Narendra duduk di kursi sebelah ranjang pasien. Ia menatap pilu pada pria renta yang kini tergolek lemah diatas ranjang rumah sakit akibat insiden yang tak sengaja ia lakukan pada pria itu. Karena kelalaiannya dalam berkendara, Narendra menabrak pria renta itu di jalan sehingga pria renta itu harus mengalami kondisi yang kritis saat ini.
Dengan sisa-sisa tenaganya yang lemah, tangan kriput yang gemetar meraih tangan kokoh Narendra untuk digenggamnya. Pria muda itu lebih mendekat ke arah Abah-pria renta itu.
"Tuan Rendra," kata pria renta itu setelah mengenali lelaki tampan itu adalah seorang distributor yang biasa mengambil hasil panen perkebunan milik majikannya.
"Kek, maafkanlah saya. Saya tak sengaja hingga kejadian itu terjadi dan mengakibatkan kondisi kakek menjadi seperti ini." Suara Narendra bergetar mengatakan hal itu pada pria renta itu. Ada rasa sesal yang mendalam menusuk hatinya berkeping-keping. "Apa yang harus saya lakukan agar kakek memafkan perbuatan saya ini? Saya rela dipenjara jika kakek menginginkan hal itu untuk menebus kesalahanku."
Pria renta itu menggeleng lemah. Sudut matanya menumpahkan buliran air mata. Pria renta itu menggenggam erat tangan Narendra dengan sepenuh jiwanya yang berselimut kegelisahan
"Tuan Rendra, sudahlah. Ini hanya kecelakaan. Abah tau Tuan tidak bermaksud melakukan hal itu." ujar pria renta itu lirih. "Abah tau Anda orang baik dan bertanggung jawab. Karena itu tolong hapuskan kegelisahan Abah ini, Tuan."
"Apa maksud kakek?"
"Abah memiliki putri semata wayang. Istri Abah belum lama ini telah meninggalkan dunia. Jika nanti Abah menyusul istri abah ke alam baka, maka Arania putriku akan sendirian." Ucapnya dengan pilu, air matanya kini mengalir deras di wajah lelahnya yang keriput itu.
"Jangan bicara seperti itu, kek. Insyaallah kakek akan baik-baik saja nanti." Ujar Rendra memberi kekuatan kepadanya. Namun pria renta itu lagi-lagi menggeleng dan menatap lekat kepada Narendra.
"Abah tau usia abah tidak lama lagi. Abah tidak memiliki banyak kekuatan untuk tetap bertahan dengan tubuh renta ini, Tuan. Jika Anda memang ikhlas ingin bertanggung jawab atas hal ini maka Abah minta tolong kepada anda, nikahilah putriku satu-satunya, Arania."
Deg!
Bagai petir di siang bolong, hati Narendra begitu bergetar dan teramat sangat syok mendengar permintaan kakek itu.
"Tapi itu_" ucapan Rendra tiba-tiba saja tertahan saat akan mengungkapkan kebenaran tentangnya. Dipikirannya jika ia mengungkapkan jatidirinya saat ini mungkin akan membuat kondisi kakek itu lebih memburuk lagi.
"Jagalah dan sayangilah dia. Setelah aku tiada dia tidak memiliki siapa-siapa lagi, Tuan. Abah takut jika nanti dia hidup sebatang kara akan membuatnya kesulitan. Maka dari itu Abah meminta mu untuk mengambil alih tanggung jawabku untuk menjaganya. Dengan itu kepergian ku akan tenang." Ucap Abah tak mampu lagi menahan air matanya yang terus menerus mengalir. "Percayalah pada Abah, Arania adalah gadis yang baik. Dia akan menjadi istri yang patuh dan penyayang untuk mu, Tuan Rendra."
Rendra belum memberikan reaksinya, pria tampan dan gagah itu masih berpikir bagaimana jika tindakannya ini akan menyebabkan kehancuran hati yang lainnya. Karena saat ini ada hati wanita lain yang harus dijaganya. Rendra terus berfikir dan beristighfar dalam kegelisahannya. Bagai buah simalakama apapun keputusan yang ia ambil akan menghancurkan hati sebelah pihak.
