"Ruby kemarilah, ada yang harus kita bicarakan," kata John Eragone, ayahnya Ruby.
Ruby, yang baru saja pulang ke rumah, menatap heran ayahnya. Di sana, di ruang tamu rumah mereka, tidak hanya ada John saja. Tapi ada ibunya, Metha, dan juga Clarissa, kakaknya.
Ruby menyimpan buku yang dia bawa ke atas meja, lalu duduk tepat di sebelah Clarissa. Dia menoleh ke samping dan berbisik, "Ada apa, Kak? Kenapa kalian berkumpul di sini?"
Clarissa menghela nafasnya. "Biar ayah saja yang bicara dan menjelaskannya."
Ruby mengangguk, lalu dia bertanya kepada ayahnya, "Ada apa? Kalian terlihat sangat serius."
John terlihat berat mengatakannya, namun dia juga tidak mungkin terus menunda untuk membicarakan hal penting.
"Ruby," panggil ayahnya, menatap lekat wajah polos putri bungsunya. "Kau tahu tentang keluarga Larsen bukan?"
Ruby mengangguk, dia tentu pernah mendengar nama keluarga Larsen. Keluarga yang sangat kaya, namun begitu tertutup.
"Ya, ayah, aku tahu. Memangnya kenapa dengan keluarga Larsen?" tanya Ruby penasaran.
John menelan ludah kasar. Lalu dengan berat dia berkata, "Keluarga Larsen ingin mencari istri untuk putra ketiga mereka. Pria itu bernama Dominic Larsen, dia anak yang terbuang, dia diasingkan di sebuah mansion yang letaknya di perbatasan, tapi mereka tidak mengatakan alasannya kenapa pria itu hidup terpisah dari keluarga Larsen."
"Jangan-jangan rumor tentang pria itu gila ada benarnya, Ayah!" seru Clarissa.
"Ayah tidak tahu," jawab John dengan lesu. "Tapi sepertinya dia tidak gila."
Ruby tidak terlalu ingin menyimak percakapan ayahnya dengan Clarissa. Dia justru merasa curiga, lalu dia bertanya, "Ayah bilang keluarga Larsen ingin mencari istri untuk putra mereka. Apakah keluarga Larsen ingin salah satu dari kami menikahi putra ketiga mereka itu?"
John menatap Ruby dengan tatapan yang sulit diartikan. "Benar, Ayah juga sudah mengirimkan fotomu dan juga foto Clarissa, tapi....." John terlihat sulit melanjutkan kata-katanya.
Ruby mengerutkan keningnya. "Tapi apa, Ayah?"
John menghela nafasnya, lalu dia berkata, "Dominic Larsen memilihmu, Ruby."
"Apa!?" Ruby langsung berdiri dari duduknya. Wajahnya terlihat sekali sangat tidak setuju. "Aku tidak mau, Ayah! Aku tidak mau menikah dengan pria terbuang itu!"
John dan Metha saling berpandangan. Mereka sudah tahu jika Ruby pasti akan menolak. Namun, John sungguh tidak memiliki hak untuk menolak perjodohan ini, apalagi Dominic sendiri yang sudah memilih Ruby.
Metha mengusap lengan putrinya. "Sayang, duduklah. Dengarkan ayah bicara dulu."
Ruby menatap ibunya dengan wajah memelas. "Bu, aku tidak mau menikah, apalagi pria itu berasal dari keluarga Larsen, dan dia juga terbuang."
Metha menunduk dengan wajah yang sangat sedih, begitu juga Clarissa. Namun, tak ada yang bisa mereka lakukan untuk menolong Ruby dari pernikahan ini.
"Ruby, maafkan Ayah. Ayah tidak memiliki pilihan lain, Ayah terpaksa menerima perjodohan ini," ungkap John, matanya berkaca-kaca. "Kau tahu bagaimana keluarga Larsen bukan? Kita tidak memiliki kekuasaan untuk menentang keinginan mereka, Ruby. Kita hanyalah rakyat kecil, sedangkan mereka adalah orang-orang yang penuh dengan kekuasaan. Dan Ayah juga bekerja untuk keluarga itu, Ayah benar-benar tidak bisa menolak."
