Selamat membaca!
Namaku Pelangi Slavina Arista, keluargaku dan sahabat dekatku biasa memanggilku dengan sapaan "Biru", pasti langsung terbesit di benak kalian, lho kok bisa biru, sedangkan warna identik untuk wanita itu kan merah jambu. Memang benar semua itu, tapi pada kenyataannya warna merah jambu tidak ada di salah satu warna pelangi dan dari mejikuhibiniu, aku begitu menyukai warna biru.
Sejak kecil apapun yang aku miliki selalu berwarna biru, bahkan aku pernah tidak ingin sekolah karena seragam sekolahku bukanlah berwarna biru, memang agak aneh tapi begitulah aku.
Semua masalah kehidupanku bermula dari hutang ayah dan ibuku yang sudah menumpuk. Tak jarang aku melihat keduanya berdebat, karena tagihan yang terus masuk ke ponsel mereka, bahkan sampai ada team penagihan yang mendatangi rumah kami, memang tidak semua kejam tapi beberapa yang datang terlihat angkuh dan arogan, seolah tak mengerti dengan kondisi juga beban hidup keluargaku.
Aku mempunyai seorang adik perempuan yang bernama Sofi Permata Alifa, usia kami tidak berbeda jauh hanya terpaut 2 tahun.
Semua kesedihanku berawal dari sore itu ketika aku pulang kerja. Baru saja sampai di rumah, namun aku sudah disuguhkan dengan perdebatan kedua orang tuaku yang memancing rasa penasaranku.
"Assalamualaikum aku pulang."
Suara salam sesaat menjeda kalimat perdebatan dari mulut mereka. Ibuku saat itu langsung memelukku dengan erat, ia menangis dan aku semakin bingung dengan alasannya.
Tiba-tiba ayahku bersuara dengan lantang. Kalimat yang kasar begitu saja terlontar lolos dari mulutnya, padahal aku ini adalah anak kandungnya, yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang dan mereka selalu memimpikan kehadiranku sebelum aku dilahirkan. Aku pun bukanlah anak haram yang keberadaannya tidak diinginkan, lantas mengapa dengan begitu mudahnya ayahku ingin melepasku. Sebuah kenyataan yang pedih, menyayat hatiku begitu perih dan membuat semua cita-cita yang aku miliki dalam sekejap melebur menjadi debu.
Aku menangis mendengarnya, air mata yang sedari tadi aku tahan di kelopak mataku, kini sudah mengalir deras membasahi wajahku. Aku tenggelam dalam kekecewaan, aku marah, aku berontak, namun apalah arti suaraku. Ayahku mengungkit semua jasa-jasa yang selama ini dilakukannya untuk membesarkanku.
Akhirnya aku hanya bisa pasrah, aku mengiyakan semua keinginan ayah, aku lakukan ini hanya demi air mata di wajah Ibuku, agar ia berhenti menangis. Walau ibu berat melepasku, tapi aku tahu mereka tidak mempunyai pilihan. Terlebih ayahku hanya seorang sopir di perusahaan yang terkenal di Jakarta dan kebetulan ayahku pernah membawaku ke sebuah acara di perusahaannya. Saat itulah pimpinan perusahaan itu melihatku dan menyampaikan keinginannya untuk menikah denganku, namun karena aku menolak, ia pun tak memaksakan kehendaknya.
Berjalannya waktu keadaan ekonomi kami makin terdesak, akhirnya ayahku mengajukan pinjaman kepada Bramantyo, pimpinan di perusahaannya dan itu dijadikan kesempatan menawarkan lamarannya untuk meminangku, dengan jumlah uang yang sangat besar, membuat ayahku tak mampu menolak tawaran yang mungkin dipikirannya, itu tidak akan datang untuk kedua kalinya.
Aku langsung meninggalkan keduanya. Aku masuk ke dalam kamar, melempar tubuhku ke atas ranjang, aku menangis terisak sambil memeluk boneka kesayanganku. Kesedihan ini adalah yang paling menyakitkan untukku. Aku coba untuk mengatur napas yang saat ini terasa sesak untuk aku hirup. Aku berjuang untuk mengerti, bahwa mungkin ini memang sudah menjadi suratan takdirku, jika di usia mudaku ini, aku sudah harus berkorban demi kedua orang tua juga adik kesayanganku.
