Seorang gadis ayu dengan helaian rambut hitamnya yang tergerai, tengah duduk termangu di atas kursi meja riasnya. Manik bening hitamnya, tak mengalihkan sedikit pun pandangan pada sebuah benda yang tergeletak di atas meja. Kotak hitam tergembok, berdiam manis di sana. Benda persegi dengan ukuran perkalian dua puluh senti meter itu, nampak menyimpan sebuah rahasia. Tanpa hiasan, kemisteriusannya seakan semakin sempurna.
Tangan cantiknya, berulangkali hendak menyentuh benda itu, namun sepertinya hatinya tengah bergejolak. Antara mengiyakan ataukah menolak keinginan itu. Helaan napas mendalam, ia ambil dan kemudian dibuang dengan kasar. Ia alihkan pandangannya pada sembarang arah, dan kembali lagi. Daya tarik kotak itu lebih besar daripada pikiran yang ingin mengabaikannya.
Dalam kegamangan yang mendera, ia memilih untuk beranjak dari duduknya. Melangkah meninggalkan latar yang membuatnya diserang badai penasaran. Mencari segarnya udara yang berembus dari balkon kamarnya yang berada di lantai dua. Netranya memejam sempurna, membiarkan pikirannya lebih jauh menguasai.
Ketika pikirannya mulai menyebarkan segala pengaruh, hatinya tak bisa lagi untuk tetap tenang. Ia kembali, memutar balik langkahnya menuju kotak hitam itu berada. Ia membuka laci meja riasnya yang paling atas. Mengambil sebuah kunci kecil dan menggenggamnya.
Beberapa detik waktu berlalu, ia memilih membuka kepalan tangannya. Memandang tajam kunci tersebut dan kemudian ia pindahkan dengan jepitan dua jarinya. "Apakah ini saat yang tepat untuk membuka rahasiamu, Mas?"
Pertanyaan yang menyiratkan sebuah kenangan yang telah lama dibiarkan mengendapkan rahasia. Entah alasan apa yang menjadi latar belakang kotak itu dibiarkan terabai, tetapi pasti ada kisah dibaliknya.
Perlahan kunci itu menemui peraduannya. Lubang yang tepat untuk sebuah benda yang tersetting menjadi pengisinya. Dengan sekali putaran, terbukalah penghalang yang menjadi salah satu sebab kotak itu dibiarkan.
"Mas, jika aku membuka kotak ini, apakah akan mengubah sesuatu diantara kita? Aku takut, ada hati yang akan terluka meskipun aku tak menginginkan itu terjadi," gumamam penuh kegundahan lolos begitu saja dari mulut gadis berkulit putih itu.
Tak ada jawaban yang terdengar, karena memang ia tidak berbicara dengan seseorang di sana. Dia berbicara dengan seseorang yang menjadi pemberi kotak itu yang entah di mana keberadaannya. Mendengar kata Mas sebagai sapaannya, bisa dipastikan jika ia adalah lelaki yang kemungkinan besar punya hubungan yang berkaitan dengan perasaan.
Perlahan ia membuka kotak itu, seiring dengan membuka kelapangan hati dan perasaannya. Pikiran yang sudah meliar dalam penjelajahan ruang dan waktu, menghadirkan rangkaian peristiwa masa yang telah lampau. Rupanya sebuah novel yang menjadi isi dari kotak hitam itu, melayangkan khayal sang gadis pada kisah empat tahun yang lalu.
Dibawah rintik hujan disenja yang temaram, dua anak manusia keturunan jenis adam dan hawa sedang berteduh dari kebasahan. Di sebuah kedai bakso, kehangatan obrolan itu memecah dingin yang tercipta dari derai hujan yang meraja. Seorang gadis ayu dan lelaki yang memiliki senyum manis sedang duduk di salah satu meja.
"Besok lagi, kalau keluar rumah selalu bawa jaket!" perintah lelaki itu seraya melepas jaketnya dan melingkupi tubuh gadis di sampingnya itu dengan jaket tersebut.
"Aku gak suka ribet, Mas" balas gadis itu dengan cengiran senyumnya.
"Rosa, Sayang, kalau kamu sakit aku yang lebih ribet," aku lelaki manis itu penuh perhatian.
"Tak apa aku sakit, asal ada Mas yang merawatku," gadis itu lagi-lagi bercanda dengan topik yang tak seharusnya dibuat untuk candaan.
