"Ben, bergegaslah. Kau bisa ketinggalan pesawat," seorang wanita mulai memanggil putranya. Remaja berusia 17 tahun, dengan rambut coklat dan tatapan mata yang tenang melangkahkan kakinya menuruni anak tangga.
...•Benjamin Paul•...
Hi, aku Benjamin Paul. Semua memanggilku Ben, sebagai nama singkatku. Pagi ini ibu, dan daddy Robert- sibuk membantuku. Ibu sibuk mengecek barang yang akan kubawa, sementara daddy Robert mengangkat barang-barang bawaan dan memasukkannya ke bagasi mobil.
Aku harus tiba di bandara 1 jam sebelum penerbanganku hari ini. Beralih dari Chicago, dan kembali ke kota kecil tempat aku lahir. Sitka, kota kecil di wilayah Alaska. Aku akan kembali ke rumah ayah. Ya, ke rumah ayah Bernandez.
5 tahun lalu, ayah dan ibu memutuskan untuk bercerai. Hak asuh jatuh di tangan ibu, dan setelahnya aku tinggal bersama ibu di Chicago. Setahun setelah bercerai, ibu menikah dengan daddy Robert. Tidak ada hal buruk yang terjadi pada mental dan batinku.
Semuanya baik, aku mendapatkan hakku sebagai seorang anak. Orang tuaku adalah orang tua yang sangat bertanggung jawab tentunya.
Sejujurnya, ibu dan daddy Robert memperlakukanku dengan baik. Daddy Robert mengajariku olahraga tenis, dan aku menyukainya. Suatu saat, ibu memberiku kesempatan meminta hal yang aku inginkan.
Aku merindukan ayah, jadi aku membuat keputusan untuk kembali ke Sitka. Ibu tentu saja berat hati melepasku, tapi daddy Robert membantuku agar aku bisa kembali ke Sitka.
Kira-kira kehidupanku di sana selanjutnya akan seperti apa?
......................
"Ketika kau sudah sampai, segera telpon kami. Pastikan bahwa Bernan yang menjemputmu" Jane- ibu Benjamin terus menerus mengingatkan putranya.
"Aku pasti melakukannya" jawab Benjamin mengerti. Ia memeluk ibunya lebih dulu, lalu ia segera memeluk ayah sambungnya.
"Sampaikan salam kami padanya," pesan Robert mengingatkan anak asuhnya itu. "Akan kusampaikan" jawab Benjamin berjanji.
"Baik. Berhati-hatilah di perjalananmu, jangan lupa berdoa" pesan Jane ketika Benjamin mengenakan ranselnya.
"Iya, bu" Benjamin akhirnya memasuki area bandara. Dari dalam ia masih bisa melihat Robert dan Jane yang memperhatikannya. Saat itulah, Benjamin melambai pada mereka.
Benjamin memastikan semuanya sesuai. Hingga akhirnya ia sudah berhasil duduk tenang di dalam pesawat, yang akan membawanya sampai pada tujuannya. Sitka, Alaska.
Pesawat baru akan terbang 45 menit lagi. Sebuah nama kontak terlihat di layar ponsel Benjamin. Bernandez Paul- ayah kandungnya.
Sudah lama Benjamin tidak bertukar kabar dengannya. Ada rasa ragu ketika ia hendak mencoba menghubungi pria itu. Hingga akhirnya, "Ben?" panggilan masuk itu diterima Benjamin. Ia tersenyum tenang.
"Hi, ayah. Apa kabar?"
"Baik, nak. Bagaimana denganmu? Sudah lama aku tidak mendengar suara putraku"
"Baik. Maaf karena terlalu sibuk, sampai aku lupa mengabarimu"
Benjamin bisa mendengar tawa khas ayahnya. "Kau sedang di mana, nak? Aku seperti mendengar suara mesin"
"Aku di dalam pesawat"
"Pesawat? Kau mau berkunjung ke mana?"
Faktanya, Benjamin tidak memberitahu kepulangannya pada Bernandez. Mereka sudah hampir 1 tahun tidak bertukar kabar. "Ayah, bisakah ayah menjemputku? Aku kembali ke Sitka hari ini" mendengar itu Bernandez terdiam. "Maksudku, maaf aku tidak memberitahumu. Tidak masalah jika-" ujar Benjamin belum selesai berbicara.
Lalu, "Ayah akan menjemputmu. Tunggulah di sana, aku pasti akan menjemputmu" jawaban itu berhasil mengukir sebuah senyum.
"Berhati-hatilah ketika berkendara, ayah" setelahnya panggilan telepon berakhir.
6 jam, 25 menit...
Benjamin mulai melihat sekitar. Ia mencari pria itu. Ayahnya. Lalu, "Ben" panggil seseorang tidak jauh darinya. Benjamin menoleh ke sumber suara. "Ayah!!" Benjamin berlari ke arah pria itu. Bernandez Paul, ayah Benjamin tampak datang masih mengenakan seragam polisi lengkap dengan lencananya.
Benjamin memeluk ayahnya, dan Bernandez membalas pelukan itu. "Putraku sudah lebih tinggi, tapi aku akan tetap lebih tampan darimu, nak" Bernandez merangkul putranya dan mengacak-acak rambut Benjamin.
"Hahaha. Ayah selalu tidak mau kalah," jawab Benjamin menerima perlakuan itu.
Sitka, Alaska
"Dan, kita sampai" Bernandez memarkirkan mobilnya di bagasi rumah. Mereka akhirnya keluar. "Aku kira sejak kami pindah, ayah menjual rumah ini," kata Benjamin seraya tertawa kecil.
"Itu hanya akan merepotkanku" jawab Bernandez mengeluarkan barang-barang putranya yang lain dari dalam bagasi mobil.
