NovelToon NovelToon

Pengantin Samaran Milik Tuan Muda Pura-Pura Buruk Rupa Dan Lumpuh

1. Kesepakatan Dan Menjadi Pengantin Samaran

“Pakai cadar itu. Aku sudah menyiapkan banyak pakaian bercadar untukmu. Agar penyamaran yang kamu lakukan, tidak ketahuan.”

“Apa pun yang terjadi nanti, aku tidak peduli. Kamu harus tetap menggantikan aku, menjadi pengantin samaran untuk si lumpuh dan buruk rupa tuan muda dari keluarga Lucas bernama Langit itu. Karena aku sudah membantu biaya pengobatan kanker serviks ibumu.”

“Jadi, jika kamu harus mengurusnya, bahkan memenuhi kebutuhannya di ranjang, itu sudah menjadi risiko kamu. Karena aku sudah membayar mahal untuk apa yang akan kamu lakukan.”

Agnia menjelaskan penuh keangkuhan. Wanita bertubuh semampai berambut sebahu dan sengaja agak dibuat ikal itu menatap arogan wanita bertubuh tak lebih tinggi darinya. Di hadapannya, wanita muda berkulit putih bersih layaknya dirinya, menunduk patuh kepadanya.

“Satu hal yang ingin saya minta, Non,” ucap Dita yang perlahan memberanikan diri untuk menatap kedua mata anak majikannya. Kedua mata yang memakai soft lens warna hanzel itu lagi-lagi menatapnya dengan tatapan menyepelekan. Hal yang sebenarnya sudah biasa Dita dapatkan, tapi lagi-lagi membuat Dita tidak nyaman. Perlakuan Agnia kepadanya begitu merendahkan harga dirinya.

“Katakan,” singkat Agnia tajam. “Bisa-bisanya anak pembantu rendahan sepertimu menyela bahkan tampaknya akan mengajukan tawaran kepadaku!” kecamnya tak segan mencibir.

Mendapat kecaman dari anak majikannya, sebenarnya hati Dita dongkol. Namun apa daya, dirinya sedang butuh banyak uang untuk biaya pengobatan sang ibu. Sedangkan Agnia menjadi orang yang memberinya biaya pengobatan, asal Dita mau diajak kerja sama.

Sesuai kesepakatan, nantinya Dita harus menjadi pengantin samaran untuk tuan muda dari keluarga Lucas, bernama Langit Putra Lucas. Kabarnya, Langit yang dulunya sangat tampan bahkan sempurna, sudah nyaris menikah dengan Agnia. Namun, Langit menjadi lumpuh dan mengalami kerusakan fatal di wajah kanannya, akibat kecelakaan lalu lintas yang dialami pria itu bersama Agnia. Sedangkan akibat kecelakaan itu, Agnia jadi amnesia dan tak sudi berurusan apalagi menikah dengan Langit lagi. Itu kenapa, Dita dijadikan sebagai pengantin samaran untuk Langit oleh Agnia.

“Bisakah Non membuat nama saya yang disebut di ijab kabul oleh mas Langit?” ucap Dita.

“Kenapa begitu? Cari mati kamu?!” bengis Agnia yang memang tak segan menghajar Dita, jika anak pembantunya itu berani berulah.

“Tentu harus begitu karena Non sendiri yang tadi bilang. Selain harus mengurus mas Langit, nantinya saya juga tidak boleh menolak jika mas Langit meminta saya melayaninya di ranjang. Dengan kata lain, intinya kesepakatan ini membuat saya harus menjalani peran sebagai seorang istri seutuhnya. Masalahnya, saya tidak mau melakukan zina, bahkan walau Non berdalih siap menanggung dosanya!” tegas Dita. “Satu lagi, Non. Saya memang dari kalangan bawah. Saya anak pembantu orang tua Non, dan kami kerap dianggap rendahan. Namun sampai kapan pun, kami tidak akan bersikap apalagi menjadi orang rendahan!”

