Matahari mulai merunduk di balik gedung-gedung tinggi kota yang sibuk. Di antara tumpukan sampah dan mayat-mayat yang tergeletak di tempat pembuangan, seorang lelaki terbangun. Rasa dingin menggelitik kulitnya, dan saat ia berusaha mengingat bagaimana ia bisa berada di sini, rasa sakit menyerang sekujur tubuhnya. "Ini di mana?!" batinnya bertanya-tanya, berjuang untuk berdiri di tengah puing-puing yang berserakan.
Setiap langkah yang diambilnya terasa berat. Dia berjalan tertatih-tatih, terjebak dalam pikiran dan rasa sakitnya. Tak ada tujuan jelas, hanya naluri bertahan hidup yang membawanya melangkah lebih jauh. Tempat pembuangan itu seolah tidak ada habisnya, dipenuhi sampah dan mayat-mayat yang menggunung. Dia merasakan hawa tak menyenangkan menyelimuti tubuhnya; kehadiran mayat-mayat itu seperti menatapnya dengan kerinduan.
Setelah berjalan sekitar satu kilometer, pandangannya tertuju pada pintu pagar di ujung jalan. Rasa harapan tiba-tiba muncul dalam hatinya, dan sebuah senyuman kecil terbit di wajahnya yang pucat. Namun, harapan itu terhenti ketika ia sampai di depan pintu yang terkunci dengan gembok besar. Seolah menghalangi segala sesuatu yang ingin keluar dari tempat mengerikan ini.
Namun, lelaki itu tidak patah semangat. Dengan cepat ia mengorek saku celananya dan mengeluarkan sebuah kawat. Dalam sekejap, kawat itu ia bentuk menjadi alat sederhana untuk membuka kunci. Tak ada waktu untuk berlama-lama, dia mulai bekerja. Gerakan tangannya cepat dan terampil. Dengan satu klik, gembok itu terbuka, dan dia melangkah keluar.
Namun, ketika dia berhasil keluar, sesuatu yang mengerikan terjadi. Dari dalam tumpukan mayat, dengan cara yang tidak bisa dijelaskan, beberapa mayat mulai bergerak. Wajah-wajah pucat yang terbaring mendadak membuka mata dan bangkit dari kematian. Dengan ketidakpercayaan yang menyelubungi dirinya, dia menyaksikan para mayat itu berlari ke arah pintu yang baru saja ia buka, seolah mereka merindukan kebebasan dari tempat yang lebih kelam.
Pindah ke bagian lain kota, suasana ramai dan penuh sesak dengan manusia yang berjalan kaki dan berkendara. Di antara kerumunan, seorang lelaki muda mengenakan jaket Levi's silver melaju di atas motor klasik tahun 90-an. Senyum cerah menghiasi wajahnya, seolah semua ini hanya bagian dari rutinitas sehari-hari. Namun, yang dia bawa di jok belakangnya adalah sebuah tas kotak hitam, berisi makanan yang dipesan dari pemilik rumah elite.
Dia berhenti di depan gerbang rumah megah, dijaga oleh seorang lelaki berpostur tegap dengan jas hitam dan kacamata hitam. "Wah, rumah ini mewah sekali! Apa yakin ada orang kaya yang memesan makanan murahan seperti ini?!" batinnya bergumam heran, membayangkan pemilik rumah yang lebih memilih restoran bintang lima.
Lelaki berjas hitam itu mendekatinya. "Hei nak, apakah ini pesanan dari tuan rumah Stink?!" tanyanya, suaranya tegas namun tidak menyebalkan.
"Benar, Pak. Di sini tertulis atas nama Stink dengan alamat ini," jawab kurir itu, menunjukkan kertas pesanan.
Lelaki berjas hitam itu segera mengambil makanan dari kurir dan membayarnya. "Ini pembayarannya. Silakan kau ambil kembaliannya, nak!" Ucapnya, sambil memberikan sejumlah uang yang tidak sedikit.
Kurir itu terkejut. "Hei, Pak... Maaf, apa ini tidak kebanyakan?!" tanyanya, sedikit ragu.
"Ini adalah tips dari pemilik rumah. Ambillah," jawab lelaki berjas hitam itu.
