Hai namaku Puteri Maharani, usiaku kini 37 tahun, dan aku akan menceritakan sebuah perjalanan hidup, yang sudah membuat hidupku berubah 180 derajat. Semua berawal sejak 20 tahun yang lalu, kala itu usiaku 17 tahun dan aku baru saja lulus dari sekolah menengah kejuruan.
Aku terlahir dari keluarga sederhana, Ayahku adalah seorang buruh pabrik di Kota Cimahi, sedangkan mamahku adalah seorang ibu rumah tangga. Aku mempunyai seorang adik laki-laki bernama Krisna Aditama, yang usianya 5 tahun dibawahku.
Kami tinggal di sebuah rumah kontrakan di daerah Bandung kota. Saat itu adalah hari pertamaku bekerja disebuah perusahaan sebagai marketing. Dan ini adalah awal dari kisahku.
********************************************************************************
Hari itu aku mendapat panggilan kerja di sebuah perushaan yang terletak di tengah kota Bandung, perusahaan itu berada di salah satu lantai gedung yang sangat tinggi, dan di gedung itu pun terdapat beberapa perusahaan lainnya.
Di dalam gedung itu juga terdapat lobby di lantai dasar dan food court dilantai atas untuk para karyawan. Di hari pertama aku bekerja, aku masuk ke dalam sebuah tim yang beranggotakan 6 orang, dengan 4 sales dan 2 leader yang terbagi menjadi 2 kubu.
Kala itu leaderku atau biasa disebut senior yang membantuku bernama Wulan, usia Wulan 8 tahun diatasku, dan ia begitu baik, sosok Wulan yang dewasa begitu mengayomiku, selalu membimbingku sehingga aku bisa menjadi sales yang handal, bahkan saking dekatnya kami, Wulan sudah kenal dengan keluargaku, dan ia tak sungkan memanggil Ayah kepada Ayahku.
Tak terasa waktu demi waktu berlalu, 1 tahun sudah aku bekerja disana, dan selama itu juga kehidupanku begitu monoton. Setelah selesai bekerja aku selalu langsung pulang ke rumah, bahkan di hari libur pun, aku tidak pernah kemana-mana, hanya menghabiskan waktu di rumah saja.
Aku memang anak rumahan, karena sedari aku dan adikku kecil, kami tidak pernah dibiasakan bermain jauh di luar, orang tua kami lebih membiasakan untuk teman-teman saja yang bermain di rumah kami, dan kalau pun mengharuskan kami bermain di luar rumah, kami harus laporan kepada orang tua, dimana kami bermain dan pulang pukul berapa.
Bukan mengekang, tetapi orang tua kami mempunyai cara sendiri untuk mendidik kami, dan itulah cara mereka menyayangi kami, bahkan sebelum magrib kami sudah di haruskan berada di dalam rumah, pasti dari kalianpun ada yang mendapatkan perlakuan sama dari orang tua kalian, betul?
Sampai akhirnya beranjak dewasa kebiasaan itupun terbawa, bisa dibilang hidupku tidak umum dengan anak-anak seusiaku, mereka yang sudah beranjak remaja ke dewasa, pasti sudah banyak mengunjungi tempat-tempat seperti mall atau tempat wisata, bermain bersama teman-temannya, tapi tidak denganku, waktu yang banyak ku habiskan adalah untuk bekerja dan diam di rumah saja, sampai suatu hari teman-teman kerjaku berinisiatif untuk mengunjungi sebuah tempat wisata di daerah Subang.
Lebih tepatnya ke Ciater Hot Spring, di Ciater Subang untuk berendam air panas blerang, dan rencananya kala itu mereka akan pergi malam hari setelah selesai meeting. Acara dadakan memang, sehingga tidak banyak dari kami yang membawa pakaian ganti. Dua diantaranya adalah aku dan Wulan, namun itu bukanlah masalah besar.
Wulan yang tahu betul bagaimana kehidupanku, lalu membujukku untuk ikut, namun aku langsung menolak tanpa berpikir 2 kali, kemudian ia menemukan ide agar aku bisa berpartisipasi dalam acara dadakan itu. Ia menghubungi ayah, dan meminta izin kepada beliau. Awalnya aku merasa ia hanya buang-buang waktu saja melakukan itu, sampai akhirnya ia memberikan ponselnya yang masih tersambung dengan ayah kepadaku.
