NovelToon NovelToon

Red-Eye Detective Agency

1

Hujan baru saja berhenti sore itu, meninggalkan aroma aspal yang basah dan kabut tipis yang menyelimuti jalanan kota. Di lantai tiga gedung tua yang warnanya mulai pudar, sebuah papan bertuliskan “Red-Eye Detective Agency” menggantung setengah miring, dihempas angin berkali-kali seperti menolak jatuh. Di balik jendela buram, Bagas Pratama duduk diam, dikelilingi kabut asap rokok kretek yang berputar lambat di udara.

Bagas menatap secangkir kopi hitam di hadapannya, yang sudah dingin sejak pagi. Pikirannya melayang-layang, entah sedang memikirkan kasus lama atau sekadar merenungi nasib hidupnya yang selalu dikelilingi aroma kematian dan misteri. Dinding kantornya dipenuhi tempelan kertas, foto-foto buram, dan coretan yang hanya dimengerti olehnya. Di sudut ruangan, sebuah mesin ketik tua berdiri, berdebu, tapi tetap siap dipakai kapan saja.

Suara langkah sepatu tinggi berderap dari luar, semakin mendekat ke pintu kantornya. Satu-dua ketukan terdengar, pelan, namun cukup memberi kesan bahwa si empunya langkah datang dengan tujuan yang mendesak. Bagas menoleh, tanpa minat, dan mengucapkan satu kata yang biasa ia katakan pada klien yang datang dengan harapan berlebihan.

“Masuk.”

Pintu itu terbuka, memperlihatkan seorang wanita bergaun hitam, wajahnya ditutupi topi bulu lebar. Nyonya Ramelan — perempuan anggun yang terlihat seperti baru saja meneteskan air mata, namun bibirnya tersenyum lemah. Ia berjalan mendekat, sepatu hak tingginya berbunyi menggetarkan lantai kayu usang.

“Bapak Bagas Pratama?” tanyanya, suara lembut namun bergetar, seperti menahan sesuatu.

Bagas hanya mengangguk. Tanpa basa-basi, ia menunjuk kursi di depannya dengan gerakan tangan yang nyaris tak terlihat. Wanita itu duduk, mengatur posisi gaunnya dengan canggung, lalu menghela napas panjang.

“Suami saya… Pak Ramelan…” ucapnya, terputus-putus. “Dia meninggal… tapi tidak wajar.”

Bagas menatapnya datar, mengamati wanita itu tanpa ekspresi. Diam-diam ia memperhatikan hal-hal kecil — cara wanita itu menggenggam tasnya erat, cara matanya sesekali melirik ke arah cangkir kopi di meja, atau bagaimana cincin di jarinya sedikit longgar. Semua hal itu adalah petunjuk, bagi Bagas.

“Polisi bilang dia jatuh dari tangga. Kecelakaan,” lanjutnya dengan nada getir. “Tapi… saya tahu suami saya lebih hati-hati dari itu. Saya rasa… seseorang menginginkannya mati.”

Bagas menyentuh ujung jarinya ke bibir, isyarat bahwa ia mendengarkan dengan penuh perhatian, meski dari tatapannya, seolah-olah ia sudah tahu setengah dari cerita ini.

“Kenapa datang ke saya, Nyonya Ramelan?” tanyanya datar, suaranya rendah namun terasa menusuk, seakan mempertanyakan keputusannya yang terdengar konyol.

Wanita itu terdiam sejenak, jelas tidak siap dengan pertanyaan itu. “Anda adalah detektif swasta terbaik di kota ini. Kata orang, Anda tidak hanya menangkap bukti, tapi juga mengerti… apa yang ada di baliknya.”

Bagas mengangkat alis tipis. Satu-satunya pujian yang ia terima hari itu, dan ia tidak tahu harus merasa tersanjung atau sekadar menahan tawa kecil. “Polisi sudah menyimpulkan, Nyonya. Apa yang membuat Anda tidak percaya?”

Nyonya Ramelan mengeluarkan sebuah amplop merah tua dari tasnya, dengan tangan gemetar. Ia menyerahkannya kepada Bagas, yang menerimanya dengan enggan, seakan surat itu membawa sebuah malapetaka. Bagas membuka amplop itu, mengeluarkan selembar kertas dengan satu kata yang tertulis di tengahnya: “Utang.”