Kejadian tiba-tiba mengubah suasana saat suara sirene polisi dan ambulans mulai terdengar dari kejauhan. Dalam ketidakpastian, kurir tersebut berpamitan dan menyalakan motornya. Namun, saat ia bersiap untuk pergi, sebuah bus pariwisata melaju kencang ke arahnya. Kurir itu tidak sempat menghindar; ia terserempet dan terpental sejauh dua puluh meter, menghantam dinding apotek di sekitarnya dan jatuh tak sadarkan diri.
Melihat itu, lelaki penjaga gerbang segera berlari menuju ke tempat kurir terjatuh. Namun, di saat yang sama, penumpang dari bus tersebut mulai keluar dengan wajah pucat dan tubuh penuh darah. Mereka berlari ke arah keramaian, menyerang orang-orang yang masih normal dengan gigitan penuh nafsu. Kejadian itu terjadi begitu cepat, dan lelaki penjaga gerbang terhenti sejenak, mengamati kekacauan yang berkembang di depan matanya.
Sementara itu, lelaki kurir yang terjatuh masih terbaring tak berdaya. Penjaga gerbang, dengan naluri pelindung yang kuat, berlari menuju apotek dan melompati pintu. Di dalam, suasana sepi dan suram. Dia melihat kurir tergeletak di tengah ruangan, wajahnya pucat dan tidak bergerak.
Dengan cepat, dia berlari menghampiri dan menepuk-nepuk pipinya. "Hei! Bangunlah! Kau tidak apa-apa?!" tanyanya, kegelisahan mengisi suaranya.
Lelaki kurir itu akhirnya membuka matanya, terkejut melihat kekacauan di luar kaca apotek. "Ada apa ini sebenarnya?!" tanyanya bingung, mengamati orang-orang berlarian dengan ketakutan.
"Tak ada waktu untuk menjelaskan! Kita harus pergi dari sini!" jawab penjaga gerbang, menarik lelaki kurir itu untuk berdiri.
Namun, saat lelaki kurir mencoba berdiri, rasa sakit menjalar di pahanya. Ia melihat ada pecahan kaca menusuk dagingnya, dan rasa sakit yang mengerikan membuatnya berteriak. "Arrrrgghhh...!!!!"
Lelaki penjaga gerbang segera melepas jasnya dan merobek sedikit bagian kemeja putihnya. Dengan sigap, dia mencabut pecahan kaca itu, meskipun lelaki kurir itu kembali berteriak kesakitan. "Tahan! Ini akan terasa perih!" katanya sambil bersiap menuangkan alkohol ke lukanya.
Sementara itu, dari arah pintu apotek, seorang makhluk liar berlari menuju mereka. "Hei, di belakangmu! Dia berlari ke sini!" teriak lelaki kurir, matanya melebar melihat bahaya yang mendekat.
Dengan sigap, penjaga gerbang berlari menendang makhluk itu, namun makhluk tersebut dengan cepat bangkit dan mencoba menyerang. Dengan keahlian bertarungnya, lelaki penjaga gerbang berhasil memukul makhluk itu hingga jatuh kembali, namun keadaannya semakin genting.
"Hampir saja aku tergigit makhluk ini!" ucapnya, menghela napas berat. Di luar, keramaian semakin mengerikan, suara jeritan dan teriakan memenuhi udara.
Lelaki kurir itu, dengan nyawa yang tersisa, melihat keadaan di luar yang sudah tak terkendali. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini?!" tanyanya bingung, tak bisa memahami apa yang sedang berlangsung.
Penjaga gerbang mulai mencari barang-barang yang bisa digunakan. Dia mengumpulkan perban, obat pereda nyeri, dan perlengkapan lainnya dari apotek. "Apakah kau bisa berdiri, nak?!" tanyanya, berusaha membantu lelaki kurir itu.
"Ya, aku bisa mencobanya!" jawabnya, berusaha bangkit meski nyeri terus menghantuinya. Mereka berdua bergegas ke ruangan staf yang lebih aman, menghindari makhluk-makhluk liar yang berlarian di luar.