“Ha.. halo yah..?” jawabku terbata-bata
“Halo teh, Wulan bilang, malam ini ada acara dadakan dari kantor ya, kemana itu hmm.. ( berpikir sejenak) ke Ciater, apa benar?”
“I.. Iya yah.. ( sambil menelan saliva yang terasa begitu sulit )
“Apa kamu mau ikut?”
“Hemmm, iya kalau diizinkan yah.” Jawabku dengan lirih, karena aku tahu ayah pasti tidak akan mengizinkan, aku tahu betul ayahku seperti apa, beliau begitu khawatir kepada anak-anaknya, apalagi ini kali pertamaku pergi bersama orang lain, di malam hari, ke tempat yang asing bagiku.
“Tolong berikan ponselnya pada Wulan, ayah mau bicara lagi!”
“Iya yah.” Jawabku lagi dengan lesu, dipikirku kala itu pasti ayah akan memarahiku dan memarahi Wulan juga karena izin ini, kemudian aku menyerahkan ponselnya kepada Wulan lagi.
“Halo yah, (terdiam sejenak mendengarkan perkataan ayah di seberang sana ), oke baik terima kasih yah, Wulan pasti akan menjaga Puteri dengan baik, ayah jangan khawatir.” Kemudian telepon ditutup.
Aku hanya tertegun mendengar apa yang barusan di ucapkan Wulan di telepon. “Terima kasih? Menjaga Puteri dengan baik? Hah? Maksudnya apa ayah mengizinkan aku pergi begitu?” Aku bergelut dengan pikiranku sendiri, sampai Wulan menepuk pundakku dan mengatakan dengan bahagia bahwa aku diizinkan ikut oleh ayah.
Hal yang tidak pernah aku duga sebelumnya, ayah mengizinkan aku pergi. “Ya Tuhan, apa ini yang namanya keajaiban, sungguh hal yang mustahil.” Lirihku dalam hati. Wulan lalu menceritakan apa saja yang ayah katakan kepadanya. Ayah berkata jika aku tidak pernah pergi-pergi jauh, dan ini kali pertama bagiku, beliau mengizinkan karena Wulan pergi bersamaku, dan ayah meminta Wulan agar menjagaku, tentu saja Wulan langsung setuju, bagaimana tidak, Wulan itu seperti kaki tangan ayahku heheheh, karena begitu sayangnya ia padaku, terkadang kelakuan Wulan dan Ayah sama over protectivenya.
Akhirnya kami pun tiba di Ciater Hot Spring. Teman-teman sudah siap untuk berendam, namun kala itu aku sedang berhalangan, jadi aku memutuskan untuk merendam kaki saja sambil bermain air dan mengobrol bersama yang lainnya. Namun hal yang tak mengenakan terjadi disana.
Berawal dari ponselku yang terus menerus berdering, membuatku mendapatkan ejekan dari teman-teman yang lain. Mereka mengejekku karena yang dari tadi menghubungi ponselku adalah ayah, ayahku menanyakan apakah aku sudah tiba, apakah aku baik-baik saja disini, hal yang wajar ditanyakan oleh orang tua kepada anaknya, karena beliau merasa khawatir kepadaku.
Bukan sesuatu hal yang salah, namun hal itu dijadikan bahan lelucon oleh mereka yang tidak suka, atau merasa iri karena aku diperlakukan begitu istimewa oleh orang tuaku. Mereka menganggap kalau aku adalah anak ayah yang manja, pulang pergi kerja diantar jemput oleh ayahku, bahkan malam minggu saja masih ayahku juga yang menjemput bukannya pacar.
Tentu saja, karena aku memang tidak punya pacar kala itu, dan lebih parahnya lagi mereka mengataiku habis-habisan sambil tersenyum puas tanpa rasa bersalah. Ini adalah pembullyan pertama yang terjadi dalam hidupku, rasanya sungguh menyedihkan dan menyakitkan.
Wulan yang mendengar dan melihat kejadian itu langsung mengulti mereka, Wulan membelaku dengan mengatakan jika tidak seharusnya mereka menjulitiku seperti itu, dan tidak perlu ikut campur dengan apapun yang menjadi urusan orang lain.
Sungguh kejadian itu membuatku berpikir lain, apa yang mereka katakan ada benarnya juga, usiaku sudah 18 tahun, dan tidak ada salahnya jika aku mempunyai pacar, sehingga ayah tidak perlu mengantar jemputku lagi, bahkan malam minggu pun aku seharusnya bermalam mingguan seperti wanita lain pada umumnya.
