Namanya, Sera Ricardo. Gadis muda yang masih berumur 21 tahun. Ia kuliah di salah satu universitas terkenal dinegeri ini dan mengambil jurusan di Fakultas ekonomi.
Dimata orang tuanya, ia adalah gadis penurut, anggun, dan sopan. Segala bentuk perintah dan permintaan orang tuanya, diterima sepenuh hati.
Lihat saja, cara berpakaiannya, yang mengikuti mode sang ibu. Setiap hari sebelum ke kampus, ia harus menggunakan kemeja atau blouse. Rok dibawah lutut, flatshoes, dan tas mewah yang seharusnya tidak dipakai untuk kuliah.
Rambutnya tergerai lurus, seperti model iklan shampo di televisi. Anting berkilauan yang menyilaukan mata. Dan hal yang paling penting, ia harus berjalan dengan anggun, tegak, dan tersenyum seperlunya saja.
Namun, saat kedua kakinya berpijak dihalaman kampus. Ia berubah, seratus delapan puluh derajat. Semua pakaian mewahnya berganti menjadi pakaian, yang mungkin akan membuat orang tuanya shock.
Jeans yang sobek bagian lutut, kemeja kebesaran, dan sepatu kets. Jangan lupakan, tas ranselnya yang berwarna hitam dan pudar. Rambutnya pun, diikat dan digulung pendek.
Tidak ada yang tahu, statusnya dikampus, karena cara berpakaiannya yang sama dengan mahasiswa lain, meski ada beberapa mahasiswi yang berpenampilan seperti artis. Tapi, tidak menggunakan pakaian branded sepertinya.
Lalu, kemana semua pakaian mewahnya?
Sera memiliki supir dan asisten pribadi, yang akan mengikuti dan menunggunya dikampus. Untuk menjaga rahasia, mereka harus mendapat bayaran tutup mulut yang tidak murah. Selain itu, pekerjaan mereka menjadi dua kali lipat.
Contohnya, si asisten, sebut saja namanya Wita. Ia harus menyiapkan pakaian pengganti untuk ke kampus. Menghapus make up dan mendadani ulang sang nona muda. Belum lagi, saat mereka harus pulang ke rumah. Ia harus menyulap semuanya kembali semula, saat mereka meninggalkan rumah.
Sementara di supir, harus memarkir kendaraan yang cukup jauh. Dan harus menjemput, dititik penjemputan yang sudah ditentukan. Kadang, ia juga harus mengikuti sang nona, karena biasanya majikannya ini, kalau berakting harus totalitas.
Yah, Sera kadang mengikuti teman-temannya pulang, menggunakan sepeda motor. Dan minta diturunkan didepan minimarket atau pasar, dengan sejuta alasan.
"Turun disini?" Rio mengerutkan alis, sembari memandang pedagang sayur dibelakang Sera.
"Iya. Emak gue, jualan didalam."
"Jualan apa, sih? Gue bantu, deh. Biar cepat habis."
"Ngapain. Udah pulang sana. Kasitau yang laen, gue nggak bisa bantu buat spanduk."
"Oke deh. Buat spanduk doang, lu ikut juga nggak ngaruh."
"Sialan, lu!"
Rio terkekeh, lalu menancap gas motornya. Sera sendiri, masih mematung dengan memperhatikan sekitar. Melihat kiri kanan, dengan mata awas dan cermat. Sampai sebuah mobil mewah, berhenti didepannya.
"Non, apa tidak ada tempat lain? Disini becek. Kalau dilihat ibu, ban mobil kotor. Bisa ditanya lagi, saya." Pak Herman sudah mengeluh, saat Sera baru saja duduk dikursi belakang.
"Cerewet! Cuci aja, ribet banget. Nih!" Sera memberikan uang seratus ribu.
"Gitu dong, Non. Kalau cucinya dirumah, bisa runyam."
