Dengan langkah cepat, seorang pria berlari menyusuri lorong bangunan yang didominasi oleh warna putih. Dengan seorang wanita yang tak sadarkan diri dalam pelukannya.
"Dokter! Tolong kekasih saya!" teriaknya dengan nafas memburu, tanpa menghentikan langkah kakinya.
Ya kekasihnya, meskipun Elina sudah menganggapnya putus tapi Morgan masih merasa memiliki Elina sepenuhnya. Tak peduli jika dikatakan egois, karena kehilangan Elina lebih menyakitkan.
Sesaat kemudian, seorang dokter datang mendekat bersama dua orang perawat untuk membantunya. Membuat pria itu lega, menyandarkan tubuh di dinding dan terjatuh lemas di sana.
Dirinya belum bisa merasa lega sepenuhnya. Karena kekasihnya sedang tak baik-baik saja. Kekasihnya baru saja mengalami kecelakaan karena dirinya. Ya, dialah penyebab kecelakaan itu. Itu yang ada dalam pikiran seorang Morgan Dirtarama.
Elina Rosalia, kekasih yang selama ini selalu ia sakiti sedemikian rupa. Wanita yang senantiasa lembut menghadapinya meskipun selalu Ia lukai perasaannya.
Kini perasaan bersalah dan menyesal itu benar-benar melukai egonya. Melihat bagaimana Elina yang bersimbah darah dan terluka, mampu mengoyak seluruh perasaannya.
"El, maafin gue" lirihnya tak bisa menyembunyikan binar kesedihan yang ia rasakan.
Kilas ingatan tentang bagaimana dirinya menyakiti Elina, masih teringat jelas dalam benaknya. Bagaimana upayanya yang terus berusaha membuat Elina pergi dari sisinya.
Menjalin hubungan dengan wanita lain, tak hanya sekali ia lakukan namun beberapa kali. Tentu saja niatnya tetap sama, hanya untuk membuat Elina pergi dari sisinya. Sejujurnya Morgan muak menjalin hubungan dengan Elina, karena merasa tak memiliki perasaan spesial apapun untuk wanita itu.
Hingga setelah hubungan mereka berakhir, Morgan baru menyadari perasaan cintanya untuk Elina. Namun naasnya kecelakaan itu terjadi sebelum dirinya belum benar-benar memperjuangkan perasaannya maupun Elina.
Hingga kini hanya menyisakan penyesalan mendalam yang menyesakkan dalam relung batinnya.
Morgan hanya mampu terdiam dengan isak tangis, memangku wajah dengan bertumpu pada lengan dan lututnya. Pikirannya kacau, tak ada yang bisa dipikirkannya selain Elina saat ini.
Lama Morgan dalam posisi itu, hingga terdengar suara dua pasang langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Suara yang terdengar berlari, Morgan dapat menebak keduanya adalah sahabat kekasihnya.
"Gan, gimana?" tanya Bianca dengan nada khawatirnya.
Namun mereka tak mendapatkan respon apapun dari pria yang terlihat begitu kacau itu. Hingga Bianca yang hendak menuntut jawaban, menghentikan niatnya saat merasa ada tangan yang menyentuh bahunya.
Viola, menahan bahu Bianca dan menggeleng pelan. Isyarat bahwa mereka jangan menganggu Morgan. Melihat bagaimana kondisi Morgan yang kacau, tentu ia dapat memahami keadaan Morgan saat ini.
Hingga kemudian Viola dan Bianca memilih untuk melangkah mendekati ruangan yang kemungkinan ada Elina di dalamnya. Mereka duduk di kursi yang tersedia dengan harap-harap cemas. Tak berbeda jauh dengan Morgan, mereka pun dilanda perasaan khawatir, gelisah, dan perasaan kacau yang membelenggu jiwa mereka.
"Gue gak mau kehilangan El, Vi" gumam Bianca dengan isak tangisnya, terdengar ada rasa khawatir di nada bicaranya.
Viola mengalihkan pandangan kepada Bianca, melihat sahabatnya yang sedang kacau membuat tangannya terulur untuk membawa Bianca masuk dalam pelukannya.
