AWAL PERTEMUAN YANG SIAL
Philadelphia, Pennsylvania — US
“Umm.. Excuse me!” Suara lembut mengalun hingga membuat pria berjas biru tua, rambut dan janggut warna putih serta kacamata. Ya! Pria itu sudah berumur, tapi dia pemilik club' yang saat ini mereka berdua datangi.
Pria itu menatap ke sosok wanita cantik berambut panjang nan lurus yang dikuncir rapi bak ekor kuda. “Ya?”
“Bukankah aku harus menemui seseorang untuk menerjemahkan bahasa mereka? Untuk apa kita datang ke... club'?” tanya Luna Diaz (26th). Wanita cantik yang mandiri dan sederhana, hanya mengenakan kemeja krem dan celana hitam.
“Tentu saja! Oh, maaf jika ini membuatmu tidak nyaman. Tapi... ” Pria tua itu mendekat ke Luna dan berbisik. “Klien sedang melakukan pertemuan rahasia, kuharap kau mengerti kan!”
Sedikit ragu dan merasa aneh, namun Luna hanya mengangguk faham. Toh, dia juga pernah bertemu klien di tempat-tempat yang absurd, meski kali pertamanya dia bertemu klien di sebuah club'. Oh, yang benar saja!
Luna melangkah masuk bersama pria tua pemilik club' tadi, melewati orang-orang yang tengah bersuka ria di sana. Aroma alkohol menyengat di lubang hidung Luna hingga rasanya ingin muntah.
Suara musik perlahan mulai mengecil seiring langkah Luna dan pria tua tadi turun ke lantai bawah yang khusus untuk ruang VIP saja. -‘Tenangkan saja dirimu Luna, ini hanya pekerja biasa!’ batin wanita cantik itu tersenyum paksa.
Menyadari wajah tegang Luna, tentu saja pria tua itu terkekeh kecil. “Jangan khawatir Nona, dia hanya klien biasa... Jika terjadi hal yang tidak diinginkan pasti sangat mudah melaporkannya langsung ke pihak berwajib!” jelas pria itu memberikan keyakinan.
Ya! Klien kali ini bukanlah pria kaya ataupun berpengaruh. Mungkin hanya pengunjung biasa yang ingin berbincang dengan teman atau tamunya di Philadelphia.
Ceklek! Pintu dibuka oleh seorang penjaga, “Silahkan!” pinta pria tua tadi mempersilahkan Luna untuk masuk terlebih dahulu.
“Hm!”
Wanita itu melangkah masuk dan melihat jelas, tiga pria yang kini tengah mengobrol. Namun saat kedatangan Luna, ketiga pasang mata itu menatap ke bersamaan ke arah Luna hingga menjadi pusat perhatian sekarang.
“Se-selamat malam!” Sapa Luna dengan senyuman ramah. Namun ketiga pria tadi tak ada respon.
Benar, dua pria berjas dan satu pria berkaos hitam yang duduk sendirian di sofa panjang. Entah apa yang ingin mereka debatkan. Namun, sepertinya mereka pria yang cukup ambisius melihat dari tatapan tegasnya dan iya, pria berkaos hitam begitu tampan.
“Silahkan duduk Nona.” Pinta pria berkaos hitam yang lebih terlihat tegas daripada dia pria berjas lengkap nan rapi.
Luna hanya mengangguk sopan, dia segera mendekat dan duduk di sisi sofa lainnya.
Ada yang membuat Luna risih saat pria berkaos hitam itu terus memperhatikannya tanpa berpaling. “Come ti chiami? (Siapa namamu)?” tanah pria itu yang duduk di sisi sebelah kanan Luna.
“Luna!” jawabnya tersenyum yakin dan berani menatap balik.
Kedua mata mereka saling beradu pandang sejenak lalu Luna berpaling untuk menghindarinya. Entah kenapa perasaannya begitu tak nyaman saat melihat pria itu, ya! Hanya pria itu saja.