Bagas membaca kata itu berulang kali, tak ada ekspresi yang berubah di wajahnya. Namun matanya berbinar, dengan sorot yang hanya muncul saat ia mencium bau misteri.

“Apakah suami Anda punya utang, Nyonya?” tanyanya pelan, matanya tak lepas dari amplop merah itu.

Nyonya Ramelan menggeleng cepat, tapi ada keraguan dalam gerakannya, seakan menyembunyikan sesuatu. “Tidak. Tidak yang saya tahu…”

Bagas menaruh amplop itu di meja, lalu menatap tajam, menusuk langsung ke mata wanita itu. “Kebohongan, Nyonya, hanya akan membawa Anda lebih jauh ke dalam kegelapan. Katakan yang sebenarnya.”

Wanita itu terdiam. Beberapa detik berlalu, dan akhirnya ia menarik napas panjang, mengakui dengan suara kecil, “Pak Ramelan punya urusan… urusan lama, dengan orang-orang yang… tidak mudah dilepaskan begitu saja.”

Bagas menyandarkan tubuhnya ke kursi, senyum tipis muncul di bibirnya. “Dan sekarang, orang-orang itu ingin balas dendam.”

Nyonya Ramelan tampak ketakutan, wajahnya semakin pucat. Namun, ia tak sanggup menyangkal pernyataan Bagas. “Saya mohon, Bapak Bagas. Cari tahu siapa yang melakukan ini pada suami saya. Saya tidak tahu harus kemana lagi.”

Bagas menutup matanya sejenak, berpikir dalam-dalam. Setelah hening beberapa saat, ia membuka mata, kali ini dengan tatapan dingin dan tajam yang sudah siap menerjang apapun yang ada di depannya.

“Saya akan cari tahu, Nyonya. Tapi jangan berharap hasil yang nyaman,” ujarnya tajam.

Wanita itu hanya mengangguk, matanya berkaca-kaca. Bagas berdiri dan mengantar wanita itu keluar. Ketika pintu menutup, Bagas duduk kembali dan menatap amplop merah tua itu dengan tatapan yang penuh makna.

“Utang,” gumamnya pelan. “Kita lihat seberapa dalam utang ini tertanam.”

Dengan itu, ia mengambil sebatang rokok lagi, menyalakannya dengan pemantik kuno, dan mulai merancang langkah pertama untuk membongkar teka-teki kematian Pak Ramelan.

---

2

Pagi hari datang dengan suara mesin ketik tua yang berderit-derit di ruang kantor “Red-Eye Detective Agency.” Siti, seorang wanita muda dengan rambut digulung rapi dan mengenakan rok selutut khas era 70-an, mengetik laporan untuk klien yang selesai kemarin. Wajahnya serius, tapi ada garis senyum tipis di ujung bibirnya yang menyiratkan bahwa ia lebih pintar dari sekadar "sekretaris biasa."

Bagas masuk dengan langkah lambat, rokok kretek terselip di antara jarinya, menghamburkan asap yang membuat ruangan semakin sumpek. Ia langsung duduk di kursinya tanpa melihat ke arah Siti, menaruh amplop merah tua di meja, dan mulai menatap kosong ke dinding seakan ada teka-teki tak kasatmata yang hanya ia yang bisa lihat.

Siti melirik sekilas, lalu kembali mengetik dengan tenang. Namun, rasa ingin tahunya, seperti biasa, tak bisa dibendung lama-lama.

“Dari mana, Pak Bagas?” tanyanya ringan sambil tetap memandangi mesin ketik, pura-pura tak terlalu peduli.

“Dari dunia yang penuh utang,” jawab Bagas, suaranya dingin dan dalam, tanpa memandang Siti.

Siti berhenti mengetik, melirik amplop merah tua di meja Bagas dengan alis terangkat. “Utang? Bapak juga mulai berbisnis kredit sekarang?”

