Pemuda itu berjalan pelan dengan napas tak beraturan. Kesenangan tak begitu tampak meskipun di hadapannya ada sebuah pasar yang sangat ramai. Keramaian itu seolah tak berarti apa-apa baginya karena rasa lapar dan haus yang menghantuinya sepanjang perjalanan telah menguras tenaganya.
Ia menoleh ke kiri dan kanan, matanya sayu memandang deretan pedagang yang sibuk menjajakan dagangan mereka. Ia sangat lapar dan haus, namun setiap kali mencoba mendekat untuk meminta air atau makanan, tak ada yang peduli. Orang-orang yang ia datangi tidak memedulikannya, seolah ia tak terlihat.
“Kenapa semua orang terlihat tak memiliki ekspresi?” pikirnya dalam hati, bingung melihat wajah-wajah kosong yang lalu-lalang di sekitarnya. “Apa karena aku sudah terlalu lelah? Atau mungkin aku mulai gila karena rasa lapar dan haus ini?”
Langkahnya semakin pelan, kakinya terasa berat. Panas matahari membuatnya semakin merasa seperti akan pingsan. Tubuhnya gemetar, dan ia mulai mengira-ngira apakah tempat ini nyata atau hanya ilusi yang terbayang dalam pikirannya yang mulai goyah.
Kemudian, langkahnya terhenti di depan sebuah kios mie. Aroma kuah mie yang mendidih membuat perutnya semakin lapar. Ia mendekat, mencoba masuk, namun tiba-tiba sang penjual mie berteriak dan mengusirnya.
“Keluar! Pergi dari sini!” teriak penjual itu dengan wajah marah. Mungkin karena pakaiannya yang lusuh dan kotor, pikir pemuda itu. Ia mundur perlahan, menunduk dengan rasa malu dan meninggalkan tempat itu.
Ia terus berjalan, melintasi kerumunan pasar yang tampak semakin padat. Derap langkah orang-orang yang berlalu di sekitarnya terasa semakin asing. Tak ada yang peduli pada kondisinya; semua sibuk dengan urusan masing-masing. Hingga akhirnya, ia tiba di sebuah bundaran dengan kolam dan pancuran air di tengahnya. Air jernih mengalir dari pancuran, dan tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah kolam.
Setibanya di tepi kolam, tanpa ragu ia memasukkan kepalanya ke dalam air dan meminumnya dengan rakus. Namun, di tengah kegiatannya itu, ia terdiam ketika menyadari ada dua anak kecil yang berdiri di tepi kolam, tertawa sambil mengencingi air kolam yang baru saja ia minum. Wajahnya pucat; tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ia bangkit perlahan, menjauh dari kolam dengan tatapan kosong, lalu berjalan pelan dan duduk di depan sebuah toko yang sedang tutup.
Sambil duduk bersandar di tembok toko, ia memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang. Setiap kali ada yang lewat, ia mengangkat tangannya, mencoba meminta bantuan, tetapi tak satu pun yang memedulikannya. Tidak ada yang berhenti untuk sekadar melihat atau bertanya tentang keadaannya. Kesepian dan keputusasaan mulai merayapi pikirannya.
Lelah dan lapar, akhirnya ia tertidur di tempat itu, beralaskan debu jalanan pasar.
“Hey, bangun!” terdengar suara lembut seorang wanita. Ia membuka matanya dengan terkejut; hari sudah sore dan matahari mulai terbenam di ufuk barat. Seorang wanita muda berdiri di hadapannya, memandangnya dengan tatapan iba.
“Ini, makanlah,” ujar wanita itu sambil memberinya dua potong roti dan sekantung air. Pemuda itu menatap roti di tangannya dengan mata sayunya, lalu dengan cepat mengambilnya. “Terima kasih,” ucapnya pelan, suaranya bergetar karena rasa lelah dan lapar.
Wanita itu tersenyum tipis, kemudian berbalik menuju toko roti di seberang jalan, tempat ia bekerja. Ternyata, ia adalah penjual roti yang sedang menutup toko bersama ayahnya. Pasar sudah sangat sepi, dan toko-toko mulai tutup satu per satu. Sambil memakan roti dengan lahap, pemuda itu berpikir tentang di mana ia akan beristirahat malam ini. Pandangannya tertuju pada sebuah lorong di ujung jalan pasar. “Sepertinya tadi lorong itu tidak ada,” pikirnya dalam hati.
