Langit sore di Nganjuk berwarna keemasan, menyelimuti jalanan yang dipenuhi anak-anak sepulang sekolah. Suasana sore itu terasa tenang, dengan udara yang berangsur-angsur mendingin, tetapi tak kalah ramai oleh deretan motor dan mobil yang berlalu lalang.
Di salah satu sudut kota kecil ini, Zayyy melaju perlahan dengan motornya, membonceng Arif, teman lamanya sejak MTsN. Mereka berdua terlihat asyik mengobrol tentang berbagai hal, mengenang masa-masa sekolah yang kini terasa begitu jauh.
“Jadi kamu beneran mau ketemu Angelina?” tanya Zayyy dengan nada cengengesan, matanya melirik ke arah Arif dari kaca spion.
Arif menelan ludah, tampak sedikit gugup. "Iya, cuma mau ngobrol sedikit aja. Lagian dia kan teman lama, nggak ada salahnya, kan?"
Zayyy tertawa kecil, senyumannya mengundang Arif untuk lebih jujur. "Nggak ada salahnya, tapi lo seriusan nggak ada rasa lagi sama dia?"
Arif hanya menghela napas sambil menyandarkan tubuhnya di jok motor. “Udah lama berlalu, Zayyy. Lagian, kayaknya dia juga udah move on.”
Zayyy mengangkat bahu, seolah tidak peduli. "Oke, oke. Gue cuma nanya doang, bro."
Mereka berdua akhirnya tiba di depan sebuah rumah dengan pagar sederhana berwarna abu-abu yang terlihat baru dicat. Di depan pintu, berdiri seorang gadis dengan rambut panjang dan wajah yang teduh.
Itu Angelina. Melihatnya lagi setelah sekian lama, Zayyy tiba-tiba merasakan jantungnya berdebar sedikit lebih cepat, sebuah perasaan yang aneh baginya.
Sebagai sosok yang sering dianggap cuek dan jarang berkomitmen pada satu hubungan serius, detak jantung yang lebih cepat ini terasa seperti sebuah pertanda yang asing.
"Arif, Zayyy," sapa Angelina sambil melambaikan tangan. Suaranya lembut, tetapi penuh kehangatan. Senyumnya merekah, dan Zayyy dapat melihat bahwa dia tetap saja anggun seperti dulu, bahkan mungkin lebih dewasa dan menawan.
"He-hey, lama nggak ketemu," balas Zayyy sambil tersenyum, mencoba menyembunyikan perasaan canggungnya.
Angelina tersenyum balik, lalu menatap Arif dengan pandangan akrab. "Apa kabar, Rif?"
Setelah beberapa obrolan ringan dan basa-basi, Arif dan Angelina mulai larut dalam percakapan mereka. Zayyy, yang awalnya ikut mendengarkan, kemudian merasa seolah terabaikan dan memilih berdiri di sisi pagar rumah.
Ia memandang sekeliling, memperhatikan taman kecil di depan rumah yang tertata rapi, mencoba mengalihkan pikirannya. Namun, pandangannya terus saja kembali pada Angelina. Ada sesuatu pada cara dia tersenyum, cara dia tertawa, yang tampak memikat.
Setelah beberapa saat, Arif akhirnya berpamitan, tetapi sebelum mereka sempat pergi, Angelina menahan lengan Zayyy. “Zayyy, tunggu dulu,” panggilnya, membuat Zayyy menoleh dengan alis terangkat.
“Ada apa?” tanyanya, agak terkejut namun penuh penasaran.
Angelina tersenyum tipis, ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Besok ada acara sholawatan di sekolah lama kita, MTsN. Banyak teman-teman kita yang juga akan datang. Mungkin kamu mau ikut?"
Zayyy terlihat berpikir sesaat. Baginya, datang ke acara semacam itu mungkin bukan hal yang penting, tapi entah mengapa kali ini ia merasa ada dorongan untuk mengatakan ya. "Boleh, kalau nggak ada acara lain, aku datang."