Mereka masuk ke dalam rumah. Benjamin segera meletakkan barangnya di ruang tamu, dan mulai berkeliling memperhatikan keadaan rumah masa kecilnya.
"Tangganya berubah?" tanya Benjamin menyadari tangga rumah menuju lantai 2 yang berubah. "Sudah lapuk, jadi aku meminta Justin mencari gantinya" jawab Bernandez mengangkat barang putranya.
"Ayo naik, kamarmu masih di tempat yang sama," Bernandez mengajak putranya menuju lantai dua. Benjamin mengekori ayahnya. Mereka akhirnya sampai di depan sebuah kamar. Bernandez membukanya.
"Yah, tampak sederhana. Aku pikir, kau tidak suka benda-benda merepotkan. Ahh iya, aku juga menyediakan rak buku, untuk menyusun buku-buku yang biasa kau baca," Bernandez mulai memperkenalkan isi kamar Benjamin.
"Maaf jika-"
"Tidak, ini sangat bagus. Aku merasa kamar ini lebih nyaman dari sebelumnya," jawab Benjamin segera pada ayahnya yang sudah menyiapkan semua itu.
Bernandez tersenyum senang mendengar itu. Keduanya tampak mulai membongkar koper dan tas yang berisi barang Benjamin.
"Besok aku akan meminta Justin mencarikan sekolah untukmu," ujar Bernandez di tengah-tengah acara beres-beres mereka.
"Apa Joseph masih di sekolahkan di asrama?" tanya Benjamin, mengenai kabar teman kecilnya. "Ahk, dia bersekolah di sekolah biasa. Besok aku akan menanyakan pada Joseph dulu," jawab Bernandez baru ingat.
Justin? Joseph?
...•Benjamin Paul•...
Malam ini, rumah sedikit ramai didatangi beberapa tamu. Mereka adalah tetangga sekitar. Tapi aku belum melihat keberadaan Justin dan Joseph. Siapa mereka?
Justin Rothrout, dia pria tua seusia ayah. Dia adalah teman ayah, bisa dibilang sahabat, dan mereka saling mengenal hampir 30 tahun. Sejak kecil, aku melihat Justin sebagai pria tua yang duduk di kursi roda saja. Ia terpaksa mengenakan benda itu, karena kecelakaan mobil yang berakibat fatal padanya.
Joseph Rothrout, dia adalah putra Justin. Joseph anak bungsu, dan punya 2 orang kakak perempuan. Isabelle dan Jemma. Joseph seusiaku, dan tentu kami saling mengenal. Dia adalah teman kecilku.
"Apa Justin dan Joseph tidak ayah undang?" tanyaku pada ayah. "Tentu saja aku mengundang mereka. Kita tunggu saja," jawab ayah meyakinkanku. Aku menurut.
Tidak lama berselang, aku mendengar suara pintu rumah yang diketuk. Aku beranjak dari sofa dan segera membukakan pintu.
"Lama tidak berjumpa, sobat," sapa orang itu padaku. Joseph dan ayahnya baru saja tiba.
......................
"Jadi kau baru tiba hari ini?" tanya remaja berambut coklat dengan kulit sawo matangnya. Dialah Joseph, teman kecil Benjamin.
"Dan aku juga tidak memberitahu pada ayah. Bisa dibilang ini adalah kedatanganku yang mendadak" jawab Benjamin tertawa kecil.
"Hahaha. Aku bersyukur kau tampak sehat," gumam Joseph tersenyum lega. "Ben, maaf karena di saat susahmu aku tidak membantumu," kata Joseph terlihat bersalah.
"Hey, kau tahu. Aku baik-baik saja, seharusnya aku yang meminta maaf padamu karena tidak memberitahumu aku akan beralih ke Chicago" jawab Benjamin tidak masalah.
Mereka tertawa satu sama lain. "Ahk iya, Josh. Bagaimana kabar sepupumu? Aku lupa namanya, Mia? Maya? Mira?" tanya Benjamin seraya mengingat nama seorang gadis.
"Mia? Dia baik, dan sekarang dia sekolah di yayasan katolik" jawab Joseph menyeruput sekaleng soda.
"Kau tidak berkunjung ke rumah Charlie?" tanya Joseph mengenai Benjamin yang sudah pergi ke rumah pamannya atau belum. "Aku baru tiba hari ini, jadi kemungkinan besok aku baru berkunjung" jawab Benjamin.
Ketika hari sudah semakin larut, acara kecil itu akhirnya berakhir. "Kalian berjalan kaki?" tanya Benjamin pada Joseph ketika ia tidak menemukan ada mobil yang tersisa di sana.
"Kau lupa, nak? Rumah kita hanya berjarak 30 meter satu sama lain" jawab Justin tertawa kecil mendengar pertanyaan itu. Benjamin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. 5 tahun ia meninggalkan Sitka, ia hampir lupa rumah Justin dan Joseph tidak terlalu jauh dari tempat ia tinggal.
"Maaf aku lupa. Kalau begitu, berhati-hatilah," pesan Benjamin ketika mereka sudah berada di luar pagar rumah.
"Ben, besok aku akan pergi memancing dengan Damian. Apa kau mau ikut? Siapa tahu kita bisa dapat beberapa ekor ikan" tawar Joseph sebelum mereka benar-benar pulang.
Benjamin beralih menatap ayahnya lalu, "Pergilah. Tapi sebelum kalian memancing, berkunjunglah ke rumah Charlie," dan Bernandez memberinya izin untuk pergi.
"Tenang saja, aku akan menemaninya besok" jawab Joseph menyetujui. Akhirnya malam itu, Justin dan Joseph kembali ke rumah mereka, sementara Benjamin dan Bernandez masih duduk di sofa ruang keluarga.