Di satu sisi aku sedih karena perkataan mereka, dan di sisi lain aku juga kesal kepada ayah, seandainya ayah tidak bersikap begitu, mungkin aku tidak perlu mengalami hal ini. Dan sejak saat itu aku memutuskan, untuk mempunyai seorang kekasih.
Singkat cerita, aku pulang ke rumah di pagi hari, saat aku mengetuk pintu rumah, ayah yang membukakannya untukku. Setelah mengucap salam dan mencium tangan aku segera masuk ke kamarku, dan ayah mengikuti. Beliau bertanya apa aku sudah sarapan, dan bagaimana acaranya semalam, namun aku hanya menjawab seperlunya saja, dan memutuskan untuk tidur sebentar karena lelah.
Ayah lalu mencium keningku dan pergi keluar kamar, suasana hatiku begitu buruk setelah malam itu, aku menjadi kesal kepada ayah, dan ingin memberontak rasanya, mengapa aku masih diperlakukan seperti anak kecil, padahal aku sudah besar, beginikah rasanya di bully? Sangat menyakitkan dan begitu membekas. Hal yang akan sulit dilupakan olehku, akan terus terpatri dalam benak.
So teman-teman, harap menjadi pelajaran ya, janganlah membully siapapun dengan tujuan apapun, karena hal itu bisa membuat seseorang yang menjadi korban bully menjadi trauma dan mempengaruhi psikisnya.
Berbulan-bulan semenjak kejadian hari itu aku mulai menunjukan sikap yang berbeda, aku menjadi pemurung dan tak ceria seperti biasanya. Tentu saja penyebabnya adalah ledekan dari teman-temanku kala itu, yang masih jelas membekas dalam hati dan ingatanku.
Setelah hampir 2 tahun bersama, membuat Wulan sangat mengenal betul bagaimana sifat dan karakterku. Wulan juga menyadari perubahan sikapku, dan itu membuatnya cukup terganggu. Bagaimana tidak, sosokku yang selalu menjadi badut ditempat kerja karena pandai membuat suasana gembira yang mengundang gelak tawa, kini menjadi hening dan membosankan.
Akhirnya Wulan berinisiatif mendekatiku dan mengajakku berbincang-bincang disela waktu makan siang. Wulan bertanya hal apa yang sampai membuatku berubah seperti itu. Sebenarnya Wulan tau apa alasannya, hanya saja ia ingin aku berterus terang mengenai perasaanku sendiri.
Akupun mulai bercerita dan terbuka mengenai apa yang ku rasakan saat itu, mengenai rasa tidak suka ku karena ledekkan dari teman-teman, juga mengenai sikap ayahku yang sangat posesif.
Wulan paham betul bagaimana rasanya perasaanku. Ia lalu mengusap puncak kepalaku sambil memberiku nasihat yang sangat menyentuh hatiku. Ia berkata jika seharusnya aku bersyukur diperlakukan istimewa oleh ayahku, tidak semua anak gadis seberuntung diriku, mempunyai seorang ayah yang begitu sayang dan perhatian.
Ia pun menceritakan beberapa kisah mengenai teman-teman yang lain, yang kurang beruntung dengan ayah mereka, juga termasuk kisah dirinya yang kurang perhatian dari sosok ayah. Dan itulah alasannya mengapa teman-teman kerjaku memanggil ayah juga kepada ayahku.
Bahkan mereka yang meledekku malam itu, mungkin sebenarnya mereka merasa iri kepadaku, karena aku diperlakukan begitu istimewa oleh ayah, sedangkan mereka tidak pernah diperlakukan begitu oleh para ayahnya, begitu kata Wulan.
Setelah perbincangan dengan Wulan itu membuat suasana hatiku membaik, aku mengerti sekarang, bahwa kita sebagai orang yang beranjak dewasa harus siap bertemu dengan berbagai macam karakter orang, salah satunya seperti mereka.
Dan bagaimana cara menyikapinya, ialah kita harus legowo, ambil yang positifnya dan abaikan yang negatifnya, jangan semua diambil hati, jangan semua diambil pusing, karena yang tau seperti apa hidup kita, hanya kita sendiri yang mengetahuinya.