"Gue juga gak mau, Bi. Gue yakin El kuat, dia gak akan kenapa-kenapa gue yakin." Terang Viola berusaha tegar, meskipun dalam hatinya juga ikut merasa hancur.
Keduanya menangis sembari saling memeluk menguatkan. Terlihat begitu takut untuk kehilangan. Begitupun pria yang merasa bersalah dan dipenuhi penyesalan itu. Hanya mampu kembali teriris mendengar pembicaraan kedua sahabat kekasihnya itu.
***
Sebulan berlalu, tak terasa begitu cepat waktu berjalan dan berlalu. Wanita cantik dengan kulit putih yang tampak pucat terlihat masih nyaman terbaring di ranjang pasiennya.
Ya, sudah sebulan berlalu. Elina dinyatakan koma setelah melewati masa kritisnya. Kini semua orang hanya bisa berdoa dan menunggu keajaiban datang menyertai Elina, agar bisa kembali ke pelukan mereka.
"Saya tidak menerima kamu di sini" tegas Mama Reta, yang merupakan Mama Elina.
Sudah sebulan ini, Morgan selalu datang untuk membantu menjaga Elina. Namun seperti yang terjadi saat ini, Mama Reta menolak kehadirannya dengan lantang.
"Ma, biarkan Morgan melihat putri kita. Siapa tahu El bisa cepat sadar dengan kehadiran Morgan." Jelas Papa Agam yang tak ikut membenci Morgan karena kecelakaan yang Elina alami.
Mama Reta menatap tajam suaminya, merasa tak setuju dengan perkataan suaminya itu. "Pa, apa Papa lupa siapa yang menyebabkan El seperti sekarang? Mama tak akan biarkan dia menemui El sedetik pun, Mama takut El semakin tak mau kembali bersama kita kalau merasakan keberadaan dia." Jelas Mama dengan luapan emosi yang mulai terpancing.
Hal itu membuat Papa menghela nafas pasrah. Jika sudah begini, istrinya tak akan bisa untuk dibujuk. Hingga akhirnya ia hanya mampu menatap Morgan dan menggeleng pelan. Seolah memberitahu kali ini tak ada yang bisa membantah keinginan istrinya, Morgan belum bisa menemui putrinya.
Morgan berusaha mengulas senyumannya, seperti sebelum-sebelumnya ia belum dapat menemui kekasih hatinya. "Baiklah Om, Tante, saya pamit" ujar Morgan yang hanya bisa pasrah, memilih pergi tanpa bisa menemui Elina. Wanita yang sejujurnya begitu ia rindukan.
Morgan melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan Elina dengan langkah lesu. Karena harapannya untuk bertemu Elina kembali tak berhasil seperti hari-hari sebelumnya.
Sementara itu, mama tampak masih menatap kepergian Morgan dengan tatapan tajamnya. Dengan mata berkaca-kaca, mama berujar. "Andaikan Mama tak membiarkan El bersama pria itu, pasti putri kita masih bersama kita sekarang, Pa." Ujar mama dengan kesedihan yang mendalam.
Melihat istrinya yang tampak sedih, papa mengusap lembut punggungnya dan membawa ke dalam dekapannya. "El, akan baik-baik saja. El akan kembali bersama kita, Ma. Semua ini sudah takdir, Ma. Lebih baik kita tidak menyalahkan siapapun." Papa berusaha untuk menenangkan sekaligus meluruskan pemikiran istrinya yang masih saja menyalahkan kekasih putri mereka itu.
Mama hanya terdiam, menikmati pelukan hangat suaminya. Dan berusaha untuk menguatkan hatinya yang kembali rapuh mengingat keadaan Elina yang tak kunjung membaik.
***
Morgan memilih untuk duduk di kantin, ia masih optimis untuk menunggu kesempatan dapat bertemu Elina. Rasa rindunya tak bisa lagi ditahan sejak sebulan yang lalu. Hari ini, ia bertekad untuk bisa menemui Elina apapun resikonya.
