Ayla tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah karena sebuah kalung tua yang dilihatnya di etalase toko barang antik di ujung kota. Kalung itu berpendar samar, seolah memancarkan sinar dari dalam. Mata Ayla tertarik pada kilauannya, dan tanpa sadar ia merapatkan tubuhnya ke kaca etalase, tangannya terulur dengan jari-jari menyentuh permukaan kaca yang dingin.
Sebuah sensasi aneh merambati tangannya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat. "Aneh sekali… kenapa aku begitu tertarik dengan kalung ini?" gumamnya, setengah berbisik. Karyawati toko itu, seorang wanita tua dengan rambut yang memutih sempurna, mengangguk sambil tersenyum misterius.
“Kalung ini bukan barang sembarangan, Nak. Mereka bilang, kalung ini hanya memilih pemiliknya,” kata wanita itu dengan suara serak.
Ayla mengernyit bingung, namun ia merasa semakin tertarik. Ia tidak memikirkan lagi harga atau nilai kalung tersebut—rasanya, kalung itu harus dimilikinya, seperti sesuatu yang sudah lama hilang dan kini menunggu untuk ditemukan kembali. Tanpa pikir panjang, Ayla merogoh kantongnya dan menyerahkan uang kepada wanita tua itu, yang hanya tersenyum lebih lebar, seolah tahu sesuatu yang Ayla tidak tahu.
Di Rumah
Setibanya di rumah, Ayla langsung masuk ke kamarnya dan mengeluarkan kalung itu dari kantung kecilnya. Begitu disentuhnya, hawa aneh seolah melingkupinya. Ada getaran halus, seperti napas yang berhembus perlahan dari kalung tersebut. Dengan tangan gemetar, ia mengenakannya di leher.
Sejurus kemudian, rasa kantuk yang luar biasa menyerangnya. Matanya mulai berat, dan Ayla menyerah pada dorongan itu. Ia terbaring di tempat tidurnya, membiarkan dirinya tertidur dengan kalung yang menggantung di lehernya.
Mimpi Aneh
Dalam tidurnya, Ayla terbawa ke sebuah dunia yang terasa nyata. Ia berdiri di tengah hamparan padang rumput yang dikelilingi oleh pepohonan tinggi dengan dedaunan berwarna ungu. Langit di atasnya berwarna biru gelap, dihiasi bintang-bintang yang berkedip terang. Di tengah keheningan, Ayla merasakan kehadiran seseorang di belakangnya.
Saat ia berbalik, seorang pria tampan berdiri di depannya. Mata pria itu kelam, penuh misteri, namun juga memancarkan kehangatan yang membuat jantung Ayla berdegup kencang. Pria itu mengenakan pakaian dari kain tebal dan berwarna gelap, tampak seperti seorang bangsawan dari zaman lain.
“Ayla…” suara pria itu bergema lembut, tetapi terasa kuat, seolah ia memanggilnya dari jarak yang sangat jauh.
“Siapa… siapa kau?” tanya Ayla, namun suaranya terdengar seperti bisikan yang hampir tak terdengar.
Pria itu tersenyum kecil. “Namaku Kael. Kau… kau adalah orang yang telah lama kucari.”
Sebelum Ayla bisa bertanya lebih jauh, sosok pria itu menghilang bersama seluruh pemandangan di sekitarnya. Seketika, Ayla terbangun dengan jantung berdetak cepat. Butuh beberapa detik sebelum ia menyadari bahwa dirinya kembali di kamarnya, tetapi napasnya tersengal-sengal, dan keringat dingin mengalir di dahinya.
Ia menyentuh kalung di lehernya, merasakan hawa aneh itu kembali, seperti detak jantung yang menyatu dengan jantungnya. Nama pria itu terngiang di pikirannya. "Kael…" bisiknya.
Ayla duduk di tepi tempat tidurnya, pandangannya terpaku pada cermin di depannya. Ia melihat bayangan dirinya dengan kalung itu, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Seolah-olah, ia bukan lagi Ayla yang biasa. Ada sesuatu di dalam dirinya yang telah berubah sejak pertemuan singkat dalam mimpi tadi.