Duduk dengan diam, sembari membiarkan wajahnya dibersihkan sang asisten, untuk dimake up ulang.
"Non, nggak cape apa, tiap hari kayak gini? Kenapa nggak ngomong aja ke ibu?"
"Males," jawab Sera singkat dengan mata terpejam.
"Kenapa?"
"Karena gue malas dengar ceramah yang lamanya, ngalahin para ustad. Kalian pernahkan, ke mesjid? Ustad tuh kalau ceramah, paling lama sejam. Kalau mama, bisa berhari-hari, bahkan mungkin sebulan belum kelar."
"Hahahaha......"
Tawa Wita dan Pak Herman, pecah.
"Non, bisa aja."
Mereka tiba di pencucian mobil. Seperti biasa, sebelum turun, Sera meminta Wita dan Herman untuk mengecek sekitar. Siapa tahu, ada seseorang yang ia kenal.
"Aman, Non."
"Yakin?"
"Iya, Non. Orang sepi, begini."
Memang sepi. Hanya mobil mereka yang terparkir untuk dicuci.
Sera duduk menunggu, memasrahkan wajahnya untuk dipoles. Belum lagi, rambutnya yang harus di catok, agar lurus sempurna. Untungnya, di pencucian mobil ini, menyediakan colokan listrik.
Mobil sudah bersih. Pak Herman menunggu diluar, sembari merokok. Menunggu majikannya, berganti pakaian dalam mobil, dibantu Wita. Sudah biasa, setiap hari seperti ini. Kadang mereka harus berhenti didepan minimarket atau Mall, hanya sekedar untuk berganti pakaian.
Tiba dirumah. Seperti biasa, sang ibu sudah menunggu dihalaman rumah, sembari menyiram tanaman bunga yang seperti anaknya.
"Sore, Bu." Pak Herman dan Wita, langsung menyapa. Setelah, membuka pintu mobil untuk Sera.
"Sore," sahut Bela, dengan sorot mata memperhatikan mobil, "cuci mobil?"
"Iya, Bu. Non, Sera yang nyuruh."
"Mobilnya berdebu, Ma. Sera nggak nyaman," imbuh Sera, dengan penampilan yang sudah persis, saat ia meninggalkan rumah, pagi tadi.
"Ya, sudah. Ayo, masuk. Kebetulan Mama mau mengatakan hal penting."
Diruang tengah, Sera duduk bersama sang mama. Secangkir teh hangat, menjadi teman bercerita.
"Kita makan malam diluar," ujar Mama tiba-tiba.
"Terus, apa yang penting?"
Mama meraih cangkirnya, menyesap perlahan. Sementara, Sera duduk dengan kaki rapat dan punggung tegak. Seolah duduk didepan atasan kerjanya, sembari mendengarkan instruksi.
"Makan malam nanti, kita akan ditemani keluarga dari teman papa."
Sera seolah berhenti bernafas sejenak. Jantungnya terpacu secara tiba-tiba. Ia tahu, apa artinya. Ia tahu, kalimat apa yang akan dikatakan sang mama.
"Mama dan papa, akan menjodohkan kamu dengan putra mereka," lanjut Bella.
Sera mengepalkan tangan dengan erat. Ia ingin membantah, menolak, namun bibirnya terkunci dengan rapat. Sorot matanya, menunjukkan penolakan yang tidak mampu disampaikan bibirnya.
"Dia baik dan sopan. Terlebih lagi, dia sudah mapan, umur kalian juga tidak beda jauh. Mama dan papa, mengenal orang tuanya dengan baik. Jadi, jangan khawatir," lanjut Bella lagi, tanpa menyadari tatapan putrinya.
'Jangan khawatir', itu kalimat ibunya. Ia tidak mengerti, kenapa dengan gampangnya mengatakan kalimat itu, tanpa bertanya pendapatnya terlebih dahulu. Ia masih muda, masih ingin kuliah dan bekerja. Kenapa harus menikah?