“Miss, can you tell him to accept our offer. (Nona, bisakah Anda menyuruhnya menerima tawaran kita)?” salah satu pria berjas hitam rambut cepak dengan tatto yang terlihat di punggung tangan kanannya.
Luna menoleh dan kembali menatap pria berkaos hitam itu. “Ti chiede di accettare la sua offerta. (Dia memintamu untuk menerima tawarannya)." Jelas Luna kepadanya.
“Va bene! (Baiklah)!" balas pria itu melirik sekilas ke kedua pria tadi.
Setelah beberapa perbincangan singkat mereka, barulah dua pria berjas tadi mulai bangkit dari duduknya. “Terima kasih sudah berkenan menyewa jasaku Tuan....?”
“Enzo! Dan dia Liam Jackson." Sambung pria bernama Enzo pemilik rambut cokelat dan kulit putih.
Luna hanya tersenyum kecil, tak lama kedua pria tadi pergi sementara dia masih berada di ruangan yang sama dengan pria berkaos hitam yang entah siapa namanya.
“Aku belum menyuruhmu pergi Nona.” Ucap pria itu dengan bahasa Italia nya. Luna menoleh, menatap penuh ketegasan.
“Pekerjaanku sudah selesai Tuan. Jadi aku harus pergi! Selamat malam." Luna langsung saja bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Namun saat dia mencoba membukanya, -‘Apa? Bagaimana bisa terkunci?’
Luna mencoba mengetuk pintu tersebut dan memanggil penjaga yang berjaga di luar. Namun naasnya, penjaga itu sudah tidak ada di tempatnya.
“Terima kasih atas kunjungannya Tuan Enzo!” ucap pria tua pemilik club' yang rupanya mendapat sogokan dari Enzo. Dan jika kalian bertanya siapakah Enzo— maka jawabannya adalah Asisten!
Ya! Dia hanyalah asisten pribadi dari seseorang yang berkuasa di wilayah Italia.
.
.
.
“Tidak bisa pergi?” ujar pria yang masih duduk tenang di sofanya.
Luna berbalik dan menatap kesal dengan napas memburu. “Apa kau yang melakukannya?” kali ini tidak ada lagi ucapan sopan jika Luna sudah merasa terancam.
“Aku hanya pria biasa, dan aku duduk di sini sejak tadi. Did you forget? (Apa kau lupa)?”
Luna berkerut alis saat mendengar bahasa inggris yang keluar dari mulut pria Italia itu. Tentu saja itu sudah bisa ditebak bukan, tapi kenapa pria itu harus berbohong?? Dan siapa dia?
“Kau bisa memanggil namaku—” pria itu berjalan mendekatinya seusai meneguk segelas beer. Tentu saja Luna terpepet ke dinding dekat pintu. Pria itu menghampirinya dengan meletakkan kedua tangannya di tembok. “Almo!” bisik pria itu hingga membuat bulu kuduk Luna berdiri.
“Aku bisa melaporkan mu ke polisi jika kau berani kurang ajar." Ancam Luna tak kenal takut.
Mereka berdua saling beradu pandang. Almo sangat suka melihat wanita yang menggebu dengan berani. Senyuman miring terukir di bibir tipisnya. “Lakukan jika bisa.” Balas Almo.
Seketika sebuah cutter sudah mengacung tepat di perut Almo, saat Luna selalu menyiapkan dan membawa benda itu kemanapun dia pergi. Tentu saja untuk berjaga.
“Jika kau berani mendekat, aku tidak segan melukaimu.” Ancamnya membuat Almo mengambil jarak, namun dia menatap Luna dengan tajam.
Dalam sekali gerakan, Almo langsung merebut cutter itu dari tangan Luna sehingga pasrah lah wanita malang tadi. “Seharusnya kau belajar bela diri, jika musuhmu di atas rata-rata!” Almo membuangnya kesembarang arah.
Bersamaan dengan itu, Luna langsung berbalik menggedor pintu. Namun dari belakang tangan kekar Almo langsung melingkar ke perutnya dan menariknya dalam satu tarikan saja.