Ayla duduk termenung di pinggir tempat tidurnya, jari-jarinya masih menyentuh permukaan kalung itu. Ada sesuatu yang aneh dalam dirinya, seperti ada suara kecil yang terus berbisik, memanggilnya kembali ke tempat itu—tempat yang hanya ada dalam mimpinya. Namun, semakin lama ia mengingat mimpi tersebut, semakin nyata rasanya, seakan pria bernama Kael itu benar-benar hadir dan menatapnya.
Ayla mendesah pelan, memandang ke arah jendela kamarnya. Hujan turun gerimis di luar sana, menyisakan jejak bulir-bulir air di kaca jendela. Suara rintik hujan biasanya membuatnya tenang, tetapi malam ini berbeda. Ada perasaan gelisah yang merambati hatinya, perasaan yang bercampur dengan ketakjuban dan keinginan untuk mencari tahu lebih jauh tentang pria misterius yang muncul dalam mimpinya.
Sebuah kilatan ingatan muncul di benaknya—kata-kata wanita tua di toko barang antik itu. “Kalung ini bukan barang sembarangan. Mereka bilang, kalung ini hanya memilih pemiliknya.” Ayla mencoba mengabaikan rasa takut yang menyusup di hatinya. Namun, apa maksud dari kalimat itu? Kenapa rasanya kalung ini membawa kehadiran sesuatu yang asing dan tak terjelaskan?
Tiba-tiba, sebuah suara pelan terdengar di telinganya. Suara yang seolah berbisik di antara rintik hujan.
“Kembali padaku, Ayla…”
Ayla terlonjak dan memandang sekeliling kamarnya, namun tak ada siapa pun di sana. Hanya dirinya sendiri dan bayangan samar di cermin yang memandangnya dengan ekspresi kebingungan. Ia merasakan bulu kuduknya berdiri, tetapi alih-alih ketakutan, perasaan penasaran semakin kuat dalam hatinya. Nama pria itu, Kael, terngiang lagi dalam pikirannya.
Dia menggelengkan kepalanya, mencoba menenangkan diri. Mungkin ini hanya lelah, pikirnya. Tetapi jauh di dalam hatinya, Ayla tahu ini lebih dari sekadar mimpi aneh. Kalung itu telah membawanya ke sebuah dunia yang hanya bisa ia lihat dalam tidur, tetapi entah mengapa, ia merasa bahwa dunia itu benar-benar nyata, dan pria itu… pria itu menunggunya.
Ayla menatap kalung di lehernya sekali lagi, seakan berharap menemukan jawabannya di sana. Ada sesuatu yang terus-menerus menariknya pada benda itu, seolah berbisik kepadanya, mengajaknya ke suatu tempat yang tak bisa ia bayangkan. Jari-jarinya tanpa sadar meraba permata di tengah kalung tersebut, dan saat ia menekan permukaan dinginnya, tiba-tiba cahaya terang menyilaukan memancar dari permata itu.
Cahaya tersebut membesar, menyelimuti seluruh kamarnya dalam sekejap. Ayla merasa dirinya melayang, seakan tertarik ke dalam pusaran cahaya yang memancar dari kalung itu. Dia ingin berteriak, namun suara tak keluar dari tenggorokannya. Hanya detak jantungnya yang kian berdebar keras, bercampur dengan ketakutan dan rasa penasaran yang semakin besar.
Saat matanya terbuka lagi, Ayla berdiri di sebuah tempat yang sangat asing namun memikat. Langit di atasnya bukanlah langit malam biasa; warna biru tua bercampur dengan semburat ungu, dan bintang-bintang tampak lebih terang serta dekat seakan bisa diraih dengan tangan. Di sekelilingnya, pepohonan tinggi menjulang dengan daun-daun berkilauan seperti kristal yang memantulkan cahaya. Hamparan padang rumput di depannya terbentang sejauh mata memandang, diselimuti kabut tipis yang memunculkan nuansa magis.