"Kalau kamu masih bandel juga, aku tak segan menikahimu sekarang," tegas Mas yang belum jelas namanya itu.
Gadis ayu yang disapa Rosa itu malah bergelayut manja di lengan Masnya. "Mau," ucapnya dengan kerlingan menggoda.
Lelaki manis itu mengacak rambut gadis ayunya. Menebarkan senyum dan mulai berbicara. "Mau apa?"
Rosa memukul lengan Masnya. Bibirnya ia kerucutkan mengisyaratkan jika ia sedang sebal karena terus-terusan digoda. Ia memilih untuk menyesap minuman dingin berwarna orange yang ada di hadapannya. Tanpa ia sangka, Masnya memasukkan satu sedotan lagi ke gelasnya dan terjadilah fenomena minum bersama.
"Ayo kita mulai petualangan cinta kita dalam bingkai rumah tangga dari tempat ini, gelas ini dan detik ini juga!" pinta Mas manis itu dengan mata yang memancarkan keseriusan.
"Mas melamarku? Dengan segelas jus jeruk berdua? Ini bukan romantis Mas, tapi pelit," balas Rosa dengan gaya ceplas ceplosnya, tapi justru itu yang membuat seorang Mas manis itu jatuh cinta.
"Hm, Romantis gak harus mahal, Sayang. Kamu mau dilamar romantis atau dilamar dengan sesuatu yang bernilai fantastis?" selidik Mas itu dengan lengkungan di kedua bibirnya yang terangkat sempurna.
"Mau yang romantis plus bernilai fantastis," jawab Rosa dengan senyum smirknya.
Perlahan senyum itu berganti dengan ekspresi lain. Candaan yang terpancar dari raut wajahnya berubah menjadi keseriusan.
"Mauku, kamu yang selalu di sisiku, Mas," aku Rosa dengan tatapan lembutnya. "Bagiku, kamu tak ternilai."
"Bagiku juga, kamu adalah cinta yang tertaut tanpa aku pernah yakin itu bisa terjadi seindah ini. Cinta kita berawal dari deja vu dan menyatu karena takdir yang sudah tertulis oleh Sang Maha Cinta," tutur Mas manis itu seraya meraih jemari Rosa, menghangatkan di dalam genggamannya.
"Kisah kita seperti kisah novel saja, ya, Mas?" tanya Rosa dengan menatap tautan jemari mereka berdua.
"Bikin novel yuk!" ajak Mas manis itu spontan.
Rosa mengernyitkan dahinya, membentuk beberapa garis yang menandakan ia meminta penjelasan mengenai apa yang baru saja didengarnya.
"Buat kado pernikahan kita, ya! Mahar dariku." Mas manis itu semakin membuat Rosa bingung tetapi bahagia.
Rosa mengangkat jari kelingkingnya. "Janji?"
"Janji!" seru Mas manis itu dengan menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking kekasihnya itu.
Di bawah derai hujan itu, terpatrilah janji yang akan menjadi cerita di kemudian hari. Sebuah novel yang akan mengubah semua cerita perjalanan panjang hati yang tersakiti.
Gadis ayu yang masih menatap novel yang tersimpan di dalam kotak hitam itu kembali menghela napas dalamnya. Kilasan kisah lalu yang menghubungkan novel di hadapannya itu membuat hatinya kembali membuncahkan rasa.
Kenangan indah itu rupanya punya kelanjutan yang tak bisa ditebak, apakah berakhir tawa atau duka. Namun melihat raut muka sang gadis, sepertinya ia didera luka. Kenyataan pahit yang membuatnya ragu untuk membiarkan novel itu pada tempatnya dan menutupnya kembali ataukah mengambilnya dan mulai membaca.
Hening yang menyelimuti ruangan dengan sinaran lampu berwarna putih itu, tak kalah sepi dengan hati sang pemilik. Beberapa lama terpaku, akhirnya gadis ayu itu mengambil novel bercover hitam berpadu pink itu. "Mas Rud (Novel Cinta Sang Bodyguard)" begitulah judul novel yang sudah bertahta di tangannya itu. Perlahan mulai membuka setengah lembarnya dan ...