Langit semakin gelap, dan ia tak punya pilihan selain mencari tempat untuk bermalam. Semua toko sudah tutup, dan pasar yang tadi ramai kini berubah menjadi sunyi. Dengan ragu, ia memutuskan untuk berjalan memasuki lorong tersebut. Lorong itu panjang, dikelilingi dinding batu yang dingin dan lembab. Suasana di dalamnya begitu sunyi, hanya suara langkah kaki pemuda itu yang terdengar menggema di sepanjang lorong.
Setelah berjalan cukup jauh, ia menemukan perkampungan kecil di ujung lorong. Namun, perkampungan itu terasa aneh, sangat sunyi. Matahari baru saja terbenam, tetapi tidak ada tanda-tanda kehidupan di luar rumah. Pintu-pintu tertutup rapat, tidak ada suara orang berbicara atau suara anak-anak. Semua terasa hening, dan keheningan itu membuatnya takut dan merinding.
Saat berjalan lebih jauh, tiba-tiba ia bertemu seorang nenek tua. Penampilan nenek itu sangat menakutkan, dengan tubuh kurus kering dan mata yang tajam. Nenek itu menatapnya penuh curiga dan berkata dengan suara serak, “Apa kau tinggal di desa atas?” sambil menunjuk ke arah bukit di belakangnya.
Pemuda itu bingung, ia menoleh ke belakang dan melihat sebuah desa di atas bukit. Karena takut dan tak tahu harus menjawab apa, ia hanya mengangguk pelan.
Nenek itu bergumam tidak jelas, lalu meludah ke tanah dan memakinya dengan suara keras. Pemuda itu terkejut, dan tanpa pikir panjang ia berlari meninggalkan nenek tersebut, ketakutan menyelimuti pikirannya. Ia terus berlari menuju bukit, sesekali menoleh ke belakang memastikan nenek itu tidak mengikutinya.
Dalam kebingungan, ia menabrak dua orang yang juga sedang berjalan ke arah bukit. Ternyata, mereka adalah ayah dan anak penjual roti tadi. Pemuda itu jatuh ke tanah, lutut dan tangannya terluka.
“Kamu ini kenapa?” tanya ayah penjual roti, membantu pemuda itu berdiri.
“Maaf, Pak. Saya tidak lihat,” ucap pemuda itu tergesa-gesa, takut mengulang kesalahannya.
“Tanganmu berdarah,” ucap anak penjual roti.
“Tak apa, aku baik-baik saja kok,” dengan cepat pemuda itu membersihkan darah di tangannya dengan bajunya. “Sebaiknya kamu ikut ke rumah kami supaya lukamu bisa diobati,” lanjut bapak penjual roti yang iba melihat kondisi pemuda itu yang dipenuhi luka.
Pemuda itu hanya diam dan canggung, seolah tak ingin merepotkan mereka. Kemudian penjual roti dan anaknya itu menarik tangannya dan meyakinkannya untuk ikut dengan mereka. Mereka mengajaknya ke rumah tempat mereka tinggal di atas bukit, yang mana masih ada sebuah desa lagi yang cukup besar di atas.
Lalu mereka berjalan ke atas bukit, dan sesampainya di atas, pemuda itu terkejut karena semua terasa berbeda dengan desa yang ada di bawah. Semua terlihat hangat; rumah-rumah terang dengan lampu api di setiap teras rumah dan ujung-ujung jalan. Di sini juga suasananya terasa lebih hidup.
Bentuknya juga unik, rumah-rumah dibangun melingkari sebuah taman berbatu dengan bangunan menyerupai tugu di tengahnya. Sekeliling desa juga ditanami bunga dan dipasangi pagar kayu yang terlihat sangat indah.
Sesampainya di rumah penjual roti itu, mereka disambut oleh istri si penjual roti. Merekapun masuk, pemuda itu dipersilahkan duduk. Seolah semua tenaganya habis, ia pun duduk dan bersandar di kursi kayu sambil menghela napas panjang.