"Aku… di mana ini?" bisik Ayla, suaranya menggema pelan di tengah keheningan.
Ia melangkah maju, merasakan tanah yang lembut di bawah kakinya. Setiap langkah yang ia ambil, dunia ini seolah berdenyut, hidup, seakan merespons keberadaannya. Ayla mengedarkan pandangan, mencari-cari sesuatu yang terasa familiar, dan kemudian ia melihatnya—pria dari mimpinya, Kael, berdiri di tengah padang rumput itu, menatapnya dengan mata kelam yang penuh kehangatan sekaligus ketegasan.
Kael melangkah mendekatinya, bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang lembut namun misterius. "Akhirnya, kau datang, Ayla."
Ayla terdiam, terpaku oleh tatapan mata Kael yang dalam dan menenangkan. Ada sesuatu dalam dirinya yang terasa terhubung dengan pria ini, seolah-olah ia telah mengenalnya sejak lama meski baru kali ini bertemu.
“Apa… apa yang terjadi? Bagaimana aku bisa ada di sini?” tanya Ayla, bingung dan takut, namun juga tak bisa mengalihkan pandangannya dari Kael.
Kael mendekat, lalu mengulurkan tangannya. "Kau berada di tempat yang sudah lama menunggumu, Ayla. Dunia ini adalah dunia kami… dan takdirmu kini terikat di sini."
Ayla menatap tangan Kael yang terulur, dan meski hatinya penuh dengan ragu, ia merasa yakin untuk menerimanya. Saat ia menyentuh tangan Kael, sebuah rasa hangat menyelimutinya, dan perlahan-lahan, ia menyadari bahwa hidupnya takkan pernah sama lagi. Ayla kini telah melangkah ke dunia lain, dunia Kael, dunia yang penuh dengan keajaiban dan misteri yang baru saja mulai terungkap.
Ayla masih menggenggam tangan Kael ketika ia mulai menyadari betapa asingnya dunia yang kini ia pijak. Setiap sudutnya terasa penuh misteri, namun juga memikat hati. Pohon-pohon berdaun kristal, aroma manis yang menguar dari bunga-bunga biru, serta suara angin yang membisikkan kata-kata samar seolah menyambut kedatangannya. Ayla merasa kagum sekaligus bingung.
"Di mana aku sebenarnya, Kael?" tanyanya, suaranya lirih namun penuh rasa ingin tahu.
Kael memandangnya sejenak, seolah mempertimbangkan seberapa banyak yang bisa ia katakan. "Kau berada di Kerajaan Eradel, sebuah dunia yang terhubung dengan duniamu melalui batas-batas yang tipis."
Ayla mengernyit. "Kenapa aku? Kenapa dunia ini… terasa akrab tetapi asing pada saat yang sama?"
Kael tersenyum tipis. "Karena kau memiliki warisan dari dunia ini, sesuatu yang membuatmu istimewa. Hanya mereka yang memiliki ikatan kuat dengan Eradel yang bisa melintasi batas ini."
Kata-kata Kael menggetarkan hati Ayla. Mungkinkah ini alasan mengapa ia selalu merasa ada sesuatu yang menunggunya? Ia menggelengkan kepalanya, berusaha memahami segala informasi yang terasa begitu baru namun masuk akal dalam cara yang tak bisa ia jelaskan.
Kael mengajaknya berjalan menyusuri padang rumput yang membentang, menuju bangunan tinggi di kejauhan yang tampak seperti kastil megah dari cerita dongeng. Saat mereka mendekat, Ayla melihat detail menakjubkan dari bangunan itu—dinding-dinding yang berkilauan seolah terbuat dari permata, gerbang tinggi yang dijaga oleh patung-patung raksasa berbentuk singa bersayap, serta simbol-simbol aneh yang terpahat di pintu masuk.
“Ini adalah tempatku,” kata Kael sambil membuka gerbang besar itu. “Aku ingin menunjukkan sesuatu yang akan menjelaskan kenapa kau di sini.”