Aku harus mengikhlaskan diriku, menerima kenyataan bahwa aku akan menjadi istri ke 3 dari seorang pria dewasa yang kaya raya.
Mungkin jika Tuhan memberikanku pilihan aku lebih baik mati dan langsung menghadapNYA, tapi saat ini Tuhan memaparkan jalanNYA agar aku menghadapi semuanya dengan besar hati. Walau aku tak bisa bayangkan, akan jadi seperti apa kehidupan yang aku jalani nantinya.
🍁🍁🍁
1 Tahun kemudian.
Aku kini sudah mulai terbiasa dengan kehidupan di perkotaan, walau awalnya aku begitu sedih atas nasibku. Namun, kebaikan hati Mas Bram membuatku mulai dapat menikmati kehidupanku ini. Sudah 1 tahun aku menjalani pernikahanku ini, namun selama itu Mas Bram masih belum menyentuhku, ia tidak tega bila harus merenggut keperawananku dengan paksa.
Perkataannya kala itu begitu membekas di dalam ingatannya, aku tidak akan pernah lupa saat malam pertama, Mas Bram sama sekali tidak menuntutku untuk melayaninya.
"Aku tidak akan memaksakanmu, aku akan menunggu sampai kamu siap melepasnya."
Saat itu di malam pertamaku, Mas Bram hanya tertidur sambil terus memelukku tanpa melakukan hal-hal lainnya. Aku sangat bersyukur mendapatkan suami yang begitu baik seperti Mas Bram, walau awalnya aku begitu takut dengannya, kini aku sudah merasa nyaman bila berada di dekatnya, mungkin aku sudah siap untuk melepas harta yang sudah ku jaga selama hidupku ini.
🌸🌸🌸
Bersambung✍️
All cast visual tokohnya :
Hanum
Hani
Leo
Bram
Pelangi biasa dipanggil Biru.
Selamat Membaca!
Suara azan mulai menggema memecahkan keheningan, lantunan suara yang indah mampu mengusir sepi yang ada kala itu. Aku pun langsung terjaga, tersadar akan kewajibanku, karena bagiku azan merupakan sebuah seruan untuk menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim.
Pandangan mataku seketika tertuju pada Mas Bram, yang saat ini masih terlelap dalam tidurnya. Aku yang selalu melakukan kebiasaanku, untuk membangunkan Mas Bram agar ikut melaksanakan salat bersamaku, kini mulai mendekati tubuhnya yang masih terlelap.
"Mas bangun Mas, ini sudah subuh."
Mas Bram tetap tak bergeming dari tidurnya, aku tak kehabisan akal, otak besarku mulai berputar untuk mencari cara, agar tetap sopan membangunkan Mas Bram.
"Mas, Mas, ayo bangun!" titahku sambil memberi kecupan pada bibir Mas Bram.
Seketika Mas Bram mulai tersadar dari tidurnya. Matanya sedikit terbuka untuk sekedar mengintip, lalu tiba-tiba kedua tangannya langsung merengkuh tubuh mungilku, yang membuatku terjatuh dalam dekapannya.
"Mas, lepasin aku, ini sudah subuh lho, nanti kalau kamu begini kita bisa ketinggalan untuk jamaah ke Masjid," keluhku kepada Mas Bram yang semakin erat memelukku, seolah tak ingin melepaskan tangannya dari tubuh mungilku, padahal sudah semalaman Mas Bram menjadikanku seperti guling untuknya, membuat aku jadi tak leluasa dalam bergerak.
Aku mencoba terus mengelak, namun tetap saja Mas Bram tak menggubris semua permintaanku. Aku mendengus kesal, pipiku kini sudah terisi gelembung udara dan aku memalingkan wajahku menjauh dari tatapannya.
"Jangan marah dong, iya, iya, ayo kita siap-siap ke Masjid."
Wajah kesal yang aku tunjukkan berhasil membuat Mas Bram melepaskan pelukannya. Memang suamiku itu sangat takut ketika suara hembusan napasku terasa kasar, Mas Bram sudah hafal betul, jika aku seperti itu, aku bisa mengabaikannya selama 3 hari 3 malam.