Ruby menghela kasar nafasnya. Dia terduduk lagi di sofa dan menatap nanar ke meja. John dapat melihat bagaimana kecewa dan sedihnya Ruby saat ini. Clarissa juga sama, dia menatap iba dan sedih karena adiknya yang dipilih oleh Dominic.
Tiba-tiba, Ruby berdiri dari duduknya dan melangkah gontai menuju kamarnya, meninggalkan keluarganya di ruang tamu. Dinding kamar yang biasanya memberi kenyamanan kini terasa menyesakkan.
Dia duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi foto dirinya saat masih ceria. Sebuah ikatan perjodohan telah mengikatnya dengan Tuan Muda Larsen, seorang pria yang bahkan belum pernah dia temui sebelumnya. Apalagi isu tentang pria itu sangat buruk, bahkan ada yang mengatakan bahwa dia gila.
Di mata Ruby, kilatan kebingungan dan kekecewaan berganti-ganti. "Mengapa harus aku?" gumamnya lirih. Dia menghela napas, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan bahwa dia akan terikat dengan keluarga kaya dan berkuasa. Keluarga Larsen seakan menyimpan banyak misteri. Mereka memilih salah satu putri dari keluarga Eragone, sebab John Eragone adalah sopir pribadi keluarga Larsen.
Sementara itu di luar sana, keluarganya masih berbicara tentang persiapan pernikahan, tetapi bagi Ruby, itu bukanlah perayaan, melainkan pengorbanan. Dia berbaring, memeluk bantal, mencoba mencari sedikit kedamaian dalam kesendirian dan keputusasaan yang membelenggunya.
"Apa aku kabur saja?" gumam Ruby. Ide gila itu tiba-tiba melintas. Namun, buru-buru Ruby menepis ide gila itu. "Jika aku kabur, ayah dan ibu pasti akan mendapatkan masalah, apalagi ayah bekerja untuk keluarga sialan itu!"
Ruby menarik nafas dan menghelanya dengan kasar. "Aku tak punya pilihan! Aku tidak bisa lari dari kenyataan pahit ini. Aku memang harus menikah dengan pria terbuang itu."
Ruby memejamkan matanya, merasakan dinginnya air mata yang meluncur turun di pipinya. Detak jantungnya terasa berat, menyesakkan dada. Di benaknya, terbayang wajah pria yang akan menjadi suaminya—wajah yang sudah pasti bukan pilihan hatinya.
"Harus bagaimana lagi?" gumamnya pelan, kehilangan semangat untuk melawan takdir yang telah ditetapkan.
**
Hari pernikahan Ruby dan Dominic..
Ruby menatap dirinya di pantulan cermin. Clarissa, kakaknya, datang mendekat dan memeluk adiknya dari belakang. Clarissa terlihat sangat sedih karena adiknya harus menikah dengan seseorang yang tidak mereka kenal.
"Kak, bagaimana jika pria itu jahat? Dari rumor yang beredar, dia sangat dingin dan misterius bukan?" tanya Ruby.
Clarissa juga mengkhawatirkan hal yang sama. "Jangan takut, kau pasti bisa mengatasinya, Ruby. Kau adalah adikku yang pemberani bukan?"
Ruby menghela nafasnya, dia menatap lagi wajahnya dari pantulan cermin. Ruby menyadari betapa menyedihkannya dia saat ini.
"Aku siap, meskipun sebenarnya tidak siap," kata Ruby dengan lirih.
Clarissa tersenyum getir, dia sangat sedih melihat adiknya berada dalam posisi seperti ini. Namun, Clarissa tetap memaksakan senyumnya dan menyemangati Ruby menghadapi takdirnya yang menyedihkan.
*
Waktu yang dinanti akhirnya tiba, langkah John gemetar saat dia mengiringi Ruby yang kini memakai gaun pengantin bersinar. Cahaya lilin memantulkan bayangan mereka di lorong menuju ke altar. John menarik nafas dan menghelanya dengan kasar.
Dengan hati yang berdebar, John memberikan tangan Ruby kepada Dominic yang mencoba menutupi kegelisahannya di balik ekspresi datar yang kaku.