Mereka memasuki aula besar yang dipenuhi cahaya keemasan dari langit-langit kaca. Di tengah aula, terdapat sebuah kolam kecil berisi air jernih yang berpendar dalam berbagai warna. Kael menghampiri kolam itu dan mengarahkan Ayla untuk berdiri di sampingnya.
“Tataplah permukaan air itu,” bisik Kael.
Ayla menundukkan kepala dan melihat ke dalam kolam, dan apa yang ia lihat membuatnya terkejut. Bayangan dirinya di permukaan air tampak berbeda; seakan-akan ia mengenakan pakaian kerajaan dan memancarkan aura yang kuat dan memikat. Namun, bayangan itu juga memudar, tergantikan oleh pemandangan kehancuran—api, kabut, dan kegelapan yang menyelimuti Kerajaan Eradel.
Kael menatap Ayla dengan tatapan yang serius. "Ayla, kedatanganmu berarti lebih dari yang kau sadari. Dunia ini berada dalam bahaya, dan satu-satunya cara untuk menyelamatkannya… adalah dengan keberadaanmu."
Ayla menatap Kael dengan campuran ketakutan dan keberanian yang perlahan muncul dari dalam dirinya. Ia mungkin baru saja tiba, tetapi sudah ada perasaan yang mengikatnya pada dunia ini, dan juga pada Kael.
Ayla menatap pantulan kehancuran di kolam itu, hatinya mulai dipenuhi rasa takut. "Kael, kenapa aku melihat ini? Apa hubungannya dengan kedatanganku ke sini?"
Kael mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab, seolah sedang memilih kata-kata yang tepat. "Eradel pernah menjadi dunia yang damai, dipenuhi keindahan dan harmoni. Namun, semuanya berubah ketika Noir, makhluk yang haus kekuasaan dari dunia kegelapan, menemukan cara untuk mengintai dari balik bayang-bayang. Noir adalah wujud dari kegelapan itu sendiri; dia bisa mengubah bentuknya, menguasai pikiran mereka yang lemah, dan menghancurkan apa pun yang ia sentuh."
Ayla merasakan bulu kuduknya berdiri. "Lalu… kenapa aku bisa masuk ke sini? Apa yang bisa aku lakukan untuk menghadapi sesuatu seperti Noir?"
Kael mendekat, menatapnya dengan tatapan penuh arti. "Karena kau bukanlah manusia biasa, Ayla. Di dalam dirimu, mengalir darah kuno yang hanya dimiliki keturunan tertentu. Kau adalah bagian dari garis keturunan pelindung Eradel, keluarga yang telah lama hilang dari dunia ini."
Ayla terdiam, mencoba mencerna kata-kata Kael. "Pelindung Eradel? Maksudmu, aku berasal dari dunia ini?"
Kael mengangguk pelan. "Beberapa abad yang lalu, leluhurmu melintasi batas antara dunia ini dan dunia manusia untuk melarikan diri dari Noir yang tengah berkuasa. Mereka membawa serta kekuatan istimewa yang mampu menahan kegelapan, tetapi garis keturunan itu terus melemah seiring waktu. Kini, hanya satu yang tersisa: kau, Ayla."
Ayla menelan ludah, hatinya dipenuhi keraguan dan ketakutan. "Tapi… aku tidak punya kekuatan apa pun. Aku bahkan tak tahu harus mulai dari mana."
Kael tersenyum kecil, memberikan tatapan yang menenangkan. "Kau belum menyadarinya, tetapi kekuatan itu ada dalam dirimu. Kalung yang kau bawa adalah kunci untuk membangunkan kekuatan itu. Namun, kekuatanmu baru akan muncul sepenuhnya saat kau benar-benar memahami arti dari menjadi pelindung."
Ayla masih tampak bingung. "Lalu, bagaimana caranya aku bisa melawan Noir? Aku tak mungkin melawan kegelapan yang sebesar itu sendirian."
Kael menghela napas panjang, pandangannya meredup. "Itulah mengapa aku di sini. Aku akan membantumu menemukan kekuatan itu, dan bersama-sama kita akan berusaha mengembalikan perdamaian di Eradel. Namun, ini bukan tugas yang mudah. Noir akan melakukan segalanya untuk menghentikanmu, bahkan jika itu berarti menghancurkan seluruh dunia ini."