Begitu sampai di dalam ruangan staf, penjaga gerbang segera menggeser meja dan kursi untuk menghalangi pintu masuk. Mereka bekerja cepat, menyusun perabotan dengan rapi sehingga tidak ada celah untuk makhluk-makhluk itu masuk. "Dengan ini, mereka tak akan mudah masuk!" ucapnya, memastikan keamanan sementara.
Setelah semua persiapan selesai, lelaki kurir itu duduk di atas lantai, berusaha menahan rasa sakit yang terus menyiksa pahanya. Penjaga gerbang memeriksa lukanya dengan seksama, melihat luka sobekan yang dalam dan pendarahan yang tak kunjung berhenti. "Kita harus mengobati ini agar tidak infeksi," katanya, sambil menyiapkan alkohol untuk membersihkan luka.
Setelah melakukan perawatan sebaik mungkin, lelaki kurir itu berterima kasih kepada penjaga gerbang. "Terima kasih, aku berhutang budi padamu. Siapakah namamu?" tanyanya.
"Namaku Darius Ironclad," jawabnya, suaranya mantap. "Dan kau?"
"Namaku Samuel," jawab lelaki kurir itu, merasakan ikatan yang terbentuk di antara mereka. Mereka berdua bertukar cerita singkat, tetapi latar belakang Samuel yang kelam masih menjadi misteri.
Sementara malam semakin gelap, mereka berdua akhirnya aman di dalam ruangan staf. Meja dan kursi yang menghalangi pintu masuk memberi mereka perlindungan sementara. Dalam ketegangan dan rasa sakit, mereka tahu bahwa malam ini adalah awal dari sesuatu yang mengerikan. Suara rintihan dan gemeretak dari makhluk-makhluk itu terdengar jelas dari balik pintu yang tertutup rapat. Di luar sana, dunia telah berubah menjadi mimpi buruk yang mereka belum pahami sepenuhnya.
Samuel mengatur napasnya yang berat, masih berusaha memproses semua yang telah terjadi. Di sebelahnya, Darius duduk bersandar pada dinding, tetap waspada dengan telinganya yang tajam mengamati setiap suara yang datang. Mereka berdua tidak tahu apa yang akan menanti esok hari, namun setidaknya untuk malam ini, di dalam ruang staf yang pengap dan sempit itu, mereka bisa merasa sedikit aman.
Di depan pintu, meja dan kursi yang mereka tumpuk menghalangi makhluk-makhluk itu, memberikan jaminan bahwa untuk malam ini, tidak ada satupun dari mereka yang akan masuk. Dan di tengah kesunyian itu, tanpa kata-kata lagi, kedua lelaki tersebut hanya duduk bersama, terjebak dalam kegelapan yang kini meliputi dunia mereka.
Hari mulai cerah di kota itu menunjukan waktu sudah pagi.
Samuel dan Darius yang terjebak di dalam ruangan staff apotik itu sudah mempersenjatai diri mereka dengan tombak dari kaki meja dan perisai sederhana dari kayu.
Darius bertanya perihal lukanya pada Samuel guna mengetahui keadaanya saat ini, samuel menjawab bahwa lukanya sudah terasa membaik, namun Samuel meminta Darius untuk memberikannya painkiller (penghilang rasa sakit) agar Samuel bisa berlari tanpa merasakan sakit karena luka di pahanya.
Lalu Darius pun membuka kantong tas kecil yang berisi beberapa obat obatan di tangannya dan mengeluarkan painkiller yang di minta Samuel
"Ini painkiller yang kau minta ! Pakai sesuai anjuran yang ada di botolnya agar tidak overdosis" ujar Darius memperingati Samuel
Samuel pun segera meminum beberapa pill painkiller dengan cara menelannya langsung
(Glurrppp) Bunyi Samuel menelan Pill tersebut
Mereka pun menunggu beberapa saat sampai painkiller memberikan efeknya.
Setelah beberapa saat Samuel mencoba berdiri guna mengecek obat nya sudah bekerja atau belum, dan ternyata Samuel mampu berdiri dengan rasa sakit yang minim pada pahanya.
"Baiklah aku siap sekarang !" Ujar Samuel kepada Darius yang saat itu sedang mengambil tombak untuk Samuel.
