Kalian pikir setelah kecewa akibat salah jatuh cinta membuatku trauma berkepanjangan? Oh tentu saja tidak. Aku ini Abrilla Anggara, anak bungsu Alfian Anggara dan Fricilla Andini Windari. Jangan lupakan kedua kembaranku yang tampan, Abrian Anggara dan Abrico Anggara. Ah satu lagi, aku putri kesayangan Azkio Sharga. Dengan dukungan mereka, tentu patah hatiku mampu terobati dengan cepat. Berbelanja sesuka hati, berlibur kesana kemari dan banyak hal lain bisa aku lakukan untuk menghilangkan kekecewaanku pada pria waktu itu.
Aku akui, memang cukup lama aku menyendiri. Maklum saja, aku bukan tipe wanita yang langsung memulai hubungan baru setelah kecewa. Tapi kabar baiknya, saat ini aku sedang mengagumi seseorang. Dan selanjutnya dia yang akan menjadi targetku untuk urusan percintaan.
......................
Pagi ini aku sudah berdandan rapi, dengan tema hari ini pink pastel yang melekat di tubuh indahnya. Tentu saja penampilanku mengundang tanya bagi Riko, salah satu kembaranku yang belum menikah.
"Gebrakan apa yang akan kamu buat pagi ini, Rila?" tanya Riko yang sudah rapi dengan setelan jas berwarna hitam. Pria itu menatap adiknya penuh curiga dan juga tanda tanya. Sudah beberapa hari ini kesibukan Rila berbeda dari biasanya. Bangun lebih pagi dan pergi dengan penampilan feminim.
"Kakak bertanya aku mau kemana? Mendatangi pujaan hati yang siap ku goda." Aku sangat antusias saat Kak Riko kepo dengan urusanku. Ini sangat menyenangkan jika bisa sedikit menceritakan pria incaranku padanya.
Benar saja terlihat dari raut wajahnya, dia cukup tertarik dengan apa yang baru aku katakan.
"Pria mana yang berhasil membuat dirimu seperti ini lagi? Ingat Rila, jangan gampang jatuh cinta dengan pria. Dari pengalaman cintamu kemarin, sepertinya kamu harus banyak belajar urusan asmara denganku atau dengan Rian."
Perkataan Riko memang benar adanya, Rila tidak bisa membantah. Tapi untuk yang ini, entah mengapa dia sedikit lebih yakin untuk tetap maju dan memperjuangkan perasaannya.
"Baiklah, selamat berjuang. Ingat, kabari aku jika membutuhkan bantuan." Riko mengusap pelan rambut adiknya lalu pergi ke kantor.
Rila tersenyum sambil melambaikan tangan. Lalu tersenyum, teringat wajah pria incarannya yang sudah menari di otaknya.
"Max, kau pasti akan takluk padaku."
Aku melangkah yakin dan penuh ketenangan. Memasuki mobil yang sudah siap dengan sopir. Sambil menyeka wajah dan rambut memastikan tetap cantik di pandang mata. Juga pakaianku yang harus tetap rapi.
Apakah aku akan mengunjungi Max? Namun apakah pria itu mau menerima kunjungannya?
Tentu. Bertemu pria itu di pagi hari adalah sebuah keharusan. Agar mood-nya tetap terjaga seharian. Namun menerima atau tidak, Rila pikir nanti. Tapi yang jelas, Rila tidak akan mengizinkan Max menolak usahanya.
**
Masih sepi.
Wajar saja, ini masih pukul 06.40 WIB. Sedangkan jam kerja di perusahaan ini pukul 08.00 WIB. Aku terlalu bersemangat bertemu dengannya.
Aduh, sedikit kecewa. Tahu begini berangkat siang saja sekalian. Menyesal sudah percuma.
Aku menatap area gedung, sangat besar, tinggi dan juga mewah. Wajar saja, ini merupakan salah satu perusahaan besar, sama seperti Perusahaan Anggara yang sat ini di kelola oleh Kak Rian, juga Perusahaan Andara yang di kelola oleh Kak Riko. Namun dari segi arsitektur memang bangunan ini sedikit bergaya Eropa. Kesan mewah melekat erat setelah pertama kali memandang bangunan ini.
