NovelToon NovelToon

Kisah Cinta Tak Terduga

1.Prolog

"Nominasi untuk buku terbaik tahun ini akan jatuh kepada_,,,,,,,"

"....."

"...."

Suasana riuh pada konser musik secara perlahan berubah hening. Sebagian besar dari mereka yang menjadi penonton justru menatap layar ponsel masing-masing, menajamkan pendengaran mereka pada acara nominasi yang tengah berlangsung.

Hal serupa terjadi di belakang panggung dimana salah satu dari penyanyi yang akan tampil malam itu menggumamkan satu kata yang tidak dimengerti oleh kelima teman yang berada disekitarnya.

"NYLOES,,,,"

"Thomas, sebentar lagi kau akan keluar, letakkan dulu ponselmu!" tegur salah satu teman yang berada di dekatnya sekaligus sosok pria yang menjadi manager grup musik yang akan tampil.

"Sstt,,, diam dulu sebentar!" jawab Thomas sembari mengangkat satu tangan tanpa melepaskan pandangan dari layar ponsel.

"Apa sebenarnya yang sedang kau lihat?" satu teman lain bertanya penasaran.

"Acara nominasi buku terbaik tahun ini," jawab Thomas tanpa menoleh.

"Dasar kutu buku!" celetuk satu teman yang berbeda.

"Jika kau membaca satu saja buku karyanya, aku bisa menjamin kau akan menyukainya," jawab Thomas.

"Penulis ini bahkan sudah memenangkan nominasi buku selama enam tahun berturut-turut,"

"Selama itu juga buku-bukunya selalu menjadi terbaik dan selalu habis terjual di mana saja. Aku sendiri beberapa kali gagal mendapatkan bukunya karena kehabisan," Thomas menambahkan.

"Nama NYLOES terdengar sedikit aneh bagiku. Apakah dia seorang pria atau wanita? Bukan tidak mungkin dia juga orang aneh,"

"Jangan menghina idolaku!" tukas Thomas.

Wajahnya terangkat dengan sorot tidak terima.

"Dia pria atau wanita tidak ada yang tahu karena dia menyembunyikan identitasnya,"

"Tapi dia menyembunyikan identitasnya, bukankah itu hanya menunjukkan bahwa dia aneh?"

"Behenti menghina idolaku!" sungut Thomas.

"Penggemar yang dia miliki bahkan lebih banyak dari kalian berdua," imbuhnya dengan sorot tidak senang pada si kembar.

"Sekarang diamlah!" imbuhnya kembali menunduk menatap layar ponsel.

"Nominasi buku terbaik tahun ini jatuh kepada,,,,, NYLOES,,,,"

"Wooooo,,,,,,,,,Yessss,,,,,,,!!!"

Thomas berseru senang, mengangkat kepalan satu tangannya ke atas dengan senyum puas di wajah. Dalam benaknya ia segera memikirkan hadiah apa yang akan ia kirimkan termasuk surat untuk memberikan ucapan selamat.

Hal serupa juga dilakukan oleh para penonton yang berada di depan panggung, berseru senang saat penulis idola mereka mendapatkan nominasi terbaik di tambah dengan idola penyanyi mereka akan segera tampil di depan mereka.

"Lihat mereka!"

"Mereka datang untuk menonton pertunjukan kita, tapi bersorak senang setelah mendengar nominasi buku terbaik," gerutu serempak dari dua pria kembar di samping Thomas.

"ACE,,,,,,,!!!!"

Suara teriakan para penonton menggema memenuhi udara, menyebutkan satu nama yang memiliki penggemar terbanyak, sekaligus sosok yang menjadi leader dari tim Boy band yang akan tampil. Mengabaikan acara nominasi yang baru saja mereka tonton seolah mereka tahu apa yang akan terjadi setelahnya.

Hal yang tidak pernah mereka ketahui adalah acara nominasi yang tengah berlangsung di sebuah ballroom hotel juga dihadiri oleh seseorang yang menjadi pemenang dari nominasi tersebut.

Wanita yang tidak diketahui bahwa dialah Nyloes justru duduk menyendiri tanpa ada satupun yang bersedia mendekat.

Satu tangan wanita itu sesekali menekan diantara kedua matanya, terus bergerak tidak nyaman dalam duduknya terutama dengan suasana pesta yang bisa membuat identitasnya terbongkar.