Akhirnya kami berdua bersiap untuk berangkat ke Masjid yang kebetulan tidak jauh dari komplek perumahan yang aku tempati. Sebelumnya rumah ini di tempati oleh Mba Hani, tapi karena dia terganggu dengan suara azan di setiap subuh, jadi Mba Hani meminta pada Mas Bram untuk pindah ke rumah yang sebenarnya sudah disiapkan Mas Bram untuk aku tempati. Aku sendiri sangat menyukai rumah yang saat ini ku tempati sekarang, walau rumah ini bekas ditempati oleh Mba Hani tapi lokasinya yang berdampingan dengan Masjid membuatku begitu nyaman untuk tinggal di sini.
Aku dan Mas Bram sudah rapi dengan pakaian muslim kami masing-masing, Mas Bram mengenakan peci, sarung dan baju koko yang sudah ku siapkan untuknya, sementara aku dengan gamis yang diberikan oleh Mas Bram sebagai kado pernikahan kami.
"Mas, ayo kita jalan sekarang!" titahku meminta lembut kepada Mas Bram.
Mas Bram langsung mengiyakan dengan cepat, ia terlihat membawa dua buah masker dan sajadah untuk kami gunakan.
"Aku tadi ngambil ini dulu," ucap Mas Bram sambil menunjukkan semua yang dibawanya kepadaku.
"Makasih Mas, kamu tuh selalu perhatian, padahal aku lupa."
"Iya sayang, sekarang ini masih masa pandemi, kita harus sadar untuk menggunakan masker, karena dengan kita selalu menggunakan masker saat hendak keluar rumah, berarti secara tidak langsung itu akan memutus rantai penyebaran covid-19 di Negara kita ini sayang, kalau kita tidak mulai dari diri sendiri, mau sampai kapan coba, wabah penyakit ini akan hilang," tutur Mas Bram seperti biasa selalu menceramahiku, ketika aku lupa membawa masker saat akan keluar rumah.
Suara ikamah sudah terdengar menggema memenuhi sekitar perumahanku. Aku dan Mas Bram mempercepat langkah kami untuk menuju Masjid. Sejujurnya momen ini sangat indah ku jalani bersama Mas Bram, walau ini baru dapat ku rasakan sebulan belakangan ini. Namun seolah semua kesabaran dan doaku membuahkan hasil yang manis, kini Mas Bram telah jauh berubah, dulu jangankan salat, mengambil wudhu saja masih salah urutannya, bacaan salat pun tidak selancar saat ini setelah aku mengajarinya, bahkan 3 Minggu belakangan ini Mas Bram semakin tekun ibadahnya, ia sampai membayar seorang guru ngaji yang bernama Ustad Arif, agar bisa membaca Al Quran dan memperdalam ilmu keagamaannya.
Sejak Mas Bram mengetahui tentang ganjaran pahala salat berjamaah di Masjid, ia jadi semakin terpacu dan bersemangat untuk terus berjamaah di Masjid, seperti yang Ustad Arif selalu katakan padanya,
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat berjama’ah (di masjid) lebih utama 27 derajat dibanding shalat sendirian (di rumah)” (HR. Bukhari no. 609)
Aku sudah memasuki barisan saf di antara para wanita lain di dalam Masjid, sementara Mas Bram berada di posisi terdepan safnya.
Setiap apa yang dikatakan Ustad Arif, Mas Bram selalu sampaikan padaku bahwa,
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا
“Seandainya manusia mengetahui apa yang ada (yaitu keutamaan) di dalam seruan (adzan) dan shaf pertama, lalu mereka tidak bisa mendapatkan shaf tersebut kecuali dengan undian, sungguh mereka akan melakukan undian untuk mendapatkannya.” (HR. Bukhari 580).
Kebahagiaanku yang terbesar adalah saat aku melihat punggung suamiku kini berada di posisi terdepan dalam barisan safnya, ini bukan hanya sekedar impian untukku tapi sebuah permohonan yang diminta oleh Mba Hanum, agar aku bisa membuat Mas Bram menjadi pria yang taat dalam beribadah dan adil terhadap ketiga istrinya.
Setelah salat selesai, aku dan Mas Bram mulai meninggalkan Masjid. Kami melangkah beriringan saling melempar canda dan tawa membuat hubungan kami berdua semakin dekat.
"Sepertinya kamu sudah cocok suatu saat menjadi Imam," pujiku sambil menggenggam tangan suamiku dengan rasa bangga.
"Siapa dulu istri salihahnya," puji balik Mas Bram sambil mendekapku, walau kami masih melangkah, hendak memasuki gerbang perumahan.