"Kau tidak langsung tidur?" tanya Benjamin pada ayahnya yang masih sibuk membereskan berbagai berkas dan dokumen. Ia mulai menyalakan televisi, hendak menonton.
"Kau tahu sendiri tugas polisi tidak mudah, nak. Jadi kurasa aku tidak akan tidur cukup malam ini" jawab Bernandez seraya menikmati kopi susunya yang masih hangat.
"Ada masalah?" tanya Benjamin menghampiri ayahnya. "Selama bulan ini, sudah 5 orang hilang. Ini tidak biasa," Bernandez mulai memperhatikan masing-masing berkas dan dokumen yang ia terima.
"Bisa saja mereka melarikan diri dari rumah" pendapat Benjamin masih bisa diterima. "Aku juga awalnya berpikir begitu, nak. Tapi setelah mendengar informasi dari pihak yang melaporkan, tidak mungkin seseorang kabur tanpa membawa apapun" jawab Bernandez, dan pendapat Benjamin terpatahkan.
"Aneh sekali," gumam Benjamin terheran.
08:00 A.M
"Ben, bangunlah" Benjamin segera tersadar. Semalaman ia tertidur di sofa. Ia terlelap begitu saja ketika menonton sebuah film.
"Bersihkan dirimu, kita pergi sarapan" Bernandez tampak sudah rapi dengan dinasnya. Benjamin bangun, dan ia segera melakukan apa yang diperintahkan padanya.
Benjamin bersiap. Setelahnya, mereka pergi berkunjung ke sebuah restoran pagi itu.
"Apa kau sudah menelpon ibumu?" tanya Bernandez teringat Jane, mantan istrinya. "Astaga. Aku terlupa, mungkin aku akan menelponnya nanti," jawab Benjamin terlupa.
"Mereka titip salam padamu," kata Benjamin mulai bersiap menyantap sarapannya, ketika makanan mereka sudah tiba. "Apa yang membuatmu kemari? Jane dan Robert orang tua yang baik bukan?" tanya Bernandez membaca koran, dan menikmati kopinya.
"Aku memikirkanmu, jadi aku pikir aku ingin kembali ke sini. Mengingat kau sudah semakin tua" jawab Benjamin berhasil membuat Bernandez terkekeh. Mereka ayah dan anak yang meniru satu sama lain.
Selesai sarapan, Benjamin mengendarai mobil setelah ia mengantar Bernandez ke kantor. Ia melajukan mobilnya menuju timur.
Ia telah sampai. Rumah keluarga Keneth. Benjamin memakirkan mobilnya. Kakinya melangkah menuju pintu masuk. Ia mengetuk pintu.
Lalu, "Ben!!" gumam seorang wanita yang membukakan pintu itu untuk Benjamin.
"Jadi kau datang ke sini juga tidak mengabari ayahmu?" tanya pria itu mulai menanyai keponakannya.
Benjamin tiba di rumah paman dan bibinya. Charlie Keneth dan Alice Paul. Alice adalah adik perempuan Bernandez- ayah Benjamin. Alice menikah dengan Charlie, dan mereka memiliki 3 orang anak. 2 di antaranya kembar laki-laki, dan anak bungsu mereka perempuan.
"Aku hanya ingin memberi kejutan padanya," jawab Benjamin terkekeh. "Artinya kau akan pindah sekolah ke sini?" tanya Alice menyodorkan segelas kopi pada Benjamin.
"Tentu. Kalau bisa, aku juga berkuliah di sekitar Alaska saja" jawab Benjamin segera. "Chicago kota maju dan besar. Universitas di sana juga terkenal bagus," kata Charlie menimpali rencana Benjamin.
Benjamin menggaruk kepalanya yang tidak gatal seraya tertawa kecil.
"Dan kau sudah dengan tega meninggalkan pacarmu di Chicago bukan?"
"Yang benar saja. 5 tahun aku tinggal di sana, aku tidak mengencani gadis manapun"
"Bukankah gadis-gadis di kota itu cantik dan mulus?"
"Aku tidak memperhatikan itu"
Benjamin banyak berbincang dengan paman dan bibinya. Ketika siang tiba, ia memutuskan pamit untuk kembali ke rumah. Ia mengingat janjinya dengan Joseph tadi malam.
Ia sampai, dan segera keluar dari mobil. Baru saja Benjamin ingin bersantai, "Robert?" gumam Benjamin mendapati panggilan telepon dari ayah sambungnya.
"Hi, dad. Apa kabar kalian?" tanya Benjamin ketika ia mengangkat panggilan masuk. "Hi, Ben. Sangat baik. Ibumu sangat mengkhawatirkan dirimu sejak tadi malam, hahaha" jawab Robert segera.
"Hahaha, maaf. Aku benar-benar lupa. Tapi tenang saja, aku sudah di rumah sejak semalam. Ayah menjemputku tepat waktu," Benjamin menjelaskan alasannya.
"Kau bersenang-senang?"
"Mungkin beberapa menit lagi. Joseph teman kecilku mengajak memancing bersama Damian"
"Baiklah. Nikmati harimu, jangan repotkan Bernan. Jangan lupa hubungi ibumu"
"Akan kulakukan. Aku titip ibu padamu, dad"
Percakapan telepon itu berakhir. Benjamin mulai mencari alat memancing milik ayahnya. Tentunya remaja itu sudah meminta izin pada Bernandez. Suara klakson mobil terdengar dari luar rumahnya.
Ia segera mengamati melalui jendela, dan menemukan Joseph mengendarai supir truk berwarna putih tulang, dan di sampingnya ialah teman kecilnya juga- Damian Petersone.
