Hai, namaku Puteri Maharani, dan mereka biasa memanggilku Puteri. Aku terlahir dari keluarga sederhana. Ayahku bekerja sebagai seorang buruh, sedangkan mamahku hanya seorang ibu rumah tangga. Aku adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Adikku bernama Krisna Aditama, yang usianya 5 tahun lebih muda dariku.
Hari ini usiaku sudah genap menginjak 37 tahun, dan aku akan menceritakan tentang perjalanan hidup yang telah membuat hidupku berubah drastis, juga sebuah rahasia dan hanya aku saja yang mengetahuinya.
Kejadian itu bermula sekitar 20 tahun yang lalu, kala itu aku baru saja lulus dari sekolah menengah atas, dan aku di terima bekerja di sebuah perusahaan besar di kota Bandung. Aku bekerja sebagai seorang marketing di perusahaan tersebut.
Aku adalah seorang anak yang cukup pendiam dan pemalu kala itu, namun aku juga termasuk anak yang cerdas, hanya saja kurang bergaul, sehingga membuatku sulit untuk berkomunikasi dengan anak-anak gadis seusiaku, bahkan tak sedikit dari mereka yang menganggapku jutek karena hal itu.
Di sana aku berkenalan dengan banyak orang, salah satunya bernama Wulan, ia adalah seniorku, dan usianya 8 tahun lebih tua dariku. Sosok Wulan selalu mengayomiku, hingga akhirnya kami menjadi teman yang begitu dekat, bahkan kedekatan kami sudah seperti saudara.
Melihat kedekatanku dengan Wulan, membuat yang lain jadi penasaran dengan sosok diriku, sampai akhirnya beberapa dari mereka mulai mengajakku berkomunikasi dan bergaul, hingga tak terasa 1 tahun berlalu, hubunganku dengan teman-teman yang lainpun menjadi lebih akrab, menjadikan sosok Puteri menjadi lebih percaya diri.
Suatu hari, teman-temanku berencana refreshing ke Ciater setelah selesai bekerja, dikarenakan hari itu adalah pameran terakhir di tempat kami bekerja, jadi kami harus lembur hingga pukul 10 malam. Tujuan kami kesana hanya sekedar melepas lelah untuk berendam di air hangat belerang. Dan tentu saja mereka memintaku untuk ikut.
Awalnya aku menolak, karena aku tahu jika ayahku pasti tidak akan mengizinkanku untuk pergi, tetapi Wulan langsung turun tangan, dan ia menelpon ayahku, meminta izin agar aku bisa ikut bersama mereka.
“Tuuuuut.. Tuuuuut.. Tuuuut..” ( telepon berdering )
“Halo”. Jawab ayahku di seberang sana.
"Halo yah, ini Wulan.."
"Iya Wulan, Tumben telepon, ada apa? Apa Puteri buat masalah ditempat kerja?." Ayahku bertanya dengan sedikit keheranan.
"Enggak kok yah, Wulan telepon karena mau minta izin, untuk mengajak Puteri malam ini, rencananya kami mau pergi berendam ke Ciater!" jelas Wulan.
"Oh begitu? Boleh ayah bicara dulu dengan Puteri?"
"Boleh yah, sebentar!" Wulan memberikan teleponnya kepada Puteri.
"Halo yah!" jawabku dengan suara yang sedikit gemetar.
"Teh, kamu mau ikut ke Ciater?", tanya ayahku dengan nada yang tenang.
"Hmm i-iya, itu juga kalau diizinkan sama ayah, lagi pula ini dadakan kok yah, karena besok libur, jadi temen-temen berinisiatif untuk refreshing kesana.", jawabku menjelaskan dengan terbata-bata.
"Siapa saja yang ikut?? Ada laki-lakinya??"
Tiba-tiba saja jantungku berdebar kencang saat mendengar pertanyaan beliau, pasalnya ayahku tentu tidak akan mengizinkan, karena beliau begitu khawatir kepadaku, apalagi jika tahu aku pergi bersama cowok.
"A-ada yah, hmm... itu temennya teh Wulan yang bawa mobil ," jawabku lirih sambil bergumam dalam hati, rasanya permintaan izin ini hanya akan sia-sia saja, pergi malam-malam ketempat jauh dan baru, tanpa pengawasan beliau, mustahil akan diizinkan.
"Tolong kasih teleponnya sama Wulan, ayah mau bicara!", ucap ayahku lagi, dan tanpa menjawabnya aku pun segera menyerahkan telpon itu kembali kepada Wulan.
