"Telan makanan itu!!! Ayo, telan!"
Dengan membabi-buta, seorang wanita paruh baya terus memasukkan makanan basi ke dalam mulut seorang wanita yang terduduk di lantai.
"Uhuk!!! Makanannya sudah basi, Bu!" kata perempuan itu dengan air mata yang terus keluar dari sepasang matanya.
"Memangnya, kenapa kalau basi?" tantang sang ibu mertua. "Toh, ini masih makanan, kan?" lanjutnya.
"Itu memang makanan. Tapi, itu sudah tak layak konsumsi. Ibu mau meracuni aku?"
Perempuan paruh baya dengan konde di kepala itu terlihat tersenyum sinis.
"Kamu itu gembel, Kalila!" Ia menoyor kepala perempuan muda bernama Kalila tersebut. "Wajar kalau makan makanan basi seperti ini. Ngerti, kamu?"
"Aku menantu Ibu," ujar Kalila penuh penekanan.
"Kamu itu menantu yang tidak berguna! Harusnya, kamu lebih sadar diri, Kalila! Kamu itu perempuan miskin yang tidak jelas asal-usulnya. Huh!" Perempuan tua itu mendengus kasar. "Kasihan sekali putraku! Masa' seorang pemilik toko meubel terkenal, istrinya malah kayak gini, sih? Apa yang harus dibanggakan dari perempuan sial seperti kamu, Kalila?"
Ditariknya rambut Kalila dengan kasar. Dan, perempuan muda itu hanya terlihat pasrah.
Ia tak melawan meski sebenarnya sangat mampu. Ia ikhlas diperlakukan semena-mena oleh sang Ibu mertua demi menunaikan janji pada sang suami.
"Tolong, apapun yang Ibu lakukan terhadap kamu, jangan melawan ya, Sayang! Ibu itu sudah tua. Wajar, kalau beliau terkadang emosinya meledak-ledak. Jadi, sebagai anak, kita harus sabar dan pasrah. Kalau kita melawan, nanti yang ada... Ibu malah semakin mengamuk. Ya?"
"Asal Mas janji untuk selalu setia sama aku, maka aku pun janji akan selalu patuh sama perintah Mas. Aku nggak akan melawan Ibu sedikit pun."
"Ya, Mas janji! Mas akan selalu setia sama kamu. Kamu juga janji, ya! Jangan melawan sama Ibu?"
Kala itu, Kalila hanya mengangguk patuh. Demi cintanya pada sang suami, ia ikhlas diperlakukan jahat oleh Ibu mertua sendiri.
Bahkan, tak hanya sang Ibu mertua. Kakak iparnya juga turut melakukan hal yang sama. Dan, lagi-lagi, Kalila hanya diam dan pasrah karena Firman sang suami benar-benar berhasil membuat dirinya jadi tunduk sepenuhnya.
"Kenapa malah ngelamun? Makan makanan basi itu, sekarang!" bentak sang ibu mertua yang langsung membuyarkan lamunan Kalila.
Dengan tangan bergetar, Kalila meraup makanan yang sudah berceceran diatas lantai. Ia menyuapnya ke dalam mulut sambil menitikkan air mata.
Detik itu juga, sang Ibu mertua langsung tertawa terbahak-bahak. Dia puas melihat menantunya yang kini tak ubahnya bagai seekor hewan berkaki empat dimatanya.
"Habiskan! Jangan sampai ada sisa!" kata sang Ibu mertua lagi dengan mata melotot.
Kalila hanya menangis tanpa suara sambil terus memaksa makanan itu untuk masuk ke dalam lambungnya.
Hingga akhirnya, Kalila tak tahan lagi. Gegas, dia berdiri lalu berlari menuju ke kamar mandi.
Hoek!!
Semua makanan tak layak konsumsi itu kembali keluar dari mulutnya.
"Heh! Dasar menantu tak bersyukur! Sudah diberi makanan malah dimuntahkan! Memang nggak tahu diri kamu, ya!"
Dari arah belakang, sang Ibu mertua tiba-tiba datang dan mendorong tubuh Kalila.
Sontak saja, perempuan itu jatuh ke depan dengan kepala yang seketika membentur bak penampungan air didalam kamar mandi pembantu tersebut.
Buk!
Kalila merasa pusing. Segala sesuatu disekelilingnya seperti berputar-putar. Dalam sekejap, semua tiba-tiba mendadak jadi gelap.
*
"Kalila, Sayang! Kamu sudah sadar?"
Samar-samar, Kalila mendengar suara sang suami disekitarnya. Dibukanya mata dengan perlahan lalu berusaha mengingat-ingat tentang kejadian yang telah menimpanya beberapa saat yang lalu.
"Kamu kenapa bisa jatuh dikamar mandi, sih?" tanya Firman lagi.
Pria dengan kulit hitam manis itu mengusap lembut kepala sang istri.
"A-aku..."
"Istrimu memang bebal, Firman! Padahal, Ibu sudah bilang, kalau kamar mandi pembantu tidak usah dibersihkan. Tapi, tetap saja dia ngeyel! Dia malah tetap ke sana dan akhirnya malah berakhir seperti ini. Bikin repot semua orang!" potong sang ibu mertua dengan sewot.
Kalila yang masih sangat lemah berusaha untuk menyangkal. Sayangnya, dia tak punya sedikitpun tenaga untuk melakukan hal itu.
Sedari pagi, dia belum diberi makan sedikit pun kecuali nasi basi tadi siang. Dan, jika Kalila tak salah menebak waktu, sekarang sudah hampir memasuki waktu Maghrib.
"La-par," lirih Kalila.
"Lapar? Kamu lapar, Sayang?" Tanya Firman memastikan.
Kalila pun mengangguk.
"Bu, tolong ambilkan Kalila makanan!" pinta Firman pada sang Ibu.
"Ya, sebentar," timpal sang Ibu mertua dengan wajah tak ikhlas.
Tak lama kemudian, wanita paruh baya tersebut langsung menuju ke dapur untuk mengambil makanan.
"Huh! Dasar menantu sialan! Bisanya cuma bikin repot!" ketus wanita paruh baya bernama Bu Midah tersebut.
Diambilnya nasi serta dua potong tempe ke dalam piring. Lalu, ia beranjak mengambil segelas air putih untuk sang menantu yang tak pernah dia sukai itu.
"Ini nasinya,"ucap Bu Midah saat kembali ke kamar untuk menemui putra dan menantunya.
"Kok, lauknya cuma tempe, Bu?" tanya Firman memprotes.
"Adanya cuma itu. Lauk yang lain sudah dihabiskan sama kakakmu."
Firman hanya menghela napas pasrah. "Ya sudah, nggak apa-apa. Kalila juga nggak akan keberatan walau hanya makan dengan tempe. Iya kan, Sayang?"
Ingin rasanya Kalila menjerit bahwa ia sudah muak makan berlaukkan tempe. Lihatlah badannya sekarang!
Begitu kurus kering bak tinggal tulang dan kulit. Padahal, dulu perempuan berkulit putih dengan alis tebal itu memiliki bentuk badan yang terbilang sangat ideal. Tubuhnya langsing namun berisi dibeberapa bagian yang membuat lekuk tubuhnya benar-benar terlihat sangat indah.
"Iya, Mas," angguk Kalila pasrah. Demi cintanya pada Firman, lagi-lagi ia membodohi diri sendiri. Mengorbankan perasaan asal bisa terus bersama dengan Firman.
"Ibu mau ke kamar dulu! Pengen istirahat!" pamit Bu Midah kemudian.
"Iya, Bu. Istirahat yang cukup ya, Bu! Jangan sampai sakit kayak Kalila," timpal Firman.
"Iya," sahut Bu Midah sambil keluar dari dalam kamar sepasang suami istri itu.
"Maafin Ibu, ya, Sayang! Aku tahu, kamu pingsan dan berdarah begini pasti gara-gara Ibu, kan?" lirih Firman dengan tatapan sendu penuh rasa bersalah.
Kalila tak menjawab. Ia hanya membuang muka ke arah lain.
"Sayang... please, jangan nyerah, ya! Aku nggak mau ditinggalin sama kamu. Tetaplah bertahan sampai akhirnya Ibu luluh dengan sikap sabar kamu."
"Tapi, mau sampai kapan, Mas? Rasanya, aku sudah lelah. Ibu nggak pernah bisa baik sama aku," keluh Kalila dengan mata berkaca-kaca.
"Bersabarlah sedikit lagi!"
"Aku mau kita pindah dari sini, Mas! Mengontrak rumah yang kecil pun tak apa," pinta Kalila.
"Maaf, Kalila! Tapi, uang Mas belum cukup untuk mengontrak rumah. Kamu sabar, ya!"
"Kalau begitu... tolong beri aku uang pegangan! Setidaknya, cukup untuk aku beli makanan. Aku capek makan sama tempe terus, Mas!"
"Tapi, tadi kamu bilang, kamu nggak keberatan makan sama tempe aja, Sayang!"
"Itu karena aku nggak mau bikin kamu malu didepan Ibu. Kalau aku menolak statement kamu, Kamu pasti merasa rendah diri, Mas!"
"Maaf! Bukannya Mas nggak mau kasih kamu, Kalila!Tapi, semua uang keuntungan toko bulan ini sudah terlanjur Mas setorkan sama Ibu!" ucap Firman dengan wajah penuh penyesalan.
Kalila mendesah samar. Lagi-lagi, ia harus menelan kekecewaan. Sang suami tak pernah bisa adil terhadap dirinya dan juga sang Ibu mertua.
"Jangan marah, Kalila! Maaf, kalau Mas tidak bisa membuat kamu bahagia."
"Aku nggak apa-apa, Mas!" timpal Kalila. Wajah sedih Firman adalah kelemahan terbesarnya. Kalila tak pernah bisa membiarkan suaminya terlihat gagal sebagai suami.
"Sekarang, aku mau tidur sebentar. Boleh?"
"Tentu saja!" Angguk Firman dengan senyuman.
Kalila pun perlahan memejamkan mata. Sementara, Firman ikut berbaring disebelahnya sambil memeluknya dari belakang.
Hampir tiga puluh menit kemudian, dering ponsel membuat Firman terbangun. Buru-buru, pria itu mengangkat panggilan tersebut sambil memastikan sang istri sudah tertidur lelap.
"Aman!" ujar Firman setelah berusaha membangunkan Kalila namun perempuan itu tetap bergeming dengan posisi tidur menyamping, membelakangi Firman.
"Halo! Kenapa, Sayang? Uang kamu sudah habis? Oke, nanti Mas transfer lima juta ke rekening kamu. Jangan lupa, beli lingerie yang bagus karena besok Mas mau main sama kamu."
Degh!
Kalila yang tidak benar-benar tertidur mendengar semuanya. Tangannya mengerat memegang selimut yang dia gunakan.
"Apa kamu selingkuh, Mas?" gumam Kalila dalam hati.
Pagi ini, Kalila bangun seperti biasa. Ia masih mengerjakan pekerjaan rumah dan memasak untuk mertua serta suaminya.
Perihal masalah telfonan sang suami dengan perempuan lain tadi malam, Kalila memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu apa-apa. Walaupun bodoh karena mencintai terlalu buta, namun Kalila tetap perempuan yang menolak keras untuk diduakan.
Apalagi, jika membayangkan nasibnya di rumah ini hanya dijadikan babu sementara wanita itu justru menjadi ratu, membuat Kalila benar-benar meradang. Tidak. Ia tak ikhlas sama sekali.
"Kalila, sarapannya kok cuma segini? Mana cukup buat makan kami berlima," tegur Bu Midah saat tiba di meja makan.
Hanya selang beberapa saat, Firman juga ikut bergabung di meja makan.
"Maaf, Bu. Beras sudah habis," jawab Kalila seadanya.
Bu Midah seketika berdecak.
"Ya, kamu belilah! Masa' gitu aja mesti dikasih tahu?" ketusnya marah.
"Uangnya mana, Bu?" tanya Kalila lagi.
Mata wanita paruh baya itu mendelik. "Kamu berani minta uang sama saya? Uang belanja yang Minggu kemarin saya kasih kemana? Kamu tilep, ya?"
"Minggu kemarin, Ibu cuma kasih uang dua ratus ribu aja untuk Kalila belanja semua kebutuhan dapur. Jelas, sudah habis, Bu!"
"Jangan bohong, Kalila! Uang dua ratus ribu itu banyak! Mana mungkin sudah habis tanggal segini."
"Banyak?" Kalila tertawa sinis. "Kalau begitu, kenapa nggak Ibu saja yang belanja? Kalila mau lihat, bagaimana Ibu bisa mengatur uang dua ratus ribu itu agar cukup untuk makan seminggu."
"Kamu nantangin Ibu? Wah! Nggak benar, ini! Firman, lihat kelakuan istrimu! Dia sudah mulai melawan sama Ibu. Nasib, nasib! Punya mantu perempuan kok begini amat, ya? Sudahlah yatim piatu, miskin lagi. Makanya, nggak punya tata Krama plus nggak bisa lihat duit banyak! Serakah!"
"Dua ratus ribu, banyak?" Lagi-lagi, Kalila tertawa sinis.
"Kalila! Sudah!" tegur Firman. "Jangan melawan sama Ibu!"
Kalila tak menjawab. Dengan sorot matanya yang tajam, ia melengos pergi meninggalkan meja makan.
"Kalila, mau kemana, kamu?" teriak Bu Midah dengan suara menggelegar. "Ini gimana? Kasihan kalau Fika ke sini dan dia nggak dapat makanan sedikit pun! Sana, masak dulu untuk Fika dan keluarganya! Hei! Budeg ya, kamu!?"
Sayangnya, Kalila sama sekali enggan untuk menggubris. Dia terlalu lelah. Jika Firman sendiri sudah mendua, maka tak ada alasan lagi untuk dia terus bertahan.
"Kalila mungkin masih sakit, Bu! Lagian, Ibu juga yang salah. Kenapa sih, pake jorokin Kalila segala? Dia sampai luka begitu, kan? Kalau dia gegar otak, gimana?"
"Ya, salah dia sendiri, Firman! Siapa suruh dia memuntahkan makanan yang sudah susah payah Ibu siapkan untuk dia."
Firman menggelengkan kepalanya. Ia malas melanjutkan perdebatan. Lebih baik dia lekas sarapan lalu berangkat ke rumah sang selingkuhan yang sudah menunggu
"Ibu nggak mau tahu! Kamu harus paksa si Kalila untuk masak lagi. Kasihan, kalau keluarga kakakmu kemari dan mereka tidak makan apa-apa," desak Bu Midah pada putranya.
"Kalau begitu, berikan uang untuk Kalila belanja, Bu!" sahut Firman dengan entengnya.
"Nggak. Ibu nggak mau," geleng Bu Midah.
"Ya sudah, kalau begitu. Terserah Ibu saja! Firman nggak tanggung jawab kalau Kalila terus membangkang. Mau diapakan lagi? Kalila kan memang tidak pernah dikasih pegangan pribadi. Jadi, dia dapat uang darimana untuk belanja kalau bukan dari Ibu?"
Bu Midah mendengkus kasar mendengar ucapan putranya. Wanita paruh baya dengan gaya paripurna itu hanya memalingkan wajah ke arah lain.
Sementara, Firman sendiri sudah pamit untuk segera berangkat. Tak lupa, ia mampir ke kamar pribadinya untuk berpamitan juga kepada istrinya.
"Mas berangkat ke toko dulu ya, Sayang! Kamu baik-baik di rumah! Doakan semoga toko hari ini rame dan banyak pembeli, ya!" pamit Firman pada sang istri.
"Iya, Mas!" angguk Kalila sambil mencium punggung tangan sang suami seperti biasa.
"Halah! Mana mempan doa orang miskin seperti dia, Firman!" celetuk Bu Midah sinis. Rupanya, wanita paruh baya itu mengekori langkah putranya dari belakang. "Kamu bisa sukses dan banyak uang seperti sekarang, itu karena doa dan perjuangan Ibu. Bukan karena doa dan perjuangan perempuan miskin yatim piatu seperti dia!"
Kalila mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia merasa miris didalam hati. Padahal, modal dari toko meubel yang dikelola oleh sang suami adalah hasil dari Kalila menjual seluruh perhiasannya.
Sama sekali tak ada campur tangan sang Ibu mertua dalam usaha tersebut. Ditambah lagi, beberapa pelanggan tetap toko meubel sang suami adalah orang-orang yang memang mengenal Kalila.
Kalila yang melobi sebagian besar pelanggan itu hingga bersedia menjadi pelanggan tetap di toko meubel milik Firman.
"Sudahlah, Bu! Jangan seperti itu! Walau bagaimanapun, Kalila tetap menantu Ibu!"
"Huh! Terus saja kamu bela perempuan itu biar dia semakin besar kepala!" ujar Bu Midah sambil menghentakkan kakinya.
"Jangan diambil hati ya, omongan Ibu!" ucap Firman pada sang istri.
"Iya, Mas!"
"Jangan lupa beri Ibu suntik insulin, ya! Nanti, sakitnya kambuh kalau beliau lupa."
"Iya, Mas!"
Untuk yang ke sekian kalinya, Kalila hanya mengangguk patuh. Ia tetap bersikap seperti Kalila yang biasa dihadapan sang suami.
Kalila ingin melihat, sampai sejauh mana Firman ingin membodohinya.
Saat sang suami berangkat, diam-diam Kalila mengikuti pria itu dari belakang. Dengan motor matic milik tetangga, Kalila terus mengikuti sang suami yang rupanya tidak berbelok menuju ke toko melainkan terus melaju menuju ke sebuah perumahan baru.
Sampai di sana, Firman membelokkan mobil yang ia pakai memasuki halaman sebuah rumah bercat biru. Tak berselang lama, pria itu turun kemudian disambut mesra oleh seorang wanita dengan penampilan seksi yang luar biasa.
"Jadi, di sini tempat kamu menyembunyikan gundikmu, Mas?" gumam Kalila menahan geram.
Ia lekas turun dari motor. Berjalan mengendap-endap mendekat pada pintu rumah yang tidak ditutup dengan rapat.
"Astaghfirullah! Mas Firman?" lirih Kalila saat melihat sang suami tengah melakukan adegan dewasa bersama perempuan seksi tadi.
"Kamu benar-benar selingkuh?" gumam Kalila dengan suara bergetar.
Ponsel lekas dia nyalakan. Adegan itu ia rekam meski hatinya remuk redam.
"Jangan di sini, Mas!" tukas si perempuan seksi saat Firman hendak meloloskan benda terakhir yang menutupi tubuh bagian bawahnya.
"Di sini saja! Biar lebih menantang!" kata Firman tak sabaran.
"Kalau ada yang lihat, gimana?"
"Biarin aja! Biar jadi tontonan gratis buat mereka." Firman tersenyum nakal.
Perempuan itu pun tertawa manja.
"Tapi, Mas harus kasih aku uang lagi, ya!"
"Berapa, hm?"
"Dua juta. Aku mau beli tas baru, Mas!" pinta wanita itu dengan suara yang dibuat seimut mungkin.
"Oke. Nanti selesai 'main' langsung Mas kasih. Uang segitu, bukan masalah untuk Mas!"
Keduanya kembali melanjutkan aktivitas mereka. Sementara, Kalila yang terus merekam perbuatan mesum keduanya hanya bisa menangis sambil menertawai kebodohan dirinya.
"Aku minta dua ratus ribu, dia menolak. Sementara, perempuan itu minta dua juta, langsung dikasih. Ternyata, kamu setega itu ya, Mas!"
Pluk!
Seseorang tiba-tiba menepuk pundak Kalila dari belakang.
"Ngapain, kamu?"
Degh!
Kalila langsung mematikan ponselnya. Dia berbalik dengan wajah yang benar-benar terlihat tegang.
"Kamu mau maling, ya? Ayo, ngaku!"
"Sa-saya..."
"Kamu maling, kan?" tuduh perempuan berbadan subur itu.
Sepertinya, dia salah satu penghuni di perumahan tersebut.
"Ma..."
Baru hendak berteriak, Kalila sudah lebih dulu membungkam mulut perempuan paruh baya itu dengan telapak tangannya.
Dia menggeleng. Memberi isyarat agar perempuan paruh baya itu tidak berteriak.
"Tolong jangan teriak, Bu! Saya ke sini hanya ingin memergoki suami saya yang sedang selingkuh," ujar Kalila berbisik.
Perempuan paruh baya itu pun menganggukkan kepalanya. Otomatis, Kalila juga ikut melepaskan bekapannya dari mulut Ibu-ibu itu.
"Memangnya, suami kamu siapa?"
"Mas Firman," jawab Kalila.
"Mas Firman kan, calon suaminya si Lia. Masa' sih, dia sudah punya istri?'
"Saya benar istrinya Mas Firman, Bu. Saya bahkan tidak menyangka kalau suami saya mampu mengkhianati saya seperti ini."
Kalila memasang tampang sesedih mungkin. Ia bahkan meneteskan air mata didepan Ibu-Ibu itu.
"Nama Mbak, siapa?" tanya Ibu tersebut pada Kalila.
"Saya Kalila, Bu. Kalau Ibu?"
"Saya Bu Tuti. Rumah saya yang didepan itu," jawab Bu Tuti sambil menunjuk rumah yang berhadapan dengan rumah milik si pelakor sedang berbuat tak senonoh dengan suami Kalila didalam sana.
'Ah!!'
"Suara apa itu?" Bu Tuti bertanya dengan ekspresi kaget.
"Suami saya dan perempuan itu..." Kalila tak mampu meneruskan kalimatnya. Dia memberi celah kepada perempuan paruh baya tadi agar melihat sendiri.
"Astaghfirullah!! Berani-beraninya mereka mesum di daerah kami!' geram perempuan Bu Tuti dengan wajah memerah.
Suara nyaring televisi yang dinyalakan Lia membuat suara Kalila dan Bu Tuti tak dapat didengar olehnya dan Firman. Karena terlalu larut dalam kubangan dosa, keduanya benar-benar tak sadar bahwa aksi mereka kini tengah jadi tontonan.
"Tolong panggil warga, Bu! Kita grebek mereka!"
"Oke. Ide bagus, Mbak! Saya setuju!"
Bu Tuti pun lekas memanggil warga untuk melakukan penggerebekan. Sementara, Kalila tersenyum samar menantikan momen saat suaminya dipermalukan oleh banyak orang.
Mungkin, sakitnya memang tak akan berkurang. Tapi, setidaknya Firman dan perempuan murahan itu bisa merasakan hukuman yang cukup setimpal atas perbuatan mereka.
"Huss!! Kalian jangan ribut! Nanti, Mbak Lia sama Mas Firman malah kabur lewat pintu belakang!" kata perempuan paruh baya berbadan subur tersebut.
Sementara itu, Kalila memutuskan untuk sedikit menjauh. Ia berusaha untuk menata hati. Keputusan besar yang ia ambil hari ini, akan membuat hidupnya menjadi berputar seratus delapan puluh derajat.
Kalila tahu, tak akan pernah ada jalan untuk kembali. Semuanya mungkin akan usai hari ini juga.
Bahteranya sudah tenggelam. Tak ada yang dapat diselamatkan selain reruntuhan hati Kalila yang masih coba untuk diselamatkan.
"Bin@tang! Beraninya kalian berbuat mesum di komplek sini!"
Sepasang manusia yang sedang diperbudak nafsu itu terperanjat kaget saat warga masuk dan memergoki aksi mereka.
"Apa-apaan ini? Ka-kami... kami bisa jelaskan!" kata Firman panik.
Ia berusaha meraih celananya. Memasang benda itu dengan terburu-buru untuk menutupi tubuh bagian bawahnya yang semula terekspos sempurna.
Sementara, Lia si perempuan penggoda suami orang tersebut turut meraih dress seksinya. Memakai benda tipis itu dengan cepat tanpa sempat mengenakan pakaian dalamnya kembali.
Bugh!
Satu pukulan hinggap di pipi Firman. Sementara, Lia pun tak bisa kabur dari amukan emak-emak yang kepalang emosi melihat tingkahnya.
"Lebih baik mereka kita arak saja keliling komplek! Setelah itu, kita nikahkan mereka lalu kita usir dari komplek ini!"
"Ya, setuju!"
"Ja-jangan, Pak! Kami mohon!" pinta Firman memelas.
"Mas, tolong... aku nggak mau diarak! Apa kata keluargaku nanti, Mas?" pekik Lia ketakutan.
"Halah! Sekarang, kalian nangis-nangis! Tapi, saat berbuat zina tadi, kalian malah ketawa-ketawa! Dasar nggak punya malu!" hardik warga lagi.
"Heh! Perempuan g*tal! Apa tidak ada tempat lain yang bisa kamu tempati untuk menjajakan apem gratis kamu? Kenapa harus di komplek ini, hah? Kamu sengaja ya, mau bikin kami ikut ketiban sial gara-gara dosa kamu? Iya?" cetus seorang Ibu-ibu dengan penuh emosi.
"Ampun, Bu! Sa-saya khilaf! Saya minta maaf!" ucap Lia dengan kepala tertunduk.
"Betul, Bu! Ta-tadi kami benar-benar khilaf!" imbuh Firman. "Lagi pula, kami sebentar lagi juga akan menikah. Ja-jadi..."
"Nikah karena selingkuh aja, bangga! Memangnya, sudah dapat izin dari istri sah untuk menikah lagi, Mas Firman?" celetuk Bu Tuti yang tadi melaporkan aksi mesum Firman dan Lia pada warga lain.
"Saya belum pernah menikah, Bu! Saya single!" aku Firman berbohong.
Kalila yang mendengar itu pun terasa bagai disayat-sayat. Ia tersenyum miris. Merutuki kebodohan diri karena telah salah melabuhkan cinta.
"Kalau Mas Firman single, terus... perempuan itu, siapa?"
Telunjuk perempuan paruh baya berbadan subur itu terarah lurus kepada Kalila yang berdiri di ambang pintu. Wanita berkulit putih bersih itu tampak mengusap air matanya.
Ia bersumpah! Ini akan menjadi kali terakhir dirinya menjatuhkan air mata karena Firman.
"Ka-Kalila..." lirih Firman terbata. Ia tak menyangka, wanita yang selama lima tahun ini telah mendampinginya itu akan berada di sana dan menyaksikan kondisinya yang benar-benar memalukan.
"Ke-kenapa kamu ada di sini, Sayang?" tanya Firman.
"Memangnya, kenapa kalau aku ada di sini, Mas? Nggak boleh?" balas Kalila.
"Siapa dia, Mas?" tanya Lia. "Apa dia Kalila, istri yang kata kamu burik, bau dan jelek itu?"
Nyes!
Kata-kata itu bagai anak panah yang melesat dan menikam jantung Kalila tepat sasaran. Jadi, selama ini Firman selalu menjelek-jelekkan dirinya didepan perempuan gatal itu?
Sungguh! Kalila benar-benar ingin mengumpati dirinya sendiri. Betapa bodohnya dia! Betapa tolol hatinya yang lebih memilih mengikuti perasaan ketimbang logika.
"Heh! Pantas Mas Firman selingkuh sama aku! Ternyata, penampilan Mbak Kalila memang sangat buruk. Lelaki mana yang selera melihat perempuan spek babu macam kamu, Mbak?" ejek Lia.
Plak!
Seseorang tiba-tiba menampar mulut Lia dengan keras.
"Diam, kamu! Berani-beraninya, kamu mengatakan hal sekejam itu terhadap istri sah selingkuhan kamu!" ucap seseorang dengan penuh emosi.
"Ayo, kita arak mereka sekarang!" teriak yang lain.
"Jangan! Saya mohon, jangan!" pinta Firman dengan panik. "Sayang... Kalila! Tolong Mas, Sayang! Jangan biarkan Mas diarak keliling komplek! Nanti, apa kata orang-orang, Sayang? Nama baik Mas dan toko meubel kita pasti akan tercemar," ia berusaha untuk membujuk sang istri agar sudi menolongnya.
Kalila berjalan pelan mendekati sang suami. Bibirnya yang pucat tampak menyunggingkan senyum yang begitu sinis.
Plak!
Satu tamparan sangat keras seketika berlabuh di pipi Firman. Kalila merasa kebodohannya harus ia akhiri sampai di sini saja.
"Kamu berani tampar Mas, Kalila?" tanya Firman seolah tak percaya.
"Ya, aku berani," jawab Kalila. "Bagaimana rasanya? Sakit kah?"
"Jangan kurang ajar, Kalila!" hardik Firman termakan emosi.
Sayangnya, lelaki itu tak bisa berbuat apa-apa. Para warga yang memeganginya tak mungkin membiarkan Firman membalas perbuatan yang dilakukan Kalila barusan.
"Eh, perempuan burik! Berani-beraninya kamu menampar Mas Firman, hah? Kamu mau langsung dicerai?" Lia, si perempuan gatal juga ikut berseru keberatan. Tak terima, ATM berjalannya dipukul begitu saja.
Plak!
Kali ini, justru dirinyalah yang mendapatkan tamparan keras. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali.
"Sakit. Hentikan!" teriak Lia.
"Makanya, berhenti berbicara buruk mengenai aku!" ucap Kalila dengan penuh penekanan. "Perempuan murahan yang apemnya mudah ditusuk gratis oleh banyak lelaki, tidak pantas berkomentar apapun tentang kekurangan perempuan lain. Paham?" Ia sengaja mencengkram dagu Lia kuat-kuat sebelum menghempaskannya dengan keras.
"Bapak-bapak, Ibu-ibu! Silakan arak mereka, sekarang!" lanjut Kalila sambil melangkah mundur setelah memberi pelajaran pertama untuk sepasang manusia berotak binatang itu.
"Tidak! Jangan Kalila!" geleng Firman dengan panik. "Tolong hentikan mereka! Mas tidak mau dipermalukan seperti ini! Kalila!" teriak Firman yang sudah digelandang keluar bersama dengan pasangan mesumnya.
Tes!
Setitik air mata kembali terjatuh. Kalila gegas menghapusnya kemudian tertawa kecil.
"Kenapa harus menangis lagi? Apa aku sedang sakit hati atau sedang menyesali kebodohan selama bertahun-tahun?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!