Metha, terus menangis melihat putrinya yang kini berdiri di altar. Orang-orang mungkin mengira wanita itu menangis bahagia, mereka tidak tahu betapa tidak relanya Metha melihat putrinya menikah dengan pria asing.
Di tengah gemerlap pesta pernikahan yang mewah, Ruby berdiri dengan gaun pengantin putih yang menawan, namun hatinya terasa dingin seperti es.
Ruby sungguh sangat terpaksa harus menikah dengan Dominic, Tuan Muda ketiga keluarga Larsen yang terkenal dingin dan misterius. Dominic, yang selama ini hidup terasing dari keluarga dan dunia luar, dijodohkan dengan Ruby tanpa pernah mengenal wanita itu sebelumnya.
Sepanjang prosesi pernikahan, Dominic terlihat seperti patung es, tatapannya kosong dan dingin. Ruby berusaha tersenyum, berharap bisa menembus tembok es yang mengelilingi Dominic, namun usahanya sia-sia. Dominic bersikap acuh tak acuh, seolah-olah Ruby hanyalah sebuah benda mati yang harus dia terima sebagai bagian dari takdirnya.
'Dia tidak bicara dengan siapapun sejak tadi. Bahkan dengan kedua orang tuanya, dia juga sangat dingin. Aku semakin gugup, bagaimana bisa aku melewati hari-hariku dengan pria seperti ini?' gumam Ruby dalam hati.
Ruby menghela nafasnya. Hal itu berhasil menarik perhatian Dominic sejenak, sehingga pria itu menoleh padanya. Namun, hanya beberapa detik saja. Kini pria itu kembali menatap lurus ke depan, pandangannya terlihat dingin dan sangat menusuk.
Kedua orang tua Dominic juga terlihat sangat dingin. Mereka hanya tersenyum saat tamu-tamu mengucapkan selamat atas pernikahan putra mereka.
'Keluarga apa ini? Bagaimana mereka bisa sangat dingin sekali?' batin Ruby.
*
Setelah upacara pernikahan selesai, mereka kembali ke mansion Dominic. Ruby mencoba bicara dengan suaminya, namun pria itu hanya menatapnya saja.
"Jangan diam terus, aku butuh jawaban darimu. Aku harus tidur di mana? Dan kau akan tidur di mana?" Ruby mengulang pertanyaan yang sama.
"Terserah kau saja," jawab Dominic akhirnya.
Ruby mengawasi Dominic yang duduk di sisi ranjang di kamar yang mewah, besar dan sunyi. Tak ada dekorasi layaknya kamar pengantin, tak satu pun bunga mawar untuk menyambutnya. Kekesalan melingkar di dadanya, namun dia memilih untuk tetap diam. Dominic mulai melepaskan jas dan kemejanya, menunjukkan bahwa dia akan mandi, tanpa menggubris kekecewaan yang jelas terpancar dari mata Ruby.
Bukan hanya kekecewaan saja. Ruby juga terlihat syok dan takut ketika melihat tubuh Dominic yang penuh dengan tato.
"Dia benar-benar dingin sekali, dan juga sangat mengerikan," gumam Ruby, setelah Dominic masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah selesai dengan kegiatannya, Dominic langsung meninggalkan Ruby sendirian di kamar pengantin. Dia memilih untuk menghabiskan malam di ruangan lain, membaca buku-buku tebal yang menumpuk di meja.
Sementara itu di dalam kamar, Ruby terduduk di tepi ranjang, air mata mengalir deras di pipinya. Dia merasa seperti burung yang terkurung dalam sangkar emas, terjebak dalam pernikahan yang tidak diinginkan.
"Untuk apa dia memilihku? Pada akhirnya dia mengabaikanku juga!" gerutu Ruby, sambil mengusap air matanya.
***
......Dominic Larsen......
...****************...
Keesokan harinya.
Dominic masih saja bersikap sama dinginnya seperti malam sebelumnya. Dia makan pagi sendirian, membaca koran, dan pergi ke ruangan rahasianya tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Ruby.
Ruby merasa semakin terpuruk dengan pernikahan yang tidak dia inginkan. Dia terjebak dalam pernikahan yang dingin dan hampa, tanpa cinta dan kasih sayang dari pria yang sudah berstatus suaminya.