Bagas tersenyum kecil. Ia tahu Siti terlalu pintar untuk sekadar menduga-duga. “Semalam, seorang nyonya datang membawa masalah besar. Suaminya tewas, dan katanya bukan kecelakaan.”

Siti berdecak pelan, lalu melipat tangannya di depan dada, seakan sudah tahu arah pembicaraan ini. “Kok bisa seorang suami jatuh dari tangga lalu dibilang bukan kecelakaan? Kalau dilihat dari sudut yang lebih… domestik, biasanya cuma dua pilihan: ceroboh atau terlalu mabuk.”

Bagas menatapnya sebentar, pandangan penuh makna yang mengisyaratkan bahwa yang dihadapi kali ini jauh lebih dari sekadar ‘domestik’. “Ada amplop merah ini di dekatnya. Kata-katanya cuma satu: ‘Utang’.”

Siti terdiam, lalu mengangguk pelan. “Jadi, kita mulai dari mana?”

“Rumahnya. Aku ingin tahu bagaimana cara seorang pria berumur bisa ‘jatuh’ tanpa ada tanda-tanda jelas di tempat kejadian,” jawab Bagas, menyelipkan amplop itu ke saku jasnya. “Aku juga perlu tahu, siapa saja yang menyimpan dendam padanya.”

Tanpa banyak bicara lagi, Bagas berdiri dan mengambil topi tuanya yang tergantung di pintu. Siti menghela napas dan meraih tas tangannya, siap ikut ke lapangan, meski dalam hatinya sering bertanya-tanya mengapa ia harus selalu terlibat dalam kasus aneh seperti ini.

---

Di Rumah Pak Ramelan

Rumah Pak Ramelan berdiri megah di kawasan elite kota, namun ada kesan muram yang merambati dindingnya. Pagar besi berkarat dan pohon-pohon tinggi yang menjulang menambahkan nuansa angker yang membuat siapa pun yang lewat akan enggan melihat dua kali.

Di depan pintu, seorang penjaga rumah tua menyambut mereka, wajahnya terlihat letih dan tak ramah. Bagas melirik penjaga itu sesaat, lalu menggumam, “Penjaga yang bekerja terlalu lama, mungkin lebih tahu dari yang dia mau bicara.”

Siti hanya mengangkat bahu, mencoba menahan senyum. Ia tahu cara Bagas bekerja; kalimat-kalimat sinisnya biasanya berhasil membuat seseorang berbicara lebih banyak dari yang mereka inginkan.

“Pak Bagas, kita langsung lihat tempat kejadiannya?” tanya Siti setelah mereka disambut masuk ke dalam rumah.

Bagas mengangguk. Kamar tempat Pak Ramelan ditemukan terletak di lantai atas, dengan tangga kayu yang kokoh namun berderit setiap kali dipijak. Di puncak tangga, Bagas berhenti sejenak, memperhatikan susunan ruangan dan letak jendela. Ia menunduk, menyentuh pegangan tangga, seolah mencari jejak yang tak terlihat oleh mata orang biasa.

“Bagas,” suara Siti memecah keheningan. “Kenapa kamar ini terbuka lebar, padahal menurut penjaga, Pak Ramelan orangnya sangat tertutup?”

Bagas menatap jendela kamar yang setengah terbuka, menimbang sesuatu dalam diam. Kemudian ia mendekati meja samping ranjang, memperhatikan asbak yang berisi rokok yang masih utuh. Sesuatu tampak aneh.

“Ini bukan rokok biasa,” ucapnya pelan sambil mengangkat batang rokok itu. “Orang yang meninggalkan ini, ingin kita melihatnya.”

Siti mengernyit, lalu meraih sebuah benda dari meja — sebuah korek api berlogo “Miracle Club,” sebuah tempat hiburan malam yang terkenal di kota itu. “Pak Ramelan jarang keluar malam, apalagi ke tempat seperti ini.”

Bagas hanya tersenyum tipis. “Justru karena itu. Orang seperti dia jarang menginjakkan kaki ke tempat yang bisa memancing masalah.”

Siti tertawa kecil. “Masalah datang tanpa undangan, ya, Pak?”

Bagas hanya mengangguk pelan. “Miracle Club… sepertinya kita punya tempat yang harus dikunjungi malam ini.”