Apa yang harus aku lakukan? Menunggu disini? Tidak nyaman sekali. Akan di tatap aneh oleh pihak keamanan serta petugas kebersihan. Mata merek menatap kagum namun pikiran mereka berkata liar. Sungguh aku tidak suka.
Ah, sepertinya aku tahu harus menunggu dimana. Segera aku berjalan santai ke lift khusus petinggi perusahaan. Mengeluarkan kartu akses yang sudah aku siapkan jika dalam keadaan terdesak, dan pagi ini aku sedang terdesak, sangat merindukan pria itu.
Rila tiba di lantai paling atas gedung ini, wajahnya tersenyum melihat pintu besar yang ada di depannya saat lift baru terbuka.
Ruang CEO.
Dengan santai gadis itu masuk ke ruangan tersebut. Ruangan berwana putih dan di isi oleh dekorasi hitam serta gold. Rila melangkah ke meja kerja, menemukan sebuah bingkai berisi potret seorang pria dengan rahang tegas serta anak laki-laki yang diperkirakan berusia 4 tahun.
Memang tampan.
Tidak salah aku menaruh hati padanya. Dilihat dari hasil cetakannya saja sudah bagus begini. Tidak terbayangkan jika kami mencetak bersama, pasti akan lebih maksimal hasilnya.
Rila kembali melihat ke bagian lain ruangan ini, berharap menemukan sesuatu yang penting. Tapi dia tidak menemukan apapun, hanya tumpukan berkas yang sepertinya harus ditandatangani oleh Max. Mata Rila melirik barusan huruf dan angka yang tertera di salah satu berkas.
Bodoh.
Jika sampai Max tetap menandatangani ini, aku pastikan otaknya bermasalah. Rila paham dengan isi berkas tersebut. Sebuah kejanggalan langsung bisa Rila analisis dengan cepat.
Cukup nyaman tapi lebih nyaman kursi di kamarku. Rila baru saja mendudukkan diri di kursi kerja Max. Memejamkan mata sembari memutar musik kesukaannya.
Entah berapa lama dia terpejam sejenak. Namun suara seseorang mengusik ketenangannya.
"Aku rasa kau terlalu lancang masuk ke ruangan ku tanpa izin."
Max, dia baru saja tiba dan wajahnya sangat tidak bersahabat karena menemukan seseorang sudah memasuki ruang kerjanya tanpa izin.
"Pergi dari sini, atau kau ingin diseret oleh pihak keamanan?" lanjut Max terdengar kesal.
Rila mengusap bahunya dengan pelan, gadis itu senyum memandang wajah Max.
"Aku sudah lama menunggumu. Sampai bosan dan kembali mengantuk, tuan." jawabnya penuh kelembutan namun bagi Max sangat menjijikkan.
Max menarik kasar tubuh Rila agar segera bangun dari kursinya.
"Ahh, ternyata suka kekerasan ya." kata Rila masih dengan ketenangannya. Dia tidak marah, yang ada perasaan untuk memiliki Max semakin besar.
"Apa mau mu, nona?" tanya Max menatap tajam wajah Rila. Pria itu memojokkan tubuh Rila ke dinding. Meniti setiap inci wajah gadis ini.
Tanpa ada rasa takut Rila mengalungkan tangannya ke leher Max, sembari berbisik pelan.
"Aku menginginkan mu."
Bisikan itu membuat Max memicingkan mata. "Aku tidak tertarik padamu, nona kecil." balas Max lalu melepaskan paksa tangan Rila dari lehernya.
Rila terkekeh pelan, menarik dasi Max dan mendekatkan tubuhnya pada pria itu.
"Jangan terlalu cepat mengatakan penolakan. Aku takut kau akan menyesal, sayangku."
CUP
Dengan berani Rila mengecup pipi pria ini. Meninggalkan bekas merah dan Rila sangat puas melihatnya.