Ayla menatap Kael dengan tekad yang mulai muncul di matanya. Meskipun ia takut, ada sesuatu dalam dirinya yang memberanikan diri untuk menerima takdir ini. "Jika ini memang tanggung jawabku, aku tidak akan lari. Aku akan belajar… dan aku akan melawan."
Kael tersenyum, dan dalam senyum itu tersirat kebanggaan dan harapan yang sudah lama ia cari. "Kau lebih kuat dari yang kau sadari, Ayla. Ingatlah, aku selalu di sini untuk mendampingimu."
Di kejauhan, bayangan gelap mengintai dari balik pepohonan, mata merahnya mengawasi Ayla dan Kael dalam diam. Noir telah menyadari kehadiran pewaris pelindung Eradel, dan ancaman baru mulai membayangi mereka.
Ayla mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, memandangi detail-detail misterius di kastil itu—lukisan-lukisan usang yang menggambarkan sosok-sosok yang tak dikenalnya, simbol-simbol misterius, dan lorong-lorong yang seolah menyembunyikan kisah-kisah yang telah lama terlupakan.
“Jika aku pewaris pelindung Eradel,” Ayla berkata sambil menyentuh kalungnya, “apa yang harus kulakukan untuk mengaktifkan kekuatan ini?”
Kael menggenggam tangannya dengan lembut, memandangnya penuh keyakinan. “Pertama, kau harus belajar mengendalikan koneksi dengan dunia ini. Kekuatanmu bergantung pada kemampuanmu memahami elemen-elemen Eradel—hawa, tanah, dan cahaya. Kau adalah jembatan antara kedua dunia, dan hanya kau yang bisa mengendalikan kekuatan yang diwariskan leluhurmu.”
Ayla mengangguk pelan, tetapi kekhawatiran masih tampak jelas di wajahnya. Ia merasa seperti menanggung beban yang terlalu besar, tetapi tekadnya untuk melindungi Eradel kian menguat, terinspirasi oleh keberanian dan ketulusan yang ditunjukkan Kael.
Suara angin tiba-tiba berdesir keras, seolah sesuatu yang tak terlihat bergerak di sekitar mereka. Aura gelap perlahan-lahan menyelimuti ruangan, menebarkan hawa dingin yang menusuk tulang. Ayla berbalik, merasakan kehadiran yang begitu kuat dan mengancam.
“Dia sudah tahu kau ada di sini,” bisik Kael dengan nada serius. “Noir… dia takkan membiarkan kita bersiap dengan mudah. Kita harus bergerak cepat.”
Sebelum Ayla sempat merespons, angin dingin itu berubah menjadi bisikan-bisikan jahat, memenuhi ruangan dengan suara sumbang yang membuat kulitnya meremang. Seperti semburan racun, Noir mengirimkan ancaman melalui bayangan-bayangan gelap di ruangan itu.
“Kalian takkan lolos dari kegelapan…” suara Noir bergema, terdengar seperti ribuan suara yang menyatu. “Ayla, takdirmu adalah milikku.”
Ayla bergidik, tetapi Kael segera berdiri di depannya, melindunginya dengan tubuhnya sendiri. “Jangan takut,” katanya dengan tegas. “Selama aku di sini, kau aman.”
Mata Ayla berkobar dengan tekad yang baru. Meskipun ia takut, ia takkan menyerah. “Aku tidak akan lari,” ujarnya pelan namun penuh tekad. “Jika ini memang tugas yang harus kutanggung, aku siap menghadapi kegelapan itu.”
Cahaya lembut yang memancar dari kalung Ayla mengusir bayangan yang mengancam mereka, dan perlahan-lahan hawa dingin mulai menghilang. Kael tersenyum, puas melihat keberanian Ayla yang tumbuh.
“Latihan kita dimulai sekarang,” kata Kael dengan mantap. “Persiapkan dirimu, Ayla. Ini baru awal perjalanan kita.”