"Ck, dia tidak bicara denganku lagi," gumam Ruby. Dia hanya menatap saja Dominic yang melangkah pergi meninggalkannya begitu saja.
"Selamat pagi, Nyonya Larsen," sapa seorang pelayan dengan ramah.
Ruby menoleh dan menatap pelayan itu. "Selamat pagi juga," balasnya menyapa dengan ramah.
"Aku Amora, salah satu pelayan di mansion ini," ucapnya memperkenalkan diri. "Nyonya akan sarapan bukan? Mari ikut denganku, aku akan menyiapkan sarapan untuk Nyonya."
Ruby mengangguk pelan. "Terima kasih, Amora."
Kemudian, Ruby mengikuti Amora ke ruang makan. Amora lalu menyiapkan sarapan untuk Ruby.
"Silakan nikmati sarapan Anda, Nyonya," kata Amora dengan ramah.
"Terima kasih, Amora," sahut Ruby.
Setelah Amora meninggalkannya, Ruby segera mencicip sarapan yang mewah itu. Tiba-tiba dia teringat pada semua keluargnya. Ruby sangat merindukan mereka dan ingin bisa makan bersama mereka lagi.
Ruby menghela nafas kasar. "Apa yang sedang mereka lakukan? Apa mereka bahagia tanpa aku di rumah itu?"
Ruby terlihat benar-benar sedih sekali di ruang makan itu. Namun, tanpa dia sadari, Dominic melihatnya dari jauh.
"Ck, orang asing itu kenapa lagi? Wajahnya murung sekali," gumam Dominic, sesekali dia menghisap rokoknya, sambil menatap Ruby. "Dia dikirimkan oleh ayahku. Pasti untuk melenyapkanku."
Dominic membuang rokoknya, lalu dia menginjaknya dengan sepatu yang dia kenakan. Setelah itu, Dominic berjalan ke rumah kecil di belakang mansion, di sanalah dia akan menghabiskan waktunya dengan kesendirian. Dominic benci dengan keramaian, dia benci warna-warna yang cerah, pria itu lebih menyukai warna yang gelap.
Di rumah kecil belakang mansion, tersimpan banyak sekali kenangannya. Dia merasa hidup kembali jika berada di rumah kecil itu.
*
Sementara itu di ruang makan, Ruby baru saja menyelesaikan sarapannya. Dia berdiri dan hendak melangkah pergi, namun seorang pria menghampiri.
"Selamat pagi, Nyonya Larsen. Aku Robin, asistennya Tuan Dom," ucap Robin dengan ramah.
Ruby mengerutkan keningnya. "Tuan Dom? Maksudmu Dominic Larsen? Suamiku?"
Robin mengangguk. "Ya, Tuan Dominic, aku memanggilnya Tuan Dom."
Ruby manggut-manggut. "Senang bertemu dengamu, Tuan Robin."
"Robin saja, jangan ada embel-embel Tuan," ucap Robin.
"Baiklah, Robin," sahut Ruby, dia terlihat canggung.
"Nyonya Larsen, sebaiknya Anda tidak boleh terlalu akrab dengan semua pelayan di mansion ini," kata Robin dengan suara yang pelan. Dia memandang ke sekeliling. "Di sini tidak ada pelayan yang bisa dipercaya, semuanya mengenakan topeng. Sebaiknya Anda hati-hati dengan mereka. Mereka semua sangat jahat."
Ruby mengerutkan keningnya. Dia merasa heran dengan ucapan Robin tentang pelayan di mansion itu. Namun, Ruby tetap mendengarkan dan akan mulai berhati-hati dengan semua pelayan di mansion yang saat ini dia tempati.
"Terima kasih sudah mengingatkannya padaku, Robin," ucap Ruby, Robin hanya menanggapinya dengan anggukan saja.
Setelah Robin meninggalkan ruang makan itu, Amora datang menghampiri Ruby. Dia bertanya apa yang Robin bicarakan dengan Ruby.
"Tidak ada, dia hanya memperkenalkan diri sebagai asistennya Dominic," kata Ruby, Amora hanya mengangguk saja, namun jelas terlihat ekspresi cemas di wajah pelayan itu.