“Jangan lupa, jika saya tidak mau melanjutkan kesepakatan ini, Non tetap harus melanjutkan pernikahan Non dengan mas Langit sendiri. Terlebih hanya membuka cadar saja semuanya akan tahu bahwa saya bukan Non!”

“D–Dita, ... kamu berani mengancam aku? Hah ...? Aku ini—”

“Iya ... saya tahu. Namun saya tidak mau melanjutkan kesepakatan ini andai Non tidak bisa membuat identitas saya yang disebut saat ijab kabul. Mengenai cara yang akan Non tempuh, itu terserah Non. Namun–”

“Oke, Dit. Oke! Sudah, mulutmu enggak usah berisik!” Agnia sengaja memotong ucapan Dita yang baginya sangat tidak jelas sekaligus mengganggu.

“Ingat, pakai semua perawatan yang aku sediakan. Agar orang-orang tak mengenalku sebagai orang berbau orang miskin!” tegas Agnia meledak-ledak.

“Memangnya sejak kapan, bau juga ada spesifiknya? Aku rasa tubuhku enggak bau, bahkan meski enggak pakai parfum. Karena aku juga enggak punya bau badan,” pikir Dita refleks mengendus aroma tubuhnya sendiri.

“Kamu juga enggak usah kasih tahu siapa pun bahwa aku sengaja pergi demi menghindari pernikahanku dan Langit!” bawel Agnia masih marah-marah.

Tak lama kemudian, Dita membantu Agnia merapikan barang-barang wanita itu ke dalam koper besar berwarna lilac.

“Cepat pakai cadar dan ganti pakaianmu. Mulai sekarang juga kamu harus berpenampilan bersahaja seperti yang pihak si lumpuh itu minta!” marah Agnia.

“Ya Allah ... dosa enggak sih karena biar bagaimanapun, apa yang akan aku lakukan terbilang penipuan?” pikir Dita yang sebenarnya merasa sangat bersalah. Karena seperti yang ia pikirkan, apa yang ia lakukan tergolong penipuan.

Hingga akhirnya keesokan harinya tiba. Hari yang menjadi hari pernikahan Agnia dan Langit, Dita merasa menjadi orang yang sangat bersalah sekaligus berdosa.

“Mas Langit, ... aku bersumpah akan mengabdi sekaligus menjadi istri yang baik untuk Mas!” batin Dita yang akhirnya turun dari lantai atas selaku lantai kamar Agnia berada.

Di lantai bawah sana, suasana sudah ramai karena ijab kabul memang akan dilangsungkan di sana. Dita dapati, pria gagah yang duduk di kursi roda dan memakai setelan pakaian pengantin warna putih layaknya dirinya. Tak kalah mencolok, tentu keberadaan topeng yang menutupi wajah kanan si pria. Dita yakin itu lah Langit Putra Lucas yang akan menjadi suaminya.

Hijab syari lengkap dengan cadar putih, menyempurnakan penyamaran Dita dalam menjadi Agnia. Sementara Agnia, wanita itu sudah pergi entah ke mana. Yang jelas dari siang kemarin, Dita sudah menjadi Agnia melalui penyamarannya menggunakan pakaian syari lengkap dengan cadar.

“Demi ibu, ... aku ikhlas!” batin Dita yang sadar, kedatangannya sudah langsung mencuri semua perhatian di sana.

Lima puluh pasang mata, menjadikan Dita yang mereka kira Agnia, sebagai perhatian. Decak kagum terus terlontar dari bibir sekaligus cara mereka menatap Dita. Karena walau hanya terlihat sepasang mata di antara kulit wajah yang putih mulus tanpa sentuhan rias berarti, Dita memang sangat cantik.