Dan terbukalah secara gamblang halaman pertama novel itu yang berisikan tentang ungkapan terimakasih sang penulis. Gadis ayu itu mendongakkan kepala, memutar bola matanya bergantian, ke kanan, ke kiri, ke atas dan kadang terpejam. Ia seolah belum siap untuk mengetahui rahasia hati sang pemberi novel.
Ia teguk air yang kebetulan ada di meja riasnya. Segelas penuh itu kini hanya menyisakan sedikit di bagian dasarnya. Nampaklah ia sedang dilanda gundah, ada pertarungan di dalam hatinya, melanjutkan atau menghentikan.
Pada akhirnya, mata itu memilih fokus. Mulai membaca.
Say Thank You
Novel ini adalah janji kita. Janji indah yang harus terpisah. Sebelum aku berterimakasih, izinkan aku mengucap maaf untuk semua luka yang aku torehkan di hatimu. Lewat tulisanku ini, aku berbicara dari hati, semuanya. Dari awal cinta ini bermula sampai detik akhir perpisahan kita.
Aku bersyukur Tuhan pernah menyatukan kita meskipun hanya sesaat. Namun, aku sangat berterimakasih padamu, karena kamu memberiku banyak cinta. Sebaliknya maafkan aku yang memberimu begitu banyak luka. Cinta ini tetap menjadi milikmu, bukan sebesar saat kita masih bersama tetapi jauh lebih besar dari sebelumnya.
Penyesalanku karena salah mengambil langkah, kini biarlah aku yang menanggungnya. Selalulah bahagia, meski sebenarnya akulah yang ingin menjadi penyebab bahagiamu itu. Sayangnya aku adalah pembawa luka.
Terimakasih untuk lelaki yang kini ada di sampingmu. Jika tak ada dia kuyakin rasa bersalahku karena meninggalkanmu akan semakin besar. Dia adalah lelaki yang pantas untuk kau bahagiakan dengan cintamu. Karena aku tahu, dia adalah pejuang bukan pecundang sepertiku.
Pecundang yang selalu mencintaimu
(Rud Dinata)
Penutup say thank you itu akhirnya juga memaksa gadis ayu itu menutup novel yang baru saja dibacanya. Ia raup air mukanya dan kemudian menghela napas panjang. Meletakkan kembali novel itu di sudut meja riasnya. Setelah beberapa waktu terpaku, ia beranjak dari duduknya. Membuka pintu balkon dan berdiam di sana. Memandang hamparan langit malam yang diterangi oleh ribuan bintang.
"Ucapan terimakasihmu haruskah kujawab sama-sama, Mas? gumam gadis itu sambil menengadahkan pandangannya pada rembulan yang berpijar sempurna.
"Sama-sama, iya ... kita berdua sama-sama terluka," terus gadis itu dalam pembicaraannya seorang diri.
"Kamu berterimakasih pada lelaki di sampingku, karena ia menjagaku dari luka yang sengaja kamu torehkan. Namun, apakah Mas tahu jika sampai detik ini, rasaku padamu masih bersisa meskipun sekuat hati sudah kulebur dengan pemilik cinta halalku," wajah sendu gadis itu kembali mengalirkan kristal bening.
"Maafkan aku, aku menyakiti kalian berdua. Lelaki di sampingku, selalu memahami hatiku yang tidak seratus persen padanya. Namun, aku jahat karena selalu mengendapkan cinta atas rasa masa lalu padamu, Mas Rud."
"Jika saja kalian datang tidak pada waktu yang bersamaan, aku ingin membahagiakan kalian bergantian. Meskipun pada akhirnya diantara kalian ada yang harus tidak berjodoh, setidaknya aku pernah membahagiakan dengan rasa seutuhnya," gumaman gadis itu dengan memejamkan mata.
Saat gadis itu memilih menutup mata dari bayangan kenyataan pahit, ada tangan yang menepuk bahunya. Dia tetap memaku, tak peduli dengan siapapun yang datang karena sebenarnya dia membutuhkan seseorang untuk dijadikan sandaran. Melepas penat yang menjerat, galau yang meracau dan sendu yang membelenggu.
"Kalau kamu belum siap terluka lebih dalam, jangan kamu lanjutkan!" ujar suara khas lelaki yang dia tebak sebagai orang yang baru saja menepuk bahunya.