Di tengah kegelisan yang sedang ia rasakan, keberuntungan seolah tengah berpihak padanya ketika seseorang yang sangat ia kenal melangkah mendekat.

"Nay, apakah kamu baik-baik saja?" dia bertanya.

Wanita itu menoleh, memberikan senyuman lesu pada wanita yang memanggil namanya sekaligus orang yang menjadi asisten pribadinya.

"Apakah kamu membawa kacamataku, Rose?" Nayla balas bertanya tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan.

Wanita yang di sebut Rose itu menghela napas pelan, sangat memahami karakter dari Nayla yang menjadi sahabatnya sekaligus penulis yang ia dampingi. Satu tangan wanita merogoh tas miliknya, mengeluarkan sebuah kacamata, lalu menyodorkan kacamata itu pada Nayla yang segera memakainya.

"Pulanglah,,,!" ujar Rose.

"Biarkan aku yang mengurus sisanya. Kamu terlihat pucat,," imbuhnya memberi saran.

Nayla mengangguk, namun tangannya justru terangkat ke arah Rose yang membuat wanita itu memberikan kerutan tajam di keningnya.

"Buku," Nayla berkata singkat.

Rose menepuk dahinya, lalu menghembuskan napas kasar lantaran sedikit kesal dengan tingkah sahabatnya.

"Apa kau akan mengemudi dengan membaca buku?" tanya Rose kesal.

"Itu sama saja kau membeli satu tiket menuju kematian," imbuhnya.

"Hei,,, Aku tidak mengemudi, kaulah yang menjemputku ke tempat mengerikan ini, ingat?" sahut Nayla tanpa beban.

"Lagi pula, aku lebih memilih pulang dengan berjalan kaki, aku terlalu malas menggunakan jasa taksi yang pasti akan mengambil jalan memutar. Apartemenku tidak sejauh itu dari hotel ini," lanjutnya.

"Baiklah,,, Baiklah,,," Rose berkata sembari mengangkat kedua tangan tanda menyerah dan mengeluarkan buku dari dalam tasnya.

"Terima kasih, Rose," Nayla tersenyum dengan tangan bersiap untuk mengambil alih buku dari tangan sahabatnya.

"Tapi, tetap pakai kacamatamu! Ingatlah apa pesan dokter padamu!" ucap Rose sebelum melepaskan buku dari tangannya yang di jawab dengan memberikan anggukan serta mengedipkan mata.

"Tentu saja" jawab Nayla.

Nayla beranjak dari duduknya, meninggalkan Rose ke arah pintu keluar ballroom di mana acara masih berlangsung. Sementara Rose hanya menghela napas panjang sembari mengelengkan kepala, lalu berbalik setelah Nayla menghilang dari pandangannya.

"Kabur lagi?" seorang pria berjas putih bertanya segera setelah Rose berdiri di sampingnya

"Untuk kali ini dia terlihat benar-benar sakit, bahkan wajahnya seperti mayat hidup saja," jawab Rose terkekeh pelan.

"Setidaknya dia menyempatkan datang kali ini," ujarnya dengan suara datar.

"Anda benar, Mr." sambut Rose tersenyum membuat pria itu turut tersenyum.

"Ahh,,, Aku hampir melupakan sesuatu," ujarnya tiba-tiba.

"Besok pagi, minta Nayla untuk datang ke kantor! Ada yang harus dia tandatangani terkait bukunya yang baru saja diterbitkan," pintanya.

"Baik, jika Mr. Darwin yang meminta, saya yakin dia tidak akan memiliki banyak alasan untuk menolak," sambut Rose tersenyum.

Pria yang disebut dengan nama Darwin tersenyum simpul, kemudian berkata pelan,

"Yaahh,,, Dia memang masih sangatlah muda. Tapi, bakatnya memang luar biasa. Dia bahkan kebali memenangkan penghargaan malam ini. Sisi terbaik dari dirinya adalah, dia tak bersikap melebihi batas terhadap orang yang lebih tua darinya. Bahkan terhadapmu," ungkapnya tulus.

Rose mengangguk setuju dan tersenyum, kembali memusatkan perhatian mereka pada acara yang masih berlangsung

Pembawa acara kini masih berdiri di atas panggung setelah mengumumkan nama-nama pemenang penghargaan, meminta para pemenang untuk naik panggung dan memberikan sambutan termasuk Nyloes yang menempati tempat terbaik.

"Kepada NYLOES agar bersedia naik ke atas panggung!" pinta pembawa acara.