Pagi di Eradel memiliki keindahan yang menakjubkan. Langit berwarna ungu muda, burung-burung kecil berwarna cerah beterbangan, dan embun membasahi tanah dengan kilaunya yang lembut. Namun, di tengah semua itu, Ayla merasa beban di pundaknya semakin berat. Di sinilah langkah pertamanya dimulai.
Kael menuntunnya menuju taman di balik kastil, sebuah tempat yang dipenuhi dengan tanaman-tanaman langka dan aliran sungai kecil yang berkilauan. Di sana, angin sepoi-sepoi mengelus wajahnya, seakan mengundangnya untuk berinteraksi dengan elemen-elemen Eradel. Ayla tahu bahwa latihan ini adalah awal dari perjalanan panjang yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Kael berdiri di hadapannya, memberikan senyum yang menenangkan. "Kekuatanmu berasal dari alam di sekitarmu, Ayla. Untuk mengendalikannya, kau harus belajar untuk mendengar dan memahami bisikan dunia ini."
Ayla mengangguk. Ia menutup matanya, mencoba untuk merasakan apa yang ada di sekitarnya. Pada awalnya, hanya ada keheningan, tetapi perlahan-lahan, ia mulai mendengar suara-suara halus—gemericik air, desau angin, bahkan suara dedaunan yang berbisik lembut. Semuanya seperti menyambut kehadirannya, memberi energi yang mengalir lembut ke dalam tubuhnya.
“Bayangkan energi itu mengalir melalui jari-jarimu,” ujar Kael dengan nada lembut. “Biarkan alam memberimu kekuatannya.”
Ayla mencoba mengikuti arahan Kael. Ia membuka mata dan menatap tangan kanannya, membayangkan energi yang dirasakan mengalir ke sana. Tiba-tiba, cahaya lembut muncul di telapak tangannya, berpendar lembut seperti sinar matahari yang menembus kabut pagi. Ayla terkesiap, namun tatapan tenang Kael membantunya tetap fokus.
“Bagus, Ayla. Kau melakukannya dengan sangat baik,” puji Kael. “Cahaya itu adalah bukti bahwa kau mulai terhubung dengan kekuatanmu.”
Ayla tersenyum, merasa bangga dan sedikit kagum pada dirinya sendiri. Namun, saat ia mulai rileks, cahaya itu perlahan memudar. Ia mendesah, merasa sedikit kecewa.
“Jangan khawatir,” kata Kael sambil tersenyum. “Butuh waktu untuk bisa mengendalikan kekuatan ini sepenuhnya. Yang terpenting adalah kemauan dan kesabaran.”
Sebelum latihan selesai, suara asing terdengar dari balik semak-semak. Ayla dan Kael langsung berjaga-jaga, dan dari bayangan muncul seorang lelaki tua berwajah teduh dengan jubah lusuh. Matanya tajam, mengamati Ayla dengan rasa ingin tahu dan sedikit kekhawatiran.
“Kael,” suara lelaki tua itu rendah dan bergetar, “kau tahu bahwa membawa pewaris ke tempat terbuka adalah langkah yang sangat berisiko. Noir memiliki mata-mata di mana-mana.”
Kael mengangguk, menyadari kebenaran dalam kata-kata itu. “Tuan Eldric, aku tahu risikonya. Tapi Ayla perlu belajar. Jika kita terus menyembunyikannya, ia takkan pernah bisa membangun kekuatan untuk menghadapi Noir.”
Tuan Eldric menatap Ayla dengan sorot penuh makna. “Sebaiknya kau bersiap, Anak muda. Kegelapan mungkin sudah mengetahui keberadaanmu. Kau tak hanya memerlukan kekuatan, tetapi juga ketahanan dan keberanian untuk melawan Noir.”
Ayla menggenggam kalungnya dengan lebih erat, merasa bahwa nasihat itu adalah peringatan akan tantangan yang lebih besar di depan.