Darius lalu memberikan tombak dan perisai dari kayu kepada Samuel dan mengatakan
"Bersiaplah Samuel, kita akan keluar dari tempat ini dengan menghajar mereka, tusukan tombak ini ke arah kening mereka atau rahang mereka hingga menembus kepala ! Hanya itu satu satunya cara yang ku ketahui untuk melumpuhkan mereka, apa kau siap?!"
Samuel pun mengangguk tanda bahwa ia mengerti semua yang di katakan oleh Darius tadi.
Lalu mereka pun berdiri tepat di depan pintu keluar ruangan staff dan bersiap membuka pintu tersebut.
Darius berada di depan Samuel dan menjulurkan tangan kanannya ke gagang pintu lalu membuka pintu tersebut secara perlahan
(Kreeekkk.... Ngiiiikkk) Suara pintu terbuka
Setelah pintu tersebut di buka terlihatlah tepat di depan pintu itu beberapa orang gila menoleh ke arah mereka dan berlari menyerang mereka .
Darius yang berada di paling depan pun segera bersiap dengan serangan beberapa orang gila di depannya begitu juga Samuel yang saat itu langsung ke samping Darius dan memasang kuda kuda.
"Bersiaplah samuel, ini adalah pertarungan pertama kita ! Serang titik vital mereka!" Ujar Darius
Samuel pun mengangguk dan mulai menyerang orang gila yang mulai mendekati mereka, dengan cepat Samuel menusuk tepat di bagian kening makhluk itu .
(Jlebb) Suara tusukan Samuel bersamaan dengan darah yang keluar dari kening makhluk itu menyiprat sedikit ke muka Samuel
Begitu pula dengan Darius yang saat itu menghadang badan makhluk tersebut menggunakan perisai kayu dan langsung menusukan tombak kayu ke rahang makhluk itu sampai menembus kepala.
"Rasakan itu makhluk sialan!" Gumam Darius melepaskan kekesalannya pada makhluk tersebut
Mereka berdua pun terus menghujani makhluk itu dengan tusukan tombak yang mengarah pada titik vitalnya.
"Serang terus Samuel, kau lumayan hebat juga ya!" Ujar Darius memuji Samuel yang berada disampingnya
Samuel yang mendengar pujian dari Darius pun tak termakan oleh kata kata Darius dan terus fokus pada serangannya
Saat Samuel tengah menghadang salah satu makhluk di depannya, tiba tiba dari arah belakang muncul satu makhluk yang sudah melompat ke arah Samuel dengan cepat
Namun Samuel tak sempat menghindar dan berhasil di terkam makhluk tersebut hingga Samuel tergeletak dengan makhluk itu di atasnya dan perisai kayunya pun jatuh dari pegangannya.
Samuel mencoba menahan gigitan makhluk itu dengan menopang mulutnya menggunakan tombak kayu yang ia bawa.
Dengan sekuat tenaga Samuel menahan makhluk itu, terdengar suara dari tombak kayu yang mulai retak karena tekanan kekuatan mereka berdua.
(Drrrkkk...) Suara tombak yang retak
Samuel pun mulai berkeringat melihat tombak kayu yang hampir patah itu dan bergumam
"Sialan... Tombaknya sudah tak bisa lagi menahannya !"
Di saat yang bersamaan ternyata tombak itu pun patah dan makhluk tersebut langsung melancarkan terkamannya kepada Samuel, namun ternyata Darius dengan cepat menendang kepala makhluk tersebut sekencang mungkin hingga makhluk itu terpental dan tak sadarkan diri karena tendangan kuat dari Darius.
Sontak Samuel pun kaget sekaligus lega karena dirinya telah selamat dari makhluk itu.
Ia kaget karena tendangan Darius sangat kuat sampai bisa membuat makhluk itu terpental.
"Wow... Tendangan yang bagus! Haha" ujar Samuel memuji Darius yang sudah menolongnya
Darius pun tersenyum dan mengajak Samuel untuk pergi dari apotik itu segera.
"Terimakasih atas pujianmu Samuel namun kita harus segera pergi dari sini sebelum orang orang gila itu datang dengan membawa lebih banyak kawanannya !" Ucap Darius
Samuel pun segera bangun dan mengambil kembali tombaknya yang patah juga perisainya.