---

Kembali ke Kantor

Sore harinya, mereka kembali ke kantor dengan beberapa petunjuk yang sudah tersusun dalam kepala Bagas. Siti duduk kembali di depan mesin ketik, sambil menatap Bagas yang sedang menghisap rokoknya dengan mata yang terpaku pada amplop merah itu.

“Pak Bagas, menurut saya, ada yang nggak beres di sini. Jelas ada pihak lain yang ingin menutupi sesuatu,” ucap Siti sambil menggelengkan kepala. “Rasanya semua ini tidak mungkin cuma urusan utang biasa.”

Bagas memandang Siti, ekspresi wajahnya dingin seperti biasa. “Utang, Siti, bukan soal uang saja. Terkadang, utang terbesar seseorang adalah harga diri dan dendam masa lalu.”

Siti mendesah pelan, lalu menatap Bagas dengan senyum setengah mengejek. “Kalau Bapak terus bicara dengan bahasa filsuf begini, klien bisa-bisa berpikir dua kali untuk menyewa kita.”

Bagas tertawa kecil, tawa yang hanya terdengar sekali-sekali dan singkat. Ia melempar pandangan kosong ke arah jendela, memandang kota yang mulai tenggelam dalam senja.

“Bersiap, Siti. Malam ini kita akan menyusuri jejak utang yang sudah lama mengendap. Siapkan baju yang cukup untuk masuk klub.”

Siti mengangguk patuh, meski dalam hati berbisik, “Ini sepertinya bukan malam yang akan menyenangkan.” Tapi ia tahu, setiap kali Bagas mengungkap misteri, sesuatu yang lebih besar selalu menanti mereka di ujung cerita.

---

3

Lampu-lampu berwarna merah dan ungu menyala di dalam Miracle Club, menembus kabut asap rokok yang memenuhi udara. Musik disko yang kencang terdengar hingga ke luar gedung, seakan menjadi daya tarik tersendiri bagi siapa pun yang lewat. Klub ini adalah tempat orang-orang datang untuk melupakan masalah, atau mungkin, tempat mereka mencari masalah.

Bagas masuk dengan langkah tenang, diikuti Siti yang tampak kurang nyaman dalam balutan gaun malamnya. Bagi Siti, ini bukan tempat yang biasa ia kunjungi, tetapi sebagai asisten Bagas, ia sudah tahu bahwa di tempat-tempat seperti inilah Bagas sering mendapatkan jawaban.

“Aduh, Pak Bagas. Klub begini bikin saya merasa sedang main film layar lebar,” bisik Siti dengan nada setengah kesal.

Bagas hanya tersenyum tipis, mata tajamnya menyapu ruangan, mencari wajah yang sudah ia kenal. “Santai saja, Siti. Di sini, semakin kau terlihat tidak nyaman, semakin mereka tahu kau orang luar.”

Siti mendesah, lalu memperbaiki posisinya, mencoba terlihat lebih rileks. Mereka berjalan melewati kerumunan hingga tiba di pojok ruangan, tempat seorang pria berkumis tebal sedang merokok dengan santai, sambil menatap gelas minumannya. Pria itu mengenakan jaket kulit tua, dengan gaya yang hampir menyerupai seorang rockstar gagal.

“Ujang,” sapa Bagas, duduk di kursi di depannya tanpa basa-basi.

Ujang mendongak, sedikit terkejut, tetapi ia segera tersenyum ketika mengenali Bagas. “Wah, Pak Bagas! Tumben Anda main ke tempat yang ‘ceria’ begini.”

Bagas hanya mengangguk, lalu menyalakan rokoknya sendiri. Ia tahu Ujang tidak akan bicara banyak jika ia memulai dengan pertanyaan langsung, jadi ia memilih menunggu hingga Ujang merasa cukup nyaman untuk berbicara.

“Jadi, apa yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Ujang akhirnya, matanya menyipit curiga. “Kalau saya sampai harus bertemu Anda di sini, pasti urusannya besar.”

Bagas mengeluarkan amplop merah tua dari saku jasnya, meletakkannya di meja di antara mereka. “Pernah lihat amplop ini?”