"Cepatlah, nak Rendra. Apakah bersedia?" Ucap Abah tersendad karena nafasnya semakin tersengal.
Karena kepanikannya melihat kondisi kakek itu, pria muda itu refleks menganggukkan kepalanya, "Baiklah saya bersedia menikahi putri kakek secara siri." ucapnya kemudian.
Nafas Abah semakin berat, Rendra panik bukan main dan seketika memencet tombol di dekat ranjang pasien untuk memanggil dokter. Namun tak lama pintu kamar itupun terbuka dengan kuat.
Braaakk...
Seorang gadis cantik dengan wajah yang sembab telah berdiri diambang pintu, memastikan kebenaran yang berada di kamar itu adalah Ayahnya. Sejenak memastikan hal itu, gadis cantik berambut panjang itu berlari mendekati Ayahnya dengan linangan air mata di pipinya.
"Abaahh..." Teriaknya mendekat ke sisi ranjang dan melihat Ayahnya yang kini dalam kondisi sakratul maut.
"Abah. Abah. Apa yang terjadi pada Abah. Tolong jangan seperti ini, bah. Ara takut. Abah harus baik-baik saja, demi Ara, bah!" Isak Arania yang perhatiannya hanya terfokuskan pada sang Ayah tanpa memedulikan orang lain di sekitarnya.
Dengan sisa-sisa kekuatannya yang terakhir Abah meraih tangan Arania dan Narendra, kemudian disatukannya di atas dadanya.
"Kalian menikahlah," ucap Abah sangat lemah dibarengi dengan kedatangan dokter dan perawat memeriksa kondisi pria renta itu.
Sebelum akhirnya Abah mengucapkan dua kalimat syahadat dituntun oleh Arania dan Rendra mengiringi hembusan nafas terakhir dan menutup matanya.
"Innailaihi wainnailaihi roji'un," ucap sang dokter.
"ABAHHH!!!" Teriakan histeris Arania menggelegar di ruangan itu dengan kesediaan dan hati yang porak poranda. Rendra mendekat pada Arania untuk menenangkan gadis yang terlihat sangat rapuh itu. Akan tetapi tak lama tubuh gadis nan mungil itupun tumbang di sebelah jenazah sang ayah yang baru saja tiada. Beruntungnya sebelum tubuh ringkih itu jatuh ke lantai, Rendra berhasil menopangnya terlebih dulu kemudian membawanya ke sisi lain ruangan itu.
,,,
Setelah beberapa saat setelah Arania kembali siuman dan masih dalam kondisi lemah, sang dokter yang memeriksa Arania mengingatkan pesan terakhir si pasien kepada mereka. "Sebaiknya kalian nenikahlah saat ini juga di depan jenazah bapak ini sesuai wasiatnya tadi," kata dokter itu.
Rendra menatap ke wajah sendu Arania, namun gadis itu tidak memberikan respon apapun. Tatapannya kosong, pikirannya entah kemana. Namun kesedihan terlihat jelas di wajah cantiknya.
"Bagaimana nona? Apakah anda bersedia menikah dengan saya?" Tanya Rendra dengan lembut. Suara berat Rendra bagaikan menghipnotis Arania sehingga gadis itu hanya menganggukkan kepalanya dengan lemah.
Selang waktu yang singkat segala persiapan seadanya telah tersedia dalam ruangan itu dengan bantuan dokter itu untuk melakukan ijab qobul. Semua syarat dan rukun nikah seperti mahar, wali, penghulu serta saksi telah siap saat ini. Hingga ijab qobul bisa dilakukan dengan khidmat walaupun dalam kondisi berduka cita.
"Sah,"
"Alhamdulillah,"
Seru semua orang yang menyaksikan hal itu di hadapan jenazah Abah yang tak lama lagi akan dikebumikan.