“LEPASKAN AKU SIALAN!!!” kesal Luna saat dia dibanting di sofa yang cukup lebar. Almo yang menduduki paha Luna, pria itu melepaskan kaosnya dan langsung menutup mata Luna dengan kaos tersebut sebelum memulai aksinya.
Sementara wanita yang berada di bawahnya itu mencoba meronta hingga berteriak. Namun sia-sia saja! Tangan Almo mencengkram rahang Luna, memberikan ciuman menggebu nan panas.
Luna yakin pria itu sangat berpengalaman, dari cara ciumannya. “HELP ME!!!!” teriak Luna di kesempatan saat mereka melepas ciuman.
“Credimi, lo adorerai! (Percayalah kepadaku, kau akan menyukainya)!" bisik Almo dengan suara beratnya itu hingga dia melumat daun telinga Luna sehingga wanita itu menggeliat.
Dia tak bisa menggerakkan kedua tangannya karena Almo menguncinya dengan tangannya. Mata tertutup kaos membuat pemandangan Luna menjadi gelap hingga dia mulai merasakan lidah basah Almo yang mulai bergerak lihai di kulit polosnya.
Pria itu menarik kaosnya dan memperlihatkan kedua mata Luna yang tertutup saat dia mulai menerobos masuk dengan paksa hingga Luna tersentak kaget dan membuka matanya dengan bibir sedikit terbuka dan mengeluarkan desahan kecil.
...°°°...
Hai guyss!!!! Saya kembali lagi dengan cerita baruuuuuu, sayangnya kali ini wanita nya bukan Indonesia yaaa.... Tapi jangan risau, ceritanya dijamin mmmmm..... karena cerita Ai To Fukushu sudah end, jadi aku harus ada pengganti cerita ye kannnnn 🤭
Semoga saja kalian suka dan semoga saja tidak membosankan. Aku memberikan satu bab dag-dig-dug untuk kalian 😁 Kisah cinta Mr. Almo Da Costa & Luna Diaz!!!!!
Jangan lupa tinggalkan jejak semangatnya!!!!
LIKE ☑️
COMENT ☑️
VOTE ☑️
RATE ⭐ 5 ☑️
FAVORIT ☑️
Thanks and See Ya ^•^
ALMO DA COSTA
Suara desahan kecil yang keluar dari mulut Luna, sungguh tak akan pernah Almo lupakan. Air mata yang mengalir dari ekor mata Luna pun tak akan pernah terlupakan saat dia menjilatnya dan merasakan tubuhnya menyatu dengan wanita asing.
Setelah melakukan hal bejatnya, Almo mengenakan kembali pakaiannya, meneguk segelas beer sebelum akhirnya dia pergi keluar meninggalkan Luna begitu saja, dalam keadaan telanjang dan tengkurap malu sambil menangis sesenggukan.
“I like our fuck!” ucap Almo sebelum dia benar-benar pergi.
...***...
Luna berjalan lingai. Tubuhnya lemas, area kewanitaannya juga masih terasa sakit akibat permainkan yang Almo berikan dengan paksa. “Pria sialan! Mereka semua sialan!” umpat Luna hingga geram sendiri.
Tentu saja, dia merasa ditipu. pria bernama Almo itu rupanya pandai berbahasa inggris, lalu kenapa harus menyewanya, lalu memperkosanya.
“Menjijikan." Gumam Luna sembari mengusap lengannya dengan merinding. Dia masih bisa merasakan lidah basah Almo di kulitnya.
Ceklek! Luna baru saja melangkah masuk ke sebuah apartemen sederhana, tempat tinggalnya bersama sahabatnya— Biel Monroe! Wanita cantik dengan rambut pirang sedikit bergelombang.
“Luna! Kau tidak akan percaya, hari ini aku mendapat tip berlipat ganda karena para orang kaya yang menyukai gerakan baruku di tiang! Besok aku akan mengajakmu— ” Wanita cerewet itu terbungkam saat dia melihat wajah murung Luna dengan bekas air mata di kedua bulu mata lentiknya.