Gadis itu menundukkan pandangannya. Seolah membenarkan apa yang baru saja dikatakan oleh lelaki di sampingnya. Dia lepaskan kasar napas yang ia pergunakan untuk melanjutkan kehidupannya. "Dia memilih meninggalkanku dan akhirnya menjadikan dua hati terluka, hatiku dan hatinya. Namun keputusanku untuk bersandar pada hati yang lain saat aku terluka karenanya, itu justru membuatku menjadi wanita paling jahat, melukai 3 hati tanpa sengaja."
Bulir air mata mengalir perlahan dari ujung mata gadis itu. Semakin deras dan membuat ia tak bisa lagi mengontrol isaknya. Lelaki yang ada di sampingnya hendak meraih tubuh gadis itu ke dalam pelukannya, tapi ia urungkan. Ia tidak mau membuat gadis itu berpikiran bahwa dirinya semakin jahat, karena hadirnya orang keempat yang akan terluka karenanya.
"Semua sudah terlambat, Pak. Aku sudah menyakiti keduanya dan kini aku yang menanggung karma, kehilangan mereka dari sisiku," terang gadis itu dalam isaknya yang masih tersisa.
"Pergilah dari sini! Tenangkan dirimu! Dan bersiaplah untuk menyambut lahirnya Rosa yang baru, Rosa tanpa bayang-bayang Dion maupun Rud," tutur lelaki yang disapa Pak itu.
"Mungkin itu lebih baik untukku. Namun aku ingin menyelesaikan membaca novel itu. Sudah kusiapkan diriku untuk benar-benar terendap lara jika kenyataan yang kudapat sangat menyakitkan," jelas gadis yang dinamai Rosa oleh lelaki itu.
Lelaki itu kembali menepuk bahu gadis yang berusaha kuat itu meskipun terluka dalam dan menganga. "Jangan memaksa jika tak kuasa. Cari aku bila deritamu tak dapat kau tanggung sendiri. Aku bukan orang keempat dalam lingkar kesakitan kalian, aku hanya kakak yang akan menghiburmu jika kamu mau. Namun percayalah aku selalu didekatmu."
Gadis itu pun mengangkat kepala yang sedari tadi ia tundukkan. Menghapus airmata yang masih bersisa dan menatap kepergian lelaki yang dipanggilnya Pak tapi mengaku sebagai kakaknya itu. "Pergilah, Pak! Jangan ada di dekatku untuk waktu yang lama. Aku takut nanti kamu juga akan terluka."
Gadis itu kembali terpaku setelah melepas perintah untuk lelaki yang baru saja meninggalkannya itu dengan seruan lirih. Kesadarannya mulai kembali saat tiupan angin yang sedikit berlalu dari kata sepoi dan merujuk pada kata badai kecil itu membelai kasar rambutnya yang tergerai. Bermain nakal hingga menutupi sebagian wajahnya.
Kakinya terpaksa ia langkahkan, meninggalkan balkon, kembali pada kursi yang tadi membuatnya teriris perih. Kembali menatap novel itu dengan lekat meskipun tangannya masih ragu untuk meraihnya. Hanya deru napas kasar yang ia buang kemudian.
Lembar say thank you yang tadi sempat ia tandai dengan pembatas kertas yang sudah tersedia di dalam novelnya, ia buka. Bukan terfokus pada halaman itu tapi malah menemukan sesuatu yang mengusik penglihatannya dari benda kecil itu.
Lukisan tangan yang memvisualisasikan dua orang berlainan jenis sedang duduk di pantai dalam remangnya senja. Mereka nampak memandang matahari yang sudah tenggelam dan hanya menyisakan sedikit semburat oranye di atas lautan yang jauh di sana.
"Mengapa kau lukiskan kita sedang membelakangi mata, Mas? Apakah ini isyarat darimu bahwa kisah kita sudah menjadi kenangan?" lagi-lagi suara lirih gadis itu mengisi keheningan sekitarnya.
Perlahan khayalannya dibawa pada masa dimana lukisan itu menjadi cerita sesungguhnya. Kala dirinya dan lelaki pembuat cerita di novel yang dibacanya ini sedang menikmati senja. Waktu liburan, hampir empat tahun yang lalu beberapa hari sebelum kejadian menyedihkan itu terjadi.
Obrolan cinta mereka tentang kegalauan kala itu rupanya ia tuangkan menjadi kertas pembatas buku. Apakah itu seperti penanda masa lalu, saat sesuatu yang indah akan segera berubah menjadi gundah?