Ruby mengamatinya, dia sebenarnya sangat penasaran apa yang terjadi di mansion. Kenapa Robin menyebut semua pelayan menggunakan topeng? Lalu apa tujuan mereka semua? Ruby merasa di mansion itu kini penuh dengan misteri.
'Lebih baik aku berhati-hati dengan semua orang, termasuk Robin dan Dominic.' batin Ruby.
"Amora, aku akan kembali ke kamarku sekarang," kata Ruby. Tanpa menunggu jawaban Amora, Ruby langsung melangkah pergi begitu saja. Sedangkan Amora hanya menatap dengan tatapan yang sulit diartikan.
...***...
Hari demi hari berlalu, Dominic tetap bersikap dingin dan jauh. Ruby mencoba mendekatinya, mengajaknya berbicara, namun Dominic selalu menghindar.
Dia merasa terasing dan terlupakan dalam pernikahan ini. Ruby mulai bertanya-tanya, apakah Dominic akan selamanya bersikap dingin seperti ini, atau apakah ada secercah harapan untuk mereka berdua?
Bahkan, ketika Ruby mencoba menghubungi keluarganya, nomor ponsel mereka semua tidak aktif. Ruby tentu merasa semakin terbuang dan tak diinginkan oleh siapapun saat ini.
*
Ruby mengelilingi mansion seorang diri. Dia lalu menemukan sebuah ruangan yang menarik perhatiannya.
Hawa dingin senja menyapa Ruby saat dia mengintip ke dalam ruangan yang ternyata adalah ruang buku milik Dominic. Lampu remang-remang menerangi deretan rak-rak tinggi yang penuh dengan buku-buku berjilid kulit. Aroma kertas tua dan tinta memenuhi udara, membuat Ruby merasa seperti memasuki dunia lain
Dominic, selalu menghabiskan waktu di ruangan ini dan juga rumah kecil di belakang mansion. Sejak hari pernikahan mereka, Dominic seolah menghilang ke dalam labirin bukunya, mengabaikan Ruby yang kesepian di mansion besar.
Senyum tipis mengembang di bibir Ruby saat dia melihat sebuah buku tua tergeletak di atas meja. Dengan hati-hati, dia mendekati meja dan membuka buku itu. Tiba-tiba, suara berat Dominic menggema di ruangan.
"Ruby?"
Ruby tersentak, jantungnya berdebar kencang. Dia buru-buru menutup buku itu dan berbalik menghadap Dominic. Wajah Dominic memerah menahan amarah.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya dengan suara dingin.
"Aku... aku hanya ingin melihat-lihat," jawab Ruby gugup.
"Lihat-lihat? Kau tahu aku tidak suka orang masuk ke ruangan ini! Para pelayan juga sudah mengatakan padamu bukan!?" suara Dominic meninggi.
"Aku tidak bermaksud mengganggu. Aku hanya penasaran dengan ruangan yang penuh buku, aku juga suka membaca buku," balas Ruby, suaranya mulai bergetar.
"Kau selalu mengganggu!" Dominic berteriak, "Sejak kita menikah, kau seperti benalu dalam hidupku! Kau sama saja dengan orang-orang yang tidak peduli padaku!!"
"Aku peduli!" bantah Ruby, "Tapi kau selalu mengabaikan aku! Kau lebih peduli dengan buku-buku itu daripada aku, kau bahkan tidak pernah memulai pembicaraan denganku!!"
"Kau dikirim oleh mereka untuk menguras harta yang ada di mansion ini dan menyingkirkanku bukan?" Pertanyaan Dominic sungguh sangat melukai hati Ruby.
"Kau yang memilihku!" Ruby membalas dengan nada tinggi, "Aku terpaksa menerima perjodohan ini, Dominic! Kau tidak pernah mencintaiku, dan aku pun tidak mencintaimu! Kita hanyalah orang asing yang disatukan secara terpaksa! Aku bahkan tidak tahu kau memiliki harta!! Aku tidak mengenalmu! Sebelumnya kehidupanku sangat tentram, damai dan penuh keceriaan!! Tapi setelah menikah denganmu, aku merasa kesunyian dan kesepian selalu datang setiap detik! Dan aku juga tidak pernah berpikiran untuk menyingkirkan siapa pun!"