Jantung seorang Langit sudah langsung mulai berdebar-debar karenanya. Senyum di wajahnya juga tak mau usai hanya karena kehadiran Dita yang ia kira sebagai Agnia-nya. “Pakai syari cadar gitu, dia makin cantik. Adem banget lihatnya,” batinnya kepada Dita yang baru saja membungkuk hormat kepadanya maupun rombongan keluarga yang ada di sekitarnya. Dita menyapa tanpa sepatah kata dan hanya melalui gerakan.

“Pa, kok rasanya beda dari Agnia yang biasa, ya?” bisik ibu Azzura–selaku mama dari Langit, kepada pak Excel Lucas sang suami.

Kebetulan, ibu Azzura dan pak Excel Lucas, masih berdiri di kanan kiri kursi roda Langit duduk.

“seperti bukan Agnia yang kita kenal?” komentar pak Excel Lucas, dengan suara lirih juga.

“Ma, ... Pa, udah dong jangan buruk sangka terus. Agnia terasa beda karena biasanya dia enggak berpenampilan seperti ini. Ini bukti Agnia tulus kepadaku karena dia tetap mau menikah denganku walau aku kalian minta untuk tetap pura-pura lumpuh dan buruk rupa. Butuh tiga tahun untukku bisa kembali seperti ini. Sementara alasanku mau bangkit pun masih karena Agnia!” tegur Langit.

Pada akhirnya, bujukan dan arahan dari Langit, bisa diterima kedua orang tuanya yang memang kurang setuju kepada Agnia. Keadaan yang telah terjadi sebelum Langit dan Agnia mengalami kecelakaan lalu lintas fatal. Yang mana selama tiga tahun terakhir pula, hubungan mereka benar-benar kacau. Tiga tahun terakhir mereka alami penuh emosional. Terlebih sejak awal setelah amnesia, Agnia menolak melanjutkan pernikahan. Barulah setelah Langit dengan bodohnya menyuntikan banyak dana ke perusahaan orang tua Agnia, perlahan tapi pasti keadaan mulai berubah. Tampaknya Agnia juga dipaksa orang tuanya untuk tetap melanjutkan dengan Langit.

Hanya saja, ketika nama Dita yang harus disebut di ijab kabul, Langit sekeluarga jadi ragu. Walau Pak Ardi selaku papa Agnia menjelaskan, bahwa nama Dita Sekar Arum, merupakan nama baru Agnia setelah kecelakaan.

“Ya Allah tolong lancarkan ya Allah, tolong lancarkan! Hamba janji akan menjadi istri yang sangat baik untuk mas Langit!” batin Dita ketakutan. Dita yang duduk terpisah dari Langit, sampai gemetaran.

Tak lama kemudian, Langit yang tetap duduk di kursi roda, berangsur menoleh dan menatap calon istrinya. Wanita yang ia yakini sebagai Agnia itu ia pergoki terus menunduk gelisah bahkan gemetaran. Hatinya sudah langsung terluka hanya kerena keadaan tersebut.

“Jika itu nama baru Agnia, kenapa nama walinya juga sampai diganti juga, Pak Ardi?” todong pak Excel Lucas menuntun penjelasan. Akan tetapi, bukan hanya pak Excel Lucas saja yang butuh penjelasan tersebut. Melainkan semuanya, termasuk juga dari keluarga Agnia yang memang baru tahu.

“Innalilahi ....” batin Dita yang detik itu juga merasa, bahwa dunianya mendadak berhenti berputar. Tak lama kemudian, tatapannya yang sempat mengawasi sekitar, bertemu dengan tatapan kedua mata Langit walau mata kanan Langit ada di antara topeng yang menutupi. Selain itu, sebelum Dita menatap Langit, ternyata pria itu juga sudah lebih dulu menatapnya.

Ketegangan di sana jadi makin menjadi karena pertanyaan dari sang penghulu yang menanyakan kelanjutan ijab kabul. Apakah akan tetap dilanjutkan, atau justru sebaliknya?