Lagi-lagi semuanya terlihat berbeda. Mulai dari pakaian, bangunan, perabotan rumah, dan benda lainnya; semua tampak berbeda di sini. Pemuda itu seolah berada di dimensi lain tempatnya tinggal. Ini jauh lebih kuno dari apa yang ada di kotanya. Namun, karena sangat lelah, ia juga tak terlalu mempedulikannya.
Pemuda itu duduk di ruang tamu, memandangi serangga yang mengelilingi lampu api di dinding rumah. Tempat ini sangat nyaman dan damai. Pemilik rumah memberikannya air dan obat untuk membersihkan dan mengobati lukanya. Sambil menyiapkan makan, malam mereka berbicara pelan dan bercerita tentang apa yang terjadi.
Ia dibantu oleh anak pemilik rumah untuk membersihkan lukanya dan juga mengoleskan obat ke sekujur tubuhnya. Hampir seluruh tubuhnya memar, tergores, dan berdarah. Lukanya terlihat seolah ia adalah tawanan perang, ia hanya bisa meringis kesakitan tiap kali dioleskan obat. Pemuda itu tak henti memandangi wajah wanita itu.
Sambil menunggu makanan selesai disiapkan, pemilik rumah membuatkannya secangkir teh. Sembari duduk, ia hanya memperhatikan mereka dan tak hentinya mengucapkan terima kasih kepada mereka, atas kebaikan mereka yang sudah menolongnya.
Sambil menikmati teh hangatnya iya merogoh kantong celananya karena teringat akan kalung ibunya. Ia kembali mengalungkannya kelehernya dan memasukkannya kedalam bajunya, itu adalah harta satu satunya yang ia miliki sekarang. Liontin bermata hitam peninggalan ibunya.
Pemuda itu mulai bercerita saat mereka duduk di meja makan. Namaku adalah Araya, dan aku berasal dari sebuah kota bernama Duran di daerah selatan. Aku berumur tujuh belas tahun dan sedang mengikuti ujian belajar tingkat lanjutan ke kota lain.
Empat hari yang lalu, aku dan beberapa temanku, serta kelompok pelajar lain yang menerima undangan pendidikan lanjutan, berada dalam perjalanan kereta menuju kota Gor.
(Di dalam kereta, terdengar suara berisik percakapan para pelajar).
Kegembiraan terpancar dari wajah Araya yang tergambar dari senyum kecilnya karena akan melanjutkan pendidikannya di tempat yang menjadi impian semua pelajar dari berbagai kota. "Semoga kita bisa dapat kelas yang sama, ya," harapnya.
"Entahlah, aku tidak cukup yakin. Kudengar akan ada ujian khusus penentuan kelas di sana," ucap Fran sambil memakan ubi bekal yang dibuatkan ibunya.
"Sepertinya keretanya melambat," kata Una, wanita muda cantik yang juga teman dekat Araya dan Fran, sambil melihat keluar jendela.
"Apakah kita sudah sampai?" tanya Fran kepada mereka berdua.
Araya merasa ada yang aneh. "Sepertinya ini
hutan. Apa ada kerusakan?"
(Para pelajar yang ada dalam kereta mulai memenuhi bagian samping, mencoba mengintip ke arah depan dari jendela kereta). Tiba-tiba, "Duar!" terdengar suara keras yang mengejutkan dari pintu gerbong yang ditendang, disusul sekelompok orang membawa senjata tajam yang mulai masuk dan berteriak, mengancam para pelajar yang
ada di dalam gerbong. Sontak, hal ini membuat semua pelajar berteriak dan menjerit ketakutan.
"Tolong!" Una berteriak ketakutan, mendekat ke arah Fran dan Araya. Suasana pun mulai kacau dan tak terkendali. Araya, yang sadar bahwa mereka adalah perampok, mencoba melindungi Una bersama dengan Fran.
"Araya, gimana ini? ra..rampok!" Dengan wajah ketakutan, Fran menjatuhkan semua makanannya, berdiri di samping Araya dan menarik tasnya.