Mas Bram sejenak menghentikan langkahnya, ia memberikan kecupan tepat di keningku.
Tiba-tiba terdengar suara berdehem dari balik gerbang.
"Lanjut di rumah Pak Bram," goda Pak Heru satpam perumahanku.
Aku yang mendengar sindiran Pak Heru menjadi sangat malu, wajahku seketika sudah merona merah, namun aku tetap tersenyum ramah kepada Pak Heru dengan wajah yang memerah padam.
"Iya nih Pak Heru, Mas Bram gak pernah lihat kondisi tempat," gerutuku sambil memukul pelan dada bidang Mas Bram.
Mas Bram hanya menanggapinya dengan santai dan dingin, seolah apa yang dilakukannya adalah hal yang lumrah biasa terjadi.
"Pak Heru kaya gak pernah muda aja?" tanya Mas Bram menatap Pak Heru dengan kedua alis yang saling bertaut.
Pak Heru terkekeh.
"Ya saya malah lebih parah dari Pak Bram, saya sampai disuruh langsung nikah sama warga sekampung," tutur Pak Heru sambil menggaruk kepalanya yang mungkin tidak terasa gatal untuknya.
Aku hanya menahan gelak tawaku rapat-rapat melihat expresi Pak Heru yang membuat gelora tawaku ingin membuncah.
"Sudah Pak, yang penting sekarang sudah halalkan, lagi Pak Heru belum juga sah sudah berani cium-cium kening segala, itu dosa Pak bukan mahramnya," tutur Mas Bram kepada Pak Heru.
Aku melihat Mas Bram sudah dapat menyampaikan ilmu yang didapatnya dari Ustad Arif kepada orang lain.
"Pak Heru harus baca Surat Al Isra tentang larangan zina," imbuh Mas Bram sambil membacakan surat yang disebutnya.
Surat Al Isra ayat 32 berbunyi:
وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلً
Artinya: "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32).
Pak Heru mengangguk, ia tersenyum lebar mendengar semua perkataan dari Mas Bram. Sementara aku, kini sudah tenggelam dalam lautan kekaguman akan sosok Mas Bram saat ini.
Perasaan yang satu tahun lalu, jauh dari hatiku, namun atas kehendak Allah, kini aku sudah dapat merasa nyaman dan menikmati rumah tanggaku, walau dengan posisiku sebagai istri ke 3. Semua berkat Mba Hanum, beliaulah orang pertama yang memberikanku semangat, untuk bisa ikhlas menerima segala takdir yang telah Allah berikan padaku.
Setelah berhenti sejenak dengan segala nasihatnya untuk Pak Heru, Mas Bram kembali menuntunku untuk melanjutkan langkah kami menuju rumah.
"Aku bangga denganmu Mas, kamu sudah jauh berubah dari satu tahun yang lalu saat pertama kali kita bertemu," gumamku sambil terus menatap lekat wajah suamiku.
Bersambung✍️
Selamat membaca!
Aku sudah mulai memasak untuk sarapan pagi Mas Bram. Sementara Mas Bram sudah terlihat sibuk berkutat dengan laptop di ruang kerjanya.
"Semoga sarapan pagi ini Mas Bram menyukainya, resep masakan ini aku lihat dari YouTube."
Aku mulai menyajikan masakan yang sudah matang ke atas piring saji dan mulai menatanya dengan rapi di atas meja makan. Setelah selesai dengan semuanya, aku mulai melangkah menuju ruang kerja Mas Bram.
"Sepertinya Mas Bram masih sibuk, apa aku tidak mengganggunya ya?" gumamku dalam hati yang ragu untuk membuka pintu ruang kerjanya, karena aku melihat dari celah pintu yang sedikit terbuka, Mas Bram masih sibuk sekali dengan laptopnya.
Ternyata kedatanganku sudah dapat dilihat oleh Mas Bram, saat aku ingin berlalu dan membiarkan Mas Bram, tiba-tiba ia memanggil, membuat langkahku tertahan. Mas Bram menghentikan kesibukannya, ia lantas keluar dari ruang kerja untuk menghampiriku.
Aku menatap Mas Bram dengan ragu, seperti ada ketakutan di wajahku saat ini, karena aku merasa mengganggu pekerjaan suamiku.