"ABAAHHH!" Jerit Arania histeris saat itu memeluk jenazah sang Ayah.
"Arania, ikhlaskan Abahmu. Jika kamu seperti ini terus akan mempersulit Abahmu untuk meninggalkan dunia ini." Rendra meraih tubuh mungil Arania dari jenazah Abah dan membawanya dalam pelukannya untuk menenangkan istri yang baru saja dinikahinya itu.
"Aku sekarang sendirian. Aku sebatang kara. Abah sudah pergi meninggalkanku, hiks." Ucap Arania tanpa dia sadari bahwa dirinya saat ini telah menikah dan tentunya kewajiban suaminyalah yang harus bertanggung jawab padanya.
"Kamu tidak akan sendirian. Ada aku. Kamu tanggungjawab ku sekarang, Arania." Ucap Rendra sembari menepuk-nepuk punggung gadis itu.
Arania seketika kelu, tak mampu berkata-kata lagi dengan keadaannya saat ini. Yang ia tau saat ini ia merasa sangat sedih dan terpukul dengan kematian Ayahnya.
***
Sore itu pemakaman Abah di iringi rintik-rintik hujan yang membuat suasana semakin dramatis di tengah isak tangis Arania yang tiada hentinya. Gadis itu sungguh begitu rapuh dan terpukul dengan kematian Ayahnya. Berkali-kali gadis itu tumbang kemudian tersadarkan kembali dengan sisa-sisa tenaganya yang semakin melemah. Melihat keadaan itu membuat hati Narendra semakin trenyuh dan semakin merasa bersalah pada istri sirinya itu.
Pria itu dengan setia berada di sisi Arania sembari memayungi kepala gadis itu dari rintik hujan seraya memegangi tubuh ringkih itu agar bisa berdiri di sepanjang pemakaman.
"Ikhlas, Arania. Sudah, cukup-cukup." Ucap Rendra pada gadis yang terus menerus menangis di sampingnya, namun seolah tak mendapatkan respon samasekali karena gadis itu sangat terlarut dalam kesedihannya.
Arania yang hancur kemudian bersandar pada dada kokoh suaminya. Tempat satu-satunya yang tersedia untuknya saat ini. Tiada lagi orang lain atau saudara yang Arania punya saat ini selain hanya suaminya. Tanpa adanya Rendra, Arania memang benar-benar sebatang kara.
,,,
Malam harinya di gubuk bambu tempat tinggal Arania dan Abah, tengah dilakukan pengajian untuk mendoakan arwah Almarhum Abah. Namun gadis itu masih saja terpuruk dalam kesedihan. Arania masih mengurung diri dalam kamarnya. Baju gamis serta kerudung hitam yang tadi sore dikenakannya pada saat pemakaman saat ini sudah terlihat lusuh dan lepek namun masih saja melekat pada tubuhnya tanpa adanya daya untuk berganti pakaian bersih lainnya. Wajah dan matanya sembab dan bengkak akibat terus menerus menangis dari siang tadi hingga saat ini.
"Tuan Rendra, kami permisi dulu." Ucap para pelayat setelah selesai mendoakan dalam pengajian itu.
"Saya ucapkan terimakasih pada bapak-bapak semua, telah memberikan doa untuk mertua saya. Semoga.. kebaikan anda semua di balas oleh Allah SWT.." Ucap Rendra yang kini menjadi posisi tuan rumah.
"Aamiin..." Ujar mereka serentak sebelum akhirnya meninggalkan rumah sederhana itu.
Rendra kemudian berjalan menuju kamar Arania. Menyingkap gorden yang terpasang di pintu kemudian melangkah masuk ke tempat tidur Arania. Gadis cantik itu kini telah terlelap setelah seharian ini menangis. Terdapat sisa-sisa air mata yang mengering serta lengket di pipi mulusnya yang sedikit chubby.
Rendra tanpa sadar mengamati dengan lekat wajah istri sirinya yang terlihat sangat muda dengan rasa kekaguman yang membuncah. Dimana gadis ini memang sangat-sangat cantik bahkan dalam kondisi terberatnya sekalipun saat ini. Seketika itu timbul kembali rasa bersalah pada gadis yang berada di hadapannya ini.