"Beraninya kauuu... "
"Hustttt... masih pagi gunakan energimu untuk hal yang lebih penting." ujar Rila menempelkan jari telunjuknya pada bibir Max.
"Berkas itu bermasalah, sayang." Rila menunjuk berkas dengan sampul berwana putih. "Aku sarankan gunakan tenagamu untuk mendisiplinkan karyawan saja."
BRUK
"Jelaskan!"
Max melemparkan sebuah berkas kepada dia orang karyawan yang sudah berdiri di hadapannya.
"Jelaskan apa tuan? Saya tidak paham."
Wajah Max langsung menatap sinis kepada pria dengan nametag bertuliskan Endi.
"Aku selalu mempekerjakan karyawan pintar dan berkompeten. Tapi kenapa yang ada di depanku saat ini adalah manusia dengan kapasitas minim? Apakah kalian masuk jalur orang dalam?"
Setelah Rila pergi, segera Max memeriksa berkas yang sebelum ditunjuk oleh gadis itu. Benar saja, ada tindak kecurangan yang telah dilakukan oleh karyawannya.
Marah.
Tentu saja. Siapa yang tidak marah ketika ada orang yang telah berani bertindak kotor di perusahaannya. Sudah payah dia bekerja secara jujur, bertindak adil dalam segala hal dan kali ini seseorang berniat licik pada bisnisnya.
"Ingin menjelaskan sendiri atau aku akan menyelidiki sendiri hingga ke akar-akarnya?" tanya Max dengan penuh penekanan. Dia tidak suka dibantah apalagi hingga dibohongi.
Josen, pria yang berdiri di samping Endi langsung menjatuhkan diri dan memohon pada Max.
"Tuan Max, ampuni saya. Saya dibutakan oleh harta hingga berani melakukan penyelewengan dana perusahaan."
Max terkekeh, akhirnya jujur juga. Kini beralih pada Endi yang masih menggelengkan kepala menatap Max dan Josen bergantian.
"Kau masih ingin tetap membela diri, Endi?" tanya Max yang kembali duduk di kursinya.
"Baiklah, berarti kau meminta aku yang bertindak sendiri." Max segera menghubungi seseorang dan tidak lama pintu ruangan nya di ketuk dan dibuka.
"Sorry, aku baru saja mencari bukti yang diperlukan."
Sandy Bagus Marino atau biasa dipanggil Sandy. Dia adalah tangan kanan Max. Siapa yang tidak mengenal pria satu ini? Selain wajahnya yang tidak kalah tampan dengan Max. Sandy merupakan lulusan IT dari salah satu kampus besar di Amerika dan ayahnya seorang petinggi di militer. Bagi karyawan perusahaan Max, Sandy bagaikan dewa pencabutan nyawa. Sekali bertindak langsung binasa.
"Urus mereka, San. Aku malas lama berasa basi." ujar Max melihat Sandy memutar sebuah flashdisk ditangannya. Sudah pasti itu bukti dari perilaku dua orang di depannya.
"Aku akui kalian sangat berani sekali melakukan kecurangan ini." ujar Sandy menatap kedua karyawan pria di depannya. "Apa imbalan yang mereka tawarkan?" tanya Sandy dengan nada penuh penekanan.
"Jangan berbohong, aku tahu kalian bekerja untuk seseorang." tambah pria itu saat Endi ingin membuka mulut.
Josen melirik Endi, kedua terlihat bingung dan gemetar. "Tuan, kami di ancam oleh seseorang untuk melakukan ini." ujar Josen dengan penuh hati-hati.
Brughh
Sandy memukul wajah Josen dengan keras, darah segar mengalir dari pelipis Josen, menandakan pukulan Sandy tidak main-main.
"Sudah aku peringati, jangan berbohong. Aku sangat menjunjung tinggi kejujuran." ujar Sandy mengusap lembut tangannya.
"Maafkan kami tuan, maafkan kami." Baik Josen dan Endi akhirnya berlutut di kaki Sandy. Keduanya tidak menunjukkan ada tanda ingin menjelaskan.