Senyum di wajah Angelina semakin lebar, seolah ada sesuatu yang disimpannya untuk Zayyy. "Aku senang kalau kamu bisa datang. Terima kasih, ya."
Malam itu, sepulang dari rumah Angelina, Zayyy merasa ada yang berbeda. Pikirannya terus tertuju pada senyuman dan tatapan Angelina yang begitu tulus.
Ia mencoba mengabaikannya, tetapi setiap kali ia memejamkan mata, wajah Angelina kembali hadir, seolah terpahat di dalam benaknya. Ia pun akhirnya tersenyum kecil, sebuah perasaan yang lama tidak ia rasakan kini mengalir kembali.
Keesokan harinya, di acara sholawatan di aula sekolah MTsN, Zayyy berdiri di antara kerumunan, menyaksikan suasana aula yang penuh oleh teman-teman lama.
Banyak wajah yang dulu ia kenal kini sudah berubah, tetapi perasaan nostalgia membawa dirinya kembali pada kenangan indah masa lalu. Di tengah kebisingan, matanya secara otomatis mencari sosok Angelina, berharap ia sudah datang.
Tidak lama kemudian, Angelina memasuki aula bersama beberapa teman perempuan lainnya. Rambutnya disanggul rapi, mengenakan hijab biru muda yang membuatnya tampak lebih anggun.
Mata Zayyy terpaku pada sosoknya, mengagumi perubahan yang terjadi pada Angelina. Saat mata mereka bertemu, Zayyy merasakan getaran yang aneh. Dunia seakan berhenti berputar, dan sejenak, hanya ada mereka berdua di dalam aula itu.
Acara berlangsung khusyuk, dengan lantunan sholawat yang menggetarkan hati. Setelah selesai, Angelina mendekati Zayyy yang menunggu di luar aula, senyum tipis di bibirnya. "Terima kasih udah mau datang," katanya, nada suaranya penuh kehangatan.
"Ah, sama-sama. Senang bisa ketemu teman lama," jawab Zayyy, berusaha tetap tenang. Namun, dalam hatinya, ada sesuatu yang terus bergolak. “Kapan terakhir kali kita ngobrol ya, Lina?”
Angelina tertawa kecil, suara tawanya seperti melodi yang merdu di telinga Zayyy. "Sejak MTsN, rasanya kita jarang banget ngobrol kayak gini lagi."
Percakapan mereka mengalir begitu saja. Zayyy merasa nyaman berbicara dengan Angelina, sebuah perasaan yang jarang ia alami dengan gadis-gadis lain.
Meski ia dikenal cuek dan sering berganti-ganti teman dekat, Angelina tampak membawa sesuatu yang berbeda. Dia bukan hanya sekadar gadis pintar dengan ego tinggi dan banyak teman lelaki, tapi juga seseorang yang bisa membuatnya tertarik untuk mengenal lebih dalam.
Setelah acara itu, komunikasi mereka semakin sering terjadi. Melalui media sosial, mereka berbagi cerita, tawa, dan momen-momen kecil yang kadang sulit untuk diucapkan langsung.
Tanpa sadar, setiap percakapan membawa Zayyy dan Angelina semakin dekat. Meskipun tidak ada status atau ikatan resmi, mereka berdua menyadari bahwa ada ketertarikan yang lebih dari sekadar teman lama.
Pada suatu malam, saat Zayyy sedang mengobrol dengan Angelina lewat pesan, ia menerima sebuah pertanyaan yang membuatnya berpikir keras. “Kenapa kamu nggak pernah serius sama satu orang, Zayyy?”
Pertanyaan itu sederhana, tetapi terasa menusuk. Zayyy terdiam, mencari jawaban yang tepat. Akhirnya, setelah berpikir panjang, ia mengetik jawaban singkat, “Karena mungkin aku belum ketemu orang yang beneran bisa bikin aku berubah.”
Angelina membalas cepat, “Jangan main-main terus, Zayyy. Orang yang tulus nggak akan nunggu selamanya, loh.”