"Iya yah ini Wulan..", sahut Wulan begitu menerima telepon yang ku berikan.
"Wulan, kali ini ayah izinkan Puteri untuk ikut, karena ia pergi bersama Wulan, ayah percaya Wulan bisa jagain Puteri disana, jangan macam-macam dan hati-hati dijalan, jangan ngebut bawa mobilnya, semoga kalian selamat sampai tujuan dan kembali pula dengan keadaan selamat, kalau ada apa-apa langsung telepon ayah ya!", cerewet ayahku yang mengizinkan, dengan amanah pada Wulan.
"Baik yah Wulan pasti bakal jagain Puteri dan ingat pesan-pesan ayah, terima kasih karena sudah mengizinkan Puteri ikut bersama kami , dan Wulan pastikan Puteri akan baik-baik saja dan pulang dalam keadaan selamat", jawabnya dengan senang. Kemudian telepon pun ditutup dengan salam oleh keduanya.
Akhirnya kami pun sampai ditempat yang direncanakan, yaitu salah satu tempat wisata berendam air panas belerang Ciater Subang, pada pukul 12 tengah malam. Dikarenakan acaranya dadakan, maka aku dan kedua temanku termasuk Wulan tidak membawa baju ganti, alhasil kami hanya duduk-duduk bermain air dan merendamkan kaki saja, sambil mengobrol diiringi canda tawa bersama teman-teman yang lain.
Saat tengah asik berbincang dengan teman-teman dan menikmati suasana malam itu, teleponku terus berdering. Setelah berdering berkali-kali, akhirnya aku bangkit dari pinggiran kolam menuju meja penyimpanan barang, mengambil ponselku, lalu menjauh dari mereka, untuk menerima telepon.
"Iya ada apa yah?". Jawabku sedikit berbisik.
"Kamu sudah sampai teh? Dari tadi ayah telepon kok gak diangkat-angkat?"
"Sudah yah, ini ponselnya ditas, teteh lagi ngobrol sama temen-temen, jadi gak kedengeran!" Jawab Puteri bohong, padalah dari tadi ia sudah mendengar ponselnya berdering, namun ia abaikan.
"Ya sudah, jangan terlalu lama main airnya, nanti kamu masuk angin!”
"Iya yah!!!" Kemudian aku menutup teleponnya. Dan kembali duduk bersama teman-temanku.
20 menit kemudian teleponku terus berdering lagi, aku pun segera bangkit lagi dari pinggiran kolam, menghampiri meja, dan kulihat panggilan masuk dari ayah lagi, dari sebrang sana kulihat tawa teman-temanku yang mengejeku.
"Cie yang dari tadi di telepon nya bunyi mulu!, kenapa kagak diangkat Put?, pasti cowok nya ya!," Ledek salah seorang temanku.
"Cowok? Gak salah tuh, paling juga ayah nya yang nelponin, kan si Puteri jomblo!," Balas teman yang lain.
"Hahaha malam minggu aja di teleponin ayah!, kerja juga dianter jemput ayah!, kamu udah gede Put, masa iya gak punya pacar, cari pacar dong!, kamu kan masih muda , jangan jadi anak ayah mulu hahahaha".
Seketika senyumku hilang dan raut wajahku berubah menjadi murung, mendengar ucapan mereka. Mungkin maksud kata-kata mereka hanya bercanda, tetapi candaan itu jelas tidak ku sukai.
Jujur saja aku merasa terganggu karena hampir 5 menit sekali telepon itu berdering dan membuat teman-temanku semakin mengejeku hingga aku putuskan untuk mematikan ponselnya, karena begitu risih mendengar telponku yang terus berdering.
Wulan yang menyadari perubahan ekspresiku, lalu mendekat dan mencoba menghiburku, ia mengatakan jika aku tidak perlu memperdulikan perkataan mereka, abaikan saja, jangan dimasukan ke dalam hati.
Namun memang benar kata mereka, di usiaku sekarang seharusnya aku sudah mempunyai kekasih seperti teman-temanku yang lainnya. Dan benar juga dugaan mereka bahwa yang menelponku terus menerus itu adalah ayahku, yang sedang khawatir dengan keadaanku disini.
Bete dan risih, itu adalah jawabanku apabila ditanya bagaimana kesan-kesanku selama berada disini. Aku tidak menikmatinya sama sekali. Rasanya aku ingin segera pulang dan menyembunyikan kekesalanku dibalik kamar dan menahan isakkan tangisku diantara bantal-bantal itu.