Sera tertunduk dengan ritme napas mulai cepat. Ia berusaha menyinkronkan emosi dan akal sehatnya. Didepannya, sang mama masih terus mempromosikan calon menantunya.
"Kamu pasti akan menyukainya, jika kalian bertemu malam nanti. Mama dan papa, tidak mungkin salah memilih pasangan untuk kamu."
Pasangan, sialan!
"Orang tuanya adalah sahabat Mama dan papa. Kita juga bekerja sama dengan perusahaan mereka. Kamu masih bisa kuliah, setelah menikah. Kamu juga bisa bekerja dikantor Papa. Kami sudah merencanakannya dengan matang."
Benar-benar, rencana yang sempurna. Lalu, bagaimana dengan rencana masa depanku sendiri? Aku tidak mau terbelenggu dengan ikatan yang akan mengekang nanti.
Sera tidak tahan lagi, jika pasrah dan kembali menurut, seperti yang lalu-lalu. Ia akan benar-benar hancur kali ini.
Lalu, apakah ia akan menolak, memberontak? Apakah ia akan menunjukkan sifat aslinya yang selama ini terbungkus oleh keanggunan?
...🍓🍓🍓...
Sera melemparkan high heels, hingga ke sudut kamar. Begitu juga dengan tas mewahnya, yang memiliki nasib yang sama tragisnya. Sera langsung ambruk diatas kasur.
Menikah?
Sera berteriak, dengan wajah tertutup bantal. Pikirannya sudah di penuhi hal negatif. Jika tinggal bersama kedua orang tuanya, sudah membuatnya tertekan. Apalagi, harus tinggal bersama suami dan mertuanya.
Oh, my good! Mertua??
Sera langsung bangun, dengan wajah penuh kecemasan.
Yah, mertua. Di sosial media, banyak menantu yang mengeluhkan mertuanya. Dalam sinetron dan novel, juga memiliki tema yang selalu sama. Mereka tukang atur, memiliki tingkat ketidakpuasan setinggi langit, mereka juga suka memerintah, melebihi atasan dikantor. Belum lagi, selera dalam memasak, sudah seperti chef di restoran. Ditambah, hal membersihkan rumah, yang harus melebihi kebersihan vacum cleaner.
"Mampus! Gue, harus masak dan membersihkan rumah!" Sera mengusap wajahnya dengan kasar.
Selama hidupnya, ia belum pernah memasak, apalagi bersih-bersih rumah. Kamar pribadinya saja, dibersihkan oleh ART. Apa, ia harus belajar dari sekarang?
"Tidak, gue nggak mau berakhir menjadi menantu dan istri terdzalimi."
Sera bangkit dan berlari memegang handle pintu. Namun, ia seolah tersadar dan langsung berhenti. Ia adalah gadis penurut dan anggun. Jika ia menolak, sia-sia sudah usahanya selama ini.
Tapi,
Sera kembali duduk diatas ranjang, dengan wajah murung. Lalu, apakah ia hanya bisa pasrah?
Suara klakson mobil terdengar dari halaman rumah. Sera tahu itu, adalah ayahnya. Ia ingin mengadu dan meminta tolong. Tapi, serasa percuma. Ayah dan ibunya adalah satu paket. Ucapan ibunya adalah ucapan ayahnya juga.
"Apa gue, minggat aja, yah?"
Sera tertawa hambar. Lari pun, percuma. Ia hanya mahasiswa pengangguran. Jika ia kabur, ia hanya akan berakhir menjadi gembel dijalanan. Dan pada akhirnya, akan tetap kembali ke rumah orang tuanya.
Pukul tujuh malam. Sera membisu sepanjang perjalanan. Disampingnya, sang ibu masih berkoar-koar tentang calon menantunya. Tak habisnya, tentang kebaikan pria itu dan keluarganya.