Rendra duduk di tepi tempat tidur. Tangan besarnya meraih jemari lentik Arania yang masih pulas. Ia menggenggam serta mengecup punggung tangan gadis itu dengan lembut.
"Maafkan saya. Saya yang menyebabkan penderitaan mu ini, Arania. Jika saja saya tidak lalai dalam berkendara serta lebih hati-hati, mungkin kejadian ini tak pernah terjadi." Ucap Rendra dengan mata yang berkaca-kaca penuh penyesalan di hatinya.
Malam ini adalah malam pertama mereka sebagai suami istri, namun karena keadaan yang sedang berduka tidak mungkin mereka melakukan kewajiban layaknya sebagai pasangan pengantin yang baru menikah pada umumnya. Rendra hanya membacakan doa di kening Arania kemudian mengecupnya dengan lembut sebagai pembuka awal baru babak pernikahan keduanya dengan Arania. Setelahnya, pria gagah itu keluar dari kamar Arania untuk mencari tempat untuk dirinya berbaring di ruang tamu yang kecil itu.
,,,
Pagi harinya, Arania bangun sangat terlambat tidak seperti biasanya yang selalu bangun sebelum matahari terbit. Akan tetapi kali ini entah mengapa kesadarannya tak lagi bisa terkontrol seperti sebelumnya. Mungkin akibat staminanya yang menurun drastis sehingga gadis itu membutuhkan banyak waktu untuk memulihkannya kembali.
"Kepalaku, sstttt..." Ucapnya seraya mendesis kala merasakan sakit di kepalanya. Arania berusaha untuk bangkit dan duduk bersandar di tepian tepat tidurnya.
Pria tampan yang terlihat bersih dan rapih terlihat memasuki kamar Arania sembari membawa semangkuk bubur ayam yang tadi dibelinya.
Sejenak terlupa, gadis itu tiba-tiba seolah terkejut dengan kehadiran sosok pria asing yang baru kemarin dikenalnya. Itupun tanpa memerhatikan lekat wajah pria yang telah mengikrarkan ijab qobul di hadapan jenazah sang Ayah saat itu.
"Apa aku benar-benar telah menikah?" Ujarnya dalam hati. "Dia suamiku?"
Seolah tak percaya saat ini statusnya telah berubah menjadi seorang istri dari seorang laki-laki yang sama sekali belum dikenalnya. Apalagi pria yang telah menikahinya ini benar-benar tampan dan gagah. Hatinya tiba-tiba berdebar-debar dengan degup jantung yang tak beraturan. Ditambah saat ini pria yang telah menjadi suaminya itu berjalan mendekatinya ke sisi tempat tidurnya.
Rendra duduk di tepi tempat tidur dan menghadap Arania. Gadis itu terlihat sangat gugup hingga rasa sakit yang sedang di rasakan di kepalanya menjadi terlupakan.
"Bagaimana keadaanmu, Arania?"
"A-aku ba-baik, Tuan." Jawabannya dengan dada yang dag-dig-dug.
Rendra tersenyum hangat pada Arania, seraya mengulurkan suapan bubur ke mulut istri sirinya. "Makanlah." Ucap Rendra lembut.
Sekilas gadis itu hanya melirik ke arah sendok berisi bubur itu, sebelum akhirnya kepalanya menggeleng. "Aku tidak lapar." Ujarnya lirih.
"Kenapa? Apa kamu tidak suka? Biar nanti saya buatkan sesuatu untuk sarapan mu."
"Bukan begitu, hanya saja aku sedang tidak berselera, Tuan."
"Makanlah sedikit. Kamu harus memiliki tenaga agar tidak lemah. Saya tidak ingin kamu sakit." Ujar Rendra, "Ayo, buka mulut mu!"