“Hey! Kau baik-baik saja? Kenapa? Katakan... apa ada yang menghinamu lagi?” tanya Biel si wanita pengertian, meski dia cerewet.
Mendengar pertanyaan itu, Luna tentu saja menahan air matanya sambil menggeleng kecil dan tersenyum. “Tidak ada. Aku hanya lelah! Maaf, aku akan mendengarkan mu besok!” ucap Luna yang masih muram hingga dia berjalan melewati temannya dan masuk ke kamar.
Sesampainya di kamar, Luna langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang dalam posisi tengkurap. Saat ia menutup mata untuk menghilangkan keburaman akibat air matanya yang terkumpul di balik kelopak mata— Luna kembali terbayang akan adegan panasnya dengan Almo.
“Aarrgghhh~ ”
Suara erangan yang seksi dari pria tampan bermata indah. rahang tegas, tatapan tajam. Luna memperhatikan semuanya saat mereka beradu pandang.
Kini dia hanya bisa meremas kuat kepalan kedua tangannya dengan geram.
...***...
“Apa aku harus melempar jasadnya ke kandang Citah?" tanya Enzo, si pria berjas yang sempat bertemu dengan Luna juga di club.
Kini pria itu tengah berdiri bersama seorang pria berkaos hitam yang sibuk menghisap rokok di kegelapan malam. “Hhfffuuuu....” Asap mengepul ke udara saat Almo menghela mengeluarkan asap rokoknya.
“Penggal kepalanya dan kirim ke keluarganya.” Pinta Almo dengan tatapan datar tak peduli reaksi apa yang akan muncul dari keluarga pria bernama Liam Jackson. Masih ingat? pria yang duduk di sebelah Enzo.
Itu adalah taktik dan permainan Almo. Dia memiliki alasan tersendiri dengan menutupi identitasnya sebagai mafia. Sudah 3 tahun ia bertahan seperti ini, hanya untuk permintaan sang ayah tercintanya yang sekarat dan tak bisa bergerak, hanya terbaring di atas kasur dan menunggu ajal menjemput.
“Baik Tuan Almo." Enzo mengeluarkan sebuah pisau besar dari dalam bagasi mobil. Terlihat Liam Jackson yang saat ini tergeletak tak bernyawa dengan bersimbah darah akibat penyiksaan yang Enzo lakukan atas perintah tuannya, Almo Da Costa.
Tanpa banyak bicara, Enzo dengan lihainya mulai menggorok leher pria malang itu hingga putus. Dan Almo sendiri hanya berdiri menatap lekat tanpa menunjukkan wajah jijik ataupun takut, seperti seseorang yang sudah terbiasa melihat adegan seperti itu.
Kini sarung tangan hitam Enzo berlumuran darah. “Tuan Almo! Mereka akan bertanya soal Anda, apakah aku harus mengungkap identitas Anda?" tanya Enzo.
“Jangan. Biarkan ini berjalan seperti sebelumnya.” Pintanya yang masih memilih menutupi identitasnya.
Tak banyak basa-basi, Enzo pria yang sangat cekatan sehingga Almo sendiri sangat mempercayainya dan sangat suka dengan semua pekerjaan yang pria itu tuntaskan dengan cepat.
Almo membuangnya rokoknya tepat di kakinya, lalu berjalan ke arah mobil hitam lainnya. “Dan iya, buat wanita penerjemah itu tak bisa berkutik di kepolisian. Aku yakin dia akan melapor ke sana!" ucap Almo menyeringai licik hingga akhirnya dia masuk ke dalam mobil yang ia kendarai sendirian.
Enzo hanya mengangguk faham dan melihat kepergian mobil bosnya. Sedangkan dia dan dua anak buah yang dia bawa, dengan segera membungkus jasad Liam, memisahkan kepalanya ke kantong plastik lainnya untuk dikirim ke keluarga Jackson.