Para perampok dengan beringas merampas semua barang bawaan para pelajar sambil memaki, menyuruh mereka diam, dan memukul beberapa pelajar yang membuat para pelajar lainnya semakin ketakutan. Semua pelajar digiring keluar, barang-barang mereka diambil dan diperiksa satu per satu. Di situ, Araya menyadari bahwa kereta dan
gerbong lain sudah tidak ada, hanya tersisa gerbong mereka saja. "Mereka memutusnya," ujarnya dalam hati.
Para perampok sadar bahwa para pelajar itu membawa uang yang cukup banyak untuk bekal mereka ketika mengikuti tes lanjutan. Hal inilah yang membuat mereka menjadi target. Namun, seolah tak puas dengan yang
mereka dapatkan, para pelajar dikumpulkan dan digiring masuk ke dalam hutan. Beberapa pelajar mencoba melawan, tetapi naas, para perampok itu tidak segan-segan menyerang mereka hingga dua pelajar harus terluka sangat parah. Hal ini membuat suasana semakin
mencekam dan para pelajar semakin ketakutan.
Mereka berteriak, menangis, dan meminta tolong. Namun, para perampok itu seolah tak peduli dan kembali memaki serta menyakiti para pelajar, sambil menyuruh mereka
berjalan masuk ke dalam hutan. Dengan rasa takut yang begitu hebat, mereka perlahan berjalan sambil menerima beberapa pukulan. Beberapa dari pelajar terjatuh dan bersimbah darah. Araya, yang memeluk Una, mencoba
menenangkannya sambil berjalan di belakang Fran.
Araya berusaha menenangkan Una, "Kita nggak akan kenapa-kenapa, kok." Namun, terlihat wajahnya yang ketakutan dan napasnya yang begitu cepat.
"Kita turuti saja, jangan dilawan, ya," ucap Fran dengan suaranya yang mulai bergetar.
Akhirnya, mereka tiba di tepi jurang yang dikelilingi pepohonan lebat. Terdapat sebuah tenda besar yang dijadikan tempat persembunyian oleh para perampok. Para pelajar yang jumlahnya hanya sekitar dua puluh orang, dengan rasa takut yang menyelimuti mereka, mendadak semakin histeris ketika beberapa dari perampok menarik beberapa pelajar wanita dan mencoba melecehkan mereka di tempat itu.
Mereka mencoba melawan para perampok itu lagi, melemparinya dengan kayu dan ranting yang ada, berusaha menyelamatkan teman-teman mereka dari pelecehan para perampok biadab itu. Para perampok yang
menyudutkan mereka di tepi jurang itu hanya tertawa ketika mereka semua berkumpul saling berpegangan.
Mereka seolah membiarkan para pelajar itu melompat ke dalam jurang jika mereka mau. Dengan tawa jahat sambil meminum minuman keras, para perampok itu tak hentinya memaki pelajar-pelajar itu. Fran yang melihat ke arah jurang berkata kepada teman-temannya, "Lebih baik kita melompat ke jurang."
Sontak, Araya dan Una terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Fran. Dalam ketakutan, mereka hanya saling melihat satu sama lain. Namun, mereka yang tidak siap dengan
pilihan itu hanya mengulurkan tangan kepada Fran. Tanpa berpikir panjang, Fran menarik Una dan juga Araya melompat ke dalam jurang. Para pelajar lain yang melihat mereka akhirnya juga ikut melompat, terjun ke dalam
jurang yang dipenuhi semak dan pepohonan itu.
Mereka lebih memilih mati di dalam jurang daripada harus mati di tangan para perampok biadab itu. Dalam keadaan yang kacau, suara teriakan mereka menggema dan
mengagetkan para perampok. Mereka tidak menyangka bahwa para pelajar itu benar-benar melompat.
Entah keajaiban apa yang menyertai, mereka semua bisa selamat, meskipun tubuh mereka dipenuhi luka dan beberapa dari mereka mengalami cedera yang sangat serius. Bahkan satu di antara mereka tidak bisa menggerakkan tubuhnya dan sampai tak sadarkan diri.
Mereka saling membantu mencoba menjauh dan mencari tempat berlindung, sadar bahwa para perampok itu pasti akan mengejar mereka lagi. Mereka berjalan lebih cepat,
beberapa orang menggendong teman-teman mereka yang lain, termasuk Araya dan Fran yang harus membopong Una karena kakinya yang patah.
