NovelToon NovelToon

Pria Kaku Ini Jodohku

BAB 01 : TERKEJUT

BRUK!!!

“AWWW!!!” pekik Karina kaget, saat kepalanya dilempar sesuatu oleh seseorang dari balik mobil mewah yang berjalan tidak jauh darinya.

“Kamu kenapa Rin?”

Saat ini Karina sedang berjalan bersama dengan Sahabatnya ‘Akila.

Alih-alih menjawab pertanyaan sahabatnya, ia malah berteriak pada seseorang yang melempar sampah tepat di kepalanya.

“HEY!!!” seru Karina, “Kalau buang sampah jangan sembarangan dong! Enggak punya mata apa? Sial!” umpatnya kemudian.

Karina menatap nyalang pada sebuah mobil yang terus menjauh darinya, sontak indra pendengarannya terasa bising kala Akila menertawakannya.

“Ha-ha-ha!” Akila cekikikan melihat kepala sahabatnya dipenuhi sampah tisu, seperti bekas lap—mengelap. Bukannya prihatin melihat sahabatnya mendapatkan musibah, Akila malah menertawakannya.

“OOPSSS!” Akila menutup mulutnya, dengan kedua telapak tangannya. Ketika Karina melotot ke arahnya. Sedetik kemudian Karina berceloteh.

“Ahhhh! Enggak lucu Kila... Gue kena musibah elo malah ngetawain gue, temen enggak ada akhlak!” umpat Karina kesal, memasang wajah merengut dengan bibir moncongnya ia terlihat geram. Namun, kecantikannya tidak sedikitpun luntur.

Tidak mau Karina semakin marah padanya, Akila pun lantas memberikan tisu itu pada Karina. “Ini lap saja,” Akila menyerahkan tisu basah.

“Gila! Apa maksudnya? Mana cukup ini di lap pakai tisu? Enggak-enggak, gue mau ke toilet saja,” Karina lantas bergegas menuju toilet, tapi di tengah perjalanan dia mengubah pikirannya, dan berbalik arah pada Akila.

“Tapi gue malas banget kalau harus balik lagi ‘Kil,” ucap Karina lagi.

Langsung ditanggapi oleh Akila.

“Ya iyalah ... masa elo mau balik lagi ke Gedung Kampus hanya untuk pergi ke toilet, eh—tapi, terserah elo deh ya. Kalau untuk nganterin ke sana Gue si Ogah. Fiks, gue enggak mau!”

“Ceilah ... gitu amat sih sama Sahabat sendiri, ya sudah deh enggak jadi. Sini gue lap pakai tisu saja,” Karina meraih tisu ditangan Akila lalu mengelapkan sama sampah di kepalanya.

Mereka kembali melanjutkan perjalanannya menuju parkiran, lantaran jarak parkir dengan gedung Universitas lumayan jauh. Sehingga mengharuskan mereka berjalan kaki.

“Hhhhh ... sumpah! Nyebelin banget itu Orang, awas saja kalau ketemu bakal gue bejek-bejek, kalau itu Cewek sih!” kesal Karina sambil memeragakan, “Bahkan bakal gue jadiin Babu Gue selama satu bulan!” umpatnya lagi.

“Nah, kalau yang membuang sampah sembarangan itu Cowok, jangan-jangan itu Jodoh kamu Rin ‘gimana?”

“HUSTTT!” desis Karina, “Jangan sembarangan kalau ngomong Kil, amit-amit jabang Bayi,” Karina bergidik jijik.

“Biasa saja kali Rin... enggak usah ditanggapi serius. Nanti kesampaian Jodohnya,” ledek Kila terkekeh sambil tersenyum menatap Karina.

Karina balik menatap Akila, “STOP! Akila Teresa, jangan diteruskan. Lebih baik kita pulang ‘sekarang,” Karina merangkul pundak sahabatnya dengan tangannya.

“Ihhhh!” pekik Akila saat Karina merangkulnya, “Jauh-jauh dari Gue, badan elo bau Karina,” berontak Akila berusaha melepaskan rangkulan tangan sahabatnya.

“Bau ya? Bau!”

“Iya Bau ...,”

“Enggak apa-apa kali bagi-bagi,”

“Ihhhh apaan sih elo, enggak lucu Karina.”