Semua orang menunggu, dan segera meberikan sorot kecewa kala melihat Rose berjalan perlahan naik ke atas panggung, wanita yang telah mereka kenal sebagai asisten Nyloes.

Rose tersenyum ramah, mengulurkan tangan meminta microphone dari tangan si pembawa acara yang segera memberikannya.

"Pertama-tama saya meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada para hadirin sekalian karena Nyloes kembali tidak bisa menerima penghargaan ini secara langsung,"

"Saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para hadirin sekaligus kepada semua yang telah memberikan dukungan kalian pada Nyloes, apa yang telah berhasil didapatkan malam ini tak luput dari dukungan yang telah kalian berikan,"

Rose membungkukkan sedikit badannya, mempertahankan senyum di bibir ketika serbuan pertanyan dari para wartawan tertuju padanya hingga ia memilih meninggalkan hotel dengan satu tujuan pasti dalam benaknya. Apartemen Nayla.

...%%%%%%%%%%%%...

. . . .

. . . .

To be continued...

.

.

.

## Pengenalan tokoh...##

- Rory Ace Jordan.

Panggilan keseharian Rory, namun memiliki panggilan rumah Jo. Panggilan artis Ace

Leader dari grup musik sekaligus pemilik vokal terbaik, namun minus dalam tarian/ dance.

- Kevin Marc Jordan.

Kakak Rory.

- Thomas.

Satu-satunya personil yang sudah menikah, namun tidak tinggal bersama istrinya karena pekerjaan sebagai penyanyi.

- Si kembar Ethan dan Nathan

-Martin

Manager grup musik mereka.

- Shadow

Nama grup musik yang memiliki nama asli Fimm Shadow, namun dikenal dengan grup Shadow atau FM.

# Tokoh Wanita

- Nayrela Louise

Akrab di panggil Nayla, hidup sebatang kara, seorang penulis buku yang menyembunyikan identitasnya dengan nama samaran NYLOES.

- Rose.

Asisten sekaligus editor, namun akan digantikan oleh Adrian karena keadaan yang membuat Rose harus pindah.

2. Pertemuan

Nayla meninggalkan hotel ditengah acara yang masih berlangsung, menghembuskan napas lega begitu ia berada di luar dan segera melangkahkan kakinya menelusuri jalanan kota menuju Apartemennya.

Dalam tiap langkah yang wanita itu ambil, Nayla membuka lembar demi lembar buku yang diberikan sang asisten padanya, tersenyum tipis kala menemukan kata yang mempu menghibur hatinya.

Buku tebal bercover hijau lumut dengan perpaduan warna hitam serta siluet seorang pria memakai topi dan tulisan Arthur Conan Doyle' sebagai nama penulisnya.

Perlahan, langkahnya mulai melambat, mengangkat wajah sejenak kala dirinya baru menyadari mulai memasuki area taman. Sebuah taman kota dengan air mancur besar berada di sisi taman berhiaskan lampu dengan tambahan kursi santai yang mengelilingi air mancur, menjadi tempat ternyaman ketika ingin menghabiskan waktu dengan bersantai.

Wanita itu melanjutkan langkah, kembali fokus pada apa yang ada di tangannya, namun urung ia lakukan saat dirinya baru membaca beberapa baris, langkahnya kembali terhenti tatkala kedua matanya menemukan sesuatu.

Tanpa mengatakan apapun, Nayla berjongkok ketika melihat sebuah dompet kulit berwarna coklat tergeletak di depan kakinya. Tangannya terulur mengambil dompet itu, menyelipkan ke dalam buku miliknya, lalu kembali berdiri.

Alih-alih pergi meninggalkan taman, Nayla justru berjalan mendekati salah satu kursi taman terdekat dengan tempatnya berdiri saat ini.

Ia meletakan dompet di balik bukunya dan kembali membaca. Sesekali mengangkat wajah manakala ada seseorang mendekat, memastikan apakah dia orang yang telah menjatuhkan dompet yang telah ia temukan, lalu kembali membaca saat orang itu pergi tanpa tanda-tanda mencari sesuatu.

Waktu terus berjalan, malam pun semakin larut. Hembusan angin dingin kian kuat menerpa tubuhnya yang hanya berbalut pakaian formal tipis. Nayla masih bertahan menunggu.

Beberapa saat setelahnya, seorang pria dengan setelan celana jens berjaket hitam, serta memakai masker dan topi hitam setengah berlari memasuki area taman dan berhenti tepat di depan Nayla duduk.