Benjamin segera membawa alat-alatnya, dan mengunci rumah. Tanpa banyak bicara, ia membuka pintu mobil lalu, "Hi, Ben. Lama tidak berjumpa," sapa Damian padanya.
Benjamin tersenyum senang. Ia duduk di samping Damian, dan mereka akhirnya berangkat menuju lokasi.
Sesampainya di sana, "Sudah lama aku tidak kemari. Rasanya seperti baru berkunjung," tutur Benjamin ketika mereka sudah turun.
"5 tahun tidak menginjakkan kaki di sini, apa kau pernah memancing selama di Chicago?" tanya Damian penasaran. "Kadang-kadang"
Mereka tiba di sebuah hutan. Sekeliling mereka dipenuhi pepohonan. Perairan tempat mereka memancing berada di dalam hutan.
"Hutan ini tidak berubah dari dulu," ujar Benjamin masih mengenali hutan tempat ia dan Justin biasanya bermain.
"Ada yang berubah Ben" jawab Joseph tiba-tiba. Benjamin menatapnya bingung. "Banyak orang mulai bersaksi ada oknum yang tinggal di dalam hutan ini," jelas Joseph agar Benjamin tidak penasaran terlalu lama.
"Lalu apa yang salah?" tanya Benjamin terheran. "Wilayah ini tidak bisa sembarangan ditinggali, Ben. Kau masih percaya tidak dengan rumor manusia serigala?" tanya Damian, seraya memotong semak belukar.
"Itu hanya mitos belaka, mana mungkin ada" Benjamin tidak percaya hal itu. Damian dan Joseph saling menatap. "Ben, kau ingat kecelakaan yang menimpa ayahku? Itu karena ia melihat seekor serigala raksasa di tengah jalan. Ia lepas kendali dan menabrak pohon," jelas Joseph. Benjamin terdiam sejenak.
"Bernan juga pernah jadi salah satu saksi" Damian menambahkan informasi. "Ayah?" gumam Benjamin terkejut.
"Dia pernah mendapat panggilan darurat dari seorang wanita. Beliau datang ke hutan ini, lalu wanita itu selamat dan dimintai keterangan. Wanita itu menjelaskan ia diikuti pria aneh yang mencoba menggigit lehernya, lalu ada seekor serigala besar menerkam kepalanya hingga putus. Tapi anehnya, pria yang menyerangnya itu justru tidak mengeluarkan darah sedikitpun," Damian menjelaskan panjang lebar pada putra Bernandez sendiri.
"Lupakan saja. Lebih baik kita memancing" saran Joseph merangkul kedua temannya. Mereka terkekeh. Beberapa saat berjalan memasuki hutan, mereka sampai di perairan yang dimaksud.
Ketiganya mulai memancing. "Kalian tidak takut ada jika beruang datang menerkam kita?" tanya Benjamin masih dengan ketakutan yang sama sejak dulu.
"Tenang saja, area beruang sudah ditandai" jawab Damian memasang umpan. Benjamin lega. Ia mulai memancing. Sejenak hening di antara mereka.
1 menit, 2 menit, 30 menit berlalu. Masing-masing dari mereka mendapat 2 ekor ikan salmon. Lalu, insting Benjamin justru merasa ada yang memperhatikan mereka dari balik pohon di seberang perairan.
Benjamin segera menoleh ke sana. Dan, "Ada apa?" tanya Damian sibuk melepas pancingnya dari seekor ikan yang berhasil ia pancing.
"Di sana. Tadi ada perempuan," jawab Benjamin merasa tidak salah melihat. "Di hutan ini tidak ada hantu, Ben. Yang benar saja," sahut Joseph segera.
"Tidak, dia bukan hantu. Dia perempuan biasa," jawab Benjamin yakin. Joseph hanya tertawa kecil memaklumi. Benjamin menghela nafas pendek sedikit kesal disepelekan.
Namun hal itu berlalu segera. Setelahnya, mereka membereskan semuanya dan segera beranjak pergi ketika hari semakin sore.
Mereka kembali berkendara pulang, "Malam ini kita bisa menikmati salmon segar," ujar Joseph terlihat sangat senang dengan hasil tangkapannya hari ini.
Benjamin masih melamun. Di benak kecilnya, wajah perempuan itu masih terlintas di ingatannya. Dia merasa tidak salah melihat.
"Kau percaya sekarang bukan? Kalau hutan itu berubah" Joseph menyadarkan temannya itu dari dunia melamunnya.
"Perempuan itu cantik, kulitnya seputih salju, rambutnya ikal panjang. Aku benar-benar melihatnya tadi" jawab Benjamin masih yakin.
"Kurasa kau lebih baik bertanya pada ayahmu" saran Damian segera. Perjalanan itu tidak terasa, dan mereka akhirnya sampai di depan rumah keluarga Paul.
Benjamin turun dengan alat-alat dan hasil tangkapannya. "Thanks," ucap Benjamin sebelum akhirnya kedua temannya berlalu.
Mobil polisi terpakir di depan rumah mereka. Benjamin segera memasuki rumah.
"Kau membawa hasil?" tanya Bernandez tengah sibuk membereskan dokumen yang dibawanya dari kantor. "Beberapa ekor ikan" jawab Benjamin meletakkan ember berisi beberapa ikan salmon di kamar mandi.
"Justin menelponku tadi, dan mengatakan bahwa ia dan Ocla sudah mendaftarkanmu di sekolah yang sama dengan Joseph. Hari senin kau sudah bisa masuk sekolah, aku sudah membelikan peralatan belajarmu dan meletakkannya di kamar" pesan Bernandez masih sibuk memperhatikan dokumennya.