"Baiklah Darius...tapi apa kau tahu kita akan pergi kemana?!" Tanya Samuel
Darius yang mendengar hal tersebut pun langsung melihat sekeliling area, namun seluruh area di tempat itu penuh dengan para makhluk haus darah dan seolah tak ada satu sempat pun yang bisa mereka hampiri guna menjadi tempat perlindungan sementara.
"Sial ... Sepertinya kita sama sekali tak di beri kesempatan hidup oleh tuhan!" Ujar Darius
Di saat yang bersamaan, Samuel yang mendengar hal itu pun terdiam sejenak dan menjawab
"Haha.... Jika kita tak di beri kesempatan hidup oleh-Nya maka kita akan buat sendiri kesempatan itu!" Jawab Samuel menepis kenyataan dari keadaan mereka berdua
Setelah itu Samuel pun melihat kanan kiri, matanya terus mencari sampai terlihat toko swalayan di pinggiran kota yang letaknya lumayan jauh dari apotik yang mereka tempati saat ini.
"Itu dia disana (sambil menunjuk ke arah toko swalayan) ayok kita ke toko swalayan itu dan mengisi perbekalan dulu ... Eh tapi tunggu dulu!" Ujar Samuel
ia terdiam dan berfikir sejenak lalu mengatakan
"Oh ya... Kenapa kita tidak pergi ke rumah elite tempat kau bekerja saja Darius?!" Tanya Samuel
Darius pun menjawab
"Hei... Jika memang resiko untuk kembali kesana itu kecil maka aku pasti akan mengajakmu kembali kesana sedari tadi, namun lihat lah ke arah rumah tempat kerja ku itu! (Sambil menunjuk)"
Ternyata rumah elite yang mereka sebutkan sudah tak mungkin untuk di dekati karena di luar pagarnya sudah terlihat banyak sekali makhluk yang haus darah tersebut berkumpul.
Samuel yang melihat hal itu pun menghela nafasnya seakan harapannya untuk dapat tempat perlindungan yang terjamin pupus begitu saja oleh kenyataan.
Sekarang satu satunya tempat yang paling sepadan untuk di tempati adalah swalayan tersebut dan mereka sepakat untuk menghampiri tempat itu.
Samuel dan Darius pun bersiap untuk pergi dari apotik itu ke tempat selanjutnya
Darius melihat mayat makhluk yang sudah di kalahkannya ternyata mengenakan seragam militer dengan pisau belati di pinggangnya
Dengan cepat Darius mengambil pisau belati itu dan menyimpannya.
Darius menghampiri Samuel dan memberikan tombaknya kepada Samuel
"Ini pegang kau pasti butuh senjata baru !" Ujar Darius kepada Samuel sembari memberikan tombak kayunya.
Samuel pun menerima tombak kayu itu dan sedikit kebingungan, pasalnya Samuel belum tahu bahwa Darius punya senjata baru.
"Hei ... Jika kau memberikanku tombak ini maka kau akan menghajar mereka dengan apa ?!" Tanya Samuel kebingungan
Lalu Darius pun menunjukan pisau belatinya kepada samuel sambil sedikit tersenyum
"Kebetulan aku mendapatkan senjata yang lumayan bagus dari makhluk yang ku kalahkan tadi!"
Samuel yang melihat hal itu pun sedikit iri kepada Darius karena Samuel hanya bisa mengandalkan tombak kayunya saja
Darius pun segera mengajak Samuel untuk keluar dari sana dan pergi ke swalayan yang Samuel maksud tadi.
Sesampainya mereka di pintu keluar apotik, terlihat makhluk makhluk itu sedang berjalan kesana kemari seolah tanpa tujuan dan tak melihat Darius juga Samuel .
Menyadari hal tersebut adalah kesempatan untuk mereka, Darius dan Samuel segera berlari ke arah swalayan yang lumayan jauh dari apotik itu .