Arania mengerjapkan mata lentiknya mendengar perkataan Rendra, perhatiannya mengingatkan kasih sayang Abah dan Emaknya yang kini telah tiada. Arania membuka mulutnya dengan kesedihan yang kembali terjadi saat makanan itu telah masuk ke dalam mulutnya. Matanya tak kuasa menahan buliran lembut air matanya yang kembali mengaliri pipinya.
Rendra yang melihat hal itu merasa iba pada gadis cantik itu, karena telah merenggut kasih sayang dari sang ayah darinya. Rendra kembali membawa tubuh mungil Arania kedalam pelukannya untuk memberikannya ketenangan.
"Maafkan saya, Arania. Saya telah berbuat jahat kepadamu. Kamu boleh meluapkan amarah mu kepada saya karena memang saya yang bertanggungjawab atas semua keadaan mu ini." Ucapnya pada gadis yang kembali menangis tersedu-sedu itu.
Arania menggeleng, "Mungkin ini memang jalanku. Aku harus hidup sendirian seperti ini." Ucapnya di sela isak tangisnya.
"Ssttt.. Sekarang kamu tidak sendirian lagi. Sekarang ada saya bersamamu, Arania."
Arania mengurai pelukannya untuk memberi jarak antara mereka. Dengan mata yang berlinangan gadis itu menatap manik mata elang Narendra. Lekat sangat lekat dan penuh pertanyaan di hatinya.
'Apakah laki-laki ini benar-benar akan selalu bersamanya?' atau 'Apakah laki-laki ini tulus kepadanya, walaupun tanpa rasa cinta. Apakah ia mampu menjadi imam yang baik untuk dirinya?'. Berbagai pertanyaan muncul di hatinya kini dan membuka harapan hidupnya yang baru.
Rendra menghapus sisa-sisa air mata di pipi mulus Arania. Pria itu mengangguk dan tersenyum pada istri kecilnya itu seakan menjawab pertanyaan dari tatapan mata gadis lugu itu. "Benar. Sekarang ada aku bersamamu. Jadi kamu tak perlu khawatir lagi." Ucapnya lagi.
"Apa benar?" Tanya Arania ragu.
Rendra menganggukkan kepalanya lagi. "Saya adalah suamimu. Saya bertanggungjawab atas dirimu mulai sekarang dan seterusnya. Kamu telah saya nikahi dihadapan jenazah Abahmu kemarin. Apa kamu mengingatnya?"
Arania yang terdiam kemudian menganggukkan kepalanya lagi, "Aku mengingatnya,Tuan."
Rendra lagi-lagi tersenyum hingga membuatnya terlihat semakin tampan di mata Arania. Degup jantung Arania lagi-lagi berdetak semakin kencang kala melihat senyum yang menawan itu.
"Bagus jika kamu mengingatnya. Maka dari itu saya akan memboyong kamu ke tempat asalku. Jadi kamu tidak akan merasa sendirian lagi di sini." Ujar Rendra.
"Memboyongku?"
"Hemm.. kamu akan tinggal bersamaku di Jakarta. Namun ada satu hal yang harus kamu ketahui sebelumnya,"
"Ku ketahui? Apa?"
"Sebenarnya sebelum saya menikahi mu karena wasiat Abahmu, saya telah menikah. Saya telah memiliki seorang istri yang sangat saya cintai."
Braaaakkk....
Bagai dihempaskan dari ketinggian. Tubuh Arania seolah hancur berkeping-keping. Wajah yang tadinya sendu namun mulai tumbuh semangat kini tiba-tiba berubah menjadi pucat pasi dalam kurun waktu sepersekian detik setelah kalimat itu dilontarkan oleh Narendra. Bibirnya bergetar yang terselubung pada kenyataan pahit yang menamparnya.
"Tidak mungkin." Ucap Arania dengan suara yang bergetar.
"Itu memang kenyataannya, Arania. Saat itu saya tak kuasa menolak keinginan terakhir Abahmu. Memang sudah sepantasnya saya bertanggungjawab atas kesalahan saya dan menebusnya dengan cara menikahi mu. Abahmu ingin ada seseorang yang terus bersamamu serta menjagamu setelah kepergian nya."