Sera hanya menghela napas, berdoa ia segera tiba dan melihat langsung calon suaminya. Idih, suami... Sera bergidik ngeri. Bisa-bisanya, ia sudah mengakui calon suami.
"Ingat yah, Ser! Jangan malu-maluin Mama dan Papa!"
Sera hanya mengangguk, sembari melangkah masuk restoran. Pandangannya tertunduk lesu, melihat sepatu mewahnya menapaki lantai. Apa ia masih bisa memutar kembali langkahnya?
"Selamat datang, jeng. Ayo duduk!"
Pandangan pertama, jatuh kepada wanita yang jika dilihat masih tampak muda. Rambut coklat bergelombang, kulit putih dengan lesung pipi saat tersenyum. Matanya agak sipit, seperti orang asia pada umumnya.
"Dia putrimu?"
Sera tersadar dan dengan refleks menyalami tangan wanita itu. Yang tidak lain, adalah calon mertuanya.
"Sera, Tante."
"Wow, kau cantik, seperti ibumu. Ayo duduk, sayang."
Sera pasrah, saat wanita itu menarik salah satu tangannya. Dan, tanpa bertanya ia meminta Sera duduk disamping putranya.
"Kenalan dong, ini anak Tante."
Buset! Ganteng banget, woi!
Astaghfirullah, sadar Sera. Jangan tertipu, dengan wajah tampan.
"Sera." Sera mengulurkan tangan dan pria itu menyambutnya dengan tidak berminat dan tidak mengatakan apa-apa.
Cih! Biasa aja kaleee! Lu, pikir gue mau dijodohin ama lu.
Perbincangan antara orang tua terjalin dengan akrab. Sera dan pria yang disamping entah siapa namanya, hanya menarik napas panjang. Keduanya membisu, sembari menghabiskan minuman dan makanan diatas meja.
"Kalian ngobrol dong! Kalian harus mengakrabkan diri," ujar ayah pria itu.
Sera hanya tersenyum dengan palsu. Dalam hati, sudah memaki dan berandai-andai.
Akrab, akrab, apanya! Anak lu, kayak freezer gini! Masa gue yang ngajak duluan. Sorry ye!
"Kau sedang memaki ku?"
Deg!
Sera menoleh. Suara bariton yang terdengar seksi di pendengarannya.
OMG! Kenapa dia sangat tampan? Bibirnya?
Woi, sadar! Dia bisa baca pikiran kamu!
"Maaf, Kak. Memaki apa, ya?"
Relaks, Sera! Ingat, lu cewek anggun dan sopan.
"Cih, membosankan!" ujar pria itu.
Sera masih full senyuman, mendengar hinaan itu. Tapi, lihat kepalan tangannya yang sempurna dan bersiap ingin mendarat.
Gue tarik semua ucapan dan pujian gue. Sumpah! pengen banget hajar mukanya!
Entah apa yang dibicarakan para orang tua mereka. karena, saat ini Sera terfokus pada calon suaminya yang menyebalkan.
"Kau ingin menikah denganku?" tanya pria itu, yang menatap Sera penuh selidik. Seolah mencari sesuatu dalam kedua maniknya.
"Aku hanya menurut, Kak."
"Kau menurut saja, meski tidak suka, begitu?"
Sera mengangguk dengan wajah tersenyum bercampur pasrah. Ia adalah profesional dalam hal akting dan mimik wajah.
"Beri aku nomor ponselmu!" Pria itu memberikan ponselnya dan Sera dengan cepat menekan angka diatas layar.
"Kau masih kuliah, kan?" lanjut pria itu.
"Iya, Kak."
"Semester, berapa?"
"Enam, Kak."
"Kau tidak mau bertanya tentang ku?"
"Tanya apa, Kak?" tanya Sera kembali, dengan sok polosnya.
"Apa saja. Kita sedang mengakrabkan diri, istriku."