Ayla merasa dirinya semakin tenggelam dalam dunia ini, meskipun baru saja mulai memahami kekuatan di dalam dirinya. Kehadiran Tuan Eldric membawa hawa yang penuh misteri, namun sorot matanya yang tajam menunjukkan ketulusan yang sama dalam melindungi Eradel.
Ayla memberanikan diri untuk bertanya, “Tuan Eldric, mengapa Noir begitu kuat dan sulit dikalahkan? Apakah dia juga berasal dari dunia ini?”
Lelaki tua itu mengangguk perlahan. “Noir adalah makhluk dari zaman dahulu kala, entitas yang terbentuk dari bayangan dan kegelapan yang selalu mengintai di antara batas dunia. Dulu, Eradel punya pelindung yang jauh lebih kuat untuk melawannya, tetapi kekuatan itu telah lama menghilang. Kau, Ayla, adalah harapan terakhir untuk mengembalikan keseimbangan itu.”
Kael melanjutkan, “Noir mengambil kekuatannya dari ketakutan dan kelemahan makhluk hidup, itulah sebabnya semakin banyak yang takut, semakin besar kuasanya. Sebagai pewaris pelindung, Ayla, kau memiliki kemampuan yang bisa mematahkan kekuatan gelap itu, tetapi kau harus menguasainya sepenuhnya.”
Ayla mendengar kata-kata mereka dengan penuh perhatian, tetapi di hatinya tersimpan kekhawatiran. Bagaimana ia bisa menjadi pelindung Eradel? Ia tak memiliki pengalaman, tak memiliki persiapan—hanya sedikit kekuatan yang bahkan belum ia kuasai.
“Aku akan membantumu,” ucap Kael dengan mantap, seolah membaca pikirannya. “Kita akan memulai latihan yang lebih intens. Kau akan mempelajari cara bertarung, cara mengendalikan elemen-elemen, dan juga cara menjaga pikiranmu tetap kuat.”
Tuan Eldric mengangguk setuju. “Namun, ketahuilah, Ayla, bahwa tugas ini bukan hanya tentang kekuatan fisik atau sihir. Kau akan dihadapkan pada ujian hati, di mana keputusan yang kau buat akan menentukan nasibmu dan nasib seluruh Eradel. Kekuatan terbesar dalam dirimu akan muncul saat kau menghadapi apa yang paling kau takutkan.”
Ayla merasa gemetar, tetapi ia juga tahu bahwa tidak ada jalan untuk mundur. Ia harus melanjutkan, tidak hanya untuk Eradel, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Ia merasakan dorongan yang baru, meskipun samar, yang membuatnya ingin melawan kegelapan ini.
“Kalau begitu, kapan kita mulai?” tanyanya, suaranya terdengar lebih mantap dari sebelumnya.
Kael dan Tuan Eldric saling berpandangan dan tersenyum kecil, puas dengan semangat Ayla. Kael melangkah mendekat dan meraih bahunya dengan lembut. “Sekarang. Dan ingatlah, Ayla, kau tidak sendirian dalam perjalanan ini. Kita akan melangkah bersama.”
Latihan dimulai dengan intensitas yang tak pernah dibayangkan Ayla sebelumnya. Kael mengajarkannya cara menyeimbangkan tubuh dan pikiran, menggabungkan teknik bertarung dengan energi yang mengalir dari alam sekitar. Setiap gerakan yang mereka lakukan dipenuhi oleh konsentrasi tinggi, namun di antara latihan itu ada momen-momen kecil yang membuat Ayla merasa lebih dekat dengan Kael.
Saat ia berlatih mengendalikan energi, sebuah gerakan membuatnya kehilangan keseimbangan. Sebelum ia sempat terjatuh, Kael segera menangkapnya, tangannya yang kuat menyangga punggung Ayla dengan lembut. Ayla terdiam sejenak, menyadari betapa dekatnya mereka sekarang. Wajah Kael hanya beberapa inci dari wajahnya, dan tatapan matanya begitu dalam, seolah dapat menembus pikiran dan perasaannya.