"Morgan?" ujar sebuah suara yang membuat Morgan tersentak.
"Lo kesini lagi?" tanya Viola yang terlihat datang bersama Bianca.
Bianca pun memasang wajah penasaran yang sama. Bukan rahasia lagi, kalau Morgan selalu ditolak kehadirannya oleh Mama Reta. Jadi melihat Morgan yang masih belum menyerah sampai detik ini, membuat mereka penasaran.
Toh, Elina juga belum sadar. Morgan juga tak bisa menemui Elina kalau datang berkunjung. Lalu untuk apa Morgan harus datang kalau kenyataannya seperti itu.
Morgan memutar bola matanya malas, mendengar pertanyaan Viola. Rasanya tak penting menanggapi mereka. Hingga sebuah pemikiran tiba-tiba terlintas saat melihat mereka berdua.
"Gue sengaja nunggu kalian" ujar Morgan akhirnya.
Bianca mengerutkan dahinya, sementara Viola mengangkat alisnya dengan tak percaya. Apa maksudnya menunggu mereka?
Mengabaikan kebingungan dua wanita cantik itu, Morgan langsung mengatakan inti permasalahannya yang hendak ia katakan.
"Gue mau kalian bantu gue buat ketemu El" singkat, padat, jelas. Terdengar nada perintah di sana dibanding nada meminta tolong.
Wah, memang dominan sekali pria satu itu. Seenak jidat saja menyuruh orang lain. Bukannya minta tolong tapi memerintah.
"Lo pikir kita bakal bantuin? Jangan harap, Gan. Kita masih kecewa karena lo banyak nyakitin El." Tegas Bianca menolak keinginan Morgan.
Next .......
Morgan menghela nafasnya mendengar jawaban Bianca. Ternyata mengharapkan bantuan dari kedua sahabat Elina tak membuahkan hasil. Dirinya pun sadar kalau keduanya juga pasti merasa benci padanya.
Morgan bangkit dari posisi duduknya, ia berniat pergi untuk kembali ke ruangan Elina. Siapa tahu hanya tinggal Papa Elina yang ada di sana, sehingga dirinya memiliki kesempatan untuk menemui Elina.
Namun saat ia hendak melangkahkan kaki, suara dari salah satu dari dua wanita itu menghentikan langkahnya.
"Gue bakal bantuin, lo" ujar Viola dengan mantap.
Sontak perkataan Viola membuat Morgan menaikkan alisnya, tak percaya saja jika Viola mau membantunya. Sementara Bianca terkejut, tak mengerti apa yang sedang Viola rencanakan.
"Vi, lo gila?" marah Bianca, tak bisa menahan rasa kesalnya pada Viola.
Viola mengabaikan kebingungan Bianca, dan kembali fokus pada Morgan. "Gue harap, El bisa cepet bangun kalau ngerasa ada lo di samping dia." Ujar Viola menjelaskan maksudnya, mengapa dirinya bersedia membantu Morgan.
Besar harapan Viola untuk membuat sahabatnya terbangun dari tidur panjangnya. Dan Viola pikir, Morgan adalah alasan terkuat yang membuat Elina merasa nyaman dalam keadaan komanya.
Bianca ternganga mendengar perkataan Viola. Tak mengerti dengan jalan pikiran Viola, Bianca merasa Viola tak masuk akal. Tapi kembali mengingat bagaimana Elina yang begitu mencintai Morgan.
Bianca kembali berpikir, mungkin kali ini pemikiran Viola ada benarnya. Baiklah, jika begitu ia pun akan selalu mendukung apapun yang bisa membantu kesembuhan Elina.
Setelah itu, mereka menuju ruang rawat Elina. Baik Viola maupun Bianca dapat melihat ada kedua orangtua Elina di sana. Tentu hal itu membuat mereka mengerti, kalau Morgan memang membutuhkan bantuan mereka saat ini.
"Bi, lo ajak Tante Reta keluar sebentar cari makan. Gue yang akan minta izin buat bawa Morgan masuk nemuin Elina." Jelas Viola kemudian meminta Morgan untuk jangan menampakkan diri, karena Tante Reta pasti akan kembali murka.