Saat pulang kerja, aku bertemu dengan temanku yang bernama Deni. Ia adalah kenalanku yang pernah bekerja diperusahaan itu, namun resign karena satu dan lain hal, kala itu Deni sedang bersama temannya bernama Rahman.
Kebetulan hari itu aku tidak dijemput oleh Ayah, jadi aku punya waktu luang untuk mengobrol dengan teman lamaku itu, kemudian kami sama-sama menuju cafe terdekat.
Deni bekerja sebagai IT di salah satu perusahaan terkenal, namun temannya yang bernama Rahman sedang menganggur, baru saja di PHK karena ada pengurangan karyawan di perusahaannya. Setelah mengobrol panjang lebar, kami pun bertukar nomor telepon lalu memutuskan untuk pulang.
Singkat cerita aku sudah sampai dirumah, saat sedang rebahan diatas kasur tiba-tiba ponselku berdering dan memunculkan nomor baru yang tidak dikenal. Awalnya aku mengabaikan panggilan itu, namun karena nomor asing itu terus menerus menelepon, maka akupun mengangkat teleponnya, ternyata itu Rahman, temannya Deni.
Rahman mengatakan bila ia dengan sengaja meminta nomorku kepada Deni, karena ia merasa tertarik kepadaku, dan merasa nyaman saat sedang mengobrol tadi. Aku hanya tersenyum mendengar penuturannya.
Tak terasa waktu demi waktu berlalu. Setelah hampir 2 bulan lamanya aku dan Rahman berkomunikasi hampir setiap hari, selain lewat telpon, tak jarang juga kami bertemu walau hanya sekedar nongkrong di cafe.
Komunikasi yang semakin intens itu menumbuhkan benih-benih cinta diantara kami, Aku yang memang dasarnya seorang gadis baik-baik dan awam, mudah merasa baper terhadap seorang lelaki, terutama mereka yang perhatian dan romantis. Dan akupun juga tidak mau ambil pusing dengan status Rahman yang masih menganggur. Hingga akhirnya Rahman memutuskan untuk menyatakan cinta kepadaku.
Akupun menerima pernyataan cinta Rahman, dan akhirnya kami resmi berpacaran. Dan hal yang membuatku bahagia salah satunya adalah aku tidak jomblo lagi karena hampir setiap hari tidak dijemput oleh ayah, melainkan oleh kekasih baruku Rahman.
Hari demi hari, bulan demi bulan berlalu, tanpa ku sadari Rahman begitu menikmati statusnya sebagai pengangguran. Bagaimana tidak, Rahman selalu menjemputku ketika pulang kerja, dan kami selalu menyempatkan untuk makan malam bersama sebelum pulang atau sekedar berjalan-jalan dan nongkrong di kaki lima atau cafe, tentu saja semua biaya itu aku yang menanggungnya, mulai dari isi bensin, makan, rokok, sampai biaya parkir, bahkan tak jarang juga ia meminta uang untuk keperluan pribadinya kepadaku, dan itu karena Rahman masih juga belum mendapatkan pekerjaan.
Pernah suatu hari, Rahman bersama kedua sepupunya berencana ingin tripple date disebuah cafe didaerah dago atas, dengan bangga Rahman mengajakku, menggandeng tanganku dan memperkenalkannya kepada kedua sepupunya itu. Mereka juga datang membawa kekasihnya masing-masing, menikmati malam minggu romantis di cafe yang terletak di daerah dago atas.
Dengan udara malam yang dingin, diiringi suara merdu sang vocalist yang menyanyikan lagu romantis, membuatku merasakan suasana baru, berada ditengah kerumunan kaum muda mudi yang sedang asik bermalam minggu, sebab hal itu tidak pernah ku rasakan sebelumnya.
Ketika sedang asik menikmati suasana, tiba-tiba Rahman berbisik kepadaku. "Yank, nanti besok kita main kerumah Ima yuk, Ima besok ulang tahun dan mau bikin party di rumahnya", jelas Rahman kepadaku. (Ima adalah salah satu sepupunya yang kini sedang berada ditempat yang sama denganku, hanya saja tempat duduk kami sedikit berjauhan.)
"Boleh yank, jam berapa?” jawabku kemudian.
"Acaranya sih jam 8 malem, tapi yank, aku gak punya uang untuk beli kadonya, kamu yang beliin ya!" Pinta Rahman kepadaku. (Sudah menjadi rahasia umum setiap kencan atau jalan-jalan kemanapun akulah yang selalu mengeluarkan uang.)