Sekitar pukul 3 subuh kami pun memutuskan untuk pulang, dan melanjutkan perjalanan berkeliling alun-alun kota Bandung sambil menunggu matahari muncul, namun saat diperjalanan kami menemukan tukang bubur dan memutuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu, karena kedinginan setelah berendam.
Tanpa terasa pagi pun tiba, aku memutuskan untuk pulang bersama Wulan karena kebetulan rumah kami searah. Selama perjalanan, aku tidak banyak berkomunikasi dengan yang lain, dan hanya diam merenung saja. Wulan yang sudah mengenal karakterku hanya bisa menghiburku dan mengingatkanku agar jangan sampai aku termakan kata-kata mereka tadi.
Sesampainya dirumah, orang yang pertama membukakan pintu adalah ayahku, dengan tatapan khawatir beliau bertanya.
"Kenapa telepon kamu gak aktif teh? Ayah khawatir, kamu tuh anak gadis, gak pernah main apalagi malam-malam begitu, ketempat yang jauh pula!", ucap beliau dengan lirih.
"Sinyal jelek yah dan baterainya semalam lowbat gak ada buat charge hp nya", jawabku berbohong.
"Apa kamu sudah sarapan?", tanya ayah lagi.
"Sudah." Jawabku sambil menunduk menahan kesal yang sudah ku rasakan dari semalam.
" Yasudah kamu istirahat dulu, kamu gak pernah begadang, jangan sampai kamu sakit!" ucap ayah kemudian sambil mengusap kepalaku.
"Baik yah" , jawabku lalu pergi menuju kamar.
Jujur saja terkadang aku benar-benar risih, ayah memperlakukanku seperti anak kecil, padahal usiaku sudah 19 tahun, sudah seharusnya aku mempunyai pacar, diantar jemput oleh pacarku, dan malam mingguan, seperti teman-teman yang lainnya, tetapi apa? aku masih jomblo dan karena sikap posesif ayah, aku justru diejek oleh teman-temanku habis-habisan dan itu membuatku kesal.
Hari itu aku habiskan dengan mengurung diri di kamar untuk merenung. Begini ya rasanya ketika kita dibully oleh orang?. Sakit sekali dan menyisakan trauma yang membekas, karena takut terjadi lagi. Ledekan mereka tidak parah memang, tapi cukup meninggalkan jejak didalam hati dan ingatanku.
Berbulan-bulan semenjak kejadian hari itu aku mulai menunjukan sikap yang berbeda, aku menjadi pemurung dan tak ceria seperti biasanya. Tentu saja penyebabnya adalah ledekan dari teman-temanku kala itu, yang masih jelas membekas dalam hati dan ingatanku.
Setelah hampir 2 tahun bersama, membuat Wulan sangat mengenal betul bagaimana sifat dan karakterku. Wulan juga menyadari perubahan sikapku, dan itu membuatnya cukup terganggu. Bagaimana tidak, sosokku yang selalu menjadi badut ditempat kerja karena pandai membuat suasana gembira yang mengundang gelak tawa, kini menjadi hening dan membosankan.
Akhirnya Wulan berinisiatif mendekatiku dan mengajakku berbincang-bincang disela waktu makan siang. Wulan bertanya hal apa yang sampai membuatku berubah seperti itu. Sebenarnya Wulan tau apa alasannya, hanya saja ia ingin aku berterus terang mengenai perasaanku sendiri.
Akupun mulai bercerita dan terbuka mengenai apa yang ku rasakan saat itu, mengenai rasa tidak suka ku karena ledekkan dari teman-teman, juga mengenai sikap ayahku yang sangat posesif.
Wulan paham betul bagaimana rasanya perasaanku. Ia lalu mengusap puncak kepalaku sambil memberiku nasihat yang sangat menyentuh hatiku. Ia berkata jika seharusnya aku bersyukur diperlakukan istimewa oleh ayahku, tidak semua anak gadis seberuntung diriku, mempunyai seorang ayah yang begitu sayang dan perhatian.
Ia pun menceritakan beberapa kisah mengenai teman-teman yang lain, yang kurang beruntung dengan ayah mereka, juga termasuk kisah dirinya yang kurang perhatian dari sosok ayah. Dan itulah alasannya mengapa teman-teman kerjaku memanggil ayah juga kepada ayahku.
Bahkan mereka yang meledekku malam itu, mungkin sebenarnya mereka merasa iri kepadaku, karena aku diperlakukan begitu istimewa oleh ayah, sedangkan mereka tidak pernah diperlakukan begitu oleh para ayahnya, begitu kata Wulan.