❤️❤️❤️❤️❤️

Assalamualaikum. Novel baru dan tolong bacanya kompak urut ya. Mohon doanya. Insya Allah aku ikutkan buat lomba. Sudah lihat blurb-nya, kan? Kurang lebih begitu gambarannya ❤️

2. Mengurus Suami Lumpuh Dan Nafkah Batin

“Sekarang, urus suamimu. Bantu dia melakukan apa pun termasuk mandi. Selebihnya, kamu cukup meringankan pekerjaannya. Karena meski dia harus menghabiskan waktunya di kursi roda, dia masih aktif mengurus usaha keluarga,” ucap ibu Azzura yang menyikapi Dita dengan sangat dingin.

Ibu Azzura menatap Dita yang telah memakai cadar hitam layaknya dirinya, dengan tatapan tajam. Dari tatapan maupun ucapannya, tampak jelas jika ibu Azzura tidak menyukai Agnia.

“I—ya, ... Ma!” berat Dita tak berani menatap ibu Azzura secara terang-terangan. Ia bahkan cenderung menunduk. Karena baginya, ada yang tidak beres hingga dirinya mendapat sikap yang begitu dingin dari ibu Azzura.

“Entah dosa apa yang sudah non Agnia buat, hingga ibu Azzura yang aku yakini sebenarnya memiliki sifat sangat baik, menyikapinya dengan sangat dingin. Aku yakin, alasan ibu Azzura begini kepadaku karena beliau mengira aku sebagai non Agnia. Atau jangan-jangan, ibu Azzura memang sudah tahu watak asli non Agnia? Karena kepadaku saja, non Agnia memperlakukanku layaknya memperlakukan sampah!” batin Dita.

Beres ijab kabul, Dita memang langsung diboyong ke kediaman orang tua Langit. Selanjutnya, Dita yang disikapi dingin oleh orang tua Langit sejak awal pertemuan mereka, diminta untuk mandi sekaligus siap-siap mengurus Langit.

Di lain sisi, alasan ibu Azzura menyikapi Dita dengan sangat dingin, murni karena wanita itu tidak menyukai Agnia. Ditambah lagi saat ijab kabul sekitar empat jam lalu, Agnia dan orang tuanya kembali berulah. Bisa-bisanya mendadak ubah identitas dari identitas biasanya, dan itu untuk keperluan pernikahan yang tentunya sangat sakral. Baik Agnia yang jadi bernama Dita, juga sang papa yang namanya jadi pak Lasman.

“Dasar keluarga aneh! Semoga saja setelah ini, topeng busuk Agnia terbongkar. Agar Langit berhenti berharap kepadanya! Bisa-bisanya Agnia mendadak lugu, bercadar seperti sekarang. Pasti dia sengaja agar Langit makin tersentuh, hingga dia makin mudah mengendalikan Langit! Agar dia bisa menjadikan Langit sebagai ATM berjalannya!” batin ibu Azzura. Tanpa pamit bahkan sekadar untuk basa-basi, ia langsung pergi.

Kepergian ibu Azzura membuat Dita bergegas mencari Langit. Namun, ia yang baru pertama kali di sana bingung harus mencari ke mana. Sementara baru saja, ibu Azzura masuk ke dalam lift di sudut lorong kanannya. Karenanya, Dita berinisiatif menyusul. Ia meminta izin dengan sangat santun menanyakan keberadaan Langit yang otomatis telah menjadi suaminya.

“Permisi, maaf, ... dia mengatakannya kepadaku? Sebenarnya dia kenapa?” pikir ibu Azzura terheran-heran kepada menantunya.

Dirasa ibu Azzura, Agnia yang telah menjadi menantunya, sangat berbeda dengan Agnia yang selama ini ia kenal. Agnia yang dulu ibu Azzura kenal, merupakan sosok wanita sok independen, tapi sebenarnya sangat manja dan berbakat menguras uang Langit. Namun yang sekarang, berdiri saja selalu berjarak darinya sambil terus menunduk.