Sera dapat melihat seringai jahat di wajah pria itu. Senyum penuh makna yang dapat diartikan sebagai alarm untuknya. Tapi, bukan Sera namanya, jika tidak melawan.
Sera tersedak dan tentu saja itu adalah akting, yang harus totalitas.
Uhuk, uhuk, uhuk!
Semuanya menoleh dan dengan sigap sang calon suami memberikan segelas air.
"Gitu dong!" ujar sang calon ibu mertua.
Mereka tersenyum melihat keakraban calon pasangan ini. Padahal tidak tahu apa yang keduanya bicarakan.
"Maksud Kakak, apa?" tanya Sera dengan mengerutkan alisnya.
"Kenapa? Bukankah, itu pasti terjadi."
Oh, kau menantang musuh yang salah, Tuan.
"Tentu, Kak. Kita berdua tidak punya pilihan. Tapi, aku belum tahu, nama Kakak siapa?"
"Aku akan menelpon mu nanti," jawab pria itu yang masih enggan menyebutkan namanya.
Sok, misterius! Lu pikir, gue penasaran. Kagak!
Pertemuan itu pun berakhir, dengan kesepakatan. Mereka akan memberikan waktu, kepada kedua anak mereka, untuk saling mengenal lebih dulu. Setelah itu, baru akan akan menentukan tanggal yang tepat.
Sera membisu sepanjang jalan, tapi dalam hati sibuk mengomel. Orang tuanya, juga sibuk mempromosikan menantu mereka. Entah mengapa, sebelum dan sesudah pertemuan, mereka terus mengatakan hal yang sama.
"Bagaimana, mereka baik kan?" tanya sang Mama.
"Iya," jawab Sera singkat."
"Kalian harus sering bertemu, agar bisa mengenal. lebih jauh," imbuh sang Papa.
"Iya," jawab Sera lagi.
Jawaban singkat dan padat, bisa membuat pertanyaan kedua orang tuanya, selesai dengan cepat. Pada intinya, jika ia menolak, maka ceramah panjang akan menantinya. Dan itu akan memakan waktu yang lama dan membuat lelah pendengaran.
Didalam kamar, Sera tidak sendiri. Sang Mama, ikut menyusulnya. Dan tentu saja, melanjutkan hal yang dibicarakan dalam mobil. Dan Sera, hanya menjawab, iya dan iya.
Sampai, sebuah deringan telepon terdengar. Nomor asing tertera dalam layar. Sang Mama dengan sigap meraih ponsel putrinya dan menyetel dalam mode speaker.
"Hai, istriku!"
Bella girang minta ampun. Seperti ABG, yang kasmaran dan mendapat telepon pertama dari sang pacar.
...🍓🍓🍓...
Bella menyerahkan ponsel sang putri dengan senyum-senyum tidak jelas. Bahkan, mencubit paha Sera dengan gemas. Ia mengenal suara calon menantunya.
"Kenapa, Kak?"
"Jam berapa kamu selesai kuliah?"
"Jam empat, Kak."
"Aku akan jemput. Kita perlu bicara."
"Baik, Kak."
"Baiklah, selamat malam i-s-t-r-i-k-u."
Sang mama histeris minta ampun, seperti baru mendapat pernyataan cinta. Ia tersenyum, tertawa dan meliuk-liuk tidak jelas.
Ck, Oh mamaku tersayang, jika saja kau paham dia sedang menyindirku.
"Wah, Mama tidak sangka, loh. Dia langsung suka sama kamu."
Suka dengkulmu! Tuhan, beri gue kesabaran!
"Mama, mau beritahu papa kamu dulu." Bella melompat dari atas kasur. "Besok, kamu harus berdandan cantik," ujarnya lagi, pas diambang pintu.
Tak mau dibuat pusing, Sera memilih untuk membuka obrolan grup organisasi dikampus.
"Besok jangan lupa, gaess. Kita meeting, istirahat siang."
"Oke, sip."
"Spanduk, udah siap?"