Setelah perbincangan dengan Wulan itu membuat suasana hatiku membaik, aku mengerti sekarang, bahwa kita sebagai orang yang beranjak dewasa harus siap bertemu dengan berbagai macam karakter orang, salah satunya seperti mereka.
Dan bagaimana cara menyikapinya, ialah kita harus legowo, ambil yang positifnya dan abaikan yang negatifnya, jangan semua diambil hati, jangan semua diambil pusing, karena yang tau seperti apa hidup kita, hanya kita sendiri yang mengetahuinya.
Saat pulang kerja, aku bertemu dengan temanku yang bernama Deni. Ia adalah kenalanku yang pernah bekerja diperusahaan itu, namun resign karena satu dan lain hal, kala itu Deni sedang bersama temannya bernama Rahman.
Kebetulan hari itu aku tidak dijemput oleh Ayah, jadi aku punya waktu luang untuk mengobrol dengan teman lamaku itu, kemudian kami sama-sama menuju cafe terdekat.
Deni bekerja sebagai IT di salah satu perusahaan terkenal, namun temannya yang bernama Rahman sedang menganggur, baru saja di PHK karena ada pengurangan karyawan di perusahaannya. Setelah mengobrol panjang lebar, kami pun bertukar nomor telepon lalu memutuskan untuk pulang.
Singkat cerita aku sudah sampai dirumah, saat sedang rebahan diatas kasur tiba-tiba ponselku berdering dan memunculkan nomor baru yang tidak dikenal. Awalnya aku mengabaikan panggilan itu, namun karena nomor asing itu terus menerus menelepon, maka akupun mengangkat teleponnya, ternyata itu Rahman, temannya Deni.
Rahman mengatakan bila ia dengan sengaja meminta nomorku kepada Deni, karena ia merasa tertarik kepadaku, dan merasa nyaman saat sedang mengobrol tadi. Aku hanya tersenyum mendengar penuturannya.
Tak terasa waktu demi waktu berlalu. Setelah hampir 2 bulan lamanya aku dan Rahman berkomunikasi hampir setiap hari, selain lewat telpon, tak jarang juga kami bertemu walau hanya sekedar nongkrong di cafe.
Komunikasi yang semakin intens itu menumbuhkan benih-benih cinta diantara kami, Aku yang memang dasarnya seorang gadis baik-baik dan awam, mudah merasa baper terhadap seorang lelaki, terutama mereka yang perhatian dan romantis. Dan akupun juga tidak mau ambil pusing dengan status Rahman yang masih menganggur. Hingga akhirnya Rahman memutuskan untuk menyatakan cinta kepadaku.
Akupun menerima pernyataan cinta Rahman, dan akhirnya kami resmi berpacaran. Dan hal yang membuatku bahagia salah satunya adalah aku tidak jomblo lagi karena hampir setiap hari tidak dijemput oleh ayah, melainkan oleh kekasih baruku Rahman.
Hari demi hari, bulan demi bulan berlalu, tanpa ku sadari Rahman begitu menikmati statusnya sebagai pengangguran. Bagaimana tidak, Rahman selalu menjemputku ketika pulang kerja, dan kami selalu menyempatkan untuk makan malam bersama sebelum pulang atau sekedar berjalan-jalan dan nongkrong di kaki lima atau cafe, tentu saja semua biaya itu aku yang menanggungnya, mulai dari isi bensin, makan, rokok, sampai biaya parkir, bahkan tak jarang juga ia meminta uang untuk keperluan pribadinya kepadaku, dan itu karena Rahman masih juga belum mendapatkan pekerjaan.
Pernah suatu hari, Rahman bersama kedua sepupunya berencana ingin tripple date disebuah cafe didaerah dago atas, dengan bangga Rahman mengajakku, menggandeng tanganku dan memperkenalkannya kepada kedua sepupunya itu. Mereka juga datang membawa kekasihnya masing-masing, menikmati malam minggu romantis di cafe yang terletak di daerah dago atas.
Dengan udara malam yang dingin, diiringi suara merdu sang vocalist yang menyanyikan lagu romantis, membuatku merasakan suasana baru, berada ditengah kerumunan kaum muda mudi yang sedang asik bermalam minggu, sebab hal itu tidak pernah ku rasakan sebelumnya.
Ketika sedang asik menikmati suasana, tiba-tiba Rahman berbisik kepadaku. "Yank, nanti besok kita main kerumah Ima yuk, Ima besok ulang tahun dan mau bikin party di rumahnya", jelas Rahman kepadaku. (Ima adalah salah satu sepupunya yang kini sedang berada ditempat yang sama denganku, hanya saja tempat duduk kami sedikit berjauhan.)