Ujang menatap amplop itu dengan tatapan aneh, lalu mengangguk pelan. “Ini… tanda peringatan. Mereka yang terima amplop ini, artinya sudah waktunya membayar.”

“Siapa yang mengirimnya?” tanya Siti yang tak sabar, mencondongkan tubuhnya ke arah Ujang.

Ujang menggeleng pelan. “Ah, nona, soal itu… saya tak bisa bicara terlalu banyak. Yang jelas, orang-orang ini sudah lama ada di sini. Mereka tidak suka utang yang tertunggak, terutama jika utang itu bukan sekadar uang.”

Bagas tersenyum tipis, seperti sudah menduga jawabannya. “Orang yang saya cari… Pak Ramelan. Apa kau tahu kenapa dia sampai dapat amplop ini?”

Ujang tampak sedikit ragu, tetapi akhirnya ia bicara. “Pak Ramelan… dia dulu terlibat dengan beberapa orang di sini. Pernah ada janji di antara mereka. Tapi entah kenapa, Pak Ramelan tiba-tiba menarik diri. Saya dengar, dia khianati teman-temannya di sini.”

Bagas mengangguk pelan, mencatat setiap kata dalam ingatannya. “Jadi, ada yang merasa dikhianati, lalu memburu Pak Ramelan sebagai balas dendam?”

Ujang tak menjawab langsung. Ia hanya tersenyum masam, lalu mengangkat gelasnya. “Di dunia ini, Pak Bagas, setiap orang punya harga. Dan ketika harga itu tak terbayar… yah, akibatnya bisa macam-macam.”

Siti melirik Bagas dengan ekspresi khawatir, lalu kembali menatap Ujang. “Jadi siapa yang sekarang memegang kendali?”

Ujang mendekat, berbicara pelan di antara suara musik yang berdentum. “Di sini, ada yang namanya ‘Si Hitam’. Kalau memang ada dendam dari masa lalu, mungkin dia yang tahu segalanya.”

Bagas mengangguk. Informasi tentang “Si Hitam” memberi arah baru pada penyelidikannya. Ia tahu, jika mereka berhasil menemukan Si Hitam, mungkin mereka bisa menguak lebih dalam siapa sebenarnya dalang di balik amplop merah itu.

“Di mana saya bisa menemukannya?” tanya Bagas tegas.

Ujang terkekeh pelan, lalu menggelengkan kepala. “Si Hitam itu orang yang suka bersembunyi di balik bayangan, Pak. Tapi kalau Anda beruntung… coba datang ke pelabuhan tua, tengah malam. Biasanya, orang-orang seperti dia suka bertemu di sana.”

Bagas menatapnya lama, lalu berdiri dari kursinya. “Baiklah, Ujang. Semoga kita bertemu lagi dalam kondisi lebih baik.”

Ujang hanya mengangguk, lalu melirik Siti yang mengikuti Bagas dengan langkah cepat. Ketika mereka keluar dari Miracle Club, angin malam yang dingin langsung menyapa wajah mereka.

 

Di Jalan Pulang

Di sepanjang perjalanan, Siti tampak berpikir keras. “Pak Bagas, kira-kira apa yang dimaksud Ujang dengan ‘utang’ selain uang? Kenapa Pak Ramelan sampai dapat amplop itu?”

Bagas menatap ke depan, matanya tajam, namun bibirnya hanya sedikit berkomentar. “Setiap utang punya harga, Siti. Kadang harga itu adalah sesuatu yang tidak kasat mata.”

Siti hanya menghela napas panjang, lalu menatap Bagas. “Jadi kita akan ke pelabuhan tua? Malam ini?”

Bagas mengangguk, sambil melihat ke langit malam yang gelap. “Tempat seperti pelabuhan adalah tempat yang paling tersembunyi, tapi paling berbahaya juga. Bersiaplah, Siti. Pertemuan kali ini mungkin lebih dari sekadar mencari jawaban.”

Siti hanya tersenyum kecil, meski wajahnya menyiratkan kecemasan. Ia tahu bahwa perjalanan ini akan semakin membawa mereka ke kedalaman misteri yang lebih gelap.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!