Bianca terlihat mulai membujuk Mama Elina untuk pergi keluar mencari makan. Sementara, Viola mendekati Om Agam untuk mengatakan niatnya.
"Tentu saja, Om juga kasihan melihat Morgan yang ditolak terus terusan sama Mamanya El. Om juga gak bisa banyak membantu, karena Mama El gak pernah mau ninggalin ruangan El." Jawab Om Agam setelah mendengar rencana Viola dan Bianca.
Setelahnya, Viola memanggil Morgan untuk masuk ke ruangan Elina. "Om Agam udah izinin, gue harap lo gak macam-macam yang bakal buat El makin gak mau bangun." Ucap Viola dengan tegas, berniat memperingati.
Morgan mengangguk mantap. "Hm" hanya gumaman yang Morgan berikan atas respon perkataan Viola.
Saat sudah berada di depan ruang rawat El, Morgan menyapa Papa Elina dengan sopan. Tak lupa ia mengucapkan terima kasihnya karena sudah memberikan kesempatan menemui Elina.
"Temui El, Gan. Om percaya sama kamu" ujar Papa Elina.
Morgan tersenyum, sebelum akhirnya masuk ke dalam ruang rawat Elina. Morgan mengulas senyumannya, meski terlihat getir di sana. Akhirnya ia bisa melihat wajah cantik yang begitu ia rindukan itu.
Dengan netra yang mulai berkaca-kaca, Morgan berjalan mendekat ke arah Elina terbaring lemah. "El, gue dateng" lirihnya menatap lekat wajah cantik namun pucat itu.
Morgan mendudukkan dirinya di kursi dekat ranjang pasien. Masih menatap lekat wajah Elina, Morgan mengulurkan tangannya untuk membawa jemari tangan Elina dalam genggamannya.
Ia usap dengan lembut, tangan pucat Elina. Penuh kehangatan ia melakukannya. Melihat bagaimana kondisi Elina yang sama sekali belum ia temui hingga detik ini. Morgan kembali meneteskan air dari matanya.
Tak peduli jika orang mengatakan dirinya cengeng, karena memang kenyataan yang ia hadapi saat ini benar-benar membuatnya terluka. Hatinya seolah tak sanggup melihat kekasihnya dalam keadaan seperti sekarang.
"El, maafin gue. Karena gue keadaan lo jadi seperti ini" lirih Morgan terdengar pilu.
Lama Morgan mengutarakan rasa bersalahnya, penyesalan dan perasaan cintanya yang ia sadari dengan terlambat. Hingga kalimat terakhir yang diucapkannya, membuat perubahan nyata yang tak terduga.
Morgan mendekatkan bibirnya pada telinga Elina. Kemudian berbisik pelan, "El, gue cinta sama lo. Kalau lo tetep gak bangun, jangan salahin gue. Kalau waktu lo bangun, lo gak akan pernah temuin gue di dunia ini." Bisik Morgan dengan tegas dan penuh penekanan.
Setelah sedetik ucapan itu selesai Morgan ucapkan. Morgan mendengar bunyi alat detak jantung yang menunjukkan perubahan. Hingga tangannya yang masih menggenggam tangan Elina sebelah kanan, merasakan sebuah gerakan meskipun begitu lemah.
Morgan tersentak, terkejut bukan main dengan apa yang terjadi saat ini. Inikah keajaiban. Tak ingin membuang waktu, Morgan segera memencet tombol untuk memberi tahu tenaga medis bahwa membutuhkan penanganan.
"El, bangun El gue di sini" ucapnya tersenyum haru masih terus menggenggam tangan Elina.
Tangannya yang bebas kemudian terulur untuk menyentuh pipi tirus Elina dengan lembut. Dan dengan jelas, Morgan melihat netra indah itu terbuka secara perlahan. Menyorot dirinya dengan tatapan sayu dan lemah.
"El .." lirihnya.