Akhirnya, mereka berhasil keluar dari hutan. Kemudian, mereka melihat sebuah sungai dan ada sebuah perahu di sana. "Tolong! Tolong!" mereka berteriak sambil berlari ke arah perahu tersebut, berharap mendapatkan bantuan.
Syukurlah, pertolongan itu datang. Dua orang pria yang ada di perahu tersebut melihat para pelajar itu dan menepikan perahu mereka. Para pelajar menangis memegang kapal itu, hanya ada kata "tolong" yang keluar dari mulut mereka. Kedua pria di kapal itu terkejut dan bingung dengan apa yang mereka lihat, akhirnya menyuruh mereka naik dan
berencana membawa mereka ke desa.
Perahu itu bergerak perlahan, karena ukurannya yang tidak terlalu besar membuat mereka harus berhimpitan dan berharap perahu itu tidak terbalik karena arus sungai di
depan mereka cukup deras. Semua duduk dengan perasaan campur aduk dan linangan air mata. Mereka yang mencoba untuk tenang tiba-tiba mulai panik ketika perahu yang tidak cukup besar itu berguncang, dan salah satu dari mereka terjatuh ke dalam derasnya air sungai.
"Araya!" teriak Una dan Fran melihat temannya terjatuh. Karena rasa lelah dan sesaknya perahu, Araya terjatuh dan terseret arus sungai yang deras. Derasnya sungai yang menggulung tubuhnya tak mampu ia lawan. Hanya suara gemuruh air, hempasan bebatuan, dan cahaya langit yang
menyertainya saat ia terseret ke dalam air, berulang kali, sampai entah berapa jauh.
Araya mencoba mengangkat kepalanya, tetapi ia tak mampu, hingga sebatang kayu dan tumpukan sampah ranting menghentikannya. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia mencoba memanjat, berjalan ke tepi sungai, kemudian
membaringkan tubuhnya di bebatuan besar sungai. Pandangannya yang pudar perlahan mulai membaik. Tak ada lagi sisa suara yang bisa keluar dari mulutnya. Setelah beberapa saat, ia mulai bangkit, melihat ke arah sungai,
dan berdiri di tepi batu besar itu, berharap teman-temannya datang menolongnya.
Sampai tiba malam hari, ia sadar sepertinya ia sudah terbawa arus sungai sangat jauh. Mungkin temannya akan mencarinya besok. la pun mengumpulkan dedaunan dan
ranting-ranting untuk membuat tempat peristirahatannya malam ini. Rasa dingin, ketakutan, dan keheningan malam
membuatnya menangis. Semua rencananya hilang dengan kejadian tragis yang menimpanya.
Pandangannya yang kembali memudar semakin membuatnya ketakutan, seolah kematian akan datang padanya. Dalam hening dan diam, air mata yang terus
mengalir dan rasa sakit itu kini tak lagi ada, karena separuh tubuhnya telah mati rasa. Matanya yang masih memandang langit dengan sayu, bergerak mencari sebuah suara, seolah ada suara wanita yang memanggil. Araya yang tak pernah bertemu ibunya, entah mengapa merasa bahwa suara itu adalah suara ibunya. "ibu", sahutnya pelan sambil menggenggam kalung pemberian ibunya dan memejamkan matanya.
Dalam ketidaksadarannya, ratusan kupu-kupu kecil datang mengerumuni tubuhnya. Tubunya seperti terselimuti oleh cahaya dari banyaknya kupu-kupu yang terbang dan hinggap di tubuhnya itu.
Pagi pun tiba, rasa dingin itu mulai hilang oleh matahari yang menyinari, ia mengeringkan pakaiannya ditepian batu, mencoba berfikir dan mengatasi rasa lapar yang datang, tak banyak yang bisa iya perbuat, dia mencoba mencari buah dan tanaman yang mungkin bisa dimakan. Dia mencoba kembali membuat api yang sudah dicobanya kemarin malam namun tetap gagal, hanya ada beberapa pohon umbi yang iya temukan dan itu cukup untuk mengembalikan tenaga dan menghilangkan rasa laparnya.