...***...
Keesokan harinya. Biel sama sekali tidak melihat temannya itu keluar dari kamar, dan ini sudah memasuki siang hari bahkan tepat di jam makan siang.
Tok! Tok! Tok!
“Luna!! Kau yakin baik-baik saja?? Aku khawatir, katakan saja jika ingin bercerita!” ucap wanita dengan Cepol tinggi.
Sudah berkali-kali wanita itu mengetuk pintu kamar Luna, namun masih tak ada jawaban hingga beberapa menit kemudian, barulah pintu terbuka dan memperlihatkan Luna yang sudah mandi segar.
“Maaf, aku kesiangan!” ucapnya yang selalu tersenyum ramah. Ya! wanita itu memanglah ramah terhadap siapapun, sehingga di pikiran Luna hanya ada positif thinking. Namun kini dia sudah merubah pikiran tersebut.
Bahkan— “Kau... Rambut panjang mu... ” Biel terkejut melihat rambut Luna menjadi pendek, meski itu tak memudarkan kecantikannya, tetap saja Biel terkejut karena Luna sendiri pernah bercerita tentang rambut panjangnya yang sangat dia sayangi.
“Kau yakin baik-baik saja?” tanya nya masih khawatir.
“Sekarang sudah baik!” balas wanita itu yang sudah tak memperdulikan akan rambutnya.
Luna hanya ingin membuang kepanikannya agar tak menjadi wanita depresi karena pemerkosaan itu. Meski sepele, tapi bagi seorang wanita itu bukanlah hal sepele.
.
.
.
Sisilia — Italy
Mansion Da Costa
Langkah kaki panjang dan cepat, diikuti oleh beberapa pasang kaki lainnya yang berada di belakangnya. Almo dengan kaos hitam dan jas hitamnya, berjalan tergesa dan panik saat mendapat kabar dari Mansion tentang keadaan ayahnya.
“Dov'è mio padre? (Dimana ayahku)?" tanya tegas Almo kepada penjaga kamar ayahnya.
“Nyonya Lorella mengirim medisnya untuk mengambil paksa Tuan Morrone kembali ke Milan.” Jelas penjaga tadi malah memancing emosi Almo.
Pria itu terlihat menahan amarahnya hingga mengepalkan tangannya. Dengan gerakan cepat, dia langsung membenturkan kepala anak buahnya itu ke tembok hingga berdarah. “Seharusnya kau mencegahnya.” Ucap Almo dengan suara serak beratnya itu.
Pria itu langsung bergegas pergi. Tentu saja dia akan mengambil ayahnya kembali. Lorella adalah ibu tirinya, namun Almo sangat membencinya karena alasan tersendiri.
“Fucking Lorella!” umpat Almo yang benar-benar kesal. Selama 3 tahun dia harus berpura-pura mengabdi kepadanya atas perintah ayahnya. Namun kali ini dia tak akan tinggal diam saja. 3 tahun sudah cukup bagi Almo Da Costa untuk menahan emosinya.
PEKERJAAN YANG DIMATIKAN
Selama diperjalanan menuju Milan. Almo meremas-remas kepalan tangan kirinya yang bertengger di tangan sofa singel jet pribadinya.
“Tuan, ada panggilan masuk!” ucap salah satu anak buahnya sembari membawakan sebuah alat komunikasi canggih.
Pria berkaos hitam itu berdiri di samping bosnya duduk, sambil memegangi alat tersebut. [“Tuan Almo! Wanita itu baru saja melapor ke polisi, tapi dia tidak berhasil. Apa perlu saya membunuhnya saja? ”] tanya Enzo yang rupanya masih berjaga di Philadelphia.
Almo terdiam beberapa saat, mencoba mengingat akan gadis itu. Gadis malang yang sudah dia renggut mahkotanya.