DOR DOR
Sandy menembak keduanya tepat di kepala, lalu menendang tubuh mereka hingga terhuyung ke belakang.
"Sampah yang harus di bersihkan." ucapnya memasukkan pistol ke saku celana.
"Apa yang mereka perbuat?" tanya Max sambil meneguk kopinya.
"Mereka berniat memanipulasi isi kontrak. Dari bukti yang aku dapatkan, Perusahaan Orla tidak terima dengan keterlibatan kita sebagai pemenang mega proyek nusantara. Sebagai perusahaan pembantu mereka ingin menggagalkan rencana kerja kita dengan memanipulasi isi kontrak yang sudah di sepakati. Dan kedua pria ini menerima tawaran dari mereka, dengan imbalan sebuah mobil serta rumah di pusat kota." Sandy menjelaskan secara singkat saja, untuk beberapa pihak lain yang ikut terlibat sudah dia amankan lebih dulu.
"Aku minta maaf karena lalai memeriksa berkas tadi. Mungkin kita harus mengucapkan terima kasih pada gadis itu karena sudah memberitahu mu." kata Sandy membuat Max menatap tajam pria itu.
"Kau pikir aku bodoh, tidak akan memeriksa kembali berkas yang harus aku tanda tangani? Tanpa dia memberitahu, aku juga pasti akan tahu." jawab Max kembali kesal saat mengingat kelakuan Rilla tadi.
Sandy terkekeh mendengar jawaban Max. "Jangan terlalu benci, akan sangat repot jika kau tiba-tiba jatuh hati padanya. Gadis itu bukan dari keluarga sembarangan, mungkin bisa jadi pertimbangan untukmu."
"Aku tidak tertarik dengan gadis berisik seperti dia. Meski keluarganya juga terpandang, tapi kau tidak lupa kan jika kakaknya dulu pernah terlibat perkelahian denganku." jelas Max dengan wajah menahan marah.
"Hei, itu hanya kesalahpahaman. Bukan dia pelakunya, sudah cukup kau membenci orang yang tidak terlibat dengan kejadian masa lalu." Sandy jelas paham arah pembicaraan Max. Dia tidak ingin sahabatnya terus menerus hidup dalam rasa benci yang tak berkesudahan.
"Aku tahu, tapi pertemanan kita sudah hancur sejak hari itu. Bahkan aku yakin, Rila juga tidak tahu akan hal ini." kata Max seakan ragu dengan semuanya.
Sandy hanya bisa menghembuskan napas kasar. tidak di pungkiri dia juga ikut memikirkan hal itu. Andai waktu bisa di ulang, dia rela menggantikan posisi Max. Terjebak di antara pertemanan dan percintaan.
**
Angin berhembus kencang saat Rila menampakkan kaki di sebuah area pemakaman keluarga. Tempat ini cukup jauh dari pusat kota, lebih dekat dengan lingkungan perdesaan yang masih asri, memerlukan waktu hampir 2 jam dari kantor Max.
Terlihat pagar menjulang tinggi, menandakan makam ini tidak boleh sembarangan orang bisa masuk. Pengelola makam ini sangat menjaga dengan baik. Di depan pintu masuk ada sebuah monumen yang tertera nama "SANJAYA". Ya, Rila mengunjungi pemakaman keluarga milik Sanjaya, yang tak lain Keluarga Max.
Desainnya artistik dengan taman yang ditumbuhi rumput hijau serta bunga mawar. Rila mulai memasuki area makam dengan tenang. Rila menduga bagian awal makan di penuhi oleh generasi awal Keluarga Sanjaya, semakin ke atas ditempati oleh generasi berikutnya.
"Jika aku menjadi bagian dari keluarga ini, aku yakin kelak makamku juga di sini." batin gadis itu menatap sekelilingnya. "Tidak masalah, suasana tenang dan nyaman. Aku bisa beristirahat dengan baik."
Memang pikiran Rila tidak bisa ditebak, dalam keadaan seperti ini masih bisa memikirkan tempat peristirahatan masa depannya.