"La-lalu, apakah istri anda tau hal ini? Atau jangan-jangan aku telah menjadi seorang pelakor?" Ungkap Arania dengan rasa frustasi yang mendera jiwanya.
***
"Gladys-istri saya sama sekali tidak mengetahui apapun tentang pernikahan kedua ini. Mungkin untuk sementara ini hubungan kita harus disembunyikan terlebih dahulu dari keluarga saya. Saya belum sanggup untuk berterus-terang serta menyakiti hati Gladys untuk saat ini. Maka dari itu saya mohon kepadamu untuk tetap tutup mulut sampai keadaan memungkinkan." Ucap Rendra dengan keterpaksaan yang tak berdaya.
"Jadi... Aku seorang pelakor?" Ucap Arania tertunduk pilu.
Tes..
Tes..
Tes...
Air matanya yang deras menerobos dari mata hingga ke pangkuannya. Entah telah berapa banyak air mata yang gadis itu tumpahkan sejak kematian Ayahnya hingga mendengar kabar yang mengiris hatinya saat ini. Ditambah lagi tiba-tiba rasa bersalahnya menyeruak di hatinya. Ia menganggap dirinya adalah wanita jahat yang telah mengambil suami orang. Sungguh hal itu tidak bisa membuatnya bahagia. Tidak mungkin dirinya menari di atas penderitaan wanita lain.
Sejenak menumpahkan emosinya, Arania memberanikan diri untuk menatap Rendra yang juga terlihat wajah gusarnya.
"Ceraikan aku saja, Tuan!"
Deg!
Rendra yang tadi terlihat gusar refleks membalas tatapan mata cantik yang nelangsa itu. Menatapnya lekat mencari kesungguhan di wajah cantik itu.
"Apa?... Cerai?..." Ujar Rendra dengan suara tercekat di tenggorokan.
Arania menganggukkan kepalanya dengan pasti. Memberi keyakinan kepada Rendra bahwa perkataan yang diucapkan memang benar-benar keinginannya.
"Ya, Tuan. Mari kita bercerai saja. Aku tidak mau jadi seorang pelakor. Aku tidak mau menjadi penjahat yang tiba-tiba merebut kebahagiaan wanita lain. Aku tidak mau hidup bahagia di atas penderitaan wanita lain. Aku... Tidak mau itu, Tuan."
"Lalu bagaimana dengan wasit Aba_"
"Kita abaikan saja. Anda sudah memenuhi wasiat itu dengan menikahi ku walaupun hanya sesaat."
"Tapi saya telah berjanji akan menjaga serta membersamai mu dengan menjadikan mu istri, Arania."
"Itu lupakan saja. Aku akan berusaha baik-baik saja walaupun hidup sendirian. Aku akan mencari pekerjaan. Aku pasti bisa, percayalah padaku, Tuan." Ucap Arania dengan senyum ketegarannya.
"Tidak. Saya akan tetap mempertahankan mu, Arania. Itu adalah janji saya kepada Abahmu. Saya akan tetap melaksanakan janji itu."
"Tapi, Tuan.."
"Tidak ada tapi-tapian. Kamu tenang saja semuanya akan baik-baik saja asal kita bisa merahasiakan status kita. Kamu akan tetap menjadi istri saya dan tanggungjawab saya. Setuju ataupun tidak setuju saya akan membawa mu ke Jakarta bersama saya." Tegas Rendra membuat gadis cantik itu tak bisa berkutik di hadapannya.
"Lalu, dengan status apa Anda memperkenalkan ku kepada istri Anda nanti?" Tanya Arania membuat Rendra sedikit berpikir. Tidak mungkin Arania akan dipisahkan darinya dengan tinggal di apartemennya. Itu sama saja melepaskannya dari penjagaan serta pantauannya. Karena gadis ini masih teramat muda untuk menjalani hidup mandiri. Apalagi sebelumnya tidak pernah sekalipun ia terlepas dari penjagaan Abahnya hingga saat kemarin baru saja menerima surat kelulusan Sekolah Menengah Atasnya.