Kata-kata Angelina membuat Zayyy merenung. Di balik sikap cuek dan gaya santainya, ternyata ada sisi dalam dirinya yang mulai mempertanyakan cara hidupnya. Angelina mungkin menjadi salah satu dari sedikit orang yang mampu membuatnya berpikir lebih dalam.
Pertemuan pertama mereka yang sederhana ini bukan hanya sekadar kebetulan. Ini adalah awal dari perjalanan panjang yang mungkin penuh konflik, tawa, pertanyaan, dan perasaan yang lambat laun mulai tumbuh di antara mereka.
Dan, untuk pertama kalinya, Zayyy merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan biasa. Sesuatu yang mungkin membuatnya bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia akan siap berubah untuk orang yang mungkin berharga lebih dari yang pernah ia sadari.
Setelah pertemuan itu, hubungan antara Zayyy dan Angelina terasa berbeda. Percakapan ringan yang awalnya sekadar basa-basi kini berubah menjadi obrolan mendalam yang membuka sisi lain dari keduanya.
Zayyy, yang terbiasa bersikap santai dan tak terlalu peduli pada perasaan orang lain, mulai merasakan sesuatu yang baru. Seperti ada perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, sesuatu yang membuatnya ingin mengenal Angelina lebih jauh.
Minggu berikutnya, Zayyy kembali mengunjungi MTsN untuk menghadiri acara alumni tahunan. Banyak teman lama yang ia temui, tetapi ada satu sosok yang diam-diam ia harapkan hadir – Angelina.
Namun, hingga acara dimulai, sosoknya tak juga terlihat. Aula ramai oleh obrolan dan tawa, suasana nostalgia yang hangat menyelimuti seluruh ruangan.
Zayyy bergabung dalam percakapan, berbincang dengan teman-teman lama yang kini tampak lebih dewasa dan sibuk dengan kehidupannya masing-masing.
Di tengah keramaian, ponselnya tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk dari Angelina. “Kamu di acara alumni, kan? Aku nggak bisa hadir. Lagi ada urusan keluarga. Maaf ya…”
Zayyy merasa kecewa, meskipun ia tahu tak seharusnya begitu. Ia membalas dengan singkat, “Nggak apa-apa, Lina. Semoga semuanya lancar, ya.”
Namun, setelah ia mengirim pesan itu, perasaan kecewa dan rindu justru semakin menguat. Tanpa kehadiran Angelina, acara alumni itu terasa hampa baginya. Teman-teman yang dahulu ia anggap dekat kini seperti orang asing.
Segalanya berubah seiring berjalannya waktu, tetapi ada satu hal yang tetap sama – perasaannya terhadap Angelina. Ia menyadari bahwa perasaan yang selama ini dianggapnya biasa ternyata memiliki makna yang lebih dalam.
Malam itu, ketika pulang dari acara alumni, Zayyy tidak langsung menuju rumah. Ia memutuskan untuk melewati Bukit Surga, tempat yang dulu sering ia datangi bersama teman-temannya.
Bukit ini memiliki pemandangan indah yang memperlihatkan lampu kota Nganjuk di kejauhan, berkelip-kelip di bawah langit malam yang penuh bintang. Di tengah sunyi malam, pikirannya kembali melayang pada sosok Angelina. Sejak kapan ia merindukan kehadirannya sedalam ini?
Bukit itu penuh kenangan bagi mereka berdua. Pernah suatu hari di tahun terakhir MTsN, Zayyy dan Angelina datang ke sini bersama sekelompok teman. Mereka duduk berjam-jam, berbicara tentang masa depan, cita-cita, dan impian.
Angelina bercerita bahwa ia ingin menjadi seseorang yang berguna bagi orang lain, seseorang yang mampu membuat perubahan. Di mata Zayyy, Angelina adalah sosok yang unik; ia cerdas, ambisius, tetapi tetap hangat dan peduli.
Duduk sendirian di atas bukit, Zayyy menghela napas panjang. Semua kenangan itu muncul begitu jelas di benaknya, seolah baru terjadi kemarin.
Ia mulai menyadari betapa besar pengaruh Angelina dalam hidupnya, meski mereka tidak lagi berstatus sebagai sepasang kekasih. Kenangan yang dulu terasa biasa kini mendadak memiliki makna yang mendalam.