Kini, meski berada dalam satu lift, keduanya tak sampai terlibat obrolan apa pun. Dan lagi-lagi, Dita yang ibu Azzura maupun semuanya ketahui merupakan Dita, mengucapkan terima kasih sesampainya mereka di lantai bawah. Lantai di mana Langit ada di sana bersama papa maupun sanak saudaranya.

Akan tetapi, nyatanya bukan hanya ibu Azzura yang dibuat heran dengan sikap baru Agnia mereka. Kata maaf, terima kasih, sekaligus turut kata lain yang sangat santun, sukses membuat mereka terbengong-bengong tak percaya. Beda lagi bagi Langit yang dengan bangga memamerkan, bahwa wanita yang telah ia peristri merupakan wanita istimewa. Sudah mau menikah dengannya walau ia pura-pura lumpuh sekaligus buruk rupa, kepada keluarga besarnya pun, Agnia-nya sangat santun.

Langit : Ma, aku enggak perlu pura-pura lagi, kan?

Pesan tersebut, Langit ketik untuk sang mama, bertepatan dengan dirinya yang masih berada di dalam lift bersama Dita. Lebih tepatnya, Dita berdiri di belakangnya, dan memang yang mengurusnya.

“Mas, katakan saja jika aku salah atau setidaknya keliru, ya!” lembut Dita sambil mendorong kursi roda Langit berada. Mereka baru sampai.

“Sampai detik ini, suara Agnia masih saja berbeda dari biasanya. Apa karena sekarang, Agnia pakai cadar?” pikir Langit yang kemudian juga mengira, perubahan suara Agnia yang kini menjadi lirih, efek karena istrinya itu sedang flu sekaligus sedang kurang enak badan.

“Sayang, ... kamu lupa keberadaan kamarku yang akan menjadi kamar kita?” tegur Langit lantaran sang istri mengambil lorong yang salah.

Harusnya Dita membawa Langit ke lorong kiri, tapi malah sebaliknya. Dita membawa Langit ke kanan. Selain baru pertama kali di sana, kenyataan rumah orang tua Langit yang terlalu besar menjadi alasan Dita nyasar. Dita belum terlalu paham, tapi kemudian otaknya berusaha mengingat-ingat, agar selanjutnya ia tak lagi tersesat.

“Maaf, Mas ... aku lupa,” santun Dita masih berucap lirih.

“Kamu lupa?” refleks Langit terdengar heran bahkan itu di telinga Dita yang menerima pertanyaannya.

Ketegangan seketika menguasai Dita. Jantung Dita refleks berdetak sangat kencang, selain tubuhnya yang jadi meremang. Namun segera, Dita mencari alasan agar Langit tak lagi curiga. Alasan yang tentu masuk akal dan bisa diterima oleh Langit.

“Masa iya, belum dua puluh empat jam, sudah ketahuan? Yang ada non Agnia enggak lanjut bayar pengobatan Ibu!” batin Dita ketar-ketir.

Untungnya seperti yang sebelum-sebelumnya, kali ini Dita bisa mengatasinya. Dita berhasil membuat Langit percaya bahwa alasannya lupa keberadaan kamar Langit, murni Dita lupa akibat amnesia yang dialami.

“Ini aku beneran akan memandikan mas Langit? Meski beliau lumpuh, beliau masih normal dan sepertinya, beliau sangat mencintai non Agnia. Selama bersama sejak ijab kabul tadi saja, mas Langit selalu jadi garda terdepan dalam melindungiku, bahkan dari keluarganya,” batin Dita yakin, akan terjadi sesuatu saat nanti dirinya memandikan sang suami. Yang namanya laki-laki, jangankan dengan istri sendiri dan itu wanita yang sangat dicintai, sekadar iseng asal sama-sama mau saja, bisa terjadi sesuatu–pikir Dita.