"Saya akan memperkenalkan mu sebagai pelayan di rumahku." Ujar pria dewasa yang baru saja memasuki usia kepala 3-nya.
"Apa.. pelayan?" Arania terkejut dengan keputusan pria yang telah menikahinya itu. Bagaimana mungkin dia akan dianggap sebagai pelayan di rumah suaminya sendiri dan hidup bersama istri pertamanya. Mana mungkin hal itu akan terjadi padanya. Entah derita apa yang akan ditemuinya nanti di rumah suaminya.
"Lebih baik aku tetap di sini saja, Tuan."
"Kenapa? Apa kamu tersinggung dengan keputusan saya yang menjadikan mu pelayanku? Itu hanya penyamaran saja, kamu hanya perlu berpura-pura bekerja di depan Gladys. Tidak ada cara lain yang memungkinkan mu agar bisa tinggal bersama saya selain ini, Arania."
"Bukan begitu, tapi aku tidak mungkin tinggal bersama istri pertama Anda dalam satu atap. Itu tidak akan baik."
"Saya bisa saja menempatkan mu di apartemen. Tapi, itu nanti akan membuat Gladys semakin curiga karena saya pasti akan sering mencuri-curi waktu untuk memantau mu. Maka dari itu sebaiknya kita hidup satu atap di rumahku walaupun dengan kamar yang terpisah. Sehingga mempermudah saya untuk menjaga mu sesuai keinginan Abahmu."
Hati Arania semakin sedih mendengar penuturan Narendra. Ia semakin sadar memang posisinya saat ini bukanlah siapa-siapa bagi pria ini. Pernikahan ini hanyalah demi penghalalan untuk bisa tinggal bersama saja, tidak lebih.
Arania menghapus air matanya dengan tegar. Wajah yang tertunduk ia paksa angkat untuk menatap wajah suaminya. "Baiklah kalau itu keputusan Anda. Saya akan berusaha patuh dan berlapang dada untuk menerimanya." Ucapnya tegar dengan mata yang berkaca-kaca.
"Baiklah kalau begitu bersiaplah untuk berkemas. Kita akan berangkat nanti malam ke Jakarta." Titah Narendra.
**
Sore harinya sebelum menempuh perjalan ke Jakarta, mereka harus pergi ke bengkel terlebih dulu karena mobil Rendra yang kemarin mengalami kecelakaan perlu di servis dan diperbaiki di bengkel yang berada di kota. Maka dari itu mereka memesan ojek untuk mengantar mereka ke kota untuk mengambil mobilnya.
Dua orang tukang ojeg sekitar telah memasuki pelataran rumah kecil Arania.
Arania yang saat ini sudah siap dengan barang bawaannya serta hijab yang dikenakannya terlihat sangat pas di wajah cantiknya yang mungil. Sebenarnya Rendra sejak sedari tadi tanapa sepengetahuan Arania telah mencuri-curi pandang pada istri sirinya itu, sebelum kemudian perhatiannya terfokus pada pesan-pesan di ponselnya.
"Tuan, kita berangkat sekarang? Tukang ojek sudah datang." Ucap Arania pada suaminya yang sedang sibuk pada ponselnya.
'Mungkin dia sedang sibuk berkirim pesan dengan istri pertamanya.' ujar hati Arania.
"Hemm.."
Pria itu hanya bergumam tanpa menunjukan reaksi lainnya. Lantas ia bangkit kemudian mengenakan jaket yang berada di sampingnya.
Arania hanya menghela nafasnya melihat suaminya yang acuh padanya. Dengan membawa tas baju yang besar dan berat gadis itu mendahului Rendra yang masih sibuk dengan urusannya sendiri.
Arania terlihat kesusahan membawa barang-barang itu. Salah satu tukang ojeg yang tak lain adalah tetangganya sendiri sedikit berlari menghampiri Arania.