Dua perempuan bersahabat itu pun terus berjalan menuju parkir mobilnya, sambil terus bersenda gurau sampai pada akhirnya mereka sampai di mobil.

***

Karina dan Akila itu telah sampai di rumah, seperti biasanya Kila selalu mampir ke rumah Karina setiap pulang dari kampus.

Ceklek!!! Karina meraih gagang pintu utama rumahnya, sambil mengobrol dengan Akila.

“Akila,” panggil Karina.

“Iya ada apa?”

“Elo nginep saja di Rumah Gue, mau yah?” mohon Karina penuh harap, memasang wajah melasnya supaya Akila mau di ajak menginap di rumahnya.

“Ya sudah, iya. Gue mau! Biar elo seneng,” Akila mengabulkan permohonan Karina.

“Terima kasih ya ... Gue seneng banget, sumpah!” Karina lantas bergegas menuju kamarnya, sedangkan Akila mengekor di belakang.

Sebelum Karina ke kamarnya bersama Akila, di ruangan keluarga masih tampak sepi tidak ada orang satu pun. Tapi, setelah Karina, dan Akila mandi lalu kembali ke lantai bawah.

Di sana terlihat Om Ryan papanya Rama, sahabat mereka berdua terlihat sedang mengobrol dengan ibunya Karina.

“Rin,” sapa Om Ryan pada Karina dengan melambaikan satu tangan, dan melempar senyum renyahnya.

“Iya Om,” Karina membalas sapaan hangat itu.

Namun, setelah berbalas sapa dengan Om Ryan. Karina lantas kembali ke kamarnya bersama Akila. Mereka berdua kembali bersantai di atas kasur empuknya.

TOK-TOK...

Satu ketukan pintu terdengar oleh Karina, dan kemudian disusul panggilan dari sang ibu. “Karina!”

“Iya Ma sebentar,” lalu Karina menatap pada Akila, “Kila bisa buka pintu untuk Mamaku?”

“Oke!” Akila pun menuruti permintaan Karina, ia lantas bangkit dan membuka pintu.

CEKLEK!

“Eh— kok Kila yang buka pintunya, Karina ngapain?”

“Ada kok Tante di dalam,”

Perlahan Karina menghampiri ibunya, setelah membasuh masker di wajahnya. “Ada apa Ma?” tanya Karina sambil berjalan menuju ibunya.

“Enggak, Mama Cuma mau ajak kalian makan. Ayo kebetulan Mama masak banyak banget, ayo Kila Tante juga ajak kamu kok,” seraya tersenyum ramah.

Ibunya Karina lantas kembali ke ruangan makan setelah memberitahu putrinya, dan sahabatnya kalau makanan sudah siap santap.

“Kila, elo lapar?”

Akila menggeleng kepalanya, seolah memberi isyarat kalau dia tidak lapar. Tetapi, tiba-tiba saja perutnya berbunyi.

“Bohong lu enggak lapar, itu perut Lo bunyi,” Karina menunjuk arah perut Akila.

“Iya gue lapar, pake banget. Tapi, belum mandi,” Akila cekikikan.

“Ya sudah mandi dulu!” perintah Karina.

Dengan segera Akila pun berjalan menuju kamar mandi, sementara Karina menunggunya.

***

“Ayo cepat silakan dimakan,” ucap ibunya Karina, meminta segera memakan hidangan malam itu.

Akila tampak malu-malu saat itu. “Ayo Kil, jangan malu-malu,” kata Karina.

Perlahan Karina, dan Akila pun menyantap makanannya di meja makan. Namun, ibunya Karina hanya menatap pada mereka berdua, terlihat di matanya seperti ada kesedihan yang tidak terungkap.

Bersyukur Karina menyadarinya, ia sangat peka dengan suasana perasaan ibunya saat ini.

“Mama kenapa?” tanya Karina heran.

“Enggak kenapa-kenapa sayang, ayo dihabiskan makanannya,” pintanya pada Karina. Lalu beralih pada Akila, “Gimana Kil masakan Tante ‘enakkan?”

“Enak banget Tante,” ucap Akila di sela menyuap makanan.