"Kau harus lebih fokus, Ayla," bisik Kael dengan suara lembut namun penuh perhatian, senyum tipis terlihat di wajahnya.
Ayla merasa pipinya memerah, tetapi ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya sambil mengangguk. “Maaf, aku hanya sedikit tegang,” jawabnya dengan malu.
Kael tertawa kecil, melepaskan genggamannya perlahan. “Tak apa. Berlatih itu memang sulit pada awalnya. Lagi pula, aku akan selalu berada di sini untuk menangkapmu.”
Mereka melanjutkan latihan, tetapi Ayla tidak bisa sepenuhnya mengalihkan pikirannya dari momen tadi. Setiap kali Kael memberikan petunjuk atau membantunya dengan gerakan tertentu, ia merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Terkadang, ketika ia mengangkat pandangannya, ia mendapati Kael menatapnya dengan sorot lembut yang membuatnya merasa hangat dan terlindungi.
Saat matahari mulai terbenam, mereka berhenti sejenak untuk beristirahat. Kael dan Ayla duduk di tepi kolam kecil yang tenang, memandang sinar matahari yang berubah menjadi jingga di atas langit Eradel. Mereka terdiam, menikmati ketenangan sesaat di antara keduanya.
"Aku tahu ini sulit bagimu, Ayla," ujar Kael, suaranya lembut dan penuh perhatian. "Aku tahu kau merindukan rumah, keluargamu… tetapi aku sangat berterima kasih karena kau memilih untuk tetap di sini dan berjuang."
Ayla menatapnya, terkejut melihat sisi Kael yang lebih terbuka. "Aku juga tak tahu bagaimana aku bisa bertahan tanpamu di sini, Kael," jawabnya jujur. "Kehadiranmu membuat semua ini terasa mungkin. Rasanya… seperti aku menemukan alasan untuk melanjutkan."
Kael tersenyum dan tanpa ragu, menyentuh lembut tangan Ayla. “Kita akan melewati ini bersama, apa pun yang terjadi.” Tatapan mereka bertemu sekali lagi, dan dalam diam itu, Ayla merasakan ketertarikan yang semakin kuat terhadap Kael, lebih dari sekadar seorang pelindung atau sekutu.
Bayangan di sekitar mereka perlahan memudar saat malam mulai tiba, membawa Ayla dan Kael lebih dekat dalam kebersamaan yang penuh arti, menguatkan tekad mereka untuk melindungi satu sama lain dari kegelapan yang akan datang.
Langit malam di Eradel bersinar dengan bintang-bintang yang tak pernah dilihat Ayla sebelumnya, cahayanya memantul lembut di permukaan kolam kecil tempat mereka beristirahat. Setelah seharian berlatih, kelelahan menyelimuti tubuh Ayla, tetapi ada kehangatan yang menguatkan hatinya. Di sampingnya, Kael masih duduk dengan pandangan yang tenang namun waspada, selalu siap untuk melindungi Ayla.
Ayla terdiam sejenak, memandangi bintang-bintang, lalu menoleh ke arah Kael. "Terima kasih, Kael, untuk semua yang telah kau lakukan," ucapnya dengan tulus. "Aku tak bisa membayangkan menjalani semua ini sendirian."
Kael tersenyum, tatapan lembutnya menembus malam yang sunyi. "Aku yang seharusnya berterima kasih, Ayla. Kehadiranmu memberi kami harapan di tengah kegelapan ini." Ia terdiam sejenak, lalu menambahkan dengan suara yang hampir berbisik, "Dan aku berjanji akan selalu ada untuk mendampingimu."
Mereka berdua terdiam, menikmati kedekatan dan keheningan yang terasa begitu alami. Di saat itu, tanpa kata-kata, sebuah ikatan terjalin di antara mereka—lebih dari sekadar pelindung dan pewaris, tetapi sebagai dua jiwa yang menemukan tempatnya di sisi satu sama lain.
Malam itu, Ayla merasa damai untuk pertama kalinya sejak tiba di dunia asing ini, yakin bahwa bersama Kael, ia bisa menghadapi apa pun yang akan terjadi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!