"Kenapa wajahmu seperti itu sayang?"
"Maaf ya Mas, aku ganggu pekerjaan kamu ya? Tadinya aku hanya mau memberitahu kalau masakanku sudah selesai, aku ingin mengajakmu makan bersama."
Mas Bram tersenyum menatapku, tatapan matanya tidak mengisyaratkan sebuah kemarahan, melainkan tatapan penuh cinta yang tampak binar dari sorot matanya.
"Tidak usah sungkan denganku sayang, pernikahan kita kan sudah satu tahun."
Mendengar perkataan Mas Bram, entah kenapa membuat hatiku seperti teriris sebuah pisau. Aku sangat menyadari kehadiranku dalam kehidupan Mas Bram sebagai istri ketiganya, aku tidak bisa selalu menuntut banyak waktunya untuk bisa selalu bermalam di rumahku, karena dia harus membagi waktunya untuk kedua istrinya yang lain. Ustadz Arif selalu berkata pada Mas Bram untuk berlaku adil terhadap istri-istri yang Mas Bram nikahi, karena memang dalam islam sendiri diperbolehkan untuk berpoligami asalkan adil dan menurutku sejauh ini, semakin lama Mas Bram semakin bisa berlaku adil, tentunya tentang waktu saat Mas Bram bermalam. Semua perkataan Ustadz Arif sesuai dengan isi dari Surat An-Nisa ayat 3 yang berbunyi,
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
🍁🍁🍁
Sambil terus melangkah aku mengabaikan segala pikiranku saat ini. Kini aku dan Mas Bram sudah duduk bersebelahan di ruang makan. Aku seperti biasanya selalu menyediakan makanan untuk Mas Bram di atas sebuah piring yang langsung aku suguhkan dihadapannya.
"Silahkan dimakan Mas, semoga kamu suka ya dengan resep baruku, aku baru belajar dari YouTube, Mas," ucapku yang masih takut jika Mas Bram tidak menyukai masakanku.
Mas Bram tersenyum, setelah sejenak berdoa bersamaku, ia lalu mulai memakannya, satu suapan yang membuat detak jantungku berdegup kencang, bahkan sampai dahiku terlihat sedikit berkeringat.
"Masakanmu memang selalu enak sayang, aku suka, kalau bisa dalam 3 hari ke depan menu sarapan pagi seperti ini saja ya sayang," puji Mas Bram membuat wajahku langsung berseri-seri.
"Baik Mas, kalau itu permintaan kamu, aku akan memasak menu ini sampai 3 hari ke depan."
Kami melanjutkan aktivitas makan kami, aku melihat Mas Bram terlihat sangat lahap sampai tidak ada makanan yang tersisa di atas piringnya. Aku semakin bahagia dan semangatku untuk terus belajar masak kian kutekuni, itu semua demi suami dan anakku kelak. Saat terlintas sebuah kata "anak" aku jadi teringat selama satu tahun ini aku masih belum menyerahkan kehormatanku pada suamiku, yang seharusnya sudah kulakukan sejak malam pertama kami.
Aku menghela nafasku dalam-dalam.
"Sudah saatnya ku relakan kehormatanku, karena memang sudah kewajibanku untuk melayani suamiku," gumamku dalam hati merasa bersalah karena sudah terlampau lama aku menyiapkan hatiku untuk merelakan kehormatanku direnggut oleh suamiku sendiri.
Aku menatap wajah suamiku yang sudah selesai dengan aktivitas makannya, tatapanku yang terlihat sendu membuat Mas Bram langsung memasang raut wajahnya yang cemas.
"Kamu kenapa sayang? Kenapa kamu sedih sekali?"
Pertanyaan Mas Bram yang begitu perhatian membuatku semakin merasa bersalah, karena tidak seharusnya aku membalas segala sikap baik Mas Bram dengan menahan diriku untuk tetap menjaga kehormatanku.
Tanpa terasa bulir bening air mata jatuh dari kedua sudut mataku. Air mata yang langsung membasahi pipiku, membuat wajah Mas Bram semakin diselimuti dengan rasa cemas.
"Kenapa kamu menangis sayang? Apa aku ada salah denganmu?" tanya Mas Bram padaku sambil mengusap air mata di kedua pipiku dengan kedua tangannya.