Merasa tahu situasi di sana sedang tidak baik, Akila pun memilih lebih dulu ke kamar setelah selesai makan.

“Akila pamit duluan ke kamar ya Tante,” izin Akila.

“Oh—iya silakan,”

“Tega banget ninggalin Gue,” celetuk Karina.

“Enggak apa-apa Karina, lagian di sini masih ada Mama,”

“Ehehe ... Iya sih Ma,” Karina lantas melanjutkan aktivitasnya berkutat dengan makanan buatan sang ibu.

Tiba-tiba saja ibunya kembali berbicara, dan kali ini sangat serius. “Rin ... ada satu hal yang ingin Mama sampaikan sama kamu,”

“Apa itu Ma?”

Sebelum melanjutkan ucapannya, ia mengambil nafasnya dalam-dalam lalu kembali berbicara.

“Perusahaan Papa di ambang kebangkrutan Rin,” lirih ibunya menangis saat itu juga.

Tidak ada kata-kata yang mampu keluar dari mulut Karina, tiba-tiba saja tenggorokannya terasa kering saat mendengar Perusahaan orang tuanya di ambang kebangkrutan.

Sedetik kemudian, suara teriakan dari ruangan sebelah memecah lamunan.

“Karinaaaaaaa ... Cepat panggil Ambulans!”

Bab 02

Aku berjalan gontai menuju ruangan tempat ayahku dirawat. Di sampingku, Qylla, sahabatku sejak SMP, terus berjalan diam-diam menemaniku tanpa banyak bicara.

"Qyll... gimana kalau ternyata Pappy aku nggak bisa sembuh seperti sediakala?" tanyaku pelan, hampir seperti bisikan.

Qylla menoleh padaku dengan wajah prihatin. "Rin, lo harus tetap berpikir positif, oke? Lo harus sabar. Gue tahu sekarang masa-masa paling berat buat lo, tapi lo harus tetap semangat," katanya menyemangatiku sambil merangkul bahuku.

Aku mengangguk pelan. "Makasih ya, Qyll. Lo udah mau nemenin gue. Gue bener-bener nggak tahu lagi harus gimana buat nyelametin perusahaan Pappy. Sekarang Pappy juga jatuh sakit… gue bingung, Qyll..." ucapku lirih. Tanpa terasa, air mata jatuh dari pipiku.

Di dalam ruangan, kulihat Mommy terus menggenggam tangan Pappy yang masih tak sadarkan diri. Wajahnya sembab dan matanya merah karena menangis semalaman.

"Mom, mendingan Mommy istirahat aja. Biar aku gantian jagain Pappy ya," ujarku pelan sambil menyentuh bahunya.

Mommy menggeleng lemah. "Enggak, sayang. Mending kamu pulang aja. Kasihan tuh teman kamu, jadi ikut repot bantuin kita. Besok kamu juga ada kuliah, kan?" jawab Mommy, melirik ke arah Qylla yang duduk di bangku luar ruangan.

Tak lama, Om Ryan masuk ke ruangan sambil membawa kantong plastik berisi makanan.

"Rin, lebih baik kamu pulang dulu ya. Ini sudah malam. Biar Om yang jagain Pappy malam ini," kata Om Ryan sambil menepuk pundakku.

Aku mengangguk. "Baik, Om. Aku titip Pappy ya, sama Mommy."

Mommy ikut menimpali, "Iya, sayang. Mommy dan Pappy akan baik-baik saja. Kamu pulang aja. Doain Pappy ya, supaya cepat sembuh dan bisa pulang lagi."

Akhirnya, aku dan Qylla pulang ke rumah. Sejak para pembantu pulang kampung karena pandemi beberapa bulan lalu, rumah kami jadi sepi. Malam itu pun kami lewati dengan kelelahan.

Pagi harinya, aku dan Qylla berjalan menuju kampus. Setelah memarkirkan mobil di basement, mataku langsung menangkap sebuah mobil yang terasa sangat familiar.

"Qyll, itu bukan mobil yang kemarin buang sampah ke arah kita, ya?" bisikku sambil menunjuk ke arah sebuah mobil hitam. Di sana, seorang laki-laki tampak sedang bersandar di pintu mobilnya.