Benjamin tidak heran dengan kondisi itu. Baginya, mungkin ini penyebab ibunya jenuh dengan sikap ayahnya, dan berakhir mereka memutuskan untuk bercerai.
"Ada yang ingin aku tanyakan" ujar Benjamin duduk di sebelah ayahnya. "Apa yang terjadi di hutan greene? Joseph dan Damian memberitahuku bahwa hutan itu punya suasana yang berbeda sekarang" tanya Benjamin dan menjelaskan apa penyebab ia bertanya.
Bernandez menghentikan aktivitasnya. Ia menatap putranya terkejut. "Kalian ke sana?" Bernandez justru balik bertanya padanya.
"Em, ya.." jawab Benjamin seraya mengangguk kecil. Bernandez menghela nafas panjang. "Banyak hal terjadi, nak. Termasuk apa yang saat ini sedang terjadi di dalam hutan itu" Bernandez menjelaskan singkat.
"Memangnya apa yang terjadi?" tanya Benjamin masih merasa tidak diberi jawaban pasti. "Tidak banyak yang aku ketahui. Jadi aku sangat memohon padamu, agar kau tidak ke sana lagi" jawab Bernandez bangkit berdiri.
Ayahnya meninggalkan Benjamin di sana. Remaja itu menghela nafas malas.
01 Maret 2004
"Belajarlah dengan baik. Jangan permalukan pria tua ini, nak" pesan Bernandez melihat putranya akan segera berangkat menuju sekolah. "Tentu saja" jawab Benjamin terkekeh. Ia akhirnya mengendarai mobil menuju sekolahnya. Chadwick Highschool.
20 menit perjalanan, berhasil membawa Benjamin sampai di sekolah barunya. Ketika ia baru saja keluar dari mobil, para gadis menatapnya dengan mata berbinar.
Ia remaja 17 tahun yang tampan. Bernandez benar-benar menurunkan ketampanannya.
"Hi, Ben" sapa Joseph menghampiri temannya lalu merangkulnya. Mereka mulai berjalan, "Mereka menatapku aneh" ujar Benjamin merasa tidak nyaman.
"Itu karena kau terlalu tampan, sobat" jawab Joseph terkekeh. Pagi itu, sekolah mengawali kegiatan dengan sarapan.
Semua datang ke kantin, dan mengambil setiap makanan sesuai keinginan mereka. "Hi" sapa seorang gadis duduk di seberang Benjamin dan Joseph yang sedang makan.
"Hi" Benjamin menyapa kembali gadis itu.
"Aku Carla, teman Joseph-"
"Benarkah?"
Gadis itu memberikan tatapan sinis pada Joseph. Remaja itu membalas dengan senyuman miring. "Benjamin, panggil saja Ben" jawab Benjamin segera.
"Ahk, Ben. Baiklah" gumam gadis itu mulai menikmati sarapannya. Seorang gadis datang menghampiri. Lalu duduk di samping Carla Mendez- gadis yang mengenalkan dirinya tadi pada Benjamin.
Jennifer Keneth, sepupu Benjamin. "Kau sekolah di sini?" tanya Benjamin terkejut. "Hahaha, ayah tidak memberitahumu?" tanya Jennifer tertawa kecil.
"Kau mengenalnya?" tanya Carla ikut terkejut. "Dia sepupuku"jawab Jennifer. Perhatian keempatnya tiba-tiba beralih. Sekelompok orang, lebih tepatnya sebuah keluarga sedang memasuki kantin.
"Mereka siapa?" tanya Benjamin penasaran. "Ahk, mereka? Mereka Gerald bersaudara. Keluarga yang populer di sekolah ini" jawab Carla yang tahu banyak hal mengenai sekolah mereka ini.
"Laki- laki tinggi kekar itu namanya Patrick, lalu di sebelahnya adalah Patricia" Jennifer menyebutkan nama mereka.
"Mereka?" tanya Benjamin ketika dua orang lainnya masuk. "Perempuan itu Veronica dia perempuan super ceria. Dan di sebelahnya Sharon, yang super pendiam," jawab Joseph.
Benjamin segera terdiam ketika melihat seorang gadis cantik memasuki ruangan itu bersama gadis lain. Tidak asing.
"Mereka?" tanya Benjamin menatap gadis itu dengan sangat serius. "Yang rambutnya dikepang dua itu namanya Espe dan yang berwajah cantik itu Marella" jawab Joseph segera mengenali keduanya.
"Mereka selalu duduk bersama di pojok. Yang namanya Espe itu dia adalah gadis yang dingin, tapi menurutku dia jenius. Sementara Marella dia sangat pemalu. Hanya saja dia dibully berandalan sekolah ini" Jennifer menilai kedua gadis itu.
"Kau tertarik padanya?" tanya Carla menggoda Benjamin. "Pendapat apa itu?" dan mereka kembali tertawa.
Bel berbunyi dan mereka memasuki kelas. Kelas pertama adalah kelas fisika. Benjamin memasuki ruangan kelas, dan Bill memintanya memperkenalkan diri.
Benjamin kembali mendapati, Esmeralda Prislly Gerald dan Marella Gerald duduk sebangku.
"Kau bisa duduk di bangku kosong, tuan Paul" saran Bill padanya. Benjamin menurut, dan ia duduk di depan kedua bersaudara itu.
Kelas dimulai. Bill mulai menjelaskan. "Lalu jika dia peristiwa gaya ini, maka kita akan menggunakan rumus?" Bill mulai bertanya.
Benjamin yang tahu hendak mengangkat tangan namun, "Newton 2" seorang gadis di belakangnya langsung menyahut. Semua memperhatikan sumber suara. Esmeralda, dia yang menjawab pertanyaan itu.