“Kenapa harus kamu, Lina?” gumamnya pelan, seolah berharap angin malam bisa membawa kata-katanya ke tempat Angelina berada.
Pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab. Apakah Angelina pernah merasakan hal yang sama? Ataukah ia hanyalah satu dari sekian banyak teman pria dalam hidupnya? Zayyy tahu bahwa Angelina memiliki banyak teman lelaki yang dekat dengannya, sesuatu yang dulu tak terlalu ia pedulikan tetapi kini mulai membuatnya merasa cemburu.
Saat larut dalam pikirannya, tiba-tiba ia mendengar suara motor mendekat. Ia menoleh dan mendapati seorang teman lamanya, Reza, berjalan mendekat sambil tersenyum kecil. “Eh, ngapain lo di sini, Zayyy? Sendirian lagi?”
Zayyy tertawa pelan, lalu menyenggol Reza. “Iseng aja. Lagi pengen merenung.”
Reza duduk di sampingnya, memandang pemandangan kota yang terbentang di hadapan mereka. Mereka berbincang tentang berbagai hal, dari kenangan masa sekolah hingga rencana masa depan. Di tengah obrolan, Reza tiba-tiba menyinggung Angelina.
“Gue denger lo deket lagi sama Angelina. Beneran tuh?” tanyanya, nada suaranya setengah bercanda namun penuh rasa ingin tahu.
Zayyy mengangkat bahu. “Ya… kita cuma ngobrol-ngobrol aja, Za. Teman lama, tahu sendiri lah.”
Reza tertawa kecil, seolah tidak percaya. “Teman lama, tapi kayaknya lo ada rasa, ya? Nggak perlu ditutup-tutupin, Zayyy.”
Zayyy menghela napas, menyadari bahwa Reza bisa membaca perasaannya dengan jelas. “Gue juga nggak tahu, Za. Dia… Dia beda. Selalu beda. Tapi, gue nggak yakin dia ngerasain yang sama.”
Reza menepuk bahu Zayyy, memberikan dukungan tanpa banyak kata. “Kadang, kita nggak tahu apa yang kita miliki sampai kita kehilangannya, Zayyy. Kalau lo emang serius, tunjukin aja. Jangan sampai nyesel nantinya.”
Malam itu, kata-kata Reza terus terngiang di kepala Zayyy. Ia tahu Reza benar. Jika memang Angelina memiliki tempat istimewa di hatinya, maka ia harus mengambil langkah lebih berani.
Namun, ia juga tidak ingin mengganggu kehidupan Angelina yang mungkin sudah bahagia dengan pilihannya sendiri. Setelah berpisah dengan Reza, Zayyy pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk, antara keinginan untuk maju dan keraguan yang terus menghantui.
Di hari-hari berikutnya, Zayyy mencoba untuk tetap tenang. Ia berusaha menekan perasaannya, menyibukkan diri dengan kegiatan sehari-hari, namun tetap saja sosok Angelina terus hadir dalam pikirannya. Di sela-sela kesibukannya, ia sesekali mengirim pesan pada Angelina, menanyakan kabarnya atau sekadar berbagi cerita.
Suatu hari, saat mereka sedang mengobrol di aplikasi pesan, Angelina mengirimkan pesan yang membuat Zayyy terpaku.
“Zayyy, kamu pernah ngerasa nggak kalau hidup ini kadang terlalu rumit?”
Pertanyaan itu sederhana, tetapi memiliki makna yang dalam. Zayyy membaca pesan itu berulang kali sebelum membalasnya, berusaha mencari kata-kata yang tepat.
“Kadang-kadang. Tapi mungkin karena kita sendiri yang bikin rumit, nggak sih? Kenapa tiba-tiba nanya gitu, Lina?”
Ada jeda sebelum Angelina membalas. “Aku cuma lagi mikir. Terkadang aku merasa sulit buat ngertiin perasaan sendiri. Seolah-olah ada banyak yang harus dipikirin, tapi nggak tahu harus mulai dari mana.”