Tubuh tingginya sedikit membungkuk dengan napas terengah, lalu berjalan mendekati Nayla dan berhenti dengan jarak dua langkah di depan wanita itu, terdiam sejenak sebelum membuka suara tanpa melepaskan masker hitam yang menutupi sebagian wajahnya.

"Permisi, Nona,"

Nayla mengangkat pandang, sedikit menaikan alis.

"Ya? Apakah Anda membutuhkan sesuatu, Tuan?" sambut Nayla bertanya.

"Bolehkah saya duduk di kursi kosong di samping Anda?" dia bertanya sopan.

"Tentu, silakan," sambut Nayla tersenyum tipis.

"Terima kasih," jawabnya.

Pria itu segera duduk setelah mendapatkan ijin, sedikit membungkuk di sertai hembusan napas kasar dengan pandangan lurus ke depan.

'Aku yakin terjatuh di sini, setidaknya benar-benar terjatuh di sini saat aku tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang,' batin si pria.

Matanya menyusuri jalan yang ada di depannya. Namun, tidak menemukan apapun yang ia cari.

'Bodoh! jelas saja tidak ada, itu sudah beberapa jam yang lalu, kenapa aku ceroboh sekali. Seseorang pasti telah mengambilnya,' rutuk pria itu dalam hati.

Sesaat, Nayla melirik pria yang duduk di sampingnya, memikirkan kemungkinan terkecil yang mungkin bisa terjadi.

'Mungkinkah dompet ini miliknya?' tanya Nayla dalam hati.

Sebelum Nayla memiliki kesempatan untuk menanyakan apa yang terlintas di pikiran, pria itu membuka suara lebih cepat,

"Menunggu seseorang?" tanyanya sopan.

"Yah,,, benar. Bagaimana dengan, Anda?" jawab Nayla balas bertanya.

"Menemui seseorang?" lanjutnya.

"Tidak persis seperti itu.Tapi, saya harap, saya bisa bertemu seseorang," jawabnya.

"Apa maksud_,,,"

Pertanyaan Nayla terhenti ketika suara dering ponsel dari saku celananya menyela.

"Ah,,,maaf. Tunggu sebentar!" ucap Nayla seraya mengeluarkan ponsel dari saku celana.

Pria itu hanya mengangguk, memberikan senyuman yang tidak bisa dilihat si wanita. Sedangkan Nayla menatap layar ponsel dan melihat nama 'ROSE' tertera di sana, lalu menggeser layar untuk menerima panggilan sekaligus mendekatkan ke telinganya.

[[ "DI MANA KAU? KENAPA MASIH BELUM TIBA DI APARTEMEN?"]]

Suara keras dari Rose segera terdengar tepat setelah Nayla menempelkan ponsel ke telinga, membuat Nayla praktis segera menjauhkan ponsel dari telinganya, sedang satu tangan yang lain memegangi telinganya sembari memberikan gosokan pelan dengan wajah meringis. Hal yang cukup untuk membuat si pria di samping wanita itu tersenyum geli di balik masker yang dia kenakan.

📞📞📞📞

"Jangan berteriak, Rose! Aku masih menyayangi telingaku!" Nayla menjawab dengan intonasi tenang.

"Aku dalam perjalanan" lanjutnya.

"Omong kosong apa itu?" sambut Rose kesal.

"Apa kau pikir perjalanan menuju Apartemenmu memerlukan waktu lebih dari EMPAT JAM?" tanya Rose lagi setengah membentak dan menekankan kalimatnya.

"Aaaa,,,?"

Nayla mengerjap bingung, mengangkat satu tangan untuk melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu membulatkan kedua matanya.

"Astaga,,, Sudah berapa lama aku berada di sini sebenarnya?" Nayla bergumam pelan, namun cukup untuk didengar wanita yang tengah menghubungi dirinya.

"Aku tidak menyadarinya,"

"Bagus sekali!" tukas Rose.

"Pulang sekarang juga!" perintahnya kemudian.

"Ayolah,,, Jangan marah. Aku melakukanya tanpa sengaja," bujuk Nayla

"Ada yang harus aku lakukan saat perjalanan pulang dan aku benar-benar lupa waktu," terang Nayla.

"Keluarkan semua alasanmu saat kau sudah sampai di Apartemen. SEKARANG!!" tegas Rose.