"Boleh yank, jam berapa?” jawabku kemudian.
"Acaranya sih jam 8 malem, tapi yank, aku gak punya uang untuk beli kadonya, kamu yang beliin ya!" Pinta Rahman kepadaku. (Sudah menjadi rahasia umum setiap kencan atau jalan-jalan kemanapun akulah yang selalu mengeluarkan uang.)
"Hu'um, emang mau ngasih kado apa yank?" Tanyaku pada Rahman.
"Terserah kamu aja, yang penting kita harus bawa kado, kalo enggak malu lah, ngapain kita kesana kalo gak bawa apa-apa?" lanjut Rahman kemudian sambil mengaduk-ngaduk minumannya.
********************
Hari esok pun tiba. Sepulang kerja, aku mampir ke sebuah toko untuk membeli hadiah, yaitu sepasang kaos couple untuk dikenakan Ima dan kekasihnya. Dengan hanya mengira-ngira, kupilihkan baju berwarna hitam bertuliskan You’re mine forever berwarna pink, dengan ukuran M untuk pria dan S untuk wanita, yang menurutku sesuai dengan ukuran Ima dan kekasihnya lalu ku bungkuskan dengan box berwarna hitam, dengan pita pink seperti warna kesukaan wanita pada umumnya.
Kami tiba di tempat acara, dan pestanya cukup meriah, kebanyakan dihadiri oleh kaum muda mudi seusia kami. Setelah mengucapkan selamat kepada Ima dan memberikan hadiahnya, lalu Rahman mengajak ku untuk mengambil beberapa makanan dan minuman, dan kami duduk di taman belakang, yang berada tidak jauh dari tempat pesta.
Kami duduk di sebuah ayunan sambil memandangi mereka yang tengah asik berpesta, ada yang berdansa, ada pula yang sedang fokus menikmati makanan yang disajikan, atau hanya sekedar ngobrol-ngobrol sambil memegang gelas minuman di tangannya.
Tiba-tiba Rahman menolehkan wajahku ke arahnya. Dan ia menciumku, Rahman mencium bibirku dengan cepat dan tanpa ragu. Jantungku berdegup kencang tak karuan. Apa itu? pikirku bertanya-tanya bagaiman bisa terjadi, secepat itu? my first kiss? OH MY GOD apa aku bermimpi?
Cuuuup.. lalu Rahman mencium bibirku lagi lebih lama dari yang sebelumnya. Ya kami berciuman disini, tentu saja dengan perasaan was-was, karena takut akan ada yang melihat kami. Dan itu adalah ciuman pertamaku dengan seorang pria, ya walau Rahman bukan pacar pertamaku.
Setelah dia melepaskan pagutannya dibibirku kemudian dia mengucapkan terima kasih, karena telah menemani nya ke pesta saudarinya itu, dan juga karena aku mau bersamanya, meskipun statusnya sampai hari ini masih seorang pengangguran.
********************
Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 22.30 malam, itu artinya sudah waktunya aku untuk pulang. Sebenarnya ayah berniat menjemputku sepulang kerja tadi, tetapi ku bilang tidak perlu, karena aku akan menghadiri pesta ulang tahun dari saudarinya Rahman. Ayah mengizinkan, dengan syarat jam 22.00 sudah sampai di rumah. Akupun segera pamit pada Ima dan yang lainnya dan kamipun segera meninggalkan tempat itu.
Ya Tuhan jantungku berdegup semakin kencang, bagaimana ini? gumamku dalam hati, bukan karena aku mengingat ciuman yang tadi, tetapi apa yang harus ku katakan kepada Ayahku kelak, ketika aku sampai dirumah, karena waktu sudah menunjukan pukul 23.00 malam, itu artinya aku sudah mengingkari janjiku pada ayah.
Aku tiba didepan pintu rumah, lalu mengetuk pintu, dan tidak lama pintu pun dibuka oleh ayah dengan wajah datar dan berkata, "Jam berapa ini? MASUK!"
Kemudian aku pun masuk, dan Rahman pergi meninggalkan halaman rumahku. Aku hanya menunduk saja karena sudah pasti tahu ayahku akan marah karena aku ingkar janji. " Maaf yah tadi dijalan macet", bohongku kepada ayah.