"Hu'um, emang mau ngasih kado apa yank?" Tanyaku pada Rahman.
"Terserah kamu aja, yang penting kita harus bawa kado, kalo enggak malu lah, ngapain kita kesana kalo gak bawa apa-apa?" lanjut Rahman kemudian sambil mengaduk-ngaduk minumannya.
********************
Hari esok pun tiba. Sepulang kerja, aku mampir ke sebuah toko untuk membeli hadiah, yaitu sepasang kaos couple untuk dikenakan Ima dan kekasihnya. Dengan hanya mengira-ngira, kupilihkan baju berwarna hitam bertuliskan You’re mine forever berwarna pink, dengan ukuran M untuk pria dan S untuk wanita, yang menurutku sesuai dengan ukuran Ima dan kekasihnya lalu ku bungkuskan dengan box berwarna hitam, dengan pita pink seperti warna kesukaan wanita pada umumnya.
Kami tiba di tempat acara, dan pestanya cukup meriah, kebanyakan dihadiri oleh kaum muda mudi seusia kami. Setelah mengucapkan selamat kepada Ima dan memberikan hadiahnya, lalu Rahman mengajak ku untuk mengambil beberapa makanan dan minuman, dan kami duduk di taman belakang, yang berada tidak jauh dari tempat pesta.
Kami duduk di sebuah ayunan sambil memandangi mereka yang tengah asik berpesta, ada yang berdansa, ada pula yang sedang fokus menikmati makanan yang disajikan, atau hanya sekedar ngobrol-ngobrol sambil memegang gelas minuman di tangannya.
Tiba-tiba Rahman menolehkan wajahku ke arahnya. Dan ia menciumku, Rahman mencium bibirku dengan cepat dan tanpa ragu. Jantungku berdegup kencang tak karuan. Apa itu? pikirku bertanya-tanya bagaiman bisa terjadi, secepat itu? my first kiss? OH MY GOD apa aku bermimpi?
Cuuuup.. lalu Rahman mencium bibirku lagi lebih lama dari yang sebelumnya. Ya kami berciuman disini, tentu saja dengan perasaan was-was, karena takut akan ada yang melihat kami. Dan itu adalah ciuman pertamaku dengan seorang pria, ya walau Rahman bukan pacar pertamaku.
Setelah dia melepaskan pagutannya dibibirku kemudian dia mengucapkan terima kasih, karena telah menemani nya ke pesta saudarinya itu, dan juga karena aku mau bersamanya, meskipun statusnya sampai hari ini masih seorang pengangguran.
********************
Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 22.30 malam, itu artinya sudah waktunya aku untuk pulang. Sebenarnya ayah berniat menjemputku sepulang kerja tadi, tetapi ku bilang tidak perlu, karena aku akan menghadiri pesta ulang tahun dari saudarinya Rahman. Ayah mengizinkan, dengan syarat jam 22.00 sudah sampai di rumah. Akupun segera pamit pada Ima dan yang lainnya dan kamipun segera meninggalkan tempat itu.
Ya Tuhan jantungku berdegup semakin kencang, bagaimana ini? gumamku dalam hati, bukan karena aku mengingat ciuman yang tadi, tetapi apa yang harus ku katakan kepada Ayahku kelak, ketika aku sampai dirumah, karena waktu sudah menunjukan pukul 23.00 malam, itu artinya aku sudah mengingkari janjiku pada ayah.
Aku tiba didepan pintu rumah, lalu mengetuk pintu, dan tidak lama pintu pun dibuka oleh ayah dengan wajah datar dan berkata, "Jam berapa ini? MASUK!"
Kemudian aku pun masuk, dan Rahman pergi meninggalkan halaman rumahku. Aku hanya menunduk saja karena sudah pasti tahu ayahku akan marah karena aku ingkar janji. " Maaf yah tadi dijalan macet", bohongku kepada ayah.
"Jangan kamu kira ayah bisa kamu bodohi PUTERI, ayah memang sudah tua, tapi jangan kamu lupa, ayah juga pernah muda, ayah seperti ini karena mengkhawatirkanmu, kamu itu seorang perempuan, tidak baik pulang malam seperti ini, dimana tanggung jawab kamu?? apa kamu senang bila dipandang buruk oleh orang lain?? Ayah ini orang tuamu, Tanggung jawab ayah menjagamu sampai kamu menemukan Imammu, dan menyerahkan tanggung jawab ayah pada suamimu, karena tidak ada orang tua yang senang melihat anaknya dipandang rendah oleh orang lain, apalagi kamu seorang perempuan yang harusnya bisa menjaga harkat dan martabat kamu", ucap ayah dengan penuh khawatir kepadaku.