[“Tidak perlu. Matikan saja pekerjaannya, aku yakin uang adalah segalanya di dunia ini. Dia tidak akan bisa berbuat sesuatu jika tidak mempunyai pegangan.”] Pinta Almo lalu segera menyuruh anak buahnya tadi pergi dan mematikan panggilan tadi.
Kali ini Almo hanya fokus ke ayahnya saja. Lorella— entah apa yang akan dia lakukan kepada pria itu di saat Morrone tak bisa lagi menggerakkan tubuhnya. Tapi yang pasti, Almo tahu bahwa wanita itu memiliki tujuan tertentu. Mengambil warisan Morrone untuk anak kesayangannya Sergio.
.
.
.
Beberapa jam menempuh perjalanan. Almo langsung saja pergi ke kediaman Lorella saat ini, Mansion Da Costa pertama. Jangan terkejut! Morrone mempunyai 2 Mansion, 1 di Milan dan satu lagi milik Almo di Sisilia.
“LORELLA!!!” sentak Almo suaranya menggema hingga burung-burung yang tadinya rehat di pepohonan pun langsung berterbangan.
Seorang wanita paruh baya dengan pakaian elegan dan berwibawa. Lorella Fox, wanita itu langsung bangkit dari duduk santainya saat dia melihat kedatangan Almo yang membawa kemarahan.
Pria itu menatap tajam saat dia begitu dekat dengan ibu tirinya itu. “Siapa yang menyuruhmu membawa ayahku kemari?” tanya Almo penuh penekanan di setiap kalimatnya.
Lorella tersenyum miring sambil melipat kedua tangannya. “Apa aku perlu meminta izin jika ingin membawa suami ku? Apa kau lupa dia menyuruhmu untuk hormat kepadaku Almo! Jadilah putra yang baik.” Ujar wanita itu sangat santai.
Mendengar hal itu, Almo menyeringai tak percaya. Pria itu berkacak pinggang lalu kembali menghampirinya dan menatap lekat serta tajam. “Kau memanfaatkan semuanya dengan sangat baik. Jika bukan karena Morrone, maka Lorella dan Sergio Fox sudah tewas di tanganku.” Ucap pria itu memberikan balasan yang membuat Lorella tak lagi tersenyum.
“Da Costa! kau salah menyebut marga kami.”
“Fox! Fox.... Itu adalah margamu.” Ucap Almo mengingatkan kembali.
Seperti tercekat di tenggorokan. Lorella tak bisa berkata-kata dan hanya menatap kesal sekaligus emosi.
Almo berbalik pergi, namun dia kembali menghentikan langkahnya dan menoleh ke kanan. “Aku akan membawanya pergi. Jika kau berani datang lagi ke Mansion ku, maka aku tak segan melupakan bahwa kau adalah istri Morrone.” Ancam Almo tak main-main— yang artinya dia bisa membunuhnya kapan saja tanpa memperdulikan janjinya mengabdi kepadanya selama ayahnya masih bernapas.
Pria itu melangkah pergi. Lorella sendiri hanya tersenyum getir hingga menggertakkan giginya dan mengepalkan kedua tangannya yang masih terlipat ke perutnya.
Ceklek! Almo melenggang masuk melewati pintu yang terbuka. Seorang pria dengan rambut dan janggut kumis berwarna putih tengah berbaring tak berdaya di atas kasurnya.
Mengenakan kaos lengan panjang putih hingga tatto di tangan dan dadanya pun terlihat. Morrone juga mantan seorang mafia sampai tragedi memilukan menimpanya hingga menjadikannya lumpuh tak berdaya.
“Almo?!” panggil nya saat dia mendengar suara langkah sepatu yang Almo kenakan.
“Aku di sini.” Jawab pria itu duduk di sebelah ayahnya.
“Tidak perlu membawa ku pergi dari sini. Aku akan tetap di sini, kau bisa bebas.” Ujar Morrone Da Costa hingga membuat putranya itu berkerut alis.
“Apa kau menukarnya dengan dirimu?" tebak pria itu.