Ketika detik jarum jam menunjukkan pukul delapan malam tepat, tak kurang atau lebih sedikit pun, bab pertama novel itu siap dibaca. Gadis ayu itu menghela napas normalnya sebelum dibawa menelusuri jejak cinta yang sudah dikuburnya dan terpaksa digali lagi agar terbebas dari rasa penasaran yang selama ini menyelimuti dirinya.
Dari sinilah kisah bahagia yang berakhir luka itu diawali.
Bab. 1 : Melihatmu Pertama Kali
Aku dan motor hitamku, memacu di jalanan lengang yang rindang. Hari ini begitu terik tetapi aku merasa hariku jauh dari kata gerah. Bahkan ademlah sebutan yang kusematkan. Urusanku di kampus telah usai dan aku bisa bersantai dengan hariku yang masih belum menginjak kata sore.
Perjalanan yang biasa aku habiskan dengan roda yang berputar lebih kencang, kali ini sedikit aku pelankan. Merasakan sepoi angin yang menerpa badanku yang hanya dibalut oleh kemeja panjangku yang berwarna abu-abu muda.
Selintas ada motor yang melaju dari arah lawanku. Seorang wanita dengan rambut panjangnya yang tergerai, nampak membuka kaca helmnya. Entah kenapa, aku rasanya tertarik oleh magnet pesonanya. Gadis ayu berkulit putih itu seolah tak resah memanggang kulitnya di bawah terik mentari. Binar yang terpancar dari raut cantiknya seperti ingin kupandang selalu.
Ketika garis pandang kami menarik satu garis lurus menyamping, rupanya gadis itu juga memandangku lekat. Hanya ekspresi datar, tetapi rasanya aku seperti diajak berpacu dalam roller coaster. Hatiku berdegup tak menentu. Gejolak yang tak pernah kurasakan tapi kuketahui sebagai hati yang sedang dilanda jatuh hati.
Mana mungkin? Cinta pada pandangan pertama itu hanyalah ada di novel-novel romansa. Nyatanya, cinta itu butuh waktu dan pendalaman karakter seiring berjalannya waktu. Namun, getaran ini? Apakah aku bisa mengendalikannya?
Tak bisa kubohongi jika aku menemukan getar rasa lain di hati yang belum pernah menjalariku sebelumnya. Hingga dia menghilang dari pandangan, manik hitamku tetap melekat menatapnya. Seperti aku, gadis itu juga melakukan hal yang sama, terjebak oleh pandangan pertama.
Semilir angin yang kembali bertiup, menyadarkanku. Dia telah berada jauh di belakangku dan kami terbentang jarak yang semakin menjauh. Kuraba dadaku yang masih dibelenggu detak tak menentu. Tuhan, apakah cinta pertamaku telah datang?
Bunga bunga di taman hatiku sepertinya sedang merekah indah. Senyum terukir dari kedua ujung bibirku membentuk lengkungan sempurna. Pikiranku terus tertuju pada gadis itu. Siapa dia?
Bunga dan tanya yang bergelayut dengan gagahnya di ranting-ranting pikirku, membawaku larut dalam bahagia. Hingga tak kusadari jika gerbang rumahku sudah menanti untuk kubuka agar aku bisa masuk ke dalamnya.
Siulan-siulan merdu menemani langkahku semenjak parkiran hingga masuk ke ruang keluarga di mana bundaku berada.
"Bunda," sapaku penuh senyuman dengan tanganku yang meraih tangannya, mencium punggung tangan dan tak ragu membiarkan tubuhku di pelukannya.
"Bahagianya anak Bunda, ada apa, nih?" tanya Bunda dengan senyum ambigunya.
"Sepertinya, Rud jatuh cinta, Bun," akuku tanpa ragu dan malu.
Bunda yang asyik menatap layar televisi seketika mengalihkan pandangannya padaku. Mengernyitkan dahi dan mulai membuka bibirnya untuk berbicara. "Gadis mana yang sudah berhasil mengambil hati anak Bunda yang tampan ini, hmmm?"
"Rud baru melihatnya, Bun," jujurku dengan cengiran senyum.
"Dari kemarin dikenalin banyak gadis cantik selalu menolak, ini jatuh hati dengan sembarang gadis. Jangan tergoda cover, ya, Sayang," nasihat Bunda diakhir kalimat penyataannya tentang aku yang selalu tak berminat dengan gadis-gadis yang bertebaran di sekelilingku.