Mas Bram kemudian menangkup kedua sisi wajahku dan mendekatkan wajahnya, hingga hembusan nafasnya menyapu wajahku begitu terasa hangat.
"Aku mencintaimu, tangisanmu adalah kesedihanku, jadi berhentilah menangis, katakan padaku, jika ada sesuatu yang salah yang kulakukan."
Untaian kata-kata yang melelehkan hatiku, membuatku semakin larut dalam kesedihan, aku pun akhirnya memutuskan untuk jujur kepada Mas Bram tentang alasan kenapa aku menangis.
Aku menggenggam tangan Mas Bram dan meletakkannya tepat di atas dadaku.
"Aku bersedia Mas, aku akan menyerahkan mahkota yang aku jaga selama 21 tahun ini padamu."
Perkataan dariku sontak membuat Mas Bram terkesiap, raut wajah yang tadinya diselimuti rasa cemas kini berubah menjadi kebahagiaan yang tampak dari sebuah senyuman di wajahnya. Mas Bram menuntunku untuk bangkit dari posisi duduk kami, ia langsung memelukku dengan erat, menghamburkan kebahagiaannya dalam dekapanku. Hatiku kini merasa begitu lega menatap kebahagiaan di wajah suamiku.
"Aku sudah melakukan hal yang benar," batinku penuh keyakinan.
Mas Bram menuntun langkahku, namun anehnya bukan ke arah kamar tapi Mas Bram malah mengajakku ke ruang tamu. Aku semakin bingung, karena aku pikir Mas Bram akan mulai melakukannya pada waktu ini juga, aku terus mengikuti langkah Mas Bram tanpa banyak bertanya, kini kami berdua sudah duduk bersebelahan di sofa.
"Mas, kenapa kamu malah mengajak aku ke sini?"
"Aku sebenarnya punya kejutan untukmu, tapi malah kamu duluan yang memberikan kejutan padaku."
Pikiranku mencoba menerka akan kejutan yang ingin diberikan oleh Mas Bram, namun belum juga aku menemukannya, Mas Bram yang sudah mengambil sesuatu dari laci meja, langsung menyodorkan brosur yang bertuliskan sebuah nama universitas ternama di Jakarta padaku.
"Ini apa Mas?"
"Aku sudah mendaftarkanmu di sana, sesuai dengan cita-cita kamu untuk kuliah, semoga kamu bisa lulus dengan nilai terbaik ya sayang, semangat meraih gelar S2 kamu ya."
Bibirku gemetar bahagia, lidahku menjadi kelu, kebahagiaan yang begitu indah aku rasakan saat ini, membuat air mataku kembali menetes membasahi pipiku.
"Kenapa kamu menangis lagi? Apa kamu tidak bahagia sayang?"
"Ini air mata kebahagiaan, Mas, terima kasih banyak ya Mas," ucapku sambil menyeka air mata di pipiku, lalu aku memeluk tubuh Mas Bram dengan erat.
Suasana kala itu menjadi hening, kebahagiaan yang begitu membuncah di hati kami berdua pagi itu. Berkah dari Allah untuk kami berdua adalah nikmat yang tidak bisa kami elakan dan patut kami syukuri. Namun tiba-tiba ponsel Mas Bram membuyarkan keheningan yang terjadi, terlebih saat Mas Bram mengangkat telepon itu, wajahnya langsung berubah muram, air mata tiba-tiba lolos dari wajahnya yang kini sudah terlihat panik.
"Kenapa Mas?" tanyaku yang penasaran atas apa yang didengar oleh Mas Bram.
Mas Bram sudah menutup sambungan teleponnya, dengan terbata-bata ia mulai membuka mulutnya untuk menyampaikan sebuah kabar yang sepertinya tidak baik yang akan ku dengarkan.
"Saskia kini dirawat di rumah sakit karena demam berdarah, keadaannya memburuk."
Mendengar itu aku coba menguatkan Mas Bram.
"Kita ke rumah sakit sekarang ya Mas, kasihan Mba Hanum pasti saat ini sangat sedih dengan keadaan Saskia, apalagi di Jakarta dia sendirian Mas," tuturku menyarankan kepada Mas Bram.
Mas Bram dengan cepat bangkit, ia langsung mengambil kunci mobil yang berada di atas nakas, aku pun dengan tergesa menuju kamar untuk mengganti pakaianku.
🌸🌸🌸
Bersambung✍️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!