Samuel menahan napas saat pintu apotek berderit terbuka. Udara pagi yang segar menerpa wajahnya, membangunkan inderanya setelah kegelapan malam yang menakutkan. Namun, tidak ada rasa nyaman yang menyelimuti mereka; di luar, dunia telah berubah menjadi neraka. Di sebelahnya, Darius berdiri dengan tameng kayu di tangan kirinya, pisau belati militer di tangan kanannya. Mereka telah bertahan cukup lama di apotek itu, tetapi dunia luar menawarkan sedikit harapan. Hanya 500 meter lagi, mereka harus mencapai swalayan besar yang menjadi target mereka berikutnya. Di sana mungkin ada lebih banyak makanan, senjata, atau mungkin—hanya mungkin—tempat berlindung yang aman.
“Kita harus bergerak sekarang,” bisik Samuel, menatap jalan sepi yang membentang di depan mereka.
Darius mengangguk tanpa bicara, dan mereka berdua mulai berlari. Cahaya matahari pagi mulai menyinari jalanan yang hancur, dengan mobil-mobil terbalik, sampah berserakan, dan beberapa tubuh tak bernyawa yang berserak di trotoar. Suara burung yang bernyanyi terdengar aneh di tengah kehampaan, seolah-olah alam berusaha melanjutkan hidupnya meski dunia telah runtuh.
Mereka berlari tanpa suara, hanya napas mereka yang terdengar. Tangan Samuel menggenggam erat tombak kayu di tangan kanan, sedangkan perisai kayu yang ia bawa siap di tangan kirinya. Meskipun ia tidak pernah terbiasa dengan senjata primitif seperti ini, mantan juara bela dirinya mampu beradaptasi dengan cepat. Setiap langkah terasa seperti pertarungan untuk tetap hidup, dan Samuel tahu bahwa mereka harus terus bergerak.
Namun, hanya beberapa ratus meter dari swalayan, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Darius, dengan semua kekuatannya yang melebihi rata-rata manusia biasa, terpeleset. Kakinya kehilangan keseimbangan ketika dia menginjak sesuatu yang licin—darah beku yang tertinggal di aspal. Dalam sekejap mata, tubuh besarnya jatuh dengan keras ke sisi sebuah mobil. Bunyi benturan logam dan daging terdengar jelas, diikuti oleh bunyi **"HONK!"** yang menusuk telinga.
Mobil itu—sebuah sedan tua—membunyikan klakson darurat dengan keras dan panjang, menghancurkan keheningan pagi. Samuel terdiam sejenak, matanya melebar saat mendengar suara yang membangunkan kembali kengerian yang telah tertidur. Dalam satu detik yang terasa seperti selamanya, dia tahu apa yang akan terjadi.
Zombie.
Dari setiap sudut, dari celah-celah yang tersembunyi di antara bangunan dan reruntuhan, suara rintihan yang rendah dan menyeramkan mulai terdengar. Samuel menoleh ke arah Darius, yang terbaring meringis kesakitan di samping mobil. Zombie-zombie itu bisa mendengar mereka sekarang. Mereka akan datang.
“Darius! Bangun!” teriak Samuel dengan nada terdesak.
Darius meringis, berusaha bangkit. Tetapi sebelum ia berhasil sepenuhnya berdiri, Samuel sudah melihat bayangan pertama—gerombolan mayat hidup berlari dengan cepat ke arah mereka.
“Cepat, mereka datang!” Samuel melangkah maju, bersiap menahan serangan pertama jika diperlukan. Perisainya terangkat, tombaknya siap menusuk apa pun yang mendekat.
Darius akhirnya berdiri, wajahnya berkerut menahan sakit dari benturan tadi. "Sial... aku terlalu ceroboh," gumamnya.
Zombie-zombie itu semakin dekat, dan Samuel tahu bahwa pertempuran ini akan menjadi lebih buruk daripada yang mereka hadapi di apotek.
Darius melangkah ke samping Samuel, tameng kayu diangkat tinggi-tinggi. Mereka tahu melawan tidak mungkin berhasil jika mereka terjebak di tempat ini. Mereka harus menuju swalayan, tempat yang lebih strategis.
**"Kita lari!"** seru Samuel, tetapi sebelum mereka bisa bergerak, seorang zombie besar berwajah hancur berlari ke arah Darius, tangannya yang berdarah mengulurkan jari-jari tajam.