Jawaban itu membuat Zayyy berpikir. Mungkin Angelina juga mengalami perasaan yang serupa, kebingungan akan perasaannya sendiri, terutama terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tetapi ragu apakah itu akan membuat Angelina merasa tidak nyaman.
Setelah beberapa saat, ia memutuskan untuk mengirim pesan lagi. “Kadang yang kita butuhin cuma waktu, Lina. Nggak semua hal harus dipecahin sekarang juga. Mungkin ada baiknya kita ikutin aja perasaan kita pelan-pelan.”
“Iya, mungkin kamu benar,” jawab Angelina singkat. Meskipun pesan itu hanya beberapa kata, Zayyy merasa ada kedekatan di antara mereka yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Percakapan itu membuat Zayyy semakin yakin bahwa ada sesuatu yang lebih dalam di antara mereka, sesuatu yang mungkin tak pernah ia sadari sebelumnya.
Ia menyadari bahwa hubungan mereka bukan sekadar kenangan masa lalu, melainkan sesuatu yang mungkin bisa tumbuh menjadi lebih dalam dan bermakna.
Namun, di balik semua perasaan itu, Zayyy tetap harus mencari cara untuk menghadapi hatinya sendiri dan memutuskan apakah ia siap mengambil risiko demi sesuatu yang selama ini hanya ada dalam bayangannya.
Zayyy berjalan sendirian di sepanjang jalan menuju Taman Nyawiji, membiarkan pikirannya melayang pada masa-masa bersama Angelina. Beberapa minggu terakhir ini, sejak percakapan terakhir mereka, perasaan yang ia pendam semakin sulit ditahan.
Pikirannya tak bisa berhenti memikirkan Angelina, hingga setiap detail kecil dari kenangan mereka bersama seakan muncul satu per satu, mengusik hatinya.
Dalam benaknya, Zayyy mulai bertanya-tanya: apakah semua ini hanya perasaan sesaat, atau ada makna yang lebih mendalam di baliknya?
Setibanya di Taman Nyawiji, Zayyy langsung menuju sebuah bangku yang menghadap ke arah kolam. Ia duduk, memandangi riak air yang bergerak tenang, seolah-olah sedang menenangkan hatinya yang penuh gejolak.
Di sini, di tempat ini, mereka sering menghabiskan waktu bersama—berbagi cerita, bercanda, hingga merajut harapan bersama.
Suara kicauan burung dan semilir angin sore yang lembut tak mampu mengusir kekosongan yang kini dirasakannya. Semua kenangan itu, kini hanya tersisa dalam ingatannya.
Saat Zayyy sedang terhanyut dalam lamunannya, tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. Ia terkejut dan langsung menoleh. Ternyata, Dito, salah seorang teman lama dari SMP, sedang berdiri di sampingnya sambil tersenyum lebar. “Wah, lama banget nggak ketemu di tempat kayak gini, Zay!” sapanya sambil duduk di samping Zayyy.
Zayyy tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. “Iya, Dit. Cuma lagi pengen tenangin pikiran aja. Banyak yang lagi gue pikirin belakangan ini.”
Dito mengangguk paham, lalu menatapnya dengan tatapan penasaran. “Ngomong-ngomong, gue dengar-dengar lo masih sering kontakan sama Angelina, ya? Lo emang beneran nggak bisa lepas dari dia, apa gimana?”
Zayyy menghela napas, sedikit terkejut bahwa rumor soal dirinya dan Angelina ternyata sudah menyebar di kalangan teman-temannya. “Nggak tahu, Dit. Banyak kenangan yang masih terpatri dalam pikiran gue. Walaupun kita udah berusaha buat masing-masing, tetap aja rasanya nggak bisa sepenuhnya melupakan.”
Dito tersenyum penuh pengertian. “Kalau gitu, lo kenapa nggak coba jujur sama perasaan lo, Zay? Kadang kita perlu berani ambil langkah yang mungkin terasa berat. Siapa tahu, itu yang dibutuhkan buat bisa benar-benar melangkah maju.”