Ayah tidak pernah begini sebelumnya, beliau menjadi lebih over dalam menjagaku, padahal sekarang aku sudah punya Rahman yang siap menjagaku. Aku tahu ayah pasti kecewa, " Maaf yah, teteh janji gak akan ngulangi lagi, maaf karena sudah bikin ayah kecewa", kemudian aku pun berlari menuju kamarku.
Didalam kamar aku hanya terisak, pertama kalinya ayah membentakku, hal itu benar-benar membuatku takut, tapi aku juga mengerti perasaan beliau. Aku tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya, maka wajar bila beliau khawatir, maaf ayah aku sedah mengecewakanmu dan membuatmu khawatir lagi.
Entah mengapa tapi justru rasa bahagia malam ini hilang begitu saja dan berganti rasa bersalah yang begitu besar kepada ayahku. Ku teringat kembali kata-kata Wulan kala itu, seharusnya aku bersyukur karena aku memiliki ayah hebat yang begitu peduli kepadaku, tapi disisi lain aku merasa risih karena perlakuannya kepadaku seperti seorang ayah kepada anak gadisnya, padahal usiaku sudah hampir menginjak 19 tahun.
Hari berganti hari lagi, dan Rahman semakin menujukan sifat aslinya, ia seolah memanfaatkan aku untuk memenuhi segala inginnya, meminta dibelikannya ini itu tanpa memikirkan apakah aku mempunyai uang atau tidak.
Karena ia tahu, bahwa aku mencintainya sehingga ia berpikir bila apapun keinginannya pasti akan aku turuti. Namun ada hal yang membuatku kesal adalah, ketika Rahman yang mulai sering ingkar janji, berkali-kali ia berdusta, sampai suatu ketika aku sudah tidak bisa memaafkannya lagi, aku meninggalkannya.
Tanpa terasa hubunganku dan Rahman sudah di bulan ke 3 usia pacaran. Tapi aku sudah merasa jenuh. Akupun baru menyadari bahwa hubunganku tidak ada perkembangan karena Rahman tak kunjung mencari pekerjaan juga.
Ayahku adalah tipe orang tua yang tidak gegabah dalam menegur anak gadisnya, terlebih setelah kejadian malam itu ia pun semakin menyadari bahwa anak gadisnya kini sudah tumbuh menjadi seorang wanita muda.
Kemudian aku memutuskan hubunganku dengan Rahman karena suatu kejadian, kala itu Rahman melakukan hal yang berdampak fatal pada semua, dan membuatku harus menunggu satu jam lebih dari waktu pulang kerja karena lembur.
Aku hampir-hampiran tidak bisa pulang, karena melewatkan angkot terakhir, yang menuju ke arah rumahku. Saat itu belum ada ojek online, sedangkan uangku tidak cukup untuk naik taxi karena sisa gaji satu bulan sudah habis oleh Rahman. Sehingga tidak ada opsi lain selain meminta tolong kepada ayah untuk menjemputku pulang.
"Halo Ayah, teteh masih ditempat kerja, Rahman belum datang jemput, disini udah mulai sepi teteh takut yah, hiks hiks hiks", isakku kala menelpon ayah.
Ayah yang kala itu sedang berada ditempat kerja karena shift malam merasakan dadanya bergemuruh kala mendengar putri semata wayangnya menangis terisak-isak ditelpon karena kekasihnya tak kunjung menjemput.
Dengan perasaan panik ayah mencoba menenangkanku, "Teh, coba teteh liat dulu angkot terakhir masih ada atau engga, nanti teteh hubungi ayah lagi ya."
Akupun mengikuti saran ayah, aku berjalan menyusuri pangkalan angkot terakhir yang menuju ke daerah rumahku. Kemudian aku menghubungi ayahku lagi.
"Alhamdulillah yah masih ada satu angkot, tapi disini gelap dan sepi gak ada penumpang lainnya", jawabku gemetar saat bercerita kepada ayah tentang kondisi di area tersebut, pasalnya angkot terakhir itu hanya diisi sopir dan satu penumpang pria dibelakang, sehingga ayahpun ikut merasa panik.