Dita telah berhasil membantu melepas dasi, jas, maupun kemeja lengan panjang warna putih yang Langit pakai. Tubuh bagian atas Langit hanya tinggal memakai kaos tipis tanpa lengan warna putih. Belum apa-apa Dita sudah sangat tegang. Dita yang awalnya berdiri di hadapan Langit setelah menyisihkan apa yang ia lepas ke wastafel, berangsur jongkok kemudian berlutut di hadapan Langit.

Sampai detik ini, walau awalnya melakukan segala sesuatunya dengan cekatan, Dita jadi makin irit bicara. Kenyataan mereka yang makin tak berjarak, menjadi alasannya. Yang mana makin dekat jarak wajah mereka, makin sibuk pula Dita membatasi pandangannya dari kedua mata Langit yang menatapnya penuh cinta.

Bukan Dita yang membuat wajah mereka makin dekat. Karena yang ada, Langit yang terus mendekat, membuat wajah mereka tak berjarak. Dita masih bertahan berlutut di hadapan Langit, sambil memulai melepas ikat pinggang Langit. Namun entah mengapa, apa yang Dita lakukan, membuat dunianya seolah berputar lebih lambat. Kedua tangannya terlalu gugup hingga tak kunjung berhasil membuka kaitan kepala ikat pinggang Langit. Malahan, kedua tangan Langit menyusul, meraih kedua tangan Dita. Kedua tangan Langit tersebut menggenggam kedua tangan Dita dengan sangat lembut.

Jantung Dita seolah nyaris rusak sekaligus copot, ketika telinga kanannya merasakan hangatnya napas Langit yang tetap mengusiknya, meski kini ia masih bertahan memakai hijab sekaligus cadar. Bibir Langit menjamah telinga kanan Dita, dengan belaian lembut. Membuat kedua tangan Dita yang masih digenggam kedua tangan Langit, refleks menggenggam tangan yang menggenggamnya erat.

Sensasi aneh terus Dita rasakan seiring kesibukan bibir Langit yang menyibak hijabnya, sebelum akhirnya mengabsen bibirnya.

“Bisa, layani aku sekarang juga? Ayo kita lakukan sekarang juga!” bisik Langit terdengar sangat nakal bahkan di telinganya sendiri.

Detik itu juga, Dita yang sampai jadi berkaca-kaca karena menahan sensasi yang Langit ciptakan, refleks menatap kedua mata Langit. Napas Dita tidak bisa untuk tidak memburu, walau sebisa mungkin ia berusaha mengontrolnya.

Langit yang sampai detik ini masih memakai topeng silver di wajah kanannya, menatap kedua mata Dita penuh minat. Tatapan yang sudah Dita pahami maksudnya. Bahwa pria yang sudah menikahinya itu menginginkannya memenuhi kebutuhan batinnya. Iya, ini sungguh mengenai nafkah batin, tanpa memandang keadaan Langit yang lumpuh—pikir Dita yakin seyakin yakinnya.

3. Kecurigaan yang Makin Kuat

“Kenapa bukan aku saja yang harus kamu nikahi? Kenapa harus non Agnia, dan kenapa mendapatkan biaya pengobatan ibu harus sesulit ini? Andai memang harus aku yang menikah denganmu, aku tidak masalah jika harus menikah dengan pria buruk rupa maupun lumpuh sekalipun. Begini jauh lebih dibenarkan ketimbang aku menipumu apalagi bekerja menjadi pelacur. Apalagi ternyata, mas Langit masih mengurus usaha keluarga. Mas Langit masih bekerja. Walau aku juga mau-mau saja ikut bekerja membantu perekonomian keluarga kami. Asal Mas Langit tanggung jawab, ... aku beneran enggak masalah harus mengabdikan hidupku ke mas Langit sekeluarga. Daripada seperti ini ... apa yang harus aku lakukan agar meski aku sedang ‘melayaninya’, mas Langit enggak melihat wajahku?” batin Dita refleks mundur lantaran tangan kanan Langit menyibak cadarnya.

“Kenapa? Apakah aku tidak boleh membuka cadarmu?” lirih Langit sambil menatap heran Dita.

“B—bukan begitu, Mas!” sergah Dita yang sudah sibuk menggeleng.

“Mas lagi. Lagi-lagi Agnia memanggilku Mas. Panggilan yang aku dapatkan per hari ini, semenjak akhirnya kami resmi menjadi pasangan suami istri. Panggilan cukup aneh bagi wanita seperti Agnia, yang selalu anti memanggil orang dengan panggilan receh. Atau, ini efek amnesianya? Biasanya dia memanggilku sayang atau setidaknya nama. Tak jarang, Agnia juga akan memanggilku loe gue. Namun ini, ... selain selalu memanggilku Mas, dia juga selalu bertutur lirih penuh kelembutan,” batin Langit menatap curiga kedua mata Dita.

“A—aku, ... malu, Mas!”

“Kamu malu memiliki suami sepertiku yang lumpuh dan b u r u k rupa?” refleks Langit langsung berubah jadi sinis.

Semenjak kecelakaan fatal yang dialami dan membuatnya sempat lumpuh sekaligus mengalami kerusakan parah di wajah sebelah kanannya. Langit memang menjadi pribadi yang tempramental. Terlebih setelah Agnia amnesia, Agnia jadi menolak Langit berulang kali. Kenyataan tersebut membuat sisi psikopat dalam diri Langit, makin kuat.

“B–bukan, Mas! Maksud maluku karena aku malu jika ada orang lain bahkan meski itu suamiku, melihatku dalam keadaan tak berbusana. Karena jangankan orang lain, aku saja merasa malu jika melihat tubuhku tak berbusana. Bagaimana jika kita melakukannya malam atau sebelum subuh? Waktu malam sampai subuh, aku siap berapa kali pun Mas mau—” Dita yang sempat sibuk menggeleng sambil menjelaskan, nekat langsung menyambar bibir bawah Langit. Sebab tangan kanan Langit nekat menyibak cadarnya dengan kasar.

Walau ulah Langit nekat menyibak cadarnya dengan kasar sukses membuat jantungnya seolah copot. Dita bergegas melakukan segala cara agar penyamarannya tidak ketahuan. “Ibu butuh biaya dan jumlahnya enggak main-main. Enggak apa-apa lah, jadi pelacur untuk suami sendiri!” batin Dita menyemangati dirinya sendiri.

Demi membuat kedua tangan Langit tak membuka cadarnya, Dita sengaja meraih kedua tangan Langit dan membuat ruas jemari tangan mereka mengisi satu sama lain. Melalui ulahnya itu, Dita mengunci kedua jemari tangan Langit.

“Jangan buka cadarku dulu. Aku belum terbiasa, tapi tanpa harus membuka cadar, aku akan melayani Mas dengan sebaik mungkin!” ucap Dita lirih tapi cepat dan memang ngos-ngosan akibat apa yang ia lakukan. Bukan hanya karena ia yang serba memulai, termasuk memulai c i u man bibir penuh paksaan sekaligus bergairahnya dengan Langit. Namun, Dita juga baru pertama kali melakukan hubungan suami istri, tapi takut Langit mengambil alih kemudian menyibak cadarnya, juga jadi ketakutan.

Selain takut Langit mengambil alih kendali percintaan mereka, hingga Langit melakukan apa pun kepadanya dengan leluasa. Yang paling membuat Dita ketakutan ialah kenyataan Langit yang menyibak cadarnya sementara kini bukan dalam keadaan gelap gulita.

“Aku beneran bingung. Tolong permudah ya Allah. Aku janji akan mengabdikan hidupku kepada suamiku!” batin Dita yang perlahan kembali m e l u m at bibir Langit, dan lagi-lagi langsung mendapatkan balasan dari Langit.

Tak lama kemudian, ulah Dita yang telanjur menyulut gairahnya, membuat Langit refleks berdiri. Kenyataan tersebut Dita sadari, tetapi Dita tak sedikit pun curiga bahwa Langit hanya pura-pura. Malahan kenyataan tersebut membuat Dita berpikir bahwa Langit mengharapkan sentuhan sekaligus tahap lanjutan dalam percintaan panas yang telanjur Dita mulai.

“M–Mas ... aku enggak yakin bisa melayani Mas, jika Mas tetap di kursi roda. Kita pindah ke kasur atau sofa saja ya?” sergah Dita yang sengaja melakukannya dengan buru-buru. Alasannya melakukannya murni agar Langit tak menyibak cadarnya.

Sepanjang percintaan panas yang mereka lakukan, walau Dita juga melepas tuntas pakaiannya layaknya yang ia lakukan kepada Langit. Dita tak sampai melepas hijab maupun cadarnya.

Serba buru-buru dan tetap tak mengizinkan Langit menyibak cadarnya terus Dita lakukan. Kedua jemari tangan Langit terus Dita tahan. Walau ketika Dita kembali di posisi tas, Dita kecolongan dan membuat Langit menarik tuntas hijab maupun cadarnya hingga lepas. Jantung Dita seolah benar-benar sudah copot karenanya. Namun lagi-lagi, Dita melakukan segala cara. Setelah buru-buru menutupi wajah menggunakan kedua tangan, Dita juga sengaja ganti posisi dan membelakangi wajah Langit.

“Ya ampun ... sudah sakit banget begini, paha saja sampai gemetaran, ... aku juga masih harus menyembunyikan wajahku,” batin Dita yang sudah terisak-isak karena kesakitan akibat robeknya selaput darah miliknya. Kendati demikian, tak sedikit pun ia mengeluh atau setidaknya merintih kesakitan.

“Kok aku makin enggak yakin kalau ini Agnia, ya? Walau warna kulit mereka sama, gaya rambut mereka sangat berbeda. Agnia berambut lembut kecil-kecil kecokelatan, sementara dia tebal lurus hitam. Selain itu, sepertinya tubuh dia juga lebih pendek dari Agnia yang aku kenal. Dan ... dia bahkan masih perawan. Padahal dulu Agnia mengaku sudah enggak perawan karena saat SMA, dia pernah pacaran kebablasan, dan aku bisa terima itu,” batin Langit sengaja mencoba duduk kemudian mendekap hangat tubuh Dita.

“Duduk dulu ... aku sudah keluar, ... nanti gampang lanjut lagi,” lanjut Langit sambil menyandarkan wajahnya ke kepala Dita.

Seperti awal percintaan panas mereka, Dita tetap menutupi kedua tangannya. Namun kali ini Langit sengaja main cantik. Langit tak lagi memaksa Dita memperlihatkan wajahnya secara terang-terangan. Karena Langit sengaja memanfaatkan cermin besar di sebelah ranjangnya untuk melakukannya. Melalui pantulan di cermin besar di sebelah, Langit memastikan wajah wanita yang ia nikahi.

“Sakitnya beneran luar biasa. Nyawaku seperti dicabut paksa ya Allah ...,” batin Dita yang kemudian berkata, “Mas, aku boleh langsung izin ke kamar mandi buat bersihin tubuhku dulu? Habis itu, ... aku tinggal urus Mas,” lirih Dita yang masih gemetaran, khususnya bagian paha hingga kakinya.

Mendengar itu, Langit yang telanjur fokus mengawasi pantulan bayangan wajah Dita, refleks bergumam. Yang mana detik berikutnya, dunia seorang Langit seolah berputar lebih lambat hanya karena ia melihat wajah Dita, meski hanya sekilas.

“Kok beda banget, ya? Namun masa iya itu bukan Agnia? Apa-apaan? Lantas, sejak kapan keperawanan, bisa didaur ulang? Masa iya seorang wanita yang sudah enggak perawan, bisa jadi perawan lagi?” batin Langit masih melepas kepergian Dita yang memasuki kamar mandi di sebelah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!