Morrone tak bisa menggerakkan kepalanya bahkan untuk mengangguk kecil. “Ya! Aku sudah membuatmu mengabdi kepada Lorella dan Sergio selama 3 tahun, dan menyuruhmu untuk menutupi identitas mu.” Jelas pria tua itu membuat Almo terdiam.
“Kini kau bisa menjalankan hidupmu sendiri.”
“Kau sengaja melakukannya agar aku tidak bisa melukai mereka berdua. Apa yang membuatmu sangat terikat dengan wanita itu?” kesal Almo. Setiap kali dia bertanya, Morrone selalu diam dan tidak menjawabnya.
“Turuti saja keinginan ku.”
Almo tak bisa berkata-kata lagi selain menggeram kesal akan ayahnya. Namun entah kenapa dia selalu tak bisa menolak permintaannya.
.
.
.
“Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa.... pekerjaan ku terhambat Biel!" ucap Luna sembari berkerut kesah.
Sudah satu Minggu lewat, namun Luna tak ada panggilan atau jasa menerjemahkan. Bahkan untuk para turis asing dari luar negara.
“Tidak semuanya berjalan lancar Luna. Tapi kau benar juga! Apa kau memiliki masalah dengan seseorang?” tanya Biel yang kini ikut duduk di sebelah kawannya.
Luna menggeleng. Wanita cantik dengan rambut pendeknya itu perlahan sudah melupakan soal pria bernama Almo. Bahkan penolakan polisi atas tuduhannya pun malah membuatnya dihina oleh para polisi di sana.
Memang benar. Uang adalah segalanya!
“Kau ingin bekerja bersamaku?” tawar wanita cantik berambut pirang itu tersenyum lebar.
Luna menatap temannya. Dia tahu pekerjaan Biel adalah seorang penari tiang di club. Tapi Luna bukanlah wanita yang pandai menari di tiang seperti wanita di bar, itu bukan keahliannya.
“Aku tidak bisa menari Biel—”
“Siapa yang bilang kau akan menari? Ada lowongan di club' ku, menjadi pelayan VIP! Tapi... ” Biel mengehentikan ucapannya sehingga Luna penasaran.
“Tapi apa?”
“Kau harus mengenakan seragam khusus, dan itu sangat seksi sekali! Tapi kau bisa bernegosiasi dengan bosnya supaya hanya menjadi pelayan saja tanpa melayani nafsu bejat!” jelas Biel.
Luna menarik napas dalam-dalam. “Aku akan memikirkannya." Balasnya dengan wajah cemberut.
Oh ya Tuhan! Ini sangat berat. Luna bukan wanita berduit ataupun lahir dari keluarga kaya raya. Dia tumbuh di panti, diadopsi oleh keluarga gila yang suka menyiksanya hingga akhirnya Luna bisa kabur dan memilih tinggal sendirian sampai dia bertemu Biel di Philadelphia. Tentu saja pendidikan hanya arang-arang, tapi untungnya wanita itu giat belajar sendiri hingga menjadi seorang penerjemah bahasa Italia, Arab dan Rusia plus Inggris!
-‘Aku sudah mengirim lamaran pekerjaan di setiap tempat. Tapi mereka langsung menolaknya, kenapa?’ pikir Luna keheranan.
Wanita itu akhirnya memutuskan untuk pergi ke dapur, namun saat dia melewati jendela. Tanpa sengaja Luna melihat seorang pria tengah memantaunya dari bawah sana, padahal ia berada di lantai yang cukup tinggi sehingga Luna sendiri tak nampak jelas wajah pria itu.
Sudah 4 hari ini dia melihat pria yang sama, seakan-akan dia tengah diperhatikan oleh seseorang.
[“Baiklah Tuan Enzo! Aku mengerti!”] ucap pria yang sama yang saat ini sedang mengawasi Luna atas perintah Enzo agar wanita itu tak bisa mendapat pekerjaan dan uang.
Dengan begitu, Luna tak akan bisa menuntut Almo apalagi membayar ataupun menyogok seseorang untuk membantunya. sangat licik!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!