"Jangan kamu kira ayah bisa kamu bodohi PUTERI, ayah memang sudah tua, tapi jangan kamu lupa, ayah juga pernah muda, ayah seperti ini karena mengkhawatirkanmu, kamu itu seorang perempuan, tidak baik pulang malam seperti ini, dimana tanggung jawab kamu?? apa kamu senang bila dipandang buruk oleh orang lain?? Ayah ini orang tuamu, Tanggung jawab ayah menjagamu sampai kamu menemukan Imammu, dan menyerahkan tanggung jawab ayah pada suamimu, karena tidak ada orang tua yang senang melihat anaknya dipandang rendah oleh orang lain, apalagi kamu seorang perempuan yang harusnya bisa menjaga harkat dan martabat kamu", ucap ayah dengan penuh khawatir kepadaku.
Ayah tidak pernah begini sebelumnya, beliau menjadi lebih over dalam menjagaku, padahal sekarang aku sudah punya Rahman yang siap menjagaku. Aku tahu ayah pasti kecewa, " Maaf yah, teteh janji gak akan ngulangi lagi, maaf karena sudah bikin ayah kecewa", kemudian aku pun berlari menuju kamarku.
Didalam kamar aku hanya terisak, pertama kalinya ayah membentakku, hal itu benar-benar membuatku takut, tapi aku juga mengerti perasaan beliau. Aku tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya, maka wajar bila beliau khawatir, maaf ayah aku sedah mengecewakanmu dan membuatmu khawatir lagi.
Entah mengapa tapi justru rasa bahagia malam ini hilang begitu saja dan berganti rasa bersalah yang begitu besar kepada ayahku. Ku teringat kembali kata-kata Wulan kala itu, seharusnya aku bersyukur karena aku memiliki ayah hebat yang begitu peduli kepadaku, tapi disisi lain aku merasa risih karena perlakuannya kepadaku seperti seorang ayah kepada anak gadisnya, padahal usiaku sudah hampir menginjak 19 tahun.
Hari berganti hari lagi, dan Rahman semakin menujukan sifat aslinya, ia seolah memanfaatkan aku untuk memenuhi segala inginnya, meminta dibelikannya ini itu tanpa memikirkan apakah aku mempunyai uang atau tidak.
Karena ia tahu, bahwa aku mencintainya sehingga ia berpikir bila apapun keinginannya pasti akan aku turuti. Namun ada hal yang membuatku kesal adalah, ketika Rahman yang mulai sering ingkar janji, berkali-kali ia berdusta, sampai suatu ketika aku sudah tidak bisa memaafkannya lagi, aku meninggalkannya.
Tanpa terasa hubunganku dan Rahman sudah di bulan ke 3 usia pacaran. Tapi aku sudah merasa jenuh. Akupun baru menyadari bahwa hubunganku tidak ada perkembangan karena Rahman tak kunjung mencari pekerjaan juga.
Ayahku adalah tipe orang tua yang tidak gegabah dalam menegur anak gadisnya, terlebih setelah kejadian malam itu ia pun semakin menyadari bahwa anak gadisnya kini sudah tumbuh menjadi seorang wanita muda.
Kemudian aku memutuskan hubunganku dengan Rahman karena suatu kejadian, kala itu Rahman melakukan hal yang berdampak fatal pada semua, dan membuatku harus menunggu satu jam lebih dari waktu pulang kerja karena lembur.
Aku hampir-hampiran tidak bisa pulang, karena melewatkan angkot terakhir, yang menuju ke arah rumahku. Saat itu belum ada ojek online, sedangkan uangku tidak cukup untuk naik taxi karena sisa gaji satu bulan sudah habis oleh Rahman. Sehingga tidak ada opsi lain selain meminta tolong kepada ayah untuk menjemputku pulang.
"Halo Ayah, teteh masih ditempat kerja, Rahman belum datang jemput, disini udah mulai sepi teteh takut yah, hiks hiks hiks", isakku kala menelpon ayah.
Ayah yang kala itu sedang berada ditempat kerja karena shift malam merasakan dadanya bergemuruh kala mendengar putri semata wayangnya menangis terisak-isak ditelpon karena kekasihnya tak kunjung menjemput.
Dengan perasaan panik ayah mencoba menenangkanku, "Teh, coba teteh liat dulu angkot terakhir masih ada atau engga, nanti teteh hubungi ayah lagi ya."
Akupun mengikuti saran ayah, aku berjalan menyusuri pangkalan angkot terakhir yang menuju ke daerah rumahku. Kemudian aku menghubungi ayahku lagi.