Tiba Rila di depan makam dengan nisan bertulis nama Maldevi Anya Sanjaya. Rila tersenyum, ini makam yang dia cari. Dia menatap tanggal kematian wanita ini, ternyata sekitar 4 tahun yang lalu.
"Max, kau menyembunyikan rahasia apa sebenarnya?" ujar Rila mengusap nisan dengan lembut, tidak lupa meletakkan bunga daisy yang ia bawa sebelumnya.
"Aku tidak tahu kau suka bunga apa. Tapi saat melihat foto maternitymu di hamparan bunga daisy, Maka aku memutuskan membawa bunga ini saja. Semoga kau tidak keberatan,"
Rila mengingat saat tadi pagi di ruangan Max, menemukan foto pria itu bersama seorang anak laki-laki. Sudah pasti itu putra kesayangan Max. Usianya sudah 4 tahun, bocah itu sangat menggemaskan dan mirip sekali dengan Max.
Di belakang foto itu ternyata ada foto lain. Seorang wanita dengan pose memegang perut besarnya, dia foto di hamparan bunga daisy yang sangat cantik. Rila yakini itu adalah istri Max yang sudah meninggal serta ibu dari bocah cilik tadi. Di sudut foto tersebut ada nama yang tertera, Maldevi A S.
Sudah cukup lama Rila mencari informasi tentang keluarga Max setelah tahu pria itu seorang duda anak 1. Namun Max sangat pandai menyimpan informasi, seperti tidak mengizinkan siapa pun mengetahui tentang hidupnya. Tentang istrinya yang telah meninggal dan juga putranya.
Kedatangan Rila ke kantor Max pagi sekali, itu bukan hanya sekedar ingin bertemu dengan Max saja. Namun juga mencari petunjuk bagaimana dia bisa mendapatkan informasi tentang hidup pria itu.
Datang ke makam Keluarga Sanjaya adalah tujuan yang tepat. Dia bisa tahu nama lengkap mendiang istri Max, kapan dia lahir serta meninggal. Mungkin bagi sebagian orang menganggap informasi itu tidaklah penting namun bagi Rila, ini adalah awal dari semuanya.
"Kita mungkin tidak mengenal satu sama lain, tapi izinkan aku mendekati Max. Aku menyukainya, aku ingin memperjuangkan perasaanku, dan aku juga siap menjadi ibu sambung bagi putramu, Hiro. Entah apa yang sebenarnya terjadi antara kau dan Max, tapi aku yakin ada sesuatu hal besar yang dia sembunyikan. Dan itu menyangkut kalian, kau, Max dan juga Hiro."
Setelah berkata seperti itu, Rila berdiri dan membungkuk sedikit. Dia tersenyum lalu membalikkan badan, berjalan keluar dari makam ini.
**
Wajah Max terlihat sangat tidak bersahabat, menatap Mami Jena dan Iris yang duduk bersebrangan dengannya. Mami Jena adalah ibu kandungnya. Namun sejak dia berusia 13 tahun, orang tuanya bercerai dan Mami Jena menikah lagi dengan pria lain. Itu yang membuat hubungan Max dan Mami Jena merenggang.
Iris, wanita itu adalah anak dari adik ipar Mami Jena. Orang tua Iris sudah meninggal dan sejak lulus SMA, dia di rawat oleh Mami Jena bak putri sendiri. Oleh sebab itu hubungan Mami Jena dan Iris sangat dekat dan tidak terpisahkan.
"Anya sudah meninggal 4 tahun yang lalu, dan Hiro juga butuh sosok ibu. Mami yakin, Iris adalah orang yang tepat menggantikan posisi Anya. Jadi terimalah dia, Max." ujar mami Jena dengan nada memaksa.
"Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Anya sebagai ibu dari Hiro. Sudah aku katakan berkali-kali pada mami, jika memang aku ingin menikah, wanita yang akan menjadi istriku adalah pilihanku sendiri. Bukan pilihan mami ataupun orang lain. Tidak ada yang bisa mengatur hidupku meskipun mami adalah orang yang sudah melahirkan aku." Max menolak dengan tegas, dia muak dengan keinginan Mami Jena yang secara sepihak menjodohkan dia dengan Iris.