Kata-kata Ruby menusuk hati Dominic. Dia terdiam, matanya menatap Ruby dengan tatapan kosong.
"Pergilah," katanya akhirnya, suaranya serak. "Aku ingin sendiri."
Ruby menunduk, air mata mengalir di pipinya. Dia berbalik dan meninggalkan ruangan, meninggalkan Dominic sendirian dengan buku-bukunya.
Di luar ruangan, Ruby merasakan kekecewaan dan kesedihan yang mendalam. Pernikahan mereka, yang dia pikir bisa menjadi awal kebahagiaan, malah berubah menjadi neraka. Dia terjebak dalam hubungan yang tidak diinginkan, di mana cinta dan pengertian tak pernah ada.
"Kapan aku bisa lepas dari tempat ini? Aku ingin pulang ke rumah orang tuaku, aku benci di sini, aku benci pria yang ada di dalam ruangan itu!" gumam Ruby, menatap tajam ruangan penuh buku yang ada di hadapannya.
...****************...
...RUBY LAUREN...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Nyonya, ada undangan makan malam dari mansion utama keluarga Larsen. Kenapa Anda belum bersiap-siap?" tanya Amora.
Ruby mengerutkan keningnya. "Undangan apa? Aku tidak tahu."
Amora menghela nafasnya. "Apa Tuan Dominic tidak mengatakan bahwa malam ini kalian harus ke mansion utama?"
Ruby menggelengkan kepalanya. "Tidak ada, aku sama sekali tidak tahu tentang undangan makan malam ini."
Amora mengangguk. "Baiklah, Nyonya. Anda sebaiknya bersiap-siap. Tuan Dominic pasti sudah menunggu."
Ruby hanya mengangguk, gegas dia kembali ke kamarnya dan bersiap mengganti pakaiannya. Sebelumnya, Ruby akan ke ruang makan untuk makan malam, sebab dia sungguh tidak tahu tentang undangan yang Amora katakan.
"Dominic sangat keterlaluan! Dia bahkan marah sekali ketika aku memasuki ruangan yang dia anggap ruangan rahasianya!" Ruby masih mengingat kejadian di ruangan yang penuh buku itu. Amora dan pelayan lainnya sudah menjelaskan bahwa di mansion itu, Ruby tidak boleh sembarangan memasuki ruangan milik Dominic, namun wanita itu tidak mau mendengarnya, akhirnya dia mendapatkan amarah dari Dominic.
...----------------...
Selesai mengganti pakaiannya dengan gaun biru gelap yang terlihat mewah, Ruby segera keluar dari kamarnya dan menuju mobil yang ada di halaman. Robin membukakan pintu untuknya.
Namun, saat Ruby akan masuk ke dalam mobil, dia melihat Dominic sedang duduk menunggu sambil menghisap sebatang rokok.
"Jangan terus menatapku!" ucap Dominic. Tatapannya tajam ke arah Ruby.
Ruby menelan ludah kasar. "Kau tidak mengatakan padaku tentang undangan malam ini."
"Aku memang tidak ingin mengajakmu ke mansion utama," sahut Dominic.
"Lalu kenapa kau masih menunggu di sini?" Ruby terlihat begitu jengkel dengan pria di sebelahnya.
Dominic tidak menjawab, dia hanya memberi perintah kepada Robin untuk segera melajukan mobil dan pergi ke mansion utama keluarga Larsen.
"Baik, Tuan," sahut Robin, mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Di dalam mobil, Ruby dan Dominic hanya terduduk diam. Tidak ada pembicaraan apa pun di dalam mobil itu. Namun, sesekali Dominic melirik ke arah Ruby. Entah apa yang Dominic pikirkan tentang wanita itu.
...----------------...
Mansion utama keluarga Larsen.
Ruby dan Dominic turun dari mobil setelah Robin membukakan pintu mobil untuk mereka.
'Tiba-tiba aku merasa sangat gugup. Aku baru kali ini datang ke tempat yang seperti ini. Saat pernikahan, mereka semua terlihat dingin. Semoga saja kali ini mereka tidak banyak bicara denganku.' batin Ruby.