"Alhamdulillah yah masih ada satu angkot, tapi disini gelap dan sepi gak ada penumpang lainnya", jawabku gemetar saat bercerita kepada ayah tentang kondisi di area tersebut, pasalnya angkot terakhir itu hanya diisi sopir dan satu penumpang pria dibelakang, sehingga ayahpun ikut merasa panik.
"Teh, teteh duduk didepan aja dekat supir, ayah akan izin dulu untuk jemput teteh, nanti teteh turun didepan gang saja, biar ayah yang antar teteh sampai rumah", bujuk ayah untuk menenangkanku, dan panggilan teleponpun terputus.
Aku pun mengikuti saran ayah dan duduk disamping pak sopir, angkot terakhir itupun lumayan lama ngetem dikarenakan masih menunggu penumpang yang lain.
Disisi lain karena panik memikirkanku, Ayah lalu bergegas meninggalkan pekerjaannya dan menjemputku dengan pikiran yang kacau tanpa ia sadari ia telah melakukan kesalahan yang fatal dengan pekerjaannya.
Akhirnya angkot yang ku tumpangi pun pergi. 20 menit kemudian angkot sudah tiba di sisi jalan tepat dengan gang rumahku, lalu akupun menelpon ayah dan mengatakan bila sudah sampai didepan gang.
Tibalah ayah digang tersebut,kemudian mengantarkanku sampai kerumah. (TOK TOK TOK) "Assalamualaikum mah" dan tak lama pintu pun terbuka..
"Waalaikumsalam, kenapa teteh baru pulang?", tanya mamah.
"Ia tadi Rah..." belum selesai aku menjawab, ayah sudah menimpali kata-kataku.
"Tadi si Rahman gak jemput teteh bu, jadi ayah yang jemput dari gang depan".. (Ayah memang memanggil mamaku dengan sebutan ibu, berbeda dengan kedua anaknya yang memanggil mama dengan sebutan mamah).
"Loh kok bisa, memang Rahman kemana? terus kerjaan ayah gimana?", tanya mamah kepada kami.
"Rahman bilang mau jemput tapi setelah ditunggu-tunggu gak datang juga, ditelpon dirijek terus", jawabku sambil berjalan ke kamar..
"Bu, ayah langsung balik ke tempat kerja ya, tadi kerjaan ayah belum selesai", kemudian ayah pamit menyalakan kembali motornya.
"Hati-hati yah jangan ngebut bawa motornya", pesan mamah pada ayah, kemudian motor pun berlalu sambil dijawab ayah, " Iya bu".
Setelah selesai berganti baju, akupun kembali kedepan menemui mamah lalu duduk di depan tv, " Ayah udah pergi lagi mah?", tanyaku pada mamah.
"Sudah teh", jawab mamah sambil mengunci pintu dan duduk disebelahku. Kemudian beliau bertanya, " Kamu dan Rahman kenapa? belakangan ini Rahman sering sekali ingkar janji untuk menjemput dan membiarkan kamu menunggu, dan parahnya malam ini sampai kamu pulang selarut ini?", tanya mamaku dengan wajah panik dan bertanya-tanya.
Aku hanya menarik nafas dan menjawab pertanyaan mamaku dengan mengangkat kedua bahuku sebagai jawaban tidak tahu. Belakangan ini Rahman memang sering mengingkari janjinya, setelah ku tanyakan alasan kepadanya, dia hanya menjawab dengan alasan yang tidak masuk akal. Entah mengapa kata-katanya belakangan ini tidak bisa dipercaya dan itu membuatku sangat kesal.
"Teh, semoga kedepannya ini tidak terjadi lagi, apa kamu tidak melihat begitu paniknya ayah kamu sampai meninggalkan pekerjaannya? bergegas menjemputmu karena khawatir putri semata wayangnya belum pulang kerumah hingga larut malam, bagaimana bila terjadi sesuatu padamu atau pada ayahmu karena ia panik?", kemudian mamah mengusap kepalaku sebelum aku menjawab pertanyaannya beliau kembali bertanya," Kamu sudah makan malam? bila belum makanlah dulu lalu istirahat, jangan begadang, jaga kesehatanmu, kita bahas nanti lagi saja, mamah tidur duluan ya", kemudian mama beranjak dari tempat duduk menuju kamarnya.
Hal yang tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya, ternyata begitu besar rasa cinta ayah kepadaku sampai melakukan apapun untuk putrinya, dia tidak memperdulikan dirinya sendiri, sungguh merasa bersalah aku pada ayah, hanya agar tidak diolok-olok lagi oleh teman-temanku, dan agar ayah tidak terlalu posesif padaku, aku harus berpacaran dengan orang yang salah.