"Tepat sekali nona Gerald," jawab Bill tampak semakin semangat. Benjamin akhirnya paham kenapa Jennifer menyebut Esmeralda jenius.
Kelas telah selesai, dan Benjamin menuju ke kelas selanjutnya. Sampai waktu sekolah selesai, Benjamin menuju parkiran dan hendak pulang ke rumah.
Baru saja Benjamin hendak memasuki mobil, "Ben awas!!" Carla memperingatinya. Malangnya, Benjamin belum sempat bersiap untuk mengelak sebuah mobil yang tidak terkendali saat itu.
"Astaga" gumam Benjamin terkejut. Patrick Gerald, berhasil menahan mobil itu. "Berhati-hatilah sobat," pesan Patrick melangkah pergi meninggalkan Benjamin yang masih terdiam kaku. Ia terkejut dengan datangnya mobil itu, dan Patrick tentunya.
"Ben, kau tidak apa?" Jennifer menghampiri sepupunya itu. "Aku.. baik" jawab Benjamin. Tidak ada yang terjadi padanya.
Namun karena hal tersebut, Benjamin tetap dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa.
"Tidak ada masalah" dokter terkenal di rumah sakit itu memeriksa putra kepala kepolisian. Garon Gerald- ayah dari Gerald bersaudara, yang memeriksa Benjamin.
"Terimakasih dokter Gerald, aku benar-benar khawatir" Bernandez di sana menemani putranya. "Sudah aku katakan, aku baik" gumam Benjamin malas.
"Aku baru tahu kau punya anak pak Paul" ujar Garon sedikit terkejut mengetahui fakta bahwa Benjamin adalah putra Bernandez.
"Dia pindah 5 tahun lalu" jawab Bernandez segera. Garon mengangguk pelan. "Baiklah, jika ada sesuatu yang menyakiti tubuhmu datanglah ke rumah sakit. Aku akan kembali memeriksamu" pesan Garon sebelum ia meninggalkan ayah dan anak itu.
"Kau baik-baik saja, nak?" tanya Bernandez memastikan kembali. "Ya, sangat baik" jawab Benjamin berusaha menenangkan ayahnya.
"Ayah, mereka aneh" ujar Benjamin membuat Bernandez terheran. "Aneh? Apa yang aneh dari mereka?" tanya Bernandez terheran. "Aku tidak tahu, aku hanya merasa mereka aneh" jawab Benjamin sulit menjelaskan.
"Tunggulah beberapa menit lagi, kau bisa beristirahat nanti" Bernandez mengacak rambut putranya itu.
Sorenya, Benjamin berada di halaman belakang rumahnya. Kejadian tadi masih terlintas di ingatannya. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Joseph menghampirinya. Ia mengunjungi temannya dengan sukarela.
"Tadi itu aneh" gumam Benjamin terus memikirkan kejadian yang menimpanya. "Memangnya apa yang salah dari mereka?" tanya Joseph terheran.
"Ahk, sulit sekali menjelaskannya" jawab Benjamin mengacak rambutnya. Selain trauma, ia juga tidak bisa menggunakan logikanya. Patrick Gerald, reflek yang dimilikinya tidak bisa diungkapkan dengan akal sehat. Benjamin yakin bahwa tadi, Patrick masih berada di depan perpustakaan bersama saudara-saudaranya, yang kebetulan berada di dekat tempat parkir kendaraan sekolah.
Joseph duduk di sebelah Benjamin. "Ada yang perlu kuberitahu, Ben" ujar Joseph denga ekspresi serius. Ia kembali bangkit dan berjalan menuju halaman belakang itu.
"Mengenai?" tanya Benjamin mengikuti temannya dari belakang. Joseph tiba-tiba membuka bajunya. "Aku normal, dan menjauhlah sedikit," saran Joseph mulai melepas sepatunya.
Benjamin yang terheran menjauh. "Bersiul lah" perintah Joseph. Benjamin menurut, ia mengeluarkan siulannya.
Lalu, "YA TUHAN!!" teriak Benjamin terkejut ketika Joseph tiba-tiba saja berubah menjadi seekor serigala berukuran besar, dengan bulu berwarna abu-abu belang putih.
Benjamin sampai terjatuh, dan ia mulai menyeret dirinya menjauh. Untung saja halaman belakang itu dipenuhi rumput.
Setelahnya Joseph kembali ke wujud awalnya. "Kau menambah traumaku" ujar Benjamin tanpa sadar. Joseph terkekeh.
...****************...
"Klan Canis?" tanya Benjamin ketika mendengar cerita temannya. "Aku baru mengetahui fakta bahwa aku punya darah siluman serigala, ketika kau baru saja pindah" jawab Joseph masih dengan dirinya yang telanjang dada.
"Jadi yang di hutan?" gumam Benjamin kembali teringat dengan cerita Damian kemarin. "Tidak, dia bukan kawanan kami. Aku juga masih menyelidikinya," jawab Joseph segera.
"Lalu kenapa kau memberitahuku? Kau tidak takut aku memberitahu wujudmu yang tadi pada orang lain?" tanya Benjamin terheran.
Joseph tertawa mendengarnya. "Aku bisa membunuhmu jika kau melakukan itu. Tapi aku percaya padamu, karena sifatmu dengan Bernan tidak beda jauh" jawab Joseph tanpa beban sedikitpun.
Benjamin bergidik ngeri mendengarnya. "Kami punya musuh, Ben" dan Joseph tampak memulai topik yang sebenarnya.
"Musuh?" gumam Benjamin penasaran. "Klan mata merah, lebih tepatnya klan Ruby. Mata mereka merah seperti permata ruby" dan Benjamin akhirnya memasang telinganya.
