebih dahulu memangkas ucapan dari pria itu. Hal itu dia lakukan karena dia mengira kalau Hanzel merupakan pria biasa yang begitu bekerja keras.
Pria itu dikira hanya pelayan toko yang selalu mengantarkan kue ke pelanggan, penghasilannya pasti tidak seberapa. Kalau dipakai untuk membelikan baju dan juga sepatu putrinya, pasti uang gaji pria itu langsung habis dalam sehari.
"Duit gaji kamu pasti abis buat beli sepatu dan baju Cia, maaf. Aku akan berusaha untuk menggantinya," ujar Sahira tak enak hati.
"Tak apa, Mbak. Santai, aku masih ada uang."
"Kamu itu terlalu mementingkan orang lain, nanti bagaimana kamu makan dalam setiap harinya kalau duitnya dipake keperluan Cia?"
"Santai, Mbak. Aku masih ada duit, oiya. Aku juga beli beberapa baju buat Mbak, dipake ya."
Hanzel memberikan plastik berisikan baju untuk Sahira, wanita itu semakin tak enak hati. Baru kali ini ada orang yang tak mengenalinya tetapi begitu baik kepadanya.
"Aku tak bisa menerima ini," ujar lesu.
"Terima aja, Mbak. Aku ikhlas, jangan nolak rezeki."
"Tapi, aku---"
"Bu, Cia yang pilih bajunya. Pasti ibu cantik pake baju itu, jangan khawatir. Nanti kalau Cia udah gede, uang bajunya Cia ganti. Cia mau kerja keras, biar bisa kasih ibu banyak uang."
Sahira langsung menangis mendengar apa yang dikatakan oleh putrinya, sedih sekali berada di titik rendah seperti itu. Padahal, dulu dia terlahir dari keluarga kaya. dia hidup dalam bergelimang harta.
Namun, karena diceraikan oleh suaminya di malam pertamanya Sahira langsung diusir oleh keluarganya sendiri. Dia tidak dipercaya oleh keluarganya dan keluarga dari pihak suaminya.
Sahira saat itu benar-benar dianggap hina karena di malam pertamanya Sahira dinyatakan hamil, setelah capek mengadakan resepsi pernikahan, wanita itu pingsan.
Saat diperiksa ke dokter, ternyata wanita itu hamil. Suaminya langsung menceraikannya di malam pertamanya, pria itu beralasan tidak mau memiliki istri yang sudah tidak suci lagi.
Padahal, 1 bulan yang sebelum mereka menikah, saat mereka melaksanakan pra wedding dia dan juga kekasih tercintanya melakukan hubungan enak itu sebelum mereka menikah. Keduanya melakukannya dengan penuh semangat.
Sahira memberikan kesuciannya kepada pria itu sebelum mereka menikah, dia rela melakukannya karena begitu mencintai pria itu.
"Mas, padahal kita nikahnya bentar lagi loh. Seharusnya kita tidak melakukannya," ujar Sahira setelah mereka melakukan olah raga enak itu.
"Santai saja, Sayang. Toh kita akan menikah, aku pasti akan bertanggung jawab."
Itulah kata-kata pria yang dianggap sebagai lelaki sejati oleh Sahira, tetapi nyatanya pria itu adalah pria yang begitu menyakiti dirinya. Setelah peristiwa itu, dia keluar dari keluarganya.
Dia hidup dalam kehinaan, maka dari itu dia sengaja hidup di tempat yang kumuh. Selain karena tidak memiliki uang untuk menyewa tempat yang lebih baik, dia juga tak ingin berhubungan dengan keluarganya yang memang orang terpandang itu.
Pernah satu kali dia datang untuk minta dikasihani ke kediaman orang tuanya, tetapi dia malah diusir dan dihina-hina.
Sahira juga sempat mencari tahu kenapa suaminya dengan teganya menceraikan dirinya di malam pertamanya, bahkan dengan teganya pria itu mengatakan kalau wanita itu adalah wanita murahan. Wanita yang dengan tak segan menjajakan tubuhnya kepada pria lain.
Setelah beberapa waktu, ternyata Sahira paham kalau perusahaan pria itu sedang ada di bawah. Pria itu sengaja menceraikannya dan menikahi wanita kaya, agar perusahaannya terselamatkan.
Sahira sadar kalau ayahnya bukanlah pria yang gampang diporotin uangnya, makanya pria yang dia cintai itu dengan teganya menuduh dia yang macam-macam dan memilih wanita lain untuk dijadikan istri sekaligus penyelamat perusahaannya.
"Baiklah, bajunya aku terima. Tapi lain kali jangan membelikan aku dan Cia baju lagi, aku tak enak hati."
"Oke, kalau begitu aku pamit," ujar Hanzel yang merasa tak perlu berlama-lama lagi di sana.
"Oke! Makasih, Om baik!"
"Sama-sama, Sayang." Hanzel mengusap puncak kepala anak itu dengan penuh perhatian.
Terlihat sekali jika dia begitu senang, Sahira jadi semakin sedih karena anak itu tidak pernah sekalipun merasakan kasih sayang dari ayahnya. Sahira tempat memperhatikan logo kotak kue yang ada di belakang motor pria itu, Sahira tahu jika logo kue itu sudah terkenal di pusat kota.
Toko kue Callista, toko kue milik Najma. Nenek dari Hanzel, tokoh itu dulu dikelola oleh Najma. Sekarang dikembangkan oleh Khadijah, putri keduanya.
"Maafkan, Ibu ya, Nak. Karena ayah kamu tak pernah datang untuk memberikan kasih sayang untuk kita," ujar Sahira setelah Hanzel pergi.
"Bu, aku udah gede. Sekarang tolong bilang, apakah ayah ninggalin kita karena kita miskin atau bagaimana?"
Sahira tak ingin mengajarkan kebencian kepada anak itu, dia tersenyum penuh kasih lalu mengusap kedua pipit putrinya dengan begitu lembut.
"Ayah kamu menjadi pekerja di luar negeri, Sayang. Mungkin dia belum dapat uang banyak untuk membahagiakan kita, jadi belum pulang."
"Hem! Padahal kerja di sini juga bisa, kalau kerja di luar negeri terus, pasti susah dapet uang untuk ongkos pulangnya," ujar Cia dengan pemikirannya yang masih anak-anak.
Sahira tak menimpali ucapan anaknya, dia sungguh merasa sedih dan sampai menangis. Dia bahkan dengan cepat memeluk putrinya yang terlihat sekali ingin mendapatkan kasih sayang seorang ayah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!