Iya benar, orang yang salah, sebenarnya sejak awal pun aku sudah menyadarinya, jika aku sudah memacari pria yang salah, pasalnya selain pengeretan, lelaki itu pun begitu sombong, padahal ia hanya seorang pengangguran, tetapi gayanya begitu tinggi, tak jarang barang yang dipamerkan pun adalah hasil dari ia meminta sampai mengemis-ngemis untuk dibelikan olehku.
Bahkan disaat ia membuatku menunggu 1jam ditempat kerja, sebenarnya ia sedang berkumpul bersama saudari dan teman nya yang hedon, sambil memamerkan hp apel terbaru yang ia dapat hasil dari kredit, tentu saja menggunakan uangku sebagai dp nya.
Wulan bilang aku memang terlalu baik, teramat sangat baik malah, sampai aku sering diperalat oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan memanfaatkan kebaikan serta kepolosanku, itu karena aku adalah orang yang mudah merasa iba, karena pikiranku yang selalu positif kepada orang lain.
Namun kejadian hari ini benar-benar membukakan mataku, aku tersadar sepenuhnya dengan semua yang terjadi, ternyata ini semua memang hanya akal-akalan Rahman yang sengaja memanfaatkan perasaanku untuk menopang hidupnya dan memenuhi keinginannya, karena ia seorang lelaki pengangguran, aku yang buta akan cinta Rahman pun, hanya menutup mata kala menyadari maksud dari pria itu sebelumnya.
Selama ini aku mengabaikan perhatian serta kasih sayang ayah tercintaku dan menganggap semua yang dilakukan beliau adalah pengekangan yang membuatku risih karena terus diolok-olok oleh temanku dan lebih memilih pria modus yang jelas-jelas tidak tulus padaku. Padahal apa yang ayah lakukan adalah untuk menjaga dan melindungiku tanpa pamrih, kasih sayang yang beliau berikan begitu tulus, bahkan pengorbanannya tidak pernah dilakukan pria lain kepadaku termasuk oleh Rahman.
Aku merenung diatas tempat tidur dan mengingat kembali semua yang telah terjadi belakangan ini, rasanya sangat menyesakkan dada, hingga tanpa kusadari, mengingat hal itu telah membuatku meneteskan air mata, sampai larut dalam kenangan itu membuatku pun tertidur.
Keesokan harinya aku bangun siang karena kebetulan itu adalah hari libur kerja, sehingga mamah tidak membangunkanku pagi-pagi seperti biasa. Dengan mata sembab, aku pun segera mandi dan bersiap-siap membantu mamah untuk memasak hingga terdengar suara pintu diketuk.. TOK TOK TOK.
Mamah yang sedang mengiris bawang hendak membukakan pintu namun dicegah olehku. Akupun beranjak dari dapur menuju ruang depan untuk membuka kan pintu. (CEKLEEEK dan pintu pun terbuka) "Loh ayah baru pulang?" tanyaku ketika melihat ayah didepan pintu tetapi tidak mendengar suara motornya.
"Iya teh", kemudian ayah membuka sepatu lalu masuk kedalam. Ayah berlalu menuju kamar, setelah mengganti baju ayah duduk didepan tv sambil mengeluarkan rokok nya.
"Yah sebentar ibu buat kan kopi dulu ya," Kata mamahku sedikit berteriak dari arah dapur,dan hanya dijawab anggukan oleh ayah sembari berkata "Ya".
Aku pun kembali kedapur bermasuk untuk membantu mamah membuatkan kopi untuk ayah karena mamah sedang sibuk memasak di dapur. "Yah ini kopinya, ayah tadi matiin motornya dimana kok teteh gak denger ada suara motor datang?", tanyaku kepada ayah sambil menyodorkan secangkir kopi kepada beliau.
"Tadi didepan ketemu paman kamu, jadi ayah matikan motornya, ngobrol sebentar lalu pulang, kalo harus dinyalakan lagi tanggung, jadi ayah dorong motornya", Jawab ayahku kemudian.
Aku memandangi ayah terlihat guratan lelah diwajahnya, dan sepertinya ayahku sedang ada masalah. Aku enggan bertanya dan membiarkan beliau menyeruput kopi hitam kesukaannya dan sebatang rokok favoritnya, lalu akupun kembali ke dapur membantu mamah bersih-bersih karena setelah makanan yang ia masak selesai waktunya makan siang untuk kami.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!