Elina tampak berusaha beradaptasi dengan cahaya yang menyinari ruangan itu. Selanjutnya ia memandang sekitarnya, menatap sekeliling di mana ia berada. Sampai pada tangannya yang terasa ditimpa, membuatnya menatap ke tangan kanannya.
Menyadari ada genggaman ditangannya, ia menoleh menatap siapa gerangan yang melakukannya. Hingga netranya menangkap jelas wajah pria yang tampak asing dalam pandangannya.
"Siapa?" tanyanya dengan suara lemah, sembari melepaskan genggaman tangan pria itu.
Morgan mengerutkan dahi, apa maksud dari pertanyaan Elina. Apa kekasihnya itu membencinya hingga berlagak seolah tak mengenal dirinya.
"El, maafin gue" ujar Morgan akhirnya, ia pikir Elina masih begitu marah kepadanya.
Dengan gerakan lemas, Elina memalingkan wajahnya dari Morgan. Entah mengapa menatap wajah Morgan membuat desiran sakit dalam dadanya. Ia merasa tak nyaman berdekatan dengan Morgan.
"Pergi" ujar Elina dengan suara lemah.
Deg
Morgan terkejut mendengar suara lembut namun sarkas itu. "El .." belum sempat menyelesaikan kalimatnya, perkataan terpotong oleh kedatangan para tenaga medis dan kerabat yang menjaga Elina.
"Kamu? Ngapain kamu di sini?" tanya Mama Reta dengan nada emosi.
"Ma, jangan buat keributan. El bisa terganggu sama suara Mama." Ujar Papa tak mau istrinya memperkeruh suasana.
Pada akhirnya mereka semua berusaha untuk tenang. Sampai tenaga medis memeriksa keadaan Elina, rupanya kondisi Elina sudah membaik. Sungguh keajaiban yang benar-benar terjadi.
Setelah kepergian para tenaga medis, mereka satu persatu mendekati Elina. Begitupun Morgan yang masih berada di ruangan itu.
Morgan tersenyum lega melihat kekasihnya akhirnya terbangun, setelah sebulan berlalu. Melihat bagaimana keluarga dan sahabat Elina tampak bahagia dengan kondisi Elina yang sudah sadar. Membuat Morgan ikut bahagia.
Namun saat netra indah itu menatap ke arahnya. Ia merasakan pandangan tak nyaman dalam netra milik kekasihnya. Hingga suara Elina memecah pemikirannya yang sedang menerka.
"Suruh dia pergi, aku tak mengenalnya"
Deg
Next .......
Bukan hanya Morgan yang tersentak mendengar perkataan Elina, tapi semua orang yang berada di ruangan. Semua tampak berpikir apa yang sebenarnya terjadi pada Elina.
Begitupun juga Morgan, yang tersentil mendengar perkataan Elina yang dengan tegas mengusirnya. Itu artinya Elina tak mengharapkan kehadirannya.
Dalam kebingungan yang mereka semua alami, Papa Elina dengan sigap segera memanggil tenaga medis untuk mengecek kembali apa yang sebenarnya terjadi pada putrinya.
Sementara Morgan yang masih membeku dengan rasa terkejutnya, langsung tersadar saat suara Mama Reta yang memintanya untuk keluar dari ruangan. Morgan mengulas senyum yang terkesan dipaksakan, sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan Elina setelah menatap lekat wajah cantik kekasihnya.
Morgan memutuskan menunggu di depan ruang rawat Elina. Tak lama ia melihat dokter datang kembali ke ruangan Elina bersama dua perawat. Lumayan lama Morgan menunggu di luar, sebelum akhirnya Viola keluar dan menemuinya.
"Morgan, El dinyatakan amnesia. Kemungkinan dia gak inget sama lo" jelas Viola dengan nada prihatin.
Deg
Morgan tersentak mendengar kabar itu. Lagi? Cobaan apa lagi ini, setelah dirinya hampir kehilangan Elina. Kini ia harus menghadapi kenyataan bahwa Elina tak mengingat dirinya.
Baru saja dokter menjelaskan kondisi Elina secara keseluruhan, dan Elina memang dinyatakan amnesia. Akibat benturan pada kepala yang cukup parah, pada kecelakaan yang terjadi. Membuat Elina kehilangan ingatannya.