"Biar aku saja yang membawanya, Ara?" Kata Ujang-pengendara ojek.
"Ah iya. Terimakasih Jang." Ucap Arania pada laki-laki yang terlihat hitam manis itu.
"Berapa lama kira-kira kamu di Jakarta, Ara?" Tanya Ujang.
"Entahlah.. Aku nggak tahu." Pandangan Arania menoleh ke belakang melihat suaminya yang masih berdiri di tempat. Terlihat wajah seriusnya yang dingin sedang mendominasi saat ini. Arania masih saja merasa diabaikan oleh pria itu. Lagi-lagi ia menghela nafasnya dengan kasar, kemudian melanjutkan perbincangannya dengan si Ujang.
Tanpa sepengetahuan Arania sebenarnya Rendra sudah selesai dengan ponselnya sejak tadi. Namun saat ia tahu Arania terlihat akrab dengan laki-laki lain, dirinya tidak menyukainya. Ada rasa yang tak nyaman dalam hatinya kala Arania berbincang dengan pria lain. Rahangnya mengeras, jemarinya mengepal kuat tersembunyi dalam saku celananya.
Tak lama tukang ojek yang lainnya menghampiri Rendra. "Apakah sudah siap, Tuan. Ada barang-barang yang perlu dibawakan?"
"Tidak." Jawabnya dingin. Kemudian melenggang ke luar serta mengunci pintu.
'Busett nih orang, ganteng-ganteng dinginnya kaya kulkas dua pintu.' Gumam tukang ojeg itu.
"Ini." Ucap Rendra datar sembari menyerahkan kunci rumah kepada Arania. Gadis itu hanya menerimanya tanpa banyak kata-kata. Kemudian Arania mulai menaiki motor Ujang dan berpegangan di perut tukang Ojek itu.
Lagi-lagi ada perasaan yang tidak senang di hati Rendra. Tanpa ada aba-aba Rendra mendekat ke arah Ujang yang akan melajukan motornya.
"Sini, biar saya saja yang bawa motornya." Ujar Rendra membuat Ujang terkejut.
"Apa? Lalu aku?"
"Kau bisa berboncengan dengan teman mu itu. Biar saya yang berboncengan dengan istri saya. Kalian bisa memandu kami di depan." Ucap Rendra dengan tegas.
Arania hanya melongo melihat kelakuan suaminya itu. Setelah Ujang beralih ke motor temannya, Rendra langsung mengambil alih kemudi motor.
"Sudah sewajarnya kamu bersama saya. Kamu istri saya. Jadi, jangan dekat-dekat dengan pria lain selain saya. Mereka bukan mahram." Ucap Rendra yang membuat Arania hanya bisa mengerjap-ngerjapkan bola matanya.
Rendra menghela nafas kasarnya setelah beberapa saat menunggu gadis itu tak kunjung berpegangan padanya. Tak ada sentuhan apapun oleh gadis yang ada di belakangnya. Sedangkan tadi pada Ujang saja ia tak segan-segan berpegangan sebelum motor mulai melaju.
Dalam pikiran Arania, 'Ada apa dengan lelaki ini kenapa dari tadi hanya diam mematung tanpa melajukan motornya?'
"Sudah belum?" Ucap Rendra tiba-tiba membuyarkan pikiran Arania.
"Apanya yang sudah?" Jawabannya polos.
"Kamu, apa sudah siap aku bawa berkendara?"
"Tentu, sudah siap dari tadi." Jawab Arania.
"Kamu tidak ingin berpegangan? Baiklah kalau begitu."
Greenggg...
Seketika Rendra menggores gas motor dengan keras hingga motor tersentak sehingga tubuh Arania terasa akan terhempas. Seketika tangan mungil Arania mencengkeram kuat tubuh Rendra dari belakang. Pria itu, mengangkat sedikit sudut bibirnya. Tersenyum penuh kemenangan.
'Astaghfirullah... ada apa dengan lelaki ini?' batin Arania saat motor telah membawanya melaju sangat kencang.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!