Qylla menoleh dan menarik tanganku. "Rin, jangan gila deh. Buat apa lo samperin orang kayak gitu?"

"Gue cuma mau kasih dia pelajaran sedikit aja, Qyll."

"Rin, please... kita ke kelas aja, yuk."

Tapi aku sudah berjalan mendekati pria itu. "Permisi, Mas. Kemarin Anda buang sampah di depan kampus ini, kan? Di pinggir trotoar," tegurku dengan sopan, meski nada suaraku agak tegas.

Pria itu menoleh, lalu menatapku dari atas ke bawah. Diam. Sama sekali tidak menjawab.

"Heii! Saya nanya, jawab dong, Mas," ucapku lebih keras.

Akhirnya dia angkat bicara, menatapku dingin. "Terus, kalau iya, emang urusannya apa sama kamu?"

"Dengar ya, gara-gara Mas buang sampah sembarangan, saya kena lemparan sampah basah waktu itu!" bentakku, mulai kesal.

"Oh, jadi itu kamu? Ya udah. Maaf. Beres, kan?" katanya dengan cuek lalu berbalik hendak pergi.

Aku mengejarnya. "Tunggu dulu!" teriakku. "Mas kira masalahnya selesai cuma dengan minta maaf doang? Oh, nggak segampang itu!"

Dia menghentikan langkahnya, lalu menoleh lagi. "Lantas aku harus gimana, Nona?" ucapnya ketus.

Qylla yang sedari tadi berdiri di belakangku mulai panik. "Rin, udah dong. Lihat deh, orang-orang udah mulai ngelihatin kita. Nanti rame..."

Aku tetap menghadang pria itu. "Mas, biasa aja dong. Nggak usah marah-marah! Udah salah, masih nyolot juga. Ingat ya, ini belum selesai!"

Dia mendengus. "Sudah cukup, ya. Mas... mas... mas... Stop panggil saya ‘Mas’. Saya bukan mas-mas!"

Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum sinis. "Oh, gitu? Oke. Berarti mulai sekarang gue panggil lo ‘Mas Sampah’."

Dia menyipitkan mata, lalu balas menyindir, "Enak aja lo ngomong gitu. Lo tuh malah kayak tong sampah."

Mataku membelalak. "Ehhhhhh! Berani lo ngomong gitu?!"

Qylla makin panik. "Rin, udah, udah! Jangan bikin keributan. Nanti ada dosen atau rektor lewat!"

"Bodo amat!" teriakku sambil mendorong pria itu pelan dengan pundakku. Tapi dia tetap berdiri, hanya menatapku dingin.

"Hey, kamu udah nggak waras, ya? Dasar perempuan aneh!" bentaknya.

Aku berbalik dan berjalan pergi dari basement menuju lift. Di belakangku, Qylla berlari menyusul.

To be continued...

Halo, gaes! Jangan lupa baca kelanjutannya ya!

Follow dan vote-nya ditunggu... Yuhuuu! Salam persahabatan untuk semua author di sini!

Bab 03

“Rin, habis pulang kuliah kita jadi jenguk Pappy kamu, kan?” tanya Qylla saat kami berjalan menuju kelas.

“Rencananya sih begitu, Qyll. Tapi Mommy bilang, Pappy hari ini udah bisa pulang. Sekalian... katanya ada hal penting yang ingin beliau sampaikan,” jawabku sambil membuka pintu kelas.

Baru saja aku melangkah masuk, mataku langsung menangkap sosok menyebalkan itu. Pria songong yang tempo hari dengan entengnya membuang sampah dan nyaris membuat kepalaku jadi tempat pendaratannya.

“Ngapain lo di sini?!” seruku lantang, spontan. Nafasku langsung tersulut. Untung saja Qylla cepat-cepat menarik lenganku.

“Rin, udah, jangan mulai lagi. Ini di kelas,” bisiknya menenangkanku.

Aku menghela napas dan berjalan menuju tempat duduk. Tapi sial, pria itu duduk tepat di sebelahku. Matanya menatapku dengan ekspresi datar.

“Ngapain lo natap gue kayak gitu?” gumamku, sengaja cukup keras agar terdengar olehnya.