"Mereka apa?" tanya Benjamin terkejut. "Vampir" jawaban itu membuat Benjamin terdiam. "Kau pasti berpikir itu hanya cerita dongeng bukan?" tanya Joseph tahu apa yang sedang terlintas di pikiran Benjamin.
"Apa kau tahu salah satu dari mereka?" tanya Benjamin menginginkan 'bukti' nyata. Sejenak Joseph terdiam, ia menatap lurus ke depan. "Damian" jawaban itu membuat Benjamin melotot tidak percaya.
"Pada dasarnya kami adalah seekor anjing, dan kami bisa mencium aroma mahluk lain. Tapi tidak dengan vampir. Sebaliknya, vampir bisa mencium bau apapun terutama manusia" penjelasan itu membuat Benjamin terdiam.
"Dan untuk keluarga Gerald, aku sama sekali tidak bisa mencium aroma mereka. Tapi salah satunya tampak normal" tambah Joseph lagi. "Siapa?" tanya Benjamin penasaran.
"Marella" jawab Joseph. Benjamin tentu mengingat wajah gadis itu. "Kau pernah bilang bukan melihat seorang gadis di hutan beberapa hari lalu?" tanya Joseph membuat ingatan Benjamin kembali teringat pada sesuatu.
"Ahk iya, lalu?" tanya Benjamin balik. "Dia adalah, Marella Gerald" Benjamin menyadari itu. Pertama kali ia melihat Marella, ia merasa mengenali wajah gadis itu.
"Kenapa kau bilang dia normal?" tanya Benjamin penasaran. "Dia punya aroma manusia yang kuat. Ia juga tidak menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan saudara-saudaranya" jawab Joseph bangkit berdiri dan mengambil kaos yang ia kenakan.
"Aku sudah menjawab rasa penasaranmu, kuharap kau tidak memikirkannya lama. Bisa-bisa kecerdasanmu yang hakiki itu justru hilang dimakan pikiranmu" Joseph mengenakan kaosnya dan ia tampak bersiap pulang.
"Jika ada waktu, aku dan Damian akan menjelaskanmu lebih. Beristirahatlah untuk hari ini" pesan Joseph menepuk pelan pundak temannya itu lalu ia akhirnya pergi meninggalkan Benjamin.
Benjamin akhirnya menuruti saran Joseph. Tapi ia tidak langsung menyimpulkan keluarga itu adalah vampir, karena Joseph sendiri tidak menyebut langsung mereka adalah mahluk itu.
Akhirnya remaja itu bangkit berdiri dan memilih masuk ke dalam kamarnya. Hari itu ia memilih untuk melihat pakaian kotor, dan memasukkan pakaian itu ke dalam mesin cuci.
Benjamin menuju ruang keluarga, dan duduk bersantai di sofa seraya menyalakan televisi.
Sejenak Benjamin terus memencet remot mengganti siaran yang ada. Sampai akhirnya, "Berita terkini pada 01 Maret 2004, telah ditemukan seorang pria dewasa meninggal dalam keadaan kaku dan mendapat bekas luka gigitan di leher. Masih belum diketahui siapa pelaku, namun polisi dan pihak medis sedang memeriksa korban"
Benjamin terdiam mendengar berita itu. "Pak Paul bagaimana tanggapan anda?" reporter itu mulai bertanya pada Bernandez yang ada di sana. "Kami masih menyelidiki lebih lanjut, ada banyak dugaan yang sudah kami pikirkan tapi tanpa bukti semuanya akan menjadi buntu"
Benjamin mematikan televisi dan beranjak menuju kamarnya. Ia menyalakan laptopnya dan mulai mencari sesuatu. Semua hal tentang klan Canis, Ruby, apa saja yang mereka lakukan di masa lalu. Ia terus mencarinya tanpa henti sampai waktu tidak terasa baginya.
"Ben" Benjamin tersentak kaget. Bernandez sedari tadi sudah memanggilnya. "Ayah, sejak kapan kau kembali? Bukankah kau mengurus kasus tadi?" tanya Benjamin segera mematikan laptopnya dan bangkit berdiri.
"Sudah sejak 30 menit lalu, nak. Kau bahkan tidak mendengar aku memanggilmu" jawab Bernandez melepas seragamnya.
Benjamin mengangguk-angguk pelan. "Kau tadi mencari artikel apa?" tanya Bernandez penasaran. Ia belum sempat melihat apa yang dicari putranya tadi. "Ahk, tidak ada. Hanya untuk tugas biologi saja" jawab Benjamin.
Bernandez menaikkan sebelah alisnya. Tapi ia akhirnya melupakan hal itu dan memilih pergi. Benjamin menghela nafas pendek.
Malamnya Benjamin duduk di kursi belajarnya dan mengerjakan tugas. Lalu, "Ben. Aku harus ke kantor malam ini. Apa tidak masalah bagimu?" tanya Bernandez di pintu kamarnya.
"Berhati-hatilah, ini sudah larut malam" pesan Benjamin masih melanjutkan acara menulisnya. Bernandez akhirnya turun ke lantai 1. Benjamin mengekori ayahnya dari belakang. Sejenak Bernandez melambai, dan hal itu dibalas oleh putranya.
Di sisi lain, "Bisa tunjukkan sim milikmu?" tanya Bernandez berhasil menghentikan seorang pengendara mobil bersama bawahannya. Anehnya, pria itu tidak menjawab. Matanya tetap menatap lurus.
Lalu, "Permisi?" dan pria yang duduk di bangku itu tetap diam dan, "Kau masuk jebakanku" ujar pria itu tersenyum sinis. Ia menarik kera baju Bernandez dengan tangan kirinya, lalu mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Alhasil kaki Bernandez terseret karena itu. Ia terseret sepanjang 100 meter.