"Boleh gue temui dia sebentar?" tanya Morgan dengan penuh harap.
Viola menggeleng pelan. "Gue bersyukur karena berkat lo akhirnya El bisa bangun. Tapi ngeliat El yang kayaknya gak mau ada lo. Gue takut bakal berpengaruh sama kondisi El, kalau sampai lo maksain buat ketemu sama El." Jelas Viola dengan hati-hati, ia ingin Morgan memahami kekhawatirannya. Namun tak ingin membuat Morgan tersinggung.
Morgan mengangguk paham, berusaha mengerti apa yang semua orang khawatirkan. "Hm. Untuk sementara gue gak akan ganggu El dulu. Tapi nanti kalau keadaannya membaik, gak ada yang bisa halangi gue." Tegas Morgan kemudian berlalu meninggalkan Viola.
Morgan memutuskan untuk pulang, setidaknya hatinya sudah lega sekarang. Karena kekasihnya sudah sadar. Tak ada yang lebih membuatnya bahagia selain kenyataan bahwa Elina sudah sadar dari koma. Meskipun Elina kini tak mengingat dirinya.
"Gue bahagia, meskipun lo gak inget gue, El." Gumam Morgan sebelum benar-benar meninggalkan rumah sakit.
***
"Sayang, akhirnya kamu sadar. Mama bahagia kamu mau bangun, kemarin Mama khawatir. Mama takut kamu gak mau bangun untuk ketemu sama Mama Papa lagi, El." Jelas Mama sembari memeluk Elina dengan tangisan haru.
Elina membalas pelukan Mama dengan erat. Meskipun ingatannya hilang, namun ia dapat merasakan kenyamanan dalam pelukan wanita yang mengaku sebagai ibunya itu. Ia yakin wanita yang memeluknya itu memang mamanya.
"Ma, maafin aku." Ujar Elina, entah mengapa ia merasa bersalah melihat kesedihan mama yang begitu membuat hatinya merasa tak nyaman.
"Iya, Sayang. Kamu gak perlu minta maaf sama Mama, kamu bangun aja udah buat Mama dan Papa bahagia." Ujar Mama lagi dengan rasa lega yang membuncah dalam dadanya.
Kini giliran Bianca dan Viola setelah Papa Elina juga ikut memeluk Elina dan mengutarakan rasa bahagianya. Bianca dan Viola tak bisa menyembunyikan rasa bahagia di hati mereka.
"El, gue pikir gak akan ketemu lo lagi. Tapi ngeliat lo sekarang udah sadar, gue seneng. Gue gak mau kehilangan lo, El." Tutur Viola dengan isak tangisnya.
"Gue kangen sama lo, El. Lo tega ninggalin kita di sini. Tapi sekarang, gue gak akan biarin lo kenapa-kenapa." Ujar Bianca menimpali ucapan Viola.
Elina tersenyum, tangannya terulur mengusap kedua punggung sahabatnya. Meskipun tak mengingat sedikitpun tentang mereka, namun ketulusan mereka dapat Viola rasakan.
"Makasih selalu setia nungguin gue sampai sadar. Meskipun gue gak inget sama lo berdua, tapi gue yakin gue juga sesayang itu sama lo berdua." Ucap Elina dengan tulus.
***
Hari berlalu, sudah seminggu sejak Elina siuman. Hari ini rencananya, Elina sudah boleh dibawa pulang. Elina akan menjalani rawat jalan, untuk pemulihan amnesia yang dialaminya.
Dan selama seminggu itu pula, Morgan selalu datang untuk melihat kondisi terbaru Elina. Meskipun tak memiliki kesempatan untuk menemui langsung kekasihnya, tapi tak membuat Morgan putus asa.
Selama masih bisa melihat wajah Elina dan dalam keadaan baik-baik saja, Morgan tak masalah. Meskipun harus mengawasi dari kejauhan, asalkan ia bisa memastikan keadaan Elina baik-baik saja.