"Kak Max, aku tahu masih menutup diri. Mungkin bentuk trauma masa lalu sehingga membuat kakak sangat berhati-hati memilih pasangan. Tapi aku berbeda kak, aku sangat setia dan tidak mudah tergoda oleh bujuk rayu pria lain. Aku bukan wanita murahan yang bisa merelakan dirinya pada..."
Brakkk
Iris terkejut, wanita itu belum sempat menyelesaikan perkataannya namun Max sudah menggebrak meja dengan keras.
"Tutup mulut sampahmu!" Max tidak bisa menahan emosi yang sejak tadi dia tahan karena masih menghargai maminya. Namun untuk Iris, perkataan wanita itu sudah melewati batas sabarnya.
"Max, yang Iris katakan benar. Kenapa kau marah?" tanya Mami Jena sambil memeluk Iris yang ketakutan.
"Tahu apa kalian tentang hidupku? Kalian hanya tahu cerita sekilas. Seluruh kebenaran tentang cerita hidupku dan masa laluku hanya aku dan orang terpercayaku yang tahu." jawab Max mencondongkan tubuhnya pada kedua wanita itu. "Aku katakan sekali lagi, aku menolak perjodohan ini."
Max merapikan jasnya, lalu meninggalkan Mami Jena dan Iris.
"Sandy, aku ingin pergi ke makam Maldevi." kata Max menghampiri Sandy yang dengan santai menunggu di luar.
Sandy mengangguk, dia paham jika Max butuh ketenangan dan makam Maldevi adalah tempat yang bisa membuat pria ini tenang. Tidak peduli siang atau malam, jika Max butuh ketenangan pasti akan pergi ke sana.
"Jika dia bukan wanita yang telah melahirkanku, maka sejak dulu sudah aku binasakan." Max meneguk air mineral tandas, memijat kepalanya yang lelah dengan keinginan maminya.
"Iris, wanita itu pasti yang menghasut Mami Jena. Sejak dulu dia menyukaimu, bahkan secara terang-terangan mendekatimu, bukan? Hingga tidak memikirkan perasaan Maldevi yang sudah dulu menjadi kekasihmu." Sandy tahu kisah mereka, kisah cinta yang tidak terjalin semestinya.
"Aku merasa kematian Maldevi ada campur tangan Iris. Tapi kau tahu, bagaimana Om Winata melindungi wanita itu. Tidak cukupkah dia merebut perhatian mamiku? Kini dia juga ingin mendapatkan aku." ujar Max merasa muak dengan mereka semua.
"Aku rasa semua ini bermula dari perjodohan orang tuamu di masa lalu. Andai kedua orang tuamu bersatu karena rasa cinta, mungkin hidupmu tidak seperti ini. Om Winata hanya menjadikan mu objek balas dendam. Meskipun pada akhirnya dia bisa menikah dengan Mami Jena, tetap saja dia membenci Papi Marten dan juga dirimu. Dengan kamu menikah dengan Iris, bukankah lebih mudah membuatmu tunduk dengannya?"
Perkataan Sandy memang benar, Max setuju. "Harusnya mami sadar dengan sikap manipulatif suaminya dan keponakan suaminya. Sayangnya dia sudah dibutakan oleh rasa cinta pada Om Winata dan rasa benci pada mantan suaminya. Papiku sangat mendukung hubunganku dengan Maldevi, bahkan saat Hiro lahir, dia sangat bahagia, wajah cucunya semakin besar sangat mirip dengan keturunan Keluarga Sanjaya. Mata dan rambut berwarna coklat."
"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Lahir dalam satu garis keturunan yang sama memang sulit membedakan..." Sandy tidak jadi melanjutkan ucapannya. Dia hanya terkekeh melihat wajah frustasi Max.
"Baiklah, cepat atau lambat semua ada masanya."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!