Perkataan Dito terngiang-ngiang di telinga Zayyy, membuat hatinya bimbang. Malam itu, setelah kembali dari taman, Zayyy memutuskan untuk menghubungi Angelina. Ia mengambil ponselnya dan mengetik sebuah pesan singkat, namun sarat akan harapan.
"Lina, kamu ada waktu nggak besok? Aku pengen ngobrol langsung, ada hal yang pengen aku omongin," tulisnya dengan hati-hati. Setelah ragu sejenak, ia menekan tombol kirim dan menunggu dengan perasaan cemas. Tak lama, pesan dari Angelina masuk. “Boleh, Zay. Di mana kita ketemu?”
Perasaan lega bercampur bahagia menyelimuti hati Zayyy. “Bagaimana kalau kita ketemu di Bukit Surga? Tempat itu pasti bakal tenang dan nyaman buat ngobrol,” balasnya cepat.
Keesokan harinya, Zayyy tiba lebih awal di Bukit Surga, sebuah tempat yang mereka kenal sebagai tempat kenangan. Bukit ini terkenal dengan pemandangannya yang indah, terutama saat matahari mulai tenggelam di cakrawala.
Rerumputan hijau yang membentang luas dan pepohonan rindang menciptakan suasana yang damai. Dari sini, ia bisa melihat hamparan kota Nganjuk di kejauhan, dipenuhi cahaya matahari sore yang lembut.
Zayyy duduk di atas sebuah batu besar yang datar, merasakan angin sejuk yang bertiup di wajahnya. Dia merasa gugup dan berdebar, seolah-olah seluruh dunia hanya ada di antara dia dan Angelina.
Keterikatan emosional yang begitu kuat membuatnya merasa cemas, tetapi sekaligus bersemangat. Dia tidak tahu apa yang akan Angelina katakan, tetapi satu hal yang pasti—dia tidak ingin kehilangan kesempatan ini.
Setelah beberapa saat menunggu, Angelina tiba dengan langkah ringan, mengenakan pakaian sederhana namun tampak anggun.
Dia tersenyum, sebuah senyum yang selalu membuat hati Zayyy berdebar. Mereka duduk di atas rerumputan yang lembut, menikmati keheningan sore yang diiringi oleh hembusan angin yang sejuk.
Sambil memandang ke cakrawala, Zayyy mulai memberanikan diri membuka pembicaraan. “Lina, aku nggak tahu gimana cara yang tepat buat bilang ini, tapi aku merasa ada sesuatu yang belum selesai di antara kita.” Suaranya terdengar lirih namun penuh kesungguhan.
Angelina menatapnya dengan tatapan penuh perhatian, seolah sudah tahu apa yang akan dikatakan Zayyy. “Aku juga sering merasa begitu, Zay. Kita memang banyak berbeda, tapi entah kenapa selalu ada hal yang menarik kita kembali. Aku sendiri masih bingung dengan perasaanku.”
Mendengar pengakuan Angelina, Zayyy merasa ada beban yang terangkat dari hatinya. Ia tahu ini adalah momen yang tepat untuk jujur pada perasaannya.
“Aku sadar kalau aku nggak bisa ngelupain kamu, Lina. Banyak hal yang udah kita lewatin bersama. Dan mungkin… aku belum pernah benar-benar mencoba buat move on.”
Angelina tersenyum, menundukkan kepala sejenak, lalu menatapnya lagi dengan lembut. “Aku juga sering mikirin hal yang sama, Zay. Rasanya sulit buat benar-benar jauh dari kamu. Tapi aku takut, takut kalau kita berusaha lagi dan tetap gagal. Aku nggak mau hubungan kita jadi semakin rumit.”
Zayyy mengangguk, mengerti keraguan yang dirasakan Angelina. Ia pun merasakan hal yang sama—antara ingin berusaha lagi namun takut terluka.
“Iya, Lina. Aku juga ngerasa begitu. Tapi mungkin kita harus coba buat lebih jujur satu sama lain. Mungkin selama ini kita terjebak di antara kenangan dan harapan yang nggak pernah terungkap.”