Dan hari ini pun sama, Morgan juga datang untuk mendampingi kepulangan Elina meskipun tidak secara langsung.
Sementara Elina bersiap-siap dibantu oleh kedua orangtuanya dan kedua sahabatnya untuk kepulangannya. Di samping Elina ada Viola dan Bianca yang senantiasa membantu mengemasi barang-barangnya.
"Udah semua, Vi?" tanya Mama Reta.
Viola mengangguk mantap, "udah Tan, Bianca juga udah beresin yang kotor." Jelas Viola.
"Ya udah, yuk kita pulang ke rumah." Ajak Mama Elina dengan antusias, tentu saja karena akhirnya sang putri akan kembali ke rumah. Keinginan yang sejak lama ia inginkan.
Mereka pun meninggalkan ruang rawat Elina. Di tengah perjalanan menuju di mana mobil terparkir, Viola menyadari kehadiran Morgan yang tengah sembunyi di balik dinding.
Viola pun berpikir sejenak, hingga memutuskan untuk menghampiri Morgan. "Tan, aku ke toilet dulu sebentar. Tante sama yang lain duluan aja ke mobil, nanti aku nyusul." Ujar Viola, sebelum berlalu meninggalkan mereka.
Viola mendekat ke arah di mana Morgan berada. Dan Morgan menyadari kedatangan wanita itu.
"Ngapain lo kesini?" dengan wajah datar, Morgan bertanya. Tak ada keramahan di sana.
"Ck lo lupa siapa yang bantuin lo ketemu, El terkahir kali." Sarkas Viola yang kesal dengan respon Morgan yang tak ramah.
Morgan memutar bola matanya malas. "To the point." Ketus Morgan tak ingin berbasa-basi.
"Hm awalnya gue mau bantuin lo lagi buat ketemu El, tapi kayaknya lo udah gak minat." Ucap Viola dengan tersenyum sinis.
***
Hari ini, Viola dan Bianca kembali datang ke rumah Elina. Terhitung ini sudah tiga hari sejak kepulangan Elina dari rumah sakit. Sejak saat itu pula, mereka diminta bantuan oleh Papa dan Mama Elina untuk membantu membuat ingatan Elina pulih.
Bukan hanya Viola dan Bianca, tapi kedua orangtuanya pun juga melakukan upaya yang sama untuk kepulihan Elina berikut ingatannya yang hilang. Seperti mengajak ke tempat kenangan mereka, memperlihatkan album foto-foto mereka.
Sedangkan Viola dan Bianca membantu dengan mengingatkan momen-momen persahabatan mereka, kampus mereka, teman-teman mereka, dan banyak hal terkait yang terjadi diantara kehidupan persahabatan mereka.
Dan kali ini, mereka pun akan mengupayakan hal yang sama. Viola yang ingat janjinya untuk membantu Morgan, seketika teringat untuk membahasnya bersama Elina.
"El, Vi, gue ke toilet dulu ya. Kayaknya banyak makan pedes nih, gak enak perut gue." Ujar Bianca, kemudian berlari menuju toilet yang tersedia di rumah Elina.
Viola bersorak senang, sungguh kesempatan yang tepat. "El, Lo beneran gak ada yang inget siapa-siapa mantan lo gitu?" tanya Viola memulai topik yang ingin di target kannya.
Elina menggeleng. "Gue gak inget sama sekali, emang berapa mantan gue?" tanya Elina.
Viola terdiam sejenak. "Setahu gue cuma satu, hm ... mantan lo emang cuma satu kok."
Elina mengangguk-anggukkan kepalanya paham. "Siapa? Kenapa dia gak jenguk gue?" tanya Elina penasaran.
Fakta yang sebenarnya, bahwa mereka semua memang menutupi hubungan Elina dan Morgan. Karena tak mau sampai Elina kembali drop jika mengingat Morgan kembali. Maka dari itu, tak ada yang pernah membahas mantan ataupun kekasih Elina.
"Hmm ... cowok yang lo usir kemarin di rumah sakit, kenapa lo usir? Padahal lo gak inget siapa dia kan?"
Next .......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!