Sampai akhirnya, "Kau salah menahan orang pak polisi" setelahnya pria itu meninju Bernandez hingga terjatuh. Dan, pria itu akhirnya tersungkur lemas.
......................
"Aku bersumpah siapapun yang melakukan itu padanya, akan kubunuh dengan tanganku sendiri" Benjamin berlari dengan panik melewati setiap ruangan di rumah sakit.
Benjamin ke rumah sakit ditemani Joseph dan Damian yang bersamanya. Mereka akhirnya tiba di ruangan Bernandez berada.
"Ayah!!" Benjamin segera menghampiri Bernandez yang dinyatakan koma. Lalu, "Dia-" Damian tidak bisa melanjutkan ucapannya.
Ia mencium aroma lain. Seragam Berandez terletak di atas meja di samping kasur Bernandez terbaring.
Damian mengambilnya dan mencium aroma yang bisa ia ketahui. "Pelakunya masih di sekitar sini" gumam Damian dengan matanya yang tiba-tiba menjadi merah.
"Maksudnya?" tanya Benjamin terkejut melihat mata Damian berubah. Garon tiba-tiba memasuki ruangan. Ia bersama istrinya- Jessi, datang memeriksa keadaan Bernandez.
"Kakinya kemungkinan butuh waktu yang lama untuk pulih" ujar Garon setelah mengecek keseluruhan. Benjamin hanya bisa memperhatikan ayahnya dengan khawatir.
Ketika tengah malam tiba, Benjamin dan kedua temannya memutuskan untuk kembali ke rumah. Benjamin harus bersekolah besoknya.
Di rumah, "Hi, nak. Ada apa kau menelponku di tengah malam begini?" tanya Charlie dari panggilan telepon. Sejenak Benjamin terdiam lalu, "Ayah.. kecelakaan" jawabnya datar.
"Apa?!" Charlie terdengar khawatir sekaligus terkejut.
Benjamin tampak sudah duduk di bangku kelasnya. Charlie- pamannya memutuskan cuti pagi itu dan menjaga Bernandez.
Kelas mulai ramai. Sampai akhirnya, kekhawatirannya pada ayahnya justru teralih dengan kedatangan Marella yang datang sendirian. "Dia Marella bukan?" tanya Benjamin pada teman sebangkunya- John Willson. "Ahk iya, dia pemalu dan jarang bergaul. Tapi orang-orang berandalan sekolah ini sering mengganggunya" jawab John.
"Mengganggunya?" Benjamin semakin penasaran. "Sekelompok orang-orang pembuat onar yang suka bolos. Jujur saja dia sangat cantik" jawab John terkekeh. Benjamin bisa melihat dari sudut mata John, ia menyukai gadis itu pastinya.
Marella duduk di belakang mereka. "Di mana Prislly?" tanya John menghadap belakang menanyai Esmeralda yang selalu bersamanya setiap hari. "Dia ada urusan dengan ibu" jawab Marella menunduk ragu.
"Ini, Ben. Kau tidak ingin berkenalan?" tanya John menawari. "Aku, Benjamin. Senang berkenalan denganmu" Benjamin mengulurkan tangannya. Marella awalnya ragu, lalu ia membalas jabatan tangan itu.
"Marella" jawab gadis itu dengan lembut. Benjamin membalas dengan senyuman. Pelajaran akhirnya dimulai. Ketika jam makan siang tiba, Benjamin segera menuju kantin mencari keberadaan Joseph.
Ia mendapati Joseph sedang duduk menikmati makan siangnya, bersama Carla dan Jennifer.
"Bagaimana Bernan?" tanya Joseph memastikan. "Paman sudah datang ke sana menjaganya, kuharap dia bisa segera sadar" jawab Benjamin mulai menyantap makan siangnya saat itu.
"Damian bersekolah di mana?" tanya Benjamin penasaran. "Dia di yayasan katolik" jawaban itu membuat Benjamin sediki terkejut.
Benjamin mengetahui bahwa Damian adalah seorang vampir, yang artinya sama dengan iblis. Tapi temannya itu justru bersekolah di sekolah keagamaan, bertolak belakang dengannya.
"Memangnya kenapa?" tanya Jennifer terheran dengan ekspresi Benjamin. "Dia tidak menyukai sekolah itu" jawab Joseph segera.
Perhatian mereka kembali teralih pada sebuah keluarga. Keluarga Gerald. "Semua pandangan tertuju pada mereka sekarang" ujar Carla tertawa kecil, namun maknanya berbeda.
Benjamin tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Marella yang sendirian di belakang. Lalu, "Astaga" gumam Marella ketika ada seorang pria sengaja menabraknya hingga membuat makanan Marella tumpah mengenai pakaian yang ia gunakan.
"Hey, bisakah kau menggunakan matamu?" Patricia tampak tidak terima hal itu. "Hahaha. Aku tidak sengaja, dia bahkan tidak memarahiku" jawab laki-laki itu tanpa rasa bersalah. Benjamin bangkit berdiri, namun Carla segera menahannya sambil menggeleng.
Lalu, "Sialan" gumam laki-laki itu menerima sebuah siraman air es di wajahnya. Esmeralda tiba di sana tepat waktu. Ia baru saja kembali dari urusannya.
Laki-laki itu hendak memberi sebuah tinjuan namun, "Kau berganti gender? Kenapa berani sekali menyerang perempuan?" tanya Sharon dengan nada dingin.
Melihat tatapan Sharon, laki-laki itu menciut. Dan akhirnya memilih untuk mengalah. "Manusia sampah" gumam Patricia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!