Saat pasangan pengantin baru itu berjalan memasuki ruang tamu mansion utama keluarga Larsen, hening seketika menyambut mereka. Tidak ada senyuman atau ucapan selamat datang yang biasa terdengar dalam sebuah reuni keluarga. Di ruangan itu hanya ada saudaranya Dominic, sedangkan kedua orang tua pria itu tidak kelihatan ada di sana.
Dominic, dengan langkah santai, berjalan di depan Ruby melewati ruangan itu, sementara tatapan datar menghujam dari wajah-wajah yang ada di sana. Bahkan, pelayan pun tidak ada yang menyapa Dominic.
Kedua kakak Dominic, Dylan dan Bryan, mereka juga tidak mengangkat kepala untuk menyapa adik mereka yang baru saja tiba. Ruby bisa merasakan dinginnya atmosfer, sebuah kebekuan yang mungkin sudah lama mencekam hubungan di antara mereka.
'Mereka benar-benar acuh kepada Dominic. Aku jadi penasaran, apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa mereka semua seperti ini padanya?' batin Ruby.
Ruby memandang wajah Dominic sejenak. Meski Dominic berusaha terlihat acuh, Ruby tahu pria itu pasti terluka. Dia bisa melihat bagaimana Dominic sesekali menelan ludah, menandakan betapa tidak nyamannya dia berada di sana.
Ruby, merasa tidak tega melihat suaminya seperti itu, namun tak ada yang bisa dia lakukan, sebab Dominic juga tidak mau bicara dengannya.
Ruby menghela nafasnya. Dia wanita yang selalu merasa tidak tega jika melihat seseorang diabaikan.
Ruby lalu berjalan mendekat dan berhenti di sebelah suaminya yang dingin itu. "Dominic," bisik Ruby pelan, mencoba mencairkan kebekuan. "Kau baik-baik saja? Aku ada di sini untukmu."
Mendengar bisikan itu, Dominic langsung menoleh ke arah Ruby. Dia menatap wanita itu dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Jangan berpura-pura baik padaku. Kau dikirim oleh mereka! Kau pasti seorang penjahat!" balas Dominic berbisik.
Ruby memutar malas kedua bola matanya. Sungguh pria di sebelahnya itu sulit sekali diluluhkan. "Aku tidak tahu dikirim oleh siapa! Aku hanya menerima perjodohan dan terjebak dengan pria arogan sepertimu! Aku juga tidak tahu apakah aku penjahat atau bukan!"
Dominic tidak menjawabnya. Sedangkan anggota keluarga lain tengah berbisik-bisik melihat interaksi Ruby dengan Dominic.
Angelic, si bungsu di keluarga Larsen, dia adiknya Dominic. Wanita itu tiba-tiba mendekati Ruby dan merangkul lengannya.
"Selamat datang, Kakak ipar," sapa Angelic dengan ramah, senyumnya begitu lebar hingga matanya menyipit. Namun, satu hal yang dapat Ruby tangkap dari Angelic, adik Dominic itu adalah orang yang berbahaya.
'Orang yang tersenyum seperti ini adalah orang yang licik. Aku harus hati-hati, apalagi Robin mengatakan bahwa semua orang yang ada di sekitar Dominic adalah penjahat bertopeng.' batin Ruby.
"Kakak ipar, kenapa kau diam saja? Padahal aku menyapamu." Angelic memanyunkan bibirnya.
"Maaf, aku terlalu banyak pikiran," jawab Ruby, dia lalu tersenyum kepada Angelic.
Angelic menghela nafasnya. "Apakah Kak Dominic jahat padamu? Kau terlihat sangat tertekan sekali."
Ruby menatap ke arah Dominic. Pria itu kini sudah berdiri jauh darinya, namun memandang dengan tatapan yang sangat tajam.
Ruby menelan ludah kasar melihat tatapan tajam dari Dominic. "Emm, tidak, Dominic sangat baik padaku."
Angelic tertawa. "Baguslah jika dia baik padamu. Sekarang ayo kita ke ruang makan, kita akan makan malam bersama. Kami mengundang kalian untuk makan malam bersama."