"Teh, teteh duduk didepan aja dekat supir, ayah akan izin dulu untuk jemput teteh, nanti teteh turun didepan gang saja, biar ayah yang antar teteh sampai rumah", bujuk ayah untuk menenangkanku, dan panggilan teleponpun terputus.
Aku pun mengikuti saran ayah dan duduk disamping pak sopir, angkot terakhir itupun lumayan lama ngetem dikarenakan masih menunggu penumpang yang lain.
Disisi lain karena panik memikirkanku, Ayah lalu bergegas meninggalkan pekerjaannya dan menjemputku dengan pikiran yang kacau tanpa ia sadari ia telah melakukan kesalahan yang fatal dengan pekerjaannya.
Akhirnya angkot yang ku tumpangi pun pergi. 20 menit kemudian angkot sudah tiba di sisi jalan tepat dengan gang rumahku, lalu akupun menelpon ayah dan mengatakan bila sudah sampai didepan gang.
Tibalah ayah digang tersebut,kemudian mengantarkanku sampai kerumah. (TOK TOK TOK) "Assalamualaikum mah" dan tak lama pintu pun terbuka..
"Waalaikumsalam, kenapa teteh baru pulang?", tanya mamah.
"Ia tadi Rah..." belum selesai aku menjawab, ayah sudah menimpali kata-kataku.
"Tadi si Rahman gak jemput teteh bu, jadi ayah yang jemput dari gang depan".. (Ayah memang memanggil mamaku dengan sebutan ibu, berbeda dengan kedua anaknya yang memanggil mama dengan sebutan mamah).
"Loh kok bisa, memang Rahman kemana? terus kerjaan ayah gimana?", tanya mamah kepada kami.
"Rahman bilang mau jemput tapi setelah ditunggu-tunggu gak datang juga, ditelpon dirijek terus", jawabku sambil berjalan ke kamar..
"Bu, ayah langsung balik ke tempat kerja ya, tadi kerjaan ayah belum selesai", kemudian ayah pamit menyalakan kembali motornya.
"Hati-hati yah jangan ngebut bawa motornya", pesan mamah pada ayah, kemudian motor pun berlalu sambil dijawab ayah, " Iya bu".
Setelah selesai berganti baju, akupun kembali kedepan menemui mamah lalu duduk di depan tv, " Ayah udah pergi lagi mah?", tanyaku pada mamah.
"Sudah teh", jawab mamah sambil mengunci pintu dan duduk disebelahku. Kemudian beliau bertanya, " Kamu dan Rahman kenapa? belakangan ini Rahman sering sekali ingkar janji untuk menjemput dan membiarkan kamu menunggu, dan parahnya malam ini sampai kamu pulang selarut ini?", tanya mamaku dengan wajah panik dan bertanya-tanya.
Aku hanya menarik nafas dan menjawab pertanyaan mamaku dengan mengangkat kedua bahuku sebagai jawaban tidak tahu. Belakangan ini Rahman memang sering mengingkari janjinya, setelah ku tanyakan alasan kepadanya, dia hanya menjawab dengan alasan yang tidak masuk akal. Entah mengapa kata-katanya belakangan ini tidak bisa dipercaya dan itu membuatku sangat kesal.
"Teh, semoga kedepannya ini tidak terjadi lagi, apa kamu tidak melihat begitu paniknya ayah kamu sampai meninggalkan pekerjaannya? bergegas menjemputmu karena khawatir putri semata wayangnya belum pulang kerumah hingga larut malam, bagaimana bila terjadi sesuatu padamu atau pada ayahmu karena ia panik?", kemudian mamah mengusap kepalaku sebelum aku menjawab pertanyaannya beliau kembali bertanya," Kamu sudah makan malam? bila belum makanlah dulu lalu istirahat, jangan begadang, jaga kesehatanmu, kita bahas nanti lagi saja, mamah tidur duluan ya", kemudian mama beranjak dari tempat duduk menuju kamarnya.
Hal yang tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya, ternyata begitu besar rasa cinta ayah kepadaku sampai melakukan apapun untuk putrinya, dia tidak memperdulikan dirinya sendiri, sungguh merasa bersalah aku pada ayah, hanya agar tidak diolok-olok lagi oleh teman-temanku, dan agar ayah tidak terlalu posesif padaku, aku harus berpacaran dengan orang yang salah.