📞📞📞📞

"Tunggu dul_,,,"

Nayla mengerutkan kening, tidak memiliki kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya ketika Rose sudah memutus panggilan secara sepihak, membuat ia menurunkan ponsel dan menatap layar sejenak.

"Haahh,,, Sepertinya dia benar-benar marah," Nayla bergumam pelan, namun cukup untuk di dengar pria di sampingnya.

"Kakak Anda?" dia bertanya.

"Ahh bukan, dia bisa disebut sebagai sahabat," jawab Nayla.

"Apa artinya itu? BISA?" dia bertanya lagi, namun kali ini sembari menaikan alis.

Nayla menoleh, memandangi wajah pria asing yang menutupi wajahnya menggunakan masker hitam, serta menutupi kepalanya menggunakan topi senada.

"Lebih dari sahabat," jawab Nayla.

Pria itu mengangguk mengerti.

"Saya rasa, Anda memang seharusnya pulang saat ini. Terutama karena malam ini sudah memasuki musim dingin dan Anda mengenakan pakaian tipis, hal yang cukup untuk membuat anda terserang demam,"

"Jari tangan Anda bahkan sudah berkerut. Anda berada di sini selama itu, hal wajar jika dia khawatir. Anda juga terlihat pucat," ujar si pria dengan sorot tulus.

Nayla terdiam dan berpikir sejenak, merasa pria asing di sampingnya bisa memperhatikan hal sederhana dengan begitu baik, kemudian mengangguk.

Tanpa diduga, pria itu melepas jaketnya, menyisakan t-shirt lengan pendek di tubuhnya, lalu menyodorkan jaket itu pada Nayla.

"Pakailah," dia berkata.

Selama beberapa saat, pandangan Nayla terkunci pada pria itu, beralih pada jaket yang disodorkan dan kembali ke wajahnya.

"Jangan khawatir, saya tidak memiliki niat buruk. Anda juga tidak perlu mengembalikan jaket ini jika itu yang Anda khawatirkan," pria itu berkata lagi.

Nayla menggeleng pelan, lalu tersenyum sembari mendorong tangan si pria yang membuat jari tangan mereka tanpa sadar bersentuhan lebih lama dari yang seharusnya.

"Terima kasih, tapi tidak perlu, Apartemenku tidak begitu jauh dari taman ini," tolak Nayla tersenyum.

Pria itu mengangguk lagi, lalu menarik tangannya kembali.

"Sepertinya seseorang yang Anda tunggu benar-benar tidak datang. Berhati-hatilah saat berjalan pulang" ucap si pria mengingatkan.

"Baiklah, semoga beruntung untuk Anda," balas Nayla.

Mereka beranjak dari duduknya, memberikan anggukan singkat sebelum berjalan dengan arah berbeda. Satu waktu Nayla menghentikan langkah, menoleh kebelakang, dan menatap punggung pria itu yang berjalan kian menjauh.

"Apakah dia nyaman tanpa melepas masker?" Nayla bergumam pelan.

Wanita itu menaikan bahu, lalu berbalik dan melanjutkan langkahnya. Tanpa diduga, pria itu juga melakukan hal yang sama tepat setelah Nayla berbalik. Dia menghentikan langkah, lalu menoleh ke belakang menatap punggung Nayla.

"Dia manis sekali. Tangannya sampai sedingin itu hanya untuk menunggu seseorang. Entah mengapa, aku sangat ingin melindunginya," pria itu bergumam pelan.

"Tck,,, Kenapa aku tidak menanyakan namanya?" dia berkata lagi, melepas topi seraya mengacak kasar rambutnya.

"Semoga kita bertemu lagi, kacamata," harapnya.

Pria itu pun berbalik, melanjutkan langkahnya. Namun, baru beberapa langkah yang pria itu ambil, langkahnya kembali terhenti, lalu berbalik.

"Aku datang kemari untuk mencari dompetku yang terjatuh, bagaimana bisa aku melupakannya?" pria itu berdecak kesal.

Untuk kedua kalinya, pria itu kembali ke tempat di mana Nayla duduk, mengedarkan pandangan, bahkan berjongkok untuk melihat di setiap bawah kursi mencari dompet miliknya namun tidak menemukan apapun.

...%%%%%%%%%%%...

. . . . .

. . .. .

To be continued...