Hari mulai sore tetapi tak ada tanda dari teman-temannya, ketakutan mulai datang ketika terlintas difikirannya kalau para perampok itu menemukannya, dengan dilema dan kecemasan itu akhirnya dia memilih untuk berjalan menyusuri sungai dan mencoba mencari jalan untuk menemukan pemungkiman.
Dengan semua tenaga dan perjuangannya dalam perjalanan selama dua hari lamanya, akhirnya iya melihat sebuah Kota dari kejauhan, dia berjalan cepat terpingkal pingkal dan akhirnya sampailah ia di kota Ribe.
Keluarga penjual roti itu terkejut dengan apa yang terjadi pada Araya. Mereka tak menyangka bahwa kejadian tragis itu menimpa remaja yang masih sangat muda seperti dia.
Keluarga itu berusaha menenangkan dan menguatkannya. "Kami turut prihatin atas apa yang menimpamu dan juga teman-temanmu. Tetapi sekarang kamu aman. Kamu bisa tinggal di sini untuk sementara waktu sambil kami mencari informasi tentang bagaimana cara mengantarkanmu pulang ke kotamu. Jujur saja, kami belum pernah mendengar nama tempat itu, Kota Duran."
“Ah, iya, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Buno, ini istriku, Eva, dan ini anakku, Muya. Seperti yang kamu tahu, kami punya usaha toko roti di Pasar Ribe. Orang-orang di desa ini memanggilku ‘Paman Buno’.”
“Aku sangat berterima kasih karena telah mengizinkanku tinggal di sini,” ucap Araya tulus.
Muya, yang terlihat ceria, menjawab, “Kamu bisa tidur di kamar belakang. Aku akan merapikannya nanti,” sambil mengunyah makanan di piringnya.
Eva, yang sedang membereskan piring-piring bekas makanan, bertanya, “Bagaimana dengan lukamu? Apa sudah dioleskan dengan minyak yang Bibi berikan tadi?”
“Sudah, Bi. Luka goresnya cukup banyak, dan minyaknya habis untuk dioles ke semua lukaku,” jawab Araya dengan nada sedikit mengeluh.
“Tak apa, nanti Bibi buatkan lagi. Itu bagus untuk mengobati luka dan memar. Lukamu bisa cepat sembuh. Aku juga akan buatkan obat untuk diminum nanti ketika Nak Araya mau tidur,” kata Eva.
“Terima kasih banyak,” balas Araya dengan rasa syukur yang mendalam.
Muya menambahkan, “Itu ramuan khusus dari desa kami. Desa kami terkenal hebat dalam pembuatan obat-obatan.”
Buno tersenyum, “Sudah, cepat makannya, Muya. Bereskan kamarnya agar Araya bisa istirahat.”
“Baik, Yah,” sahut Muya sambil mempercepat makannya.
Setelah selesai membereskan kamar, Muya mempersilakan Araya untuk istirahat. Sembari bercerita tentang desa yang ada di bawah, Araya bertanya mengapa di bawah sangat sepi dan juga menceritakan dirinya bertemu dengan seorang nenek yang tampilannya aneh dan menakutkan.
“Mereka bukan manusia,” jawab Muya cepat, sambil tersenyum dan sedikit tertawa. Araya pun tersenyum dan menganggap itu sebagai candaan dari Muya.
Setelah Muya meninggalkan Araya dan menutup kamarnya, Araya membaringkan badannya. Dia menghela napas panjang, bersyukur karena sekarang baik-baik saja dan berharap bisa segera pulang ke rumahnya. Perlahan, dia mulai tertidur hingga terdengar suara alunan musik yang menyadarkannya dari tidur.
“Kenapa ada suara musik malam hari begini?” tanyanya sambil bangun dari tempat tidurnya.
Setelah duduk dan mendengarkan sejenak, dia sadar bahwa musik itu berasal dari luar. Dia mendekat ke arah jendela dan mencoba mengintip keluar.
Araya membuka sedikit jendela kamarnya dan terkejut melihat ternyata sudah pagi, meski belum terlalu terang karena matahari belum terbit sempurna. Dia juga heran melihat orang-orang yang menari dengan alunan musik di tugu tengah desa. Di sana, dia melihat Paman Buno dan Bibi Eva yang menonton tarian.