Ruby mengangguk, dia lalu mengikuti Angelic ke ruang makan. Namun, saat melewati Dominic, Ruby menghentikan langkahnya.
"Ayo," ajaknya dengan suara pelan.
Dominic menatap datar, namun pada akhirnya dia mengikuti Ruby ke ruang makan. Sepanjang jalan di koridor menuju ruang makan, Dominic terus memperhatikan punggung istrinya itu.
'Kita lihat saja apa yang akan semua penjahat ini lakukan padaku!' batin Dominic.
**
Tiba di ruang makan, suasana terasa semakin menegangkan. Ruby duduk berhadapan dengan Brian, sementara Dominic berada di sebelahnya dengan wajah tanpa ekspresi. Bahkan, Dominic tidak menyapa kedua orang tuanya.
Kalya, ibunya Dominic tersenyum kepada Ruby. "Selamat datang di keluarga Larsen, menantuku."
Ruby mengangguk dengan canggung. "Terima kasih," ucapnya pelan.
Kalya hanya membalas dengan senyuman tipis, lalu dia meminta pelayan di sebelahnya untuk menyiapkan semua hidangan makan malam yang masih ada di dapur.
Sepanjang acara makan malam, Ruby merasa gugup. Dia menghela nafas dengan pelan, tangannya terasa dingin dan gemetar saat memotong daging di piringnya. Namun, tanpa dia sadari, Bryan yang ada di hadapannya, sesekali mencuri pandang ke arahnya.
Dominic memperhatikan tangan Ruby yang gemetar, namun dia acuh saja. Dominic bahkan tak akan peduli jika Ruby gugup sampai pingsan saat ini juga.
'Kapan makan malam ini akan berakhir? Aku tidak sanggup berada di sini dalam waktu yang lama.' batin Ruby.
Ruby mencoba melirik ke Paul, ayah mertuanya yang bahkan tidak menatapnya sejak tadi, seolah bagi Paul keberadaan Ruby tidak ada di sana.
'Undangan makan malam apa ini? Mereka mengundang, lalu ketika kami berada di sini, mereka semua seolah menganggap kami tidak ada! Sungguh keluarga yang sangat sialan!' gerutu Ruby dalam hati.
*
Ketika makan malam berakhir, Ruby bernafas dengan lega. Dia segera meninggalkan ruang makan, setelah melihat satu-persatu anggota keluarga Larsen meninggalkan ruangan itu.
Namun, tiba-tiba Angelic memanggilnya. Ruby terpaksa mendekat dan menanyakan tujuan Angelic memanggilnya.
"Ruby, bawa ini kembali ke mansion Kak Dominic, berikan kepada salah satu pelayan yang ada di sana," bisik Angelic, sambil meletakkan satu botol kaca berukuran kecil yang berisi cairan berwarna hijau.
"Apa ini?" tanya Ruby.
"Kau tidak perlu tahu, cukup bawa pulang dan berikan kepada pelayan!" jawab Angelic dengan penuh penekanan.
Ruby terpaksa mengangguk. "Baiklah, aku akan membawanya pulang dan berikan kepada pelayan di mansion."
Angelic tersenyum. "Terima kasih, Kakak Ipar. Senang bertemu denganmu, sepertinya kita harus sering bertemu dan belanja bersama."
"Ya, semoga saja semua itu bisa terwujud," sahut Ruby.
Setelah tidak ada lagi perbincangan, Angelic mengatakan bahwa dia akan kembali ke kamarnya. Angelic meminta Ruby menunggu Dominic di ruang tamu, sebab saat ini Dominic sedang berada di ruang kerja ayahnya.
Ruby lalu duduk di sofa ruang tamu. Dia terus memperhatikan botol kaca yang diberikan oleh Angelic. "Apa isinya? Aku penasaran sekali."
Ruby tidak menemukan adanya segel pada penutup botol. Dia melirik ke sekelilingnya dan memastikan tidak ada yang melihatnya, lalu dia segera membuka penutup botol itu dan mengendus isinya.
"Ini seperti aroma racun? Tidak mungkin ini racun sungguhan bukan?"
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!