3. KCTT 3.

Pria berjaket hitam dengan topi senada serta masker yang menutupi sebagian wajahnya berjalan dengan langkah gontai memasuki sebuah gedung. Gedung yang menjadi tempat dirinya tinggal bersama lima orang temannya.

Gedung enam lantai yang memiliki beberapa ruangan dengan fasilitas lengkap di mana gedung itu memiliki studio dance, gym, ruang rapat, beberapa kamar yang berada di lantai paling atas, ruang santai dan dapur, serta ruangan lain yang dibutuhkan untuk menunjang keperluan pria itu bersama rekannya sebagai penyanyi grup. Gedung yang selalu mereka sebut dengan nama Bâtiment.

Pria yang sebelumnya berada di taman itu memilih pulang setelah beberapa lama mencari sesuatu yang tidak ia temukan.

Dia memasuki salah satu ruangan di mana setiap dinding ruangan itu dipenuhi cermin serta lampu yang menyala terang. Di dalam ruangan, ia disambut lima orang pria yang menjadi teman satu tim-nya, memberikan tatapan penuh tanya namun enggan untuk mendekat.

Mereka yang sebelumnya tengah berbincang seketika terdiam, mengamati bagaimana pria berjaket hitam itu melepas topi dan masker, lalu menjatuhkan tubuhnya ke lantai seraya menutupi wajahnya menggunakan topi disertai suara hembusan napas putus asa.

Salah satu dari mereka beranjak dari duduknya, mendekati pria berjaket hitam itu, lalu berdiri di samping tubuhnya.

"Kau tidak menemukan dompetnya, Jo?" dia bertanya.

"Tidak," jawabnya singkat

"Sepertinya, kita memang harus menunggu pihak polisi menghubungi kita, lagipula kita sudah membuat laporan tentang hilangnya dompetmu,"

Pria yang berdiri berkata lagi seraya duduk di samping pria yang menjadi adiknya, lalu menepuk bahu sang Adik.

"Setidaknya kau sudah mencarinya Rory. Kau bahkan segera mencari dompetmu setelah konser kita selesai dan baru saja kembali, itu tidaklah waktu yang singkat," teman lain menimpali.

"Kita hanya bisa berharap yang menemukan dompetmu bukan orang yang akan memanfaatkan keadaan," satu teman yang lain turut angkat bicara.

"Beberapa orang juga sudah membantu mencari di mana sajatempat yang kau datangi dan tidak menemukannya,"

Rory menghembuskan napas cepat, bangun dari berbaringnya dan duduk dengan menyilangkan kaki yang membuat tubuhnya kini berhadapan dengan sang Kakak. Kevin.

Sementara empat orang yang menjadi temannya segera mendekat ketika melihat Rory bangun dari berbaringnya.

"Semoga saja apa yang kamu katakan benar, Thomas," Rory mendesah pelan pada pria yang berdiri di belakang Kevin.

"Bukankah kau pernah menyimpan kartu namaku di dalam dompetmu, Rory?" tanya satu dari mereka yang sejak tadi diam sekaligus pria yang menjadi manager mereka.

"Ya. Aku menyimpannya. Mengapa?" jawab Rory balas bertanya.

"Di sana ada nomor ponselku," sahut si Manager.

"Aku tahu itu, Martin. Yang aku khawatirkan adalah seseorang menyalahgunakan kartu identitasku. Banyak orang yang mengenal siapa kita," ujar Rory sedikit kesal.

"Tenanglah!" Kevin menyela sembari menepuk bahu adiknya.

"Martin hanya ingin mengatakan bahwa siapa saja yang menemukan dompetmu, dia akan menghubungi nomor ponselnya,"

"Aku juga sudah mengatisipasi jika hal seperti itu akan terjadi. Jadi, kita hanya perlu bersabar dan menunggu," lanjutnya

"Tapi, ini sudah tengah malam, dan masih tidak ada yang menghubungi Martin," sanggah Rory.

"Itulah mengapa aku memintamu untuk menunggu," sambut Kevin.

"Tidak ada gunanya kau terus mengeluh," imbuhnya.

Untuk kesekian kalinya Rory menghela napas panjang, menyadari apa yang dikatakan sang Kakak benar adanya.

"Bagaimana jika kita latihan saja?"

Suara celetukan dari pria kembar di dekat mereka yang diucapkan secara serempak sukses menghadirkan tawa bagi semua orang.