Paman Buno, yang sadar bahwa Araya melihatnya, langsung melambaikan tangan dan memanggilnya. Araya mengangguk kecil mengiyakan, lalu keluar dan ikut melihat tarian itu.
Masih dalam perasaan heran dan penasaran akan keunikan yang ada di desa itu, Araya menghampiri Paman Buno dan Bibi Eva yang menyaksikan tarian. Dia melihat Muya di dalamnya yang juga ikut menari. Mereka mengenakan pakaian tradisional yang indah berwarna merah.
Seakan terbawa suasana dan terpesona oleh kecantikan serta keindahan tarian Muya, Araya tersenyum sambil bertepuk tangan bersama warga desa lainnya. Namun, ia terkejut ketika melihat banyak orang berdiri di luar pagar kampung sambil memegangi pedang dan parang, dengan wajah datar dan pandangan tajam.
“Siapa mereka, Paman? Kenapa bawa senjata?” tanya Araya dengan nada panik.
Dengan santai, Paman Buno menjawab, “Tidak apa-apa. Nanti juga mereka pergi kalau sudah terang.”
Dengan perasaan takut, Araya memperhatikan bahwa orang-orang itu mengelilingi desa, jumlah mereka sangat banyak, dengan ekspresi yang sama, namun tidak bergerak dan hanya menatap para penari.
Araya teringat pandangan mereka yang sama seperti nenek yang ia jumpai di bawah kemarin. Dia yakin ada yang tidak beres di tempat ini, tetapi dia tak tahu harus berbuat apa dan hanya terpaku ketakutan di samping Paman Buno.
Akhirnya, matahari terbit sempurna, dan orang-orang yang ada di luar pagar kampung itu pergi. Tarian serta musik pun berhenti dimainkan. Warga desa semuanya bersorak dan bertepuk tangan atas pertunjukan tari, seolah tak peduli dengan orang-orang aneh yang ada di luar pagar desa.
Seperti tidak terjadi apa-apa, mereka melanjutkan kegiatan masing-masing. Beberapa ada yang menyapu, ada yang masuk ke rumah, dan ada yang bersiap pergi ke kebun atau bekerja. Paman Buno dan Bibi Eva juga mengajak Araya masuk ke rumah untuk sarapan, sambil menyambut Muya dan memujinya karena dia menari sangat baik pagi ini.
Araya, yang masih dalam kebingungan atas kejadian tadi, hanya mengikuti mereka berjalan kembali ke rumah, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi.
Sembari sarapan, mereka mengajak Araya untuk ikut ke toko roti hari ini. Araya, yang memiliki seribu pertanyaan, merasa seperti tak mampu mengungkapkan rasa penasarannya dan hanya berkata, “Iya,” sambil mencari cara agar bisa cepat pulang, karena dia mulai merasa tidak nyaman di sini.
Setelah selesai sarapan, mereka bersiap pergi ke toko roti. Dengan menggunakan pakaian Paman Buno yang sedikit kebesaran, Araya juga bersiap untuk ikut. Dia merasa heran karena luka-luka di badannya sudah kering dan tidak sakit lagi. Memar pada kaki dan sikunya juga sudah hilang. “Obatnya benar-benar manjur,” pikirnya dalam hati.
Mereka pun berjalan menuju toko, disertai tegur sapa hangat warga desa setiap kali berpapasan. Araya, yang masih dalam keadaan penasaran dan sedikit takut, terbawa suasana hangat warga desa. Dia tak henti-hentinya melihat wajah Muya yang seolah menarik hatinya ketika melihatnya menari tadi.
Ketika mereka sampai di bawah, Araya mulai memperhatikan rumah-rumah di desa bawah yang ternyata tidak semenyeramkan kemarin. Rumah-rumah itu tampak biasa, dan orang-orang juga terlihat biasa saja, walau tidak ada tegur sapa atau senyum seperti orang-orang di desa atas. Araya mencoba menanyakan perihal orang-orang yang membawa senjata tajam pagi tadi, tetapi dia mengurungkan niatnya, menyimpannya untuk ditanyakan nanti setibanya di toko roti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!