"Apakah Rud bisa menolak jatuh cinta pada pandangan pertama, Bun?" tanyaku sambil menggulung kemejaku dan mencomot kue basah yang tersaji di meja.
"Cintailah wanita yang juga mencintaimu, Sayang. Rasa yang tulus dan tidak bersyarat," wejang Bunda sambil menepuk pelan pundakku.
Kusunggingkan senyum termanisku. "Iya, Bun."
"Mandi dulu, sana! Setelah itu makan," perintah Bunda yang justru membuatku mendudukkan diri di sofa samping Bunda dan kemudian merebahkan diri dengan santai.
"Bun," panggilku lembut.
Bunda tersenyum mendengar panggilanku. "Jika kamu jatuh cinta, maka mintalah jodohmu itu pada Sang Maha Cinta."
"Lamarin, dong Bun!" pintaku dalam tawa.
"Sebegitu istimewakah gadis itu hingga anak Bunda tak bisa menunggu waktu mengenalnya?" goda Bunda dengan senyuman penuh rahasia.
"Tentu saja, Bun," balasku seraya membalas senyum Bunda dengan senyum penuh pesona.
"Mandi dulu! Baru Bunda lamarin gadismu itu," tukas Bunda.
Aku pun langsung terbangun dari rebahanku. Melangkahkan kaki dengan ringan dan menoleh pada Bunda sebentar. "Janji, ya Bun?"
Bunda pun tersenyum sambil menggeleng- gelengkan kepalanya. Aku bisa membaca pikiran Bunda sebagaimana kalimat yang aku tuliskan dalam pikiranku. Apakah cinta ini sudah membuatku gila?
Aku tak pernah jatuh cinta sebelum ini. Meskipun usiaku sudah mencapai seperempat abad, tetapi sepertinya cinta itu enggan untuk datang padaku. Padahal banyak gadis menawarkan rasa tapi hatiku tak pernah tergoda. Berbeda dengan gadis ayu yang tadi kujumpai, dengan pertama melihatnya, aku sudah yakin jika aku tergoda cinta.
Memasuki kamarku yang berlapis warna putih, aku jatuhkan diriku di ranjang. Anganku melayang, membawa dimensi waktu melambat pada setengah jam yang lalu. Memutar kembali memori yang menghadirkan tokoh utama aku dan gadis itu, gadis ayu yang bermata indah.
Ah ... beginikah jatuh cinta itu? Pikiranku dikuasainya hingga aku tak kuasa untuk menepis wajahnya. Terus bermain di mataku, tanpa ragu dan malu. Dan anehnya, aku bahagia. Selalu merasakan bahagia dan senyumku selalu ingin terkembang sempurna.
Benar-benar malu dengan tingkahku sendiri. Lelaki bujang diujung kematangan sepertiku berperilaku layaknya ABG dimabuk cinta. Ah ... bukankah cinta itu milik semua usia? Buktinya ada puber kedua untuk cinta yang datang saat kemapanan menyombongkan tahtanya.
Segera kuberanjak dari ranjang, melepaskan kancing demi kancing yang saling mengaitkan diri dengan setiap lubang pada kemejaku. Menaruhnya pada keranjang baju kotor dan kemudian menjatuhkan diri lagi di tempat yang sama.
"Siapa kamu, gadis ayu yang membuatku merasa gila karena jatuh cinta?" bicaraku pada diri sendiri.
"Seorang Rud yang biasa menolak gadis-gadis hari ini tak bisa menolak pesona gadis saat berseberangan jalan, Oh My God!"
Pikiranku tentangnya nampaknga harus kulunturkan sementara waktu. Aku tak mau menjadi gila sebelum berkenalan dengannya. Biarlah aku memohon cinta pada Sang Maha Cinta. Dekatkan dia, dan persatukanlah dengan indah.
Kuguyur diriku di bawah pancuran air kamar mandi. Mengharap cinta yang turun ke hatiku juga turun ke hatinya. Membasahi hatiku yang selalu kering dan tandus dari kasih seorang
gadis yang berstatus pujaan hati. Aku sungguh-sungguh mendamba, ada rasa yang hadir melingkupi hatinya juga. Semoga pandangannya tadi, adalah isyarat jika ia juga merasa tertarik padaku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!