"Seperti biasa. Ethan dan Nathan yang selalu mengatakan hal tak terduga," sambut Kevin tersenyum geli, lalu menepuk bahu Rory sekali lagi seraya berkata,

"Tidak ada gunanya mengkhawatirkan hal yang tidak pasti, kita tunggu sampai besok, semoga saja ada kabar baik." ujarnya sembari mengulurkan tangan pada Rory yang segera menyambut tangan sang Kakak, lalu berdiri.

"Baiklah, kita tunggu sampai besok," ucap Rory setuju.

"Kalian yakin ingin berlatih setelah beberapa waktu lalu kalian tampil?" tanya Martin tak percaya.

"Ini sudah lewat tengah malam, kalian juga perlu bangun pagi besok. Setidaknya sayangi tubuh kalian! Kalian perlu istirahat!" imbuhnya.

"Hanya peregangan sebagai pengalih perhatian saja, Martin," Thomas menjawab.

Semua oang mengangguk setuju, terutama Rory.

"Hanya lima belas menit, kami janji," Ethan menimpali.

"Benar, latihan menjadi obat terbaik ketika Rory stres bukan?" sambung Nathan.

"Meski pada akhirnya tarian dia tetap menjadi yang terburuk," ucap Ethan dengan suara pelan.

"Aku mendengarnya, Ethan." sambut Rory berkacak pinggang.

"Oh,,, Bagus, itu artinya aku tidak perlu berbicara manis padamu, itu sangat menggelikan," jawab Ethan.

"Aku bahkan tidak pernah mengharapkannya," balas Rory dengan wajah keberatan.

"Baiklah,,, Baiklah,,, Berhenti berdebat!" Martin melerai.

"Kalian bisa latihan. Tapi, hanya lima belas menit. Setelah itu kalian harus kembali ke kamar masing-masing!" ucap Martin.

Mereka memberikan anggukan pasti, lalu berkumpul di tengah ruangan untuk mulai berlatih. Tepat ketika mereka akan menyalakan musik sebagai teman latihan, suara dering ponsel Martin menyela lebih cepat.

Hal yang membuat seluruh pandangan segera tertuju pada Martin hanya untuk melihat pria itu mengeluarkan ponsel dari saku celana, namun segera mengerutkan kening kala melihat nomor asing tertera pada layar ponsel.

Kedua matanya menyipit ketika pria itu melihat waktu yang tertera pada layar ponsel.

'Agensi tidak mungkin menghubungiku di jam seperti ini, terutama malam ini mereka baru saja selesai dengan konser mereka,' batin Martin.

'Jika itu panggilan untuk rekaman, mereka selalu menghubungiku pagi hari,' imbuhnya.

Pria itu menggeser layar untuk menerima panggilan, sengaja menghidupkan pengeras suara yang membuat semua orang terkejut dengan apa yang diucapkan si penelepon.

"Hallo..." Martin menjawab dengan sedikit mendekatkan ponsel ke wajahnya.

"Hallo,,," suara wanita asing terdengar.

"Selamat malam,,, Ahh,, Sebelum itu, tolong maafkan saya karena telah menghubungi Anda selarut ini, saya benar-benar lupa waktu,"

"Apa yang kau inginkan?" Martin bertanya waspada, raut wajahnya menunjukkan tidak senang atas panggilan yang ia terima di jam lewat tengah malam, terutama wanita asing.

"Bisakah saya berbicara dengan Tuan Rory Ace Jordan?"

Pertanyaan dari wanita itu cukup untuk membuat Martin melebarkan kedua matanya, berusaha untuk mengingat nomor yang tertera pada layar ponselnya, namun tidak mengingat siapa pemilik dari nomor ponsel itu.

Tanpa aba-aba, lima orang yang sebelumnya mengatakan akan melakukan latihan segera menghampiri Martin, ingin memastikan pendengaran mereka tentang apa yang baru saja mereka dengar.

"Apa?" sambut Martin bertanya.

"Bisakah saya berbicara dengan Tuan Rory Ace Jordan?"

Suara wanita itu mengulang pertanyaan yang sama, memperjelas pertanyaan yang mereka kira hanyalah sebuah lelucon.

"EEEHHHH,,,,,,?!?"

...%%%%%%%%%...

. . . . . .

. . . .. .

To be continued...

NOTE:

- Bâtiment

Dalam bahasa Prancis, Bâtiment bisa disebut sebagai bangunan atau gedung, merupakan struktur buatan manusia yang terdiri atas dinding dan atap yang didirikan secara permanen.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!