Dengan refleks cepat, Samuel mengayunkan tombaknya, menusuk tepat di leher zombie itu. Mayat hidup itu terjatuh, menggelepar di tanah. Samuel tidak berhenti untuk melihat. “Lari!”
Mereka berdua mulai berlari lagi, tetapi gerombolan zombie itu sekarang tak terhitung jumlahnya. Samuel bisa mendengar suara langkah kaki berat dan rintihan keras mereka yang mengikuti dengan cepat.
Salah satu dari mereka—seorang wanita zombie dengan rambut kusut dan pakaian robek—melompat dari samping bangunan dan hampir menabrak Darius. Dengan gerakan cepat, Darius menangkis dengan tameng kayunya, memukul zombie itu ke tanah dan menusuknya dengan pisau belatinya. Darah hitam muncrat, tapi Darius tak lagi memperhatikannya. Mereka harus terus berlari.
Jarak ke swalayan semakin dekat, tapi setiap langkah terasa seperti seribu.
“Kau yakin ini tempatnya aman?” tanya Darius, napasnya tersengal-sengal.
“Tidak ada yang aman sekarang,” jawab Samuel sambil mengelak dari serangan zombie yang berlari dari kanan. Dia menghantam perisainya dengan kuat ke kepala zombie itu, meremukkan tengkoraknya.
Di depan mereka, swalayan besar itu berdiri—bangunannya besar, dengan pintu kaca yang terbuka sebagian, mungkin hancur karena kerusuhan sebelumnya. Tetapi apa pun yang ada di dalam, itu adalah harapan terakhir mereka.
Beberapa langkah lagi. Samuel bisa mendengar suara zombie yang semakin mendekat, rintihan yang lebih menyeramkan, dan bayangan mereka yang menjulang di bawah sinar matahari pagi. Setiap napas terasa berat. Setiap langkah seolah melawan dunia.
Saat mereka mencapai pintu swalayan, Samuel dengan cepat mendorong pintu kaca yang tersisa, masuk ke dalam dan berbalik untuk menunggu Darius. Darius berlari menyusul, tetapi saat ia hampir sampai, satu zombie berlari dengan kecepatan mengejutkan dari belakang, menubruk punggung Darius.
Darius terjatuh ke lantai swalayan, terlempar oleh kekuatan benturan. Zombie itu segera mencoba menggigitnya, tetapi Darius, dengan tangannya yang masih memegang pisau, menikam perut mayat hidup itu tanpa ragu. Zombie itu jatuh mati di sebelahnya.
Samuel segera membantu menarik Darius bangun, sementara zombie lain sudah mulai menabrak pintu.
“Cepat!” Samuel mendesak, mereka berdua mendorong rak besar di dekat mereka untuk menghalangi pintu. Zombie-zombie itu menghantam kaca, tetapi rak dan barang-barang yang mereka tumpuk cukup kuat untuk menahan sementara.
Napasan mereka terengah-engah di dalam swalayan yang luas dan terang. Mereka sudah selamat—untuk saat ini.
“Kau hampir membunuh kita dengan bunyi klakson tadi,” Samuel menatap Darius dengan sedikit tawa pahit.
Darius tersenyum tipis, napasnya masih berat. “Aku tahu... aku tahu.” Dia mengusap keningnya yang masih berdarah sedikit akibat jatuh tadi.
“Kita harus mencari barang-barang yang berguna di sini,” Samuel melanjutkan, matanya menyapu ruangan yang terang dan berantakan. “Mungkin ada makanan, air, atau senjata. Kita butuh semuanya.”
Darius mengangguk, meski rasa lelah mulai merayap di tubuhnya. Di luar, rintihan zombie masih terdengar, mengancam di balik dinding kaca swalayan. Mereka mungkin selamat dari serangan pagi ini, tapi kiamat ini belum selesai.
Samuel menatap jauh ke dalam kegelapan swalayan, seolah-olah ada sesuatu di sana yang mengintai mereka—sesuatu yang lebih berbahaya daripada zombie di luar. Dan dengan detak jantung yang cepat, dia tahu satu hal pasti: mereka masih dalam bahaya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!