Dia mengangkat bahu santai. “Kenapa emangnya? Nggak boleh? Baru dipandangin aja udah ge-er.”

Aku mendelik ke arahnya. “Apa lo bilang? Gue ge-er? Lo pikir siapa lo? Tukang sampah!”

Dia tertawa pendek, lalu berdiri dan mendekatkan wajahnya ke arahku. “Ye, tong sampah teriak-teriak soal sampah. Yang sampah itu mulut lo. Jadi cewek kok nyolot banget.”

Nafasku memburu. Tapi dia melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih tajam, rahangnya mengencang.

“Kalau lo nggak mau ribet, berhenti gangguin gue.”

“Aku nggak akan berhenti sebelum lo minta maaf dengan sungguh-sungguh!” balasku, menatap tajam.

“Heh, memangnya lo siapa, Nona? Tuan putri juga bukan. Nggak semudah itu nyuruh gue. Jangan harap gue nurut.”

Dia melangkah mundur dan kembali duduk. Aku menggertakkan gigi, ingin membalas ucapannya, tapi...

“Anak-anak,” suara Ibu Sunny memotong ketegangan di kelas. “Hari ini kita kedatangan mahasiswa pindahan dari Universitas Binus.”

Aku menegang.

“Silakan kamu perkenalkan diri ke teman-temanmu,” lanjutnya.

Dengan langkah santai dan wajah tanpa dosa, pria songong itu berdiri dan maju ke depan kelas.

“Selamat siang, teman-teman. Nama saya Adrian Nattama Bharata. Kalian cukup panggil saya Adrian,” ucapnya dengan suara tenang.

Aku mendesis pelan. Nama bagus, kelakuan minus...

Kuliah selesai. Aku dan Qylla berjalan menuju parkiran.

“Rin, kalau kamu mau langsung ke rumah sakit, nggak apa-apa. Aku pulang naik taksi aja,” ucap Qylla.

“Yakin lo nggak mau gue antar aja?” tawarku.

“Enggak, beneran. Nggak usah repot-repot,” katanya sambil tersenyum.

“Yaudah, gue cabut duluan ya. Hati-hati, jangan naik taksi sembarangan,” pesanku.

“Oke, babyy~” balasnya sambil terkekeh.

Author POV

Sementara itu, Adrian tengah terburu-buru dalam perjalanan pulang. Ponselnya berdering keras dari saku jaketnya.

Drt... drt... drt...

“Ya, halo, Dad. Ada apa?” sahutnya setelah menekan tombol jawab.

“Drian, kamu masih di mana? Cepat pulang. Daddy tunggu kamu di rumah,” suara Syafiq Athorik Bharata terdengar serius.

“Iya, iya. Aku jalan sekarang,” sahut Adrian cepat-cepat.

Beberapa menit kemudian, Adrian sampai di rumah. Ia terkejut melihat kedua orangtuanya sudah berpakaian rapi seperti hendak menghadiri acara resmi.

“Loh, Daddy sama Mommy mau ke mana?” tanyanya heran.

“Kami mau jemput sahabat Daddy dari rumah sakit. Kamu ikut ya,” ucap sang Mommy lembut.

“Ngapain aku harus ikut, Mom?” tanya Adrian dengan dahi berkerut.

“Ayo ikut aja. Jangan banyak tanya. Ada hal penting yang ingin Daddy dan sahabat Daddy sampaikan. Tentang kamu dan... anaknya,” sahut sang Ayah tegas.

“Penting? Harus banget aku ikut?” gumam Adrian, mulai merasa tidak nyaman.

“Iya, ini menyangkut hidup dan masa depan kamu,” jawab sang Ayah, lebih serius dari sebelumnya.

Adrian terdiam, mencerna kata-kata itu. Hidup dan masa depan...? Maksudnya apa sih...?

“Sudah, sudah. Jangan ribut. Ayo berangkat, nanti kita telat. Kasihan Mas Hendardi kalau harus menunggu terlalu lama,” sahut Mommy berusaha mendamaikan.

Akhirnya, tanpa tanya lebih lanjut, Adrian ikut masuk ke dalam mobil bersama orangtuanya. Menuju rumah sakit... ke arah takdir yang belum ia ketahui.

To be continued...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!