Iya benar, orang yang salah, sebenarnya sejak awal pun aku sudah menyadarinya, jika aku sudah memacari pria yang salah, pasalnya selain pengeretan, lelaki itu pun begitu sombong, padahal ia hanya seorang pengangguran, tetapi gayanya begitu tinggi, tak jarang barang yang dipamerkan pun adalah hasil dari ia meminta sampai mengemis-ngemis untuk dibelikan olehku.
Bahkan disaat ia membuatku menunggu 1jam ditempat kerja, sebenarnya ia sedang berkumpul bersama saudari dan teman nya yang hedon, sambil memamerkan hp apel terbaru yang ia dapat hasil dari kredit, tentu saja menggunakan uangku sebagai dp nya.
Wulan bilang aku memang terlalu baik, teramat sangat baik malah, sampai aku sering diperalat oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan memanfaatkan kebaikan serta kepolosanku, itu karena aku adalah orang yang mudah merasa iba, karena pikiranku yang selalu positif kepada orang lain.
Namun kejadian hari ini benar-benar membukakan mataku, aku tersadar sepenuhnya dengan semua yang terjadi, ternyata ini semua memang hanya akal-akalan Rahman yang sengaja memanfaatkan perasaanku untuk menopang hidupnya dan memenuhi keinginannya, karena ia seorang lelaki pengangguran, aku yang buta akan cinta Rahman pun, hanya menutup mata kala menyadari maksud dari pria itu sebelumnya.
Selama ini aku mengabaikan perhatian serta kasih sayang ayah tercintaku dan menganggap semua yang dilakukan beliau adalah pengekangan yang membuatku risih karena terus diolok-olok oleh temanku dan lebih memilih pria modus yang jelas-jelas tidak tulus padaku. Padahal apa yang ayah lakukan adalah untuk menjaga dan melindungiku tanpa pamrih, kasih sayang yang beliau berikan begitu tulus, bahkan pengorbanannya tidak pernah dilakukan pria lain kepadaku termasuk oleh Rahman.
Aku merenung diatas tempat tidur dan mengingat kembali semua yang telah terjadi belakangan ini, rasanya sangat menyesakkan dada, hingga tanpa kusadari, mengingat hal itu telah membuatku meneteskan air mata, sampai larut dalam kenangan itu membuatku pun tertidur.
Keesokan harinya aku bangun siang karena kebetulan itu adalah hari libur kerja, sehingga mamah tidak membangunkanku pagi-pagi seperti biasa. Dengan mata sembab, aku pun segera mandi dan bersiap-siap membantu mamah untuk memasak hingga terdengar suara pintu diketuk.. TOK TOK TOK.
Mamah yang sedang mengiris bawang hendak membukakan pintu namun dicegah olehku. Akupun beranjak dari dapur menuju ruang depan untuk membuka kan pintu. (CEKLEEEK dan pintu pun terbuka) "Loh ayah baru pulang?" tanyaku ketika melihat ayah didepan pintu tetapi tidak mendengar suara motornya.
"Iya teh", kemudian ayah membuka sepatu lalu masuk kedalam. Ayah berlalu menuju kamar, setelah mengganti baju ayah duduk didepan tv sambil mengeluarkan rokok nya.
"Yah sebentar ibu buat kan kopi dulu ya," Kata mamahku sedikit berteriak dari arah dapur,dan hanya dijawab anggukan oleh ayah sembari berkata "Ya".
Aku pun kembali kedapur bermasuk untuk membantu mamah membuatkan kopi untuk ayah karena mamah sedang sibuk memasak di dapur. "Yah ini kopinya, ayah tadi matiin motornya dimana kok teteh gak denger ada suara motor datang?", tanyaku kepada ayah sambil menyodorkan secangkir kopi kepada beliau.
"Tadi didepan ketemu paman kamu, jadi ayah matikan motornya, ngobrol sebentar lalu pulang, kalo harus dinyalakan lagi tanggung, jadi ayah dorong motornya", Jawab ayahku kemudian.
Aku memandangi ayah terlihat guratan lelah diwajahnya, dan sepertinya ayahku sedang ada masalah. Aku enggan bertanya dan membiarkan beliau menyeruput kopi hitam kesukaannya dan sebatang rokok favoritnya, lalu akupun kembali ke dapur membantu mamah bersih-bersih karena setelah makanan yang ia masak selesai waktunya makan siang untuk kami.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!