Angelina kembali menatap ke arah cakrawala, kali ini sambil menggenggam tangan Zayyy. “Mungkin kita memang butuh waktu, Zay. Waktu buat saling mengenal lagi. Aku pengen mencoba, tapi dengan pelan-pelan, nggak terburu-buru.”
Seketika, angin bertiup kencang, membawa aroma rerumputan yang segar dan suara gemerisik dedaunan. Zayyy merasa seolah alam merestui keputusan mereka.
Dengan pelan, Zayyy meraih tangan Angelina dan menggenggamnya dengan lembut. “Aku berjanji akan memberi waktu untuk kita. Kita bisa mulai dari awal, dari dasar, tanpa ada tekanan.”
Angelina memandang Zayyy dengan mata berbinar. “Aku suka itu, Zay. Kita bisa mencoba lagi, sambil memperbaiki segala kesalahan yang mungkin terjadi sebelumnya. Mungkin kita bisa berusaha untuk lebih terbuka tentang perasaan kita, sehingga tidak ada lagi yang terpendam.”
Mereka berdua terdiam, menikmati keheningan yang terasa menenangkan. Perasaan yang dulu dipendam akhirnya terungkap, seolah bebannya perlahan mulai terangkat.
Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ada keinginan di hati mereka untuk saling mendukung dan mencoba memahami satu sama lain.
Saat matahari semakin meredup di balik bukit, Zayyy memandang Angelina dan berkata dengan tulus, “Makasih, Lina. Makasih buat mau dengerin aku dan mencoba ngertiin perasaanku.”
Angelina tersenyum lembut, “Aku juga harus bilang makasih, Zay. Kadang, kita nggak pernah tau kapan hal baik bakal datang dalam hidup kita. Mungkin, kita cuma perlu lebih sabar.”
Seiring waktu berlalu, mereka mulai berbagi rencana dan harapan untuk masa depan. Zayyy berbicara tentang impiannya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sementara Angelina mengungkapkan keinginannya untuk terlibat dalam kegiatan sosial.
Percakapan itu membawa mereka ke dalam dunia yang lebih dalam, di mana masing-masing saling mendukung mimpi satu sama lain.
Zayyy merasa terinspirasi oleh semangat Angelina. Dia bisa melihat betapa kerasnya dia bekerja untuk mencapai tujuannya. “Lina, aku percaya kamu bisa mencapai impianmu. Kamu punya bakat dan dedikasi yang luar biasa,” ujarnya penuh keyakinan.
Angelina tersenyum, terlihat lebih bersemangat. “Terima kasih, Zay. Aku akan berusaha keras. Dan aku juga berharap kamu bisa mencapai semua impianmu. Kita bisa saling mendukung, kan?”
“Pasti. Kita akan melakukan ini bersama,” jawab Zayyy dengan semangat.
Saat mereka berdiri untuk meninggalkan Bukit Surga, Zayyy merasakan harapan baru mengalir dalam dirinya. Mereka mungkin belum sepenuhnya memahami apa yang akan datang, tetapi mereka telah mengambil langkah pertama menuju kebersamaan yang lebih baik.
Hari itu menjadi awal dari bab baru dalam hidup mereka—sebuah perjalanan yang dipenuhi harapan, cinta, dan keinginan untuk saling memahami.
Zayyy dan Angelina melangkah pulang, diiringi oleh langit yang semakin gelap, di mana bintang-bintang mulai muncul satu per satu. Di dalam hati mereka, terpendam rasa syukur akan kesempatan kedua yang diberikan untuk saling mendalami dan mencintai.
Hari itu, di Taman Nyawiji, mereka menemukan kembali satu sama lain, dalam bentuk yang lebih kuat dan siap menghadapi tantangan yang ada.
Sambil berjalan berdua, mereka saling tertawa dan bercanda, melupakan semua kesedihan dan kekhawatiran yang pernah mengganggu mereka.
Momen-momen kecil itu terasa berharga, dan Zayyy tahu, apapun yang terjadi ke depannya, mereka tidak akan menghadapi semuanya sendirian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!