"Belum, ready. Kegiatannya kan masih seminggu."
"Tahu.Tapi, kan bagus, kalo udah kelar. Kerjaan lain, masih banyak."
"Iya-iya."
Sera hanya membaca, tanpa meninggalkan komentar. Ia sedang malas, untuk berkoar- koar. Padahal, ia paling aktif jika ada masalah dan paling rajin memprotes.
Sera tidur terlentang, menatap langit-langit kamarnya. Menerawang jauh dan memikirkan hal pernikahan, yang tidak pernah terlintas sedikitpun dalam pikirannya. Jangankan menikah, pacaran saja tidak terbayang sama sekali.
Ia lebih menyukai menikmati masa muda, bersama teman-temannya. Memiliki pasangan, seperti mengikat rantai dikedua kakinya. Izin kesana kemari, jika ingin pergi. Sungguh melelahkan!
Sudah lelah dengan meminta izin pada orang tuanya. Ia harus meminta izin lagi, pada pasangan. Cih, membuang waktu. Ibarat ke pesta, mungkin makanan sudah habis, baru ia tiba.
🍓🍓🍓
Pukul delapan pagi. Sera sebenarnya, sudah lama bangun. Tapi, enggan bangkit. Ia sudah memprediksi, apa yang akan terjadi dimeja makan.
Sudah pasti nasehat sang ibu, yang membuat sarapannya selalu tersangkut di tenggorokan. Apalagi, kali ini nasehat sang ibu sepertinya akan lebih panjang.
Tok tok tok.
"Non, bangun! Ditunggu ibu dan bapak, sarapan!"
"Iya," teriak Sera.
Sera bangkit, masih menggunakan piyama. Rambutnya hanya diikat asal, dengan penjepit.
"Mama sudah siapkan baju ganti, untuk kamu ketemu menantu Mama."
Kalimat pembuka, saat Sera baru saja duduk. Al hasil, selera makannya lenyap tak tersisa. Sop hangat, seperti potongan sayur layu yang tak enak dilihat. Jus jeruk, entah mengapa terlihat akan menyakiti tenggorokannya.
"Ser, Papa tahu, kamu masih berat dengan perjodohan ini. Tapi, percayalah, ini untuk kebaikan kamu."
Kebaikan? Jadi, gue harus berterima kasih? Begitu yang mulia.
"Iya, Ser. Seperti, yang Mama dan Papa bilang. Kamu masih bisa kuliah dan kerja, setelah menikah. Kami sudah sepakat. Jadi, jangan khawatirkan masa depan kamu. Lagi pula, suami kamu itu, sudah mapan."
Sera hanya membisu, sembari mengaduk makanannya. Matanya memanas, tapi ia berusaha untuk mengalihkan pikiran.
Mapan? Kebaikan? Kalian tidak mengerti, apa yang aku mau?
"Habiskan sarapanmu, Mama akan antar papa ke depan."
Sera mengangguk, tanpa berniat menyendok makanan itu.
Aku hanya ingin kuliah, kerja, seperti mereka. Tanpa perlu, terikat aturan dan meminta izin.
Satu tetes air mata, jatuh tepat didalam piring Sera. Ia masih mengaduk dan berbicara dalam hati, tentang keinginannya.
Aku sudah melakukan, apa yang kalian harapkan. Aku lelah jika terus menjadi pengganti dan bayangannya.
Kenapa?
"Ser, cepat dong! Nanti kamu telat. Wita, sudah menunggu dalam kamar."
"Iya, Ma."
Sera menghapus wajahnya dan menyendok makanan, sesuap dalam mulut. Ia langsung bangkit dan berlari masuk kamar.
"Pagi, Non," sapa Wita.
"Pagi," balas Sera dengan lesu, "gue mandi dulu."
Wita meletakkan semua make up dan krim wajah diatas meja. Ia juga meletakkan pakaian yang akan digunakan diatas tempat tidur. Seperti biasa, pakaian sudah dipilih oleh Bella.
"Kalian langsung pulang saja, setelah anterin aku," ujar Sera, saat menggunakan sepatu.
"Tapi, ibu bilang harus nungguin. Karena, Non, mau dimake up katanya."
"Gue bisa sendiri. Sini, berikan tasnya!"
"Jangan, Non. Nanti, saya sama pak Herman dimarahin ibu."
Sera menarik napas panjang, dan langsung keluar kamar. Ia malas berdebat, yang pada akhirnya ia akan tetap kalah.
"Wit, pakaian ganti sudah dibawa?"
"Sudah, Bu. Wita sudah siapin semua."
Sera berpamitan dan segera masuk dalam mobil. Untuk pertama kalinya, ia merasa malas untuk ke kampus. Padahal, ia sangat menyukai kegiatan ditempat itu. Ia bisa nongkrong dikantin, dan makan mie rebus pedas favoritnya.
Seperti biasa, Wita harus menghapus kembali make up, yang sudah payah dilakukannya dirumah tadi. Ia juga harus membiarkan sang majikan, mengganti pakaian.
"Ayo, pak, jalan!" ujar Wita, kepada pak Herman yang menunggu diluar.
Pak Herman memberhentikan mobil dipinggir jalan yang sepi, dan tidak Jauh dari gedung universitas. Dari sini, Sera harus berjalan kaki, sementara pak Herman membuntuti dari belakang.
Beginilah, keseharian mereka bertiga, yang kompak.
"Sera," panggil seseorang. "Naik, gue antar!"
Tanpa pikir panjang, Sera langsung naik diatas motor. Rio yang merupakan teman sekelasnya, langsung melesat.
"Tumben, lu diam hari ini."
"Gue lagi, pms," jawab Sera dengan nada lesu.
"Oooo, lagi sensitif, rupanya."
Sera sedang tidak PMS, pikirannya sedang kacau. Ia sibuk mengatur rencana dalam diam. Bagaimana caranya, agar si calon suaminya itu, menolak dijodohkan dengannya? Apa dia harus buka kartu? No, no, itu adalah kartu As, yang belum saatnya terekspos.
"Ren," bisik Sera, saat pelajaran sudah dimulai.
"Apa?"
"Gue, mau nanya. Kalau lu, dijodohin. Tapi, lu nggak suka sama cowoknya. Lu, mau buat apa?"
"Lu, dijodohin?" bisik Renata, dengan menatap Sera.
"Lu, pikir orang tua gue sekaya apa, mau jodohin gue," sanggah Sera, "ini ada teman gue dari kecil. Kasihan dia."
"Tinggal ngomong, ke orang tua gue."
"Kalo mereka, nggak mau?"
"Yah, ngotot lah. Masa iya, mau maksa. Kan kita yang jalani, bukan mereka. Lu, tinggal buka pikiran mereka dengan pemikiran lu."
"Oke, deh. Nanti gue, sampaikan ke dia."
Waktu kuliah sudah selesai, seperti biasa, Sera harus kembali berdandan dan berganti pakaian. Sesuai kesepakatan, sang calon suami akan menjemput didepan mini market. Tentu saja, Sera memberikan banyak alasan, agar pria itu tidak menjemput langsung ke kampus. Bisa runyam, masalahnya!
Sera memesan jus mangga dan cheese cake. Dengan sok imutnya, Sera meletakkan pipet dibibir, dengan pandangan mata ke arah lain. Males banget menatap pria freezer di depannya.
"Baca!" ujar pria itu tiba-tiba dan meletakkan secarik kertas diatas meja.
"Apa ini, Kak?"
"Aku tidak mau berbasa basi, karena aku sudah memilihmu."
Sera membaca secarik kertas itu dalam hati. Perlahan, bibirnya sedikit tertarik keatas.
Kontrak!
...🍓🍓🍓...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!