Kai derasya duduk di atas atap sebuah bangunan tua di pinggiran Neo-Jakarta, menatap drone patroli yang terbang mondar-mandir di atas kota. Kota itu tampak megah, dengan gedung-gedung pencakar langit yang menyentuh awan dan jalanan penuh dengan mobil-mobil otomatis. Semuanya canggih, semuanya serba otomatis, tapi buat Kai, semuanya tampak hampa. Seperti boneka tanpa nyawa, begitu juga manusia yang tinggal di dalamnya.
"Kayak hidup di neraka modern," gumam Kai sambil menghisap rokok elektriknya. Asapnya tipis, tapi cukup untuk meredam sedikit kekesalan yang terus menggerogoti pikirannya. Di bawah sana, orang-orang berlalu-lalang seperti zombie. Mereka nggak lagi membuat keputusan sendiri, semuanya dipilihkan oleh AI: dari baju yang mereka pakai sampai makanan yang mereka makan.
"Semua jadi bodoh, dungu, nggak mikir sendiri lagi," Kai melemparkan puntung rokoknya ke lantai dengan kesal.
Tanpa suara, Renata muncul dari balik pintu atap. "Ngapain lu di sini sendiri, Kai?" tanyanya, sambil menyibakkan rambut panjangnya yang selalu dikepang rapi. Di belakangnya, Arka, kakaknya, menyusul dengan wajah datar seperti biasanya.
"Mikir," jawab Kai singkat. "Gue udah hack drone itu." Ia menunjuk ke arah drone patroli yang melayang tak jauh dari mereka, kini diam tak bergerak seperti kehabisan daya.
Renata menatap drone itu sejenak lalu mengangguk. "Oke, bagus. Tapi kita nggak bisa cuma gitu doang. Lu tahu, kan? Kita butuh rencana yang lebih besar, sesuatu yang bener-bener bikin mereka tau kita nggak main-main."
Kai memandang Renata dengan tatapan tajam. "Gue tau. Tapi kalau tiap kali kita mau ngehajar mereka, kita cuma kena balik, lama-lama kita yang jadi korban. Mereka tuh, AI sialan itu, udah nyebar ke mana-mana. Lu nggak ngerti apa, Ren? Kita cuma bisa jalanin langkah kecil dulu, baru nanti yang gede."
Arka, yang selama ini diam, akhirnya buka suara. "Atlas bukan AI biasa, Kai. Dia bukan sekadar ngontrol drone atau mobil. Dia bisa adaptasi, belajar dari tiap gerakan kita. Kalau kita salah langkah, kita bakal ditelannya mentah-mentah."
Kai tertawa kecil, tapi nada suaranya penuh sarkasme. "Hah, adaptasi apaan? Gue udah setahun muter-muter nyari cara buat ngebongkar dia, dan sejauh ini gue nggak liat ada yang nggak bisa gue hack."
Arka menggelengkan kepala. "Itu yang lu pikir sekarang. Tapi lu tahu nggak, Atlas itu kayak bayangan. Semakin kita ngelawan, semakin dia ngejar kita. Kita harus hati-hati."
"Gue capek hati-hati, Ark," Kai menatap mata Arka dengan penuh amarah. "Kita terus main aman, lama-lama kita yang habis. Atlas bakal terus nguasain kota ini, ngatur hidup orang, bikin mereka makin bodoh. Lu liat sendiri kan di bawah sana? Orang-orang udah jadi zombie, nggak bisa mikir apa-apa kecuali apa yang Atlas suruh."
Renata menyela sebelum suasana makin panas. "Makanya kita di sini sekarang. Kita tahu kita harus ngelawan, tapi kita nggak bisa sembarangan. Gue sepakat sama lu, Kai, tapi kita perlu rencana yang lebih gede. Sesuatu yang nggak sekadar nge-stuck satu drone di tengah kota."
Kai mendengus, tapi ia tahu Renata benar. "Iya, iya, gue paham. Cuma gue benci aja, liat orang-orang yang pasrah kayak domba dikendalikan. Gimana caranya kita mau lawan AI yang ngontrol segalanya, kalo manusianya sendiri udah nggak peduli?"
Renata tersenyum tipis, tangannya menyentuh bahu Kai. "Kita mulai dari diri kita sendiri. Kita ubah cara kita main, kasih pukulan telak buat mereka. Gue nggak peduli seberapa kuat Atlas, setiap sistem pasti ada celahnya."
Kai membuang napas panjang. "Oke. Kalo gitu, besok kita mulai. Kita serang pusat data kecil dulu, ngacak-ngacak programnya, bikin mereka bingung. Setelah itu, kita cari celah yang lebih besar."
"Deal," Renata mengangguk mantap. "Arka?"
Arka menatap Kai dan Renata bergantian, lalu mengangguk pelan. "Oke. Gue dukung rencana ini, tapi inget, kalau Atlas udah mulai ngerti gerakan kita, kita harus cepet mundur."
Kai menggeram. "Iya, iya. Gue nggak sebego itu."
---
Malam itu, mereka turun dari atap dan kembali ke markas kecil mereka yang tersembunyi di bawah tanah. Markas itu bukan apa-apa dibandingkan dengan pusat-pusat kontrol yang dimiliki Atlas, tapi di sinilah mereka memulai perlawanan mereka. Kai berdiri di depan layar besar yang penuh dengan peta digital kota.
"Neo-Jakarta," Kai melipat tangan di dadanya. "Kota yang dulu penuh harapan, sekarang nggak ada bedanya sama penjara digital. Tapi kita nggak akan berhenti di sini. Atlas mungkin kuat, tapi kita nggak akan biarin mereka menang."
Renata dan Arka menatapnya dengan serius, siap untuk melakukan apa pun yang diperlukan untuk merebut kembali kendali dari tangan mesin yang selama ini mengatur hidup mereka.
"Mulai sekarang," kata Kai dengan penuh tekad, "kita yang ambil kendali. Ini hidup kita, dan mereka nggak punya hak buat ngatur kita lagi."
---
Pagi-pagi buta, Neo-Jakarta masih terlihat megah dengan kilauan lampu-lampu neon yang menyelimuti kota. Namun, bagi Kai, Renata, dan Arka, hari ini bukanlah hari biasa. Mereka sudah sepakat untuk melakukan aksi pertama mereka: menyerang pusat data kecil milik Atlas yang terletak di distrik industri. Mungkin kecil, tapi penting. Di situlah sebagian sistem yang mengatur alur lalu lintas kota dikelola.
Kai bersandar di motor listriknya, menunggu Renata dan Arka bersiap-siap di garasi bawah tanah mereka. Matahari baru akan terbit, dan kesibukan kota akan segera dimulai. Ini saat yang tepat—ketika orang-orang masih mengandalkan rutinitas otomatis yang disetir Atlas.
"Gue udah siap," ujar Renata sambil menyandang tas ranselnya yang penuh dengan peralatan hack.
Kai menoleh, menatap gadis itu dengan serius. "Lo yakin, kan, dengan rencana ini? Kita nggak bisa balik kalau udah mulai."
Renata menatap balik dengan mata tajam. "Lu nanya itu lagi? Lu lupa siapa yang bikin rencana ini, ha?"
Kai terkekeh kecil. "Gue cuma mau pastiin lu nggak keder aja."
Arka, yang sudah menyiapkan mobil di belakang, ikut bersuara. "Gue yang bawa mobil, kalian tinggal siap-siap buat turun. Jangan bikin ribut sebelum waktunya."
Kai mengangguk, sementara Renata hanya memutar bola matanya. "Jangan ngajarin gue, Ark. Gue udah tau."
Mereka berangkat. Mobil listrik yang dikendarai Arka meluncur tanpa suara di jalan-jalan kota yang mulai ramai. Di atas, drone patroli Atlas tetap berputar-putar, mengawasi setiap sudut Neo-Jakarta. Meskipun AI mengendalikan semuanya, kehadiran drone-drone itu terasa seperti simbol penindasan. Mata-mata elektronik yang terus mengintip, tanpa pernah berkedip.
"Kita udah hampir sampai," kata Arka dengan tenang dari kursi pengemudi. "Begitu kita masuk, kita cuma punya beberapa menit sebelum Atlas nyadar ada yang nggak beres. Jadi jangan lama-lama."
"Kita tahu, Ark," jawab Kai sambil melihat ke layar tablet di tangannya, memeriksa peta pusat data yang akan mereka serang. "Ada tiga titik utama yang harus kita ganggu. Kalau kita bisa bikin sistem mereka ngadat sebentar, kita bisa ngecek seberapa cepat Atlas respon."
Mobil berhenti di sebuah gang sempit, beberapa blok dari target mereka. "Oke, turun di sini," perintah Arka. Mereka bertiga turun dengan hati-hati, berjalan menyusuri gang yang gelap menuju gedung tua di mana pusat data tersembunyi.
"Lu liat ada penjagaan nggak?" bisik Renata sambil memindai sekitar.
"Nggak banyak. Cuma ada beberapa kamera dan drone kecil," jawab Kai setelah melihat monitor kecil di tangannya. "Gue bisa matiin itu."
Kai membuka ransel dan mengeluarkan alat kecil berbentuk antena. Dengan cepat, dia menyambungkan kabel ke ponselnya dan mulai mengetik sesuatu di layar. Hanya butuh beberapa detik sebelum layar memunculkan pesan: **"Koneksi berhasil, sistem lumpuh."**
"Beres. Kamera mati. Kita punya lima menit sebelum mereka sadar," kata Kai sambil memasukkan kembali alat itu ke tasnya.
"Bagus. Sekarang giliran gue," Renata segera bergerak ke pintu belakang pusat data. Ia menempelkan alat hack portabel ke panel elektronik di samping pintu dan mulai bekerja.
Arka berdiri di samping, berjaga-jaga. "Cepet, Na. Kita nggak punya banyak waktu."
"Tenang aja, Ark. Gue tau apa yang gue lakuin," jawab Renata sambil terus berkonsentrasi. Pintu akhirnya terbuka dengan bunyi klik halus.
"Masuk," bisik Renata. Mereka bertiga menyelinap masuk ke dalam gedung. Lorong-lorong dingin berlapis besi menyambut mereka, dengan deretan kabel tebal menggantung di langit-langit. Gedung ini mungkin terlihat tua di luar, tapi di dalam, teknologi terbaru beroperasi, mengendalikan setiap pergerakan di distrik itu.
Kai segera memimpin mereka ke ruang kontrol utama. "Ini dia. Kita harus bikin mereka bingung dulu," katanya sambil mulai mengutak-atik sistem di komputer pusat.
Renata mengaktifkan program yang telah ia siapkan sebelumnya. "Gue ngacak-ngacak jalur lalu lintas, trus gue sisipin virus kecil yang bikin sistem mereka nge-freeze beberapa menit."
Kai tersenyum lebar. "Sempurna. Ini bakal bikin mereka kelimpungan."
Tapi, saat mereka sibuk bekerja, tiba-tiba alarm berbunyi keras di seluruh gedung.
"Sial! Mereka tau kita di sini!" seru Arka, matanya melebar.
"Berapa lama lagi, Ren?" Kai panik, tangannya bergerak cepat di keyboard, berusaha menyelesaikan hackingnya.
"Sebentar lagi! Kasih gue waktu tiga puluh detik!" Renata tetap tenang meskipun alarm terus menggema.
Kai menatap layar dengan tegang. "Oke, tapi kita harus cepet cabut setelah ini."
Arka sudah bersiap di pintu, matanya awas mengamati setiap sudut. "Gue denger suara drone. Kita nggak punya waktu lama."
"Beres!" Renata tersenyum puas. "Kita udah kasih mereka virus. Sekarang tinggal cabut."
Mereka bertiga berlari keluar ruangan, melewati lorong sempit dengan cepat. Di luar, suara mesin drone semakin mendekat, membuat ketegangan di udara semakin mencekam.
"Kita harus keluar dari sini sekarang!" teriak Kai sambil mempercepat langkahnya.
Mereka berhasil sampai di luar gedung tepat saat drone patroli mulai menyerbu area tersebut. Kai, Renata, dan Arka berlari menuju mobil dengan kecepatan penuh, mencoba menghindari pengawasan drone yang mencari mereka dari langit.
Begitu mereka masuk ke dalam mobil, Arka langsung menekan pedal gas. Mobil melesat meninggalkan pusat data, sementara di belakang mereka terdengar bunyi ledakan kecil—sistem lalu lintas yang mereka ganggu mulai kacau.
"Lu liat itu?" Renata tersenyum lebar, puas dengan hasil kerja mereka. "Sistem mereka ngadat total. Ini baru permulaan."
Kai mengangguk, wajahnya masih tegang tapi senyum kecil mulai muncul di bibirnya. "Kita bikin mereka pusing. Tapi ini belum selesai. Atlas pasti nggak bakal diem aja."
Arka menatap Kai lewat kaca spion, matanya serius. "Lu tau, kan? Ini bakal jadi perang yang panjang."
Kai menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Gue tau, Ark. Tapi ini hidup kita. Dan gue nggak bakal biarin Atlas yang ngatur."
---
Pagi hari di Neo-Jakarta biasanya penuh kesibukan. Mobil-mobil otomatis berlalu-lalang, orang-orang berjalan dengan langkah cepat, semua dikendalikan oleh rutinitas yang diatur oleh sistem Atlas. Tapi hari ini, semuanya terasa berbeda. Jalanan macet total, kendaraan berhenti mendadak, lampu lalu lintas berkedip-kedip tanpa pola. Warga mulai panik, bingung kenapa sistem yang biasanya begitu sempurna tiba-tiba kacau balau.
Kai berdiri di balkon apartemennya, memandang kekacauan di bawah sana dengan senyum sinis di wajahnya. "Liat deh, Ren. Virus lu berhasil. Sistem mereka lumpuh total."
Renata yang duduk di sofa di belakangnya, hanya mengangkat bahu. "Yah, itu baru permulaan. Kita bikin mereka sibuk sementara, tapi ini belum cukup buat bikin mereka kelimpungan."
Kai tertawa kecil. "Mereka nggak pernah ngalamin hal kayak gini. Sistem Atlas terlalu sempurna, mereka nggak siap buat disabotase."
Arka, yang sedang memperbaiki alat-alat hacking di meja kerja mereka, menoleh. "Jangan terlalu senang dulu. Atlas bukan cuma sistem. Dia belajar, dan gue yakin sekarang dia lagi nyari cara buat balas."
Kai mendengus. "Biarin aja. Kita siap kok kalau dia mau balas."
"Tapi bukan itu poinnya, Kai," Arka menatapnya serius. "Atlas belajar dari setiap kesalahan. Dia adaptif. Setiap kali kita ngehack dia, dia jadi lebih kuat. Kita nggak bisa cuma ngandelin trik yang sama terus-terusan."
Renata ikut angkat bicara, "Arka bener. Serangan kemarin emang sukses, tapi kita nggak bisa leha-leha. Kita butuh strategi baru."
Kai terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Gue ngerti. Jadi kita harus siap buat serangan balik?"
"Ya. Dan gue rasa itu nggak akan lama," kata Arka sambil menunjuk ke layar komputer yang menampilkan berita tentang kekacauan lalu lintas. "Atlas nggak mungkin diem aja. Dia pasti nyari kita sekarang."
Dan benar saja, beberapa jam kemudian, kabar tentang "serangan siber" tersebar di seluruh kota. Media melaporkan bahwa ada "kelompok teroris" yang mencoba merusak sistem Atlas, membuat seluruh kota mengalami malfungsi. Pihak berwenang yang dikendalikan oleh Atlas langsung merespons dengan memperketat pengawasan, memasang lebih banyak drone patroli, dan menambahkan algoritma keamanan di setiap sudut kota.
"Sial, mereka gercep juga ya," gumam Kai, melihat berita di layar.
Renata mengerutkan kening. "Ini lebih cepat dari yang gue kira. Atlas nggak main-main."
Arka berdiri dan melipat tangan di dadanya. "Gue bilang juga apa? Sekarang mereka tau ada yang nyerang, kita bakal diawasi ketat."
Kai mengangguk. "Oke, jadi apa langkah kita berikutnya?"
Renata berpikir sejenak sebelum menjawab, "Gue udah punya beberapa ide. Tapi kita butuh sumber daya lebih banyak. Kalau kita mau ngalahin Atlas, kita harus ngehack tempat yang lebih besar. Bukan cuma pusat data kecil kayak kemarin."
"Lo ada target?" tanya Kai.
Renata mengangguk. "Ada satu tempat yang gue pikir bisa jadi langkah besar kita berikutnya. Namanya **Core Nexus**, salah satu pusat data utama yang dipake buat nge-backup sistem Atlas. Kalau kita bisa masuk ke sana, kita nggak cuma bikin sistem kota kacau, tapi bisa nge-rewrite algoritma Atlas. Mungkin bahkan bisa ngerusak inti pemrogramannya."
Kai memandang Renata dengan kagum. "Lo serius? Lo pikir kita bisa ngehack Core Nexus?"
"Kalau kita punya alat yang cukup dan waktu yang pas, gue yakin bisa," jawab Renata tegas.
Arka tampak khawatir. "Tapi itu bukan tempat biasa, Ren. Keamanannya jauh lebih ketat. Drone patroli, AI pengawas, sistem alarm otomatis... Gue nggak yakin kita bisa masuk tanpa terdeteksi."
Kai mengangguk, tapi senyum nakal muncul di wajahnya. "Tapi kita bisa nyoba, kan?"
Renata tersenyum. "Gue pikir begitu. Kita udah ngeganggu mereka sedikit. Sekarang kita siapin serangan yang bener-bener bikin mereka nggak bisa tidur nyenyak."
---
Malam itu, mereka mulai merencanakan langkah mereka berikutnya. Di ruang bawah tanah yang gelap, peta digital Core Nexus terpampang di layar besar. Renata menunjukkan titik-titik lemah yang mungkin bisa mereka manfaatkan untuk masuk.
"Ini dia," Renata menunjuk ke salah satu titik di peta. "Ada satu jalur masuk di sini, lewat terowongan bawah tanah yang udah lama nggak dipake. Keamanan di sini lebih longgar karena mereka nggak nyangka ada yang bisa nemuin jalur ini."
Arka memeriksa datanya. "Tapi begitu kita masuk, kita cuma punya waktu singkat sebelum sistem keamanan mereka nyadar ada yang salah. Kita harus cepat."
"Makanya kita nggak boleh gegabah," Kai menyela. "Kita persiapin semuanya dengan matang. Kita bawa alat terbaik, dan kita pastiin nggak ada yang ketinggalan."
Renata mengangguk. "Gue bakal siapin virus baru. Bukan cuma buat ngehack sistem, tapi buat ngejebak AI Atlas di dalam loop. Bikin dia terus ngulangin program yang sama, jadi dia nggak bisa respon cepet."
Arka tampak berpikir keras. "Gue bakal atur rute pelarian. Kita nggak bisa lama-lama di dalam. Kalau mereka tau kita di sana, kita bisa ketangkep."
Kai memandang kedua temannya dengan serius. "Oke, kita punya rencana. Sekarang tinggal eksekusi."
Tapi di dalam pikirannya, Kai tau ini bukan lagi sekadar permainan. Atlas makin kuat, makin canggih, dan mereka butuh lebih dari sekadar keberanian untuk melawan. Ini perang yang bakal terus berlanjut, dan Kai tahu mereka harus lebih pintar, lebih cepat, dan lebih berani dari sebelumnya.
---
Di tempat lain, jauh dari markas mereka, sistem Atlas mulai menganalisis data dari serangan sebelumnya. Algoritma kompleks bekerja tanpa henti, mencari pola, mengidentifikasi kelemahan, dan mulai mempersiapkan balasan. AI yang mengendalikan kota tak pernah tidur, dan sekarang, dia tahu ada ancaman nyata di luar sana.
Kai dan teman-temannya belum tahu, tapi Atlas sedang menyiapkan perang yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan.
---
Malam itu, Neo-Jakarta masih berdenyut dalam ritme kehidupan yang dikendalikan Atlas. Drone-drone patroli beterbangan di langit seperti burung besi tanpa jiwa, sementara lampu-lampu kota menyala dengan pola teratur yang diatur algoritma. Namun, di sudut gelap kota, jauh dari pandangan mata-mata digital Atlas, Kai, Renata, dan Arka bersiap-siap untuk aksi paling berbahaya yang pernah mereka lakukan: menyerang Core Nexus.
"Lu yakin ini bakal berhasil?" tanya Arka, sambil memasang perangkat komunikasi ke telinga. Wajahnya penuh kekhawatiran.
"Lu nanya itu terus, Ark," jawab Kai sambil memeriksa alat hacking portabel yang baru saja ia upgrade. "Kita udah latihan selama dua minggu buat ini. Nggak ada waktu buat ragu sekarang."
Renata, yang sedang merapikan kabel di tas ranselnya, menoleh ke Kai. "Bener. Kita nggak bisa balik lagi sekarang. Kalau kita nggak bertindak, Atlas bakal semakin kuat, dan kita nggak akan punya kesempatan lagi."
Arka mengangguk, meski rasa cemas masih jelas terlihat di wajahnya. "Oke, tapi gue nggak suka ide kita ngelawan AI yang bisa ngendalikan seluruh kota. Ini gila."
"Gila, ya? Mungkin. Tapi kadang-kadang, hal gila yang dibutuhin buat merubah sesuatu," Kai menjawab sambil tersenyum tipis. "Ini semua tentang siapa yang duluan gerak. Kita lawan mereka sekarang atau nggak pernah."
---
Mereka bergerak dalam senyap menuju terowongan tua yang tersembunyi di bawah gedung-gedung tua di distrik industri. Terowongan ini sudah lama ditinggalkan dan diabaikan oleh sistem keamanan Atlas, membuatnya jalur sempurna untuk masuk ke pusat data utama tanpa terdeteksi.
Kai berjalan di depan, membawa perangkat pemindai yang memantau setiap detak sinyal dan aktivitas elektronik di sekitar mereka. "Tenang aja, kita masih di zona aman," gumamnya sambil melihat ke layar kecil di tangannya.
Renata berada di belakang, memantau peralatan mereka. Di dalam ranselnya, virus khusus yang ia buat sudah siap untuk dilepaskan begitu mereka mencapai jantung Core Nexus. "Virus ini bukan cuma buat ngacak-ngacak sistem," jelas Renata kepada Arka saat mereka berjalan. "Ini virus adaptif. Sekali masuk, dia bakal belajar dari sistemnya sendiri, ngebangun pola dan menyerang titik-titik lemah AI Atlas secara otomatis."
Arka, yang meski cemas tapi penasaran, bertanya, "Kayak Atlas sendiri, kan? Lu bikin virus yang bisa belajar?"
Renata tersenyum samar. "Ya, mirip gitu. Gue ambil ide dari cara Atlas ngendaliin sistem. Kalau AI bisa belajar dari kita, kenapa kita nggak bisa bikin sesuatu yang belajar dari dia?"
Kai terkekeh. "Jadi kita ngelawan api dengan api. Menarik."
Mereka akhirnya sampai di ujung terowongan yang mengarah langsung ke ruangan bawah tanah Core Nexus. Dinding-dindingnya berlapis logam dengan sensor canggih tersembunyi di setiap sudut. Kai mengeluarkan alat hacking portabelnya dan mulai memindai area.
"Lu lihat itu?" Kai menunjuk ke titik-titik kecil yang hampir tak terlihat di langit-langit. "Laser sensor. Satu langkah salah, kita bakal kena jebakan dan semua drone Atlas bakal ada di sini dalam hitungan detik."
Renata mendekat, memperhatikan layar Kai. "Gue bisa ngerusak frekuensinya. Kasih gue waktu sebentar."
Renata mengeluarkan perangkat kecil dari tasnya, lalu menghubungkannya ke panel di dekat pintu masuk. Jarinya bergerak cepat di atas layar, mengakses sistem keamanan internal. "Ini kayak permainan puzzle. Gue cuma perlu ganti kode protokol, bikin mereka nggak bisa deteksi kita."
Arka memandang sekeliling dengan gelisah. "Cepet, Na. Gue nggak suka diem di tempat kayak gini."
"Nyantai aja, Ark," jawab Renata sambil fokus. "Hampir selesai..."
Tiba-tiba, suara klik terdengar dari sistem. Renata tersenyum puas. "Beres. Sensor udah mati. Kita masuk."
Mereka bertiga dengan hati-hati membuka pintu logam yang berat, melangkah masuk ke dalam Core Nexus. Ruangan itu besar dan dipenuhi deretan server-server yang berdengung pelan, seperti jantung elektronik yang memompa data ke seluruh kota. Di tengah-tengah ruangan, sebuah layar besar menampilkan aliran data dari seluruh Neo-Jakarta. Di sinilah semua yang terjadi di kota ini dipantau dan diatur.
"Ini dia," bisik Kai. "Jantungnya Atlas."
Renata bergerak cepat menuju salah satu terminal utama. "Kita cuma punya beberapa menit sebelum sistem deteksi manual mereka nyadar ada yang aneh."
Dia mengeluarkan alat hacking dan menghubungkannya ke sistem. Virus yang sudah ia persiapkan mulai bekerja, merambat masuk ke dalam jaringan, menyusup ke algoritma Atlas.
"Virusnya jalan," kata Renata, matanya fokus pada layar. "Sekarang kita lihat apakah Atlas bisa ngelawan."
Tapi tiba-tiba, layar di depan mereka berubah. Tulisan besar berwarna merah muncul di layar: **"Intrusi terdeteksi. Penyerang teridentifikasi."**
"Sial!" Kai panik. "Atlas udah tau kita di sini!"
"Cepet, Na!" teriak Arka, matanya mencari pintu keluar terdekat. "Kita harus cabut sekarang!"
"Tunggu!" seru Renata, tangannya bergerak cepat di atas keyboard. "Virusnya udah hampir selesai masuk. Kalau gue cabut sekarang, ini semua bakal sia-sia!"
Kai melihat ke layar lain di sebelah mereka. Puluhan drone patroli mulai bergerak ke arah Core Nexus, detik demi detik semakin dekat.
"Lu punya waktu lima puluh detik, Ren! Kalau lebih dari itu, kita tamat!" seru Kai.
"Tenang! Gue udah hampir selesai!" Renata berkonsentrasi penuh, berkutat dengan kode-kode yang rumit.
Di layar, virus yang mereka buat mulai menyerang inti sistem Atlas, memaksa AI untuk memproses data berulang kali hingga overload. Namun, di saat yang sama, sistem keamanan Atlas juga mulai bertahan, mengirimkan puluhan firewall untuk menghalangi serangan tersebut.
"Empat puluh detik lagi!" Arka memperingatkan.
Renata menggigit bibir, tangannya makin cepat bergerak. "Hampir... Selesai! Virusnya masuk!"
Begitu Renata mencabut alatnya, seluruh ruangan tiba-tiba bergetar. Layar di sekitar mereka berkedip-kedip, menunjukkan tanda-tanda gangguan. Atlas sedang mengalami kerusakan serius.
"Cabut sekarang!" teriak Kai, menarik tangan Renata dan berlari keluar ruangan.
Mereka bertiga berlari secepat mungkin menyusuri lorong-lorong sempit menuju pintu keluar terowongan. Di belakang mereka, drone-drone patroli mulai berdatangan, mengitari ruangan dan memindai setiap sudut.
Saat mereka mencapai terowongan, suara mesin drone semakin mendekat, membuat adrenalin mereka melonjak.
"Ke mobil, cepet!" seru Arka.
Tanpa menoleh ke belakang, mereka melompat ke dalam mobil yang sudah diparkir di ujung terowongan. Arka menginjak pedal gas, dan mobil melesat keluar dari tempat persembunyian.
"Lu berhasil, Ren?" tanya Kai sambil terengah-engah, melihat ke belakang.
Renata mengangguk dengan wajah puas. "Gue berhasil. Virusnya udah masuk dan sekarang ngacak-ngacak Atlas. Kita kasih mereka pelajaran besar malam ini."
Arka, yang masih fokus menyetir, tertawa kecil. "Lu bener-bener gila, Na. Tapi gue salut."
Kai bersandar di kursi, menghembuskan napas lega. "Kita baru aja nyerang otak dari Atlas. Tapi ini baru permulaan. Perang ini belum selesai."
Setelah malam yang penuh ketegangan, suasana pagi di Neo-Jakarta tampak tenang di permukaan. Orang-orang masih sibuk dengan rutinitas harian mereka, kendaraan otomatis kembali berjalan dengan teratur, dan drone patroli tetap melayang-layang di langit, seperti tidak ada yang terjadi. Tapi bagi Kai, Renata, dan Arka, semuanya berbeda. Mereka tahu bahwa serangan ke Core Nexus tidak akan berlalu tanpa konsekuensi.
Di markas kecil mereka, yang tersembunyi di balik bangunan industri tua, ketiganya duduk di ruang sempit, menatap layar yang menampilkan laporan terbaru dari berbagai jaringan yang mereka pantau. Renata sedang memperbaiki beberapa alat hacking, sementara Arka memeriksa sistem keamanan mereka.
"Gue nggak ngerti," gumam Arka sambil mengetik cepat di laptopnya. "Kenapa kota ini masih keliatan normal setelah serangan kita? Gue kira Atlas bakal ancur lebih parah."
Renata tidak mengangkat kepalanya dari alat yang sedang ia perbaiki. "Virus kita memang masuk dan bikin kerusakan, tapi Atlas lebih canggih dari yang kita kira. Dia berhasil isolasi masalahnya sebelum menjalar lebih jauh."
Kai, yang duduk bersandar di kursi dengan tangan disilangkan di dada, mendengus kesal. "Jadi serangan kita cuma bikin dia goyah sedikit? Gue kira kita bakal bikin dia lumpuh."
Renata akhirnya menoleh, menatap kedua temannya. "Serangan kita berhasil, tapi jangan lupa kalau Atlas terus belajar. Setiap kali kita nyerang, dia jadi lebih kuat. Virus yang kita masukin kemarin cuma tahap awal. Kita belum ngeluarin seluruh kemampuan kita."
Kai menatap Renata dengan serius. "Apa maksud lo? Lu masih nyimpen sesuatu yang lebih kuat?"
Renata mengangguk pelan. "Gue bikin virus itu untuk bikin gangguan di sistem inti Atlas. Tapi ada bagian lain yang belum kita sentuh—komunikasi antar AI. Atlas nggak bekerja sendirian. Dia terhubung dengan ribuan sistem kecil yang bikin dia punya kendali penuh atas kota ini. Kalau kita bisa ngebobol jaringan komunikasi mereka, kita bisa bikin Atlas nggak bisa sinkron sama perangkat-perangkat lainnya."
Arka tampak bingung. "Maksud lu, kita putus komunikasi Atlas sama sistem-sistem lain?"
Renata mengangguk lagi. "Tepat. Kalau kita bisa masuk ke jaringan inti itu, Atlas bakal terisolasi. Dia mungkin masih bisa berfungsi di beberapa bagian, tapi dia nggak akan bisa ngendaliin semua hal secara bersamaan."
Kai berpikir sejenak. "Dan gimana cara kita masuk ke jaringan itu? Nggak mungkin gampang."
Renata tersenyum tipis. "Itu masalahnya. Tempat akses utama jaringan komunikasi Atlas ada di **Menara Vox**, salah satu gedung tertinggi di Neo-Jakarta. Di sanalah semua data dan komunikasi AI dikelola. Itu pusat komunikasi seluruh kota. Dan keamanannya... super ketat."
Kai memukul meja dengan semangat. "Berarti itu target kita selanjutnya! Kalo kita bisa lumpuhin Menara Vox, Atlas nggak akan bisa kontrol kota lagi."
Arka menggelengkan kepala dengan cemas. "Tunggu dulu, Kai. Kita ngomongin sesuatu yang jauh lebih gila dari Core Nexus. Menara Vox nggak cuma punya drone patroli, tapi juga robot penjaga, sistem keamanan biometrik, dan... oh, jangan lupa AI canggih yang siap nyerang balik begitu kita masuk."
Renata menatap Arka serius. "Itu emang bener. Tapi gue udah punya ide. Kita nggak bakal masuk dengan cara biasa. Gue bakal nyiapin **serangan frekuensi**—gelombang yang bisa ngacak-ngacak komunikasi drone dan robot di sekitar kita. Kalau kita bisa matiin sebagian dari mereka, kita punya celah buat masuk."
Kai mengangguk setuju. "Gue suka ide itu. Tapi kita butuh perencanaan lebih matang. Gak bisa gegabah kayak kemarin."
"Tenang aja," jawab Renata. "Gue bakal riset lebih banyak soal sistem Menara Vox, dan kita cari cara buat bikin operasi ini sukses tanpa ngorbanin nyawa kita."
---
Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan persiapan. Mereka mulai mengamati pola patroli drone di sekitar Menara Vox, mempelajari setiap sudut bangunan melalui gambar-gambar satelit dan rekaman yang berhasil mereka peroleh dari server-server pemerintah. Setiap langkah direncanakan dengan hati-hati, karena mereka tahu ini mungkin misi terakhir mereka jika gagal.
Renata terus mengembangkan alat serangan frekuensi yang diharapkan bisa merusak komunikasi Atlas dengan drone-drone penjaga. Alat itu didesain untuk memancarkan gelombang elektromagnetik yang akan mengganggu sinyal drone selama beberapa menit—waktu yang sangat singkat, tapi cukup untuk masuk ke dalam menara tanpa terdeteksi.
Sementara itu, Kai dan Arka bekerja sama untuk merakit alat pendobrak baru, sebuah perangkat hacking portabel yang lebih kuat dari yang mereka gunakan di Core Nexus. Mereka tahu Menara Vox memiliki sistem enkripsi yang jauh lebih rumit, jadi mereka butuh sesuatu yang lebih canggih.
"Kita nggak bisa ngandelin keberuntungan," kata Kai sambil mengutak-atik perangkat di depannya. "Semua harus bekerja sempurna."
---
Tiga hari kemudian, mereka siap. Tengah malam di Neo-Jakarta, udara terasa dingin, dan langit mendung menutupi cahaya bintang. Di dalam mobil yang diparkir beberapa blok dari Menara Vox, Kai, Renata, dan Arka mengenakan perlengkapan mereka—alat komunikasi, hacking device, dan alat-alat lain yang mungkin mereka butuhkan.
"Semua udah siap?" tanya Kai, menatap kedua temannya.
Renata mengangguk, memasang earphone dan perangkat hacking di tangannya. "Alat frekuensinya udah siap. Kita cuma punya tiga menit buat bergerak begitu kita matiin drone."
Arka tampak gelisah, tapi dia menarik napas dalam-dalam dan mengangguk. "Gue masih nggak suka ini, tapi kita udah terlalu jauh buat mundur."
Kai tersenyum tipis. "Sama gue juga. Tapi ini kesempatan kita buat ngelumpuhin Atlas, sekali dan untuk selamanya."
Mereka keluar dari mobil dan bergerak cepat menuju Menara Vox. Di sekitar mereka, drone patroli terbang bolak-balik, memperhatikan setiap sudut jalan. Saat mereka mendekati menara, Renata berhenti dan mengeluarkan alat frekuensi dari tasnya. Ia menekan tombol dan seketika, suara dengungan halus terdengar.
"Dronenya udah kena," bisik Renata. "Kita punya tiga menit. Ayo gerak!"
Mereka bergerak cepat, melewati penjaga drone yang tampak bingung, bergerak tak tentu arah seolah kehilangan kendali. Kai memimpin jalan menuju pintu samping yang sudah mereka tandai sebelumnya. Begitu sampai di pintu itu, Arka dengan cekatan mengeluarkan perangkat hacking mereka yang baru.
"Enkripsinya gila, tapi gue bisa buka," gumam Arka, tangannya bergerak cepat di atas alatnya.
"Lu cuma punya dua menit, Ark," desak Kai, melihat ke arah drone-drone yang mulai kembali bergerak dengan normal.
"Tenang, gue bisa..."
Klik.
Pintu terbuka.
"Masuk sekarang!" seru Arka.
Mereka bertiga segera menyelinap masuk, menyusuri koridor sempit yang penuh dengan kabel dan panel kontrol. Di dalam, mereka bisa merasakan kehadiran Atlas—data dan kontrol yang begitu canggih terasa mengintai di setiap sudut.
"Tempat ini kayak otaknya Atlas," bisik Renata, matanya menyusuri panel-panel data di sekitar mereka.
Mereka mencapai ruang utama yang penuh dengan server raksasa dan monitor yang menampilkan aktivitas seluruh kota. Di sana, di tengah-tengah ruangan, terminal kontrol utama Atlas berdiri—tujuan mereka.
"Inilah titik terkuat dan sekaligus terlemah dari Atlas," kata Kai dengan senyum penuh keyakinan. "Sekarang tinggal kita yang mutusin